Bab 3 (Sebuah Awal untuk Pertemanan)
Bab 3
Sebuah Awal untuk Pertemanan
Semua berawal dari chatting-an. Lagi-lagi ada ikhwan yang aku dan Zahra tidak kenal. Ternyata, ikhwan itu seangkatan dengan kami, namanya Kinan.
Seperti biasanya, Zahra datang berkunjung ke rumah, sepulang sekolah.
Karena kami tidak punya ide untuk main apa, maka kami putuskan untuk melakukan live streaming di Instagram. Saat sedang live, muncullah sebuah komentar, “Kinan suka.”
Nampaknya, Kinan itu adalah seorang ikhwan. Sebenarnya, aku dan Zahra bingung, Kinan itu siapa. Tapi, ya sudahlah, kita lanjut saja. Setelah selesai kita live, ternyata Kinan follow aku, dan mengirim DM (direct message). Awal-awalnya, sih, memang hanya chat biasa, nanya ini itu. Tapi, di tengah chatting-an itu, tiba-tiba dia bertanya, “Zahra sudah enggak ada, kan?”
Aku pun berbohong, dan bilang kalau Zahra sudah pulang. Eh! Ternyata dia nanyain Zahra karena mau ngajakin aku pacaran. Ya ampun, Kinan. Tahu, enggak, sih, kalau pacaran itu haram. Pacaran adalah perbuatan mendekati zina, bahkan sudah dijelaskan oleh Allah dalam Al-Quran, surat Al-Isra ayat 32, yang berbunyi, “Dan janganlah kalian mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”.
Di sekolah kami, memang sudah dijelaskan mengenai hadist tersebut. Makanya, saat Kinan ngajak kaya begitu, aku langsung menasihatnya. Begitu pula Zahra, yang ikut-ikut memberi nasehat melalui aku. Dan, kebetulan saat itu Farah WA. Kami pun menceritakan perihal Kinan padanya, alhasil si nenek pun ikut menasehati Kinan melalui aku.
Kinan nampaknya menerima nasehat-nasehat itu dengan baik, pasrah dengan keadaannya. Otomatis, aku dan Zahra pun merasa lega. Sampai, Zahra pamit pulang, aku dan Kinan masih lanjut ngobrol. Ternyata dugaan aku salah. Kinan tetap memaksa aku untuk jadi pacarnya, yang sudah pasti aku tolak dengan seluruh ketegasanku.
Hari pun berlalu. Lupakan Kinan dan kekonyolannya. Hari ini, cuaca lebih terik daripada biasanya. Waktu menuntut ilmu telah berakhir, seiring bel panjang berbunyi. Biasanya, aku pulang selalu bersama Zahra. Dan, selalu menjadi kebiasaan kami, sebelum jemputan datang, kami akan jalan-jalan ke belakang sekolah dulu.
Kebetulan hari itu, kakek sudah menjemputku dengan motor kesayangannya. Sebelum pulang, seperti biasa, aku harus melewati tempat ikhwan duduk-duduk. Itu yang paling aku enggak suka, setiap pulang.
Kembali kepada Kinan, ikhwan yang DM aku tempo hari, dan kekeuh mau jadiin aku pacarnya. Kebetulan, aku sendiri enggak tahu, penampakan seorang Kinan itu seperti apa. Tapi, entah bagaimana ceritanya, saat aku lewat, kenapa para ikhwan itu ngeledekin aku dengan panggil-panggil nama Kinan? Terang saja, hal itu membuat aku bingung.
Seperti biasa, Kinan makin sering chat aku, kami ngobrol tentang apa saja. Kebetulan, dia juga suka main basket. Menurut pengakuannya, dulu dia pernah suka dengan temanku. Lha, kenapa sekarang jadi ujug-ujug suka sama aku? Tapi, setelah sering ngobrol sama dia, akhirnya aku tahu kalau Kinan itu lumayan baik, juga.
Keesokan harinya, kebetulan hari itu hari sabtu. Kami biasa pulang lebih awal. Aku memutuskan untuk membawa bola basket? Karena ingin melanjutkan hobi main basket dengan memakai pakaian yang lebih syar’i. Kebetulan Aku dan Zahra ingat, kalau ada lapangan basket yang posisinya enggak jauh dari sekolah, tapi ring-nya tinggi banget dan nempel di pohon.
Kami berdua akhirnya memutuskan untuk ketempat itu. Setibanya kami di sana, ternyata ring-nya sudah tidak ada! Sepertinya, pohon tempat nempel ring-nya sudah di tebang. Sedih banget rasanya, tapi mau bagaimana lagi. Akhirnya, aku dan Zahra memutuskan untuk mencari lapangan yang lain.
Kebetulan Zahra melihat story Instagram Emilio, ikhwan yang masih satu angkatan dengan kami. Emilio sedang berada di lapangan basket bersama beberapa temannya. Otomatis Zahra langsung chat Emilio, untuk bertanya tentang lapangan basket, tempat mereka main. Kebetulan aku pun lihat postingan Kinan yang lagi main basket. Jadi, aku putuskan untuk bertanya juga padanya.
Emilio menunjukkan arah lapangan basket tempat mereka bermain. Aku dan Zahra pun memutuskan untuk pergi ke sana. Enggak disangka! Ternyata, kami ketemu sama beberapa teman seangkatan ikhwan; Angga, Rhay, Nathan, dan Tio. Tiba-tiba aku teringat kakek. Aku lupa kalau belum bilang sama kakek, kalau kami lagi main basket di lapangan. Cuma, masalahnya, aku dan Zahra enggak bawa handphone. Kebetulan para ikhwan itu bawa. Alhasil, aku pun meminjam salah satu handphone dari anak-anak itu. Ada sedikit keributan tentang meminjam handphone ini, biasalah, mereka saling meledek perihal handphone yang mereka miliki. Dan, berakhir dengan Angga yang mengambil handphone Tio sambil berkata, “Handphone Tio jadul. Gambarnya burem”. Seketika semuanya tertawa.
Oke! Walaupun begitu, aku tetap meminjam handphone-nya Tio, dan segera menghubungi kakek. Berkali-kali aku coba menghubungi kakek, tapi beliau tidak kunjung menjawab panggilanku. Para ikhwan itu pun ramai banget dan bikin berisik saja. Makanya, aku berusaha menjauh dari mereka. Seketika terdengar suara Tio, “Eh, sini! Jangan dibawa kabur handphone-nya”.
“Ya ampunn… bocah, yak,” gumamku, “siapa pula yang mau bawa kabur handphone.”
Karena kakek enggak bisa juga dihubungi, akhirnya kami memutuskan untuk kembali lagi ke sekolah, menunggu kakek menjemput di sana. Kebetulan, Angga, Nathan, Tio, dan Rhay juga mau jalan ke lapangan bola, yang searah jalannya dengan jalur ke sekolah. Otomatis kami jalan bareng, sambil ngobrol-ngobrol dan ketawa-tawa enggak jelas.
Di pertengahan jalan, kami berpisah. Aku dan Zahra belok ke kanan, dan mereka tetap jalan lurus. Saat aku dan Zahra sampai di sekolah, kakek ternyata sudah menunggu. Aku dan Zahra pun langsung pulang.
Kembali ke Kinan. Waktu itu, aku pernah tanya-tanya ke Kinan, kan, tentang lapangan basket? Jadinya, sekarang, semua isi chattan aku sama Kinan, hanyalah seputar lapangan basket. Aku minta tolong dia, untuk ngasih tahu lapangan basket yang direkomendasikannya. Tapi, sepertinya susah sekali, buat Kinan menerangkan posisi lapangan basket itu. Padahal, masih di Kota Bogor juga, loh? Belum ke Afrika. Akhirnya, kami memutuskan untuk janjian, di dekat lapangan waktu itu. Dari pada kami tersesat di kota sendiri, kan, malu, ya?
Pencarianku akan lapangan basket ternyata tidak pernah surut dari waktu ke waktu. Seperti di hari ini pun, Sabtu kesekian kalinya. Aku dan Zahra berjalan lebih jauh dari lapangan yang kemarin. Perjalanan kami kali ini tidak membuahkan hasil. Akhirnya, kami pun memutuskan untuk balik ke arah pulang, sambil melihat-lihat lagi, apa ada lapangan yang terlewat atau tidak, dan ternyata tidak. Setengah hari kami mencari lapangan, rasa lelah pun menggelayuti kami sehingga kami putuskan untuk langsung pulang ke rumah.
Hari selanjutnya, seperti biasa kami belajar dan pulang sore. Kami menunggu datangnya hari sabtu lagi. Karena Sabtu ini akan sangat berbeda. Aku sudah janjian sama Kinan dan teman-temannya. Jangan berprasangka dulu, lah. Rencananya Kinan akan mengajak Dafin, Haidar, Rhay, Angga, Galih, Tio, dan Adelio. Walaupun, sebenarnya aku pun enggak tahu, kita mau ngapain, sih? Ah! Setidaknya, aku bisa tahu Kinan dengan jelas. Kan, selama ini, aku cuma ngobrol via DM sama dia. Maka, aku dan Zahra mulai pergi ke dekat lapangan waktu itu dan menunggu Kinan dan teman-temannya di depan masjid.
Akhirnya, Kinan dan teman-temannya datang sambil ketawa-tawa. Mereka nampak saling ledek. Selepas itu, aneh juga, kita enggak melakukan apa-apa, hanya ngobrol lewat chat. Aku dan Zahra main-main di sekitar situ, dan para ikhwan sibuk ngobrol sendiri. Dan, yang bikin kita kaget, tiba-tiba ada sekumpulan akhwat datang dari jalan kecil, mereka menatap kami dengan pandangan curiga. Salah satu dari mereka pun bertanya, “Wah, lagi pada ngapain, kalian?”
Kami hanya menjawab dengan datar dan tentunya dengan muka agak takut, “Main, lah”.
Setelah akhwat-akhwat itu berlalu, Kinan bertanya, “Mau makan apa?”
“Terserah,” jawabku
“Eh, ada abang es krim,” kata Kinan
Kinan pun memanggil tukang ice cream, terus dia nyuruh Dafin, adik kelasnya, buat ngasih es krim yang dia beli ke aku.
Semula Dafin menolak. “Ih, malu, ah,” ujarnya, “kenapa enggak Kinan aja sendiri, sih, yang ngasih?”
Tapi, Kinan tetap maksa Dafin yang ngasih. Setelah beberapa lama Dafin maju mundur dengan penuh keraguan buat ngasih es krimnya ke aku, toh, tetap saja, kan, dia yang harus ngasih, bukan Kinan. Setelah menikmati es krim pemberian Kinan, aku dan Zahra pamit pulang. Begitu pun mereka, para ikhwan sudah punya rencana mau main futsal. Kami pun berpisah di hari itu.
Di jalan, seng-iseng, kita liat story Instagram mereka, ternyata ada sebagian dari anak-anak itu yang main ke lapangan basket. Aku dan Zahra kaget, dan langsung balik arah ke tempat para ikhwan itu mengambil jalan. Sayangnya, kita enggak tahu mereka di mana dan ke mana. Akhirnya, kami balik lagi, pulang ke rumah. Hari itu berakhir dengan begitu saja. Kita akan lanjutkan dengan sabtu besoknya.
****
Sabtu ini sekolah diliburkan, aku mengisi waktu dengan bermain di rumah Zahra. Jarum jam menunjukkan pukul 9.00 WIB, aku sudah duduk manis di rumah Zahra. Terus mau ngapain? Masih terlalu pagi untuk main di luar, karena sebelumnya, kita sudah sepakat untuk mencari lapangan basket, bersama Kinan dan teman-temannya, siang nanti.
Lagi asyik-asyiknya main, tiba-tiba cahaya matahari mulai meredup, lalu turunlah tetes-tetes hujan yang kian lama semakin deras. Waduuh! Kalau hujan, lalu bagaimana cara kita nemuin Kinan da teman-temannya? Akhirya, kami pun menunggu sampai hujan mereda. Waktu terus berjalan, alih-alih reda, hujan malah semakin deras. Terpaksa, kita memutuskan untuk pergi dengan sepeda sambil hujan-hujanan. Karena cuaca hujan, kami merasa lumayan capek karena kayuhan sepeda berasa lebih berat, apalagi jarak pandang kami pun jadi kurang jelas.
Ternyata, butuh perjuangan banget buat nyari lapangan basket, hanya untuk melampiaskan hobi. Karena mustahil untuk ikut les di tempat basket, terkait kostum tentunya. Jadinya, aku dan mamah sepakat untuk latihan basket sendiri hari sabtu, sepulang sekolah.
Akhirnya, setelah perjalanan membelah hujan, sampailah aku dan Zahra di tempat Kinan dan teman-temannya kumpul, mereka sedang berada di dalam rumahnya Rhay. Sedangkan, kami di depan rumah, dengan kondisi kedinginan di atas sepeda. Kami cuma mondar-mandir enggak jelas, berharap mereka melihat kedatangan kami.
Ternyata, yang melihat kehadiranku dan Zahra adalah orang tua Rhay.
“Kak, itu temannya suruh masuk, kasian di luar kehujanan,” ujar ibunya Rhay. Serentak mereka semua kaget mendengar ucapan ibunya Rhay. Anak-anak itu pun langsung keluar.
“Weh, pacarnya payungin tuh, Nan,” ujar Rhay ke Kinan, yang otomatis menanyakan pada Rhay, di mana temannya itu menaruh payung. Aku dan Zahra mendengar pembicaraan anak-anak itu, spontan pura-pura enggak tahu. Zahra sendiri langsung pergi ke sebrang pohon yang lainnya.
Sampai Kinan datang ke arahku, sambil membawa payung, sedangkan teman-teman yang lain langsung masuk ke dalam rumah Rhay.
“Ngapain, ih,” ujarku saat Kinan menyerahkan payung.
“Nanti kehujanan,” jawab Kinan.
“Kan, bukannya, memang udah kehujanan, ya,” pikirku. “Jangan berdua payungannya,”.
Kinan memberikan payungnya ke aku, lalu dia masuk ke rumah Rhay lebih dulu.
Lalu aku memanggil Zahra, dan kami masuk bersama ke rumah Rhay.
Aku dan Zahra duduk di teras rumah. sedangkan, teman-teman Kinan ada di dalam. Ibu Rhay menyiapkan makanan dan minuman di atas meja. Awalnya, aku dan Zahra merasa malu dan bingung, untung ada Kinan dan temannya, Agam, yang ngajak ngobrol
“Eh, dikirain cuman bercanda,” Ujar Agam ke Kinan.
Kinan hanya senyum-senyum.
“Lapangan basketnya ada di mana, sih?” tanyaku akhirnya. “Kinan sudah jelasin, sih, tempatnya. Tapi, aku dan Zahra gak tahu pastinya, di sebelah mana.”
Kami terus ngobrol, sambil menunggu hujan reda. Sayangnya, hujan tidak kunjung usai.
“Mau sekarang saja, enggak? Soalnya aku pulang siang, nih,” ujar Kinan pada akhirnya.
Akhirnya, kami berempat; aku dan Zahra , Agam, dan Kinan, pergi ke lapangan basket sambil hujan-hujanan. Kita ngobrol di sepanjang jalan sambil main air, seru banget.
Ternyata, lapangan basket yang di maksud Kinan enggak jauh dari lapangan sebelumnya. Biar begitu, aku senang banget, akhirnya bisa nemuin lapangan itu. Dan bisa bermain di tempat itu sama Zahra setiap Sabtu.
Awalnya, aku dan Zahra, mau sekalian main basket di situ, tapi karena cuacanya tidak mendukung, kami langsung balik ke rumah Rhay lagi. Waktu sudah menunjukan saatnya sholat Dzuhur, segeralah kami menuju masjid. Selesai sholat, aku lepas kaos kaki karena basah kena air, terus aku berusaha nutupin kaki sama celanaku yang lumayan panjang. Zahra ketawa ngeliat aku yang agak-agak ribet, pas berusaha jalan.
Kinan dan Agam sudah sampai di rumah Rhay lagi. Karena sekarang udah siang, Kinan pamit pulang duluan, para ikhwan nyorakin Kinan karena pulang lebih awal, termasuk aku dan Zahra, sih. Cuma, beraninya hanya dalam hati.
Ibunya Rhay, membelikan mie ayam buat aku dan Zahra. Wah, jadi ngerepotin, si Tante, nih. Sambil menikmati makan siang kami, para ikhwan asyik main gitar dan nyanyi-nyanyi, aku dan Zahra pun ikut nyanyi. Pokoknya, hari ini seru banget, bisa punya kenalan banyak. Sampai, para ikhwan izin karena mereka ada jadwal latihan futsal. Mereka pun pergi dengan di antar oleh ayahnya Rhay naik mobil. Awalnya, aku dan Zahra sekalian pamit pulang, tapi dilarang sama ibunya Rhay, karena di luar masih hujan.
Sambil mengisi waktu, aku, Zahra, dan ibunya Rhay ngobrol-ngobrol. Beliau banyak bertanya tentang kita, karena ini adalah pertemuan kami yang pertama. Sampai akhirnya hujan pun mulai berhenti sekitar pukul 4 sore. Aku dan Zahra pun pamit pulang, tak lupa pula kami mengucapkan terima kasih pada ibunya Rhay.
Huaaa! Akhirnya, sampai juga di rumah. Seperti biasa, habis main, aku langsung mandi. Segar! Selesai mandi, aku langsung ngecek handphone. Ternyata, ada satu group grup whatsapp baru yang anggotanya adalah anak-anak ikhwan seangkatan, yang tadi ada di rumah Rhay, yaitu; Bastian, Nathan, Kinan, Emilio, Angga, Rhay, Dilan, Adelio, dan Jauzan, serta aku dan Zahra pun masuk di dalamnya. Grup itu Zahra yang buat. Itu adalah grup teramai dan terseru. Banyak lucu-lucuannya, enggak bikin kita bosen, deh. Di situ, kami semua sudah merasa akrab. Setelah itu, aku bikin group baru, buat gantiin grup yang dibikin Zahra, tapi enggak berlangsung lama, karena grup yang aku buat sepi banget. Lalu, Bastian membuat group lagi, dan ternyata grupnya lebih rame dibandingkan grup yang Zahra buat. Grup itu bertahan lumayan lama, sampai akhirnya, bubar. Karena, satu persatu anggotanya keluar. Dengan alasan, takut ketahuan ibunya.
****
Di sekolah, aku dan Zahra lebih bayak menghabiskan waktu berdua saja. Kami sering bermain dengan tantangan-tantangan, yang seharusnya itu tidak boleh dilakukan. Apa itu? Kami main ke ruang makan ikhwan.
Jadi ceritanya, saat jam istirahat, aku dan Zahra penasaran, dong, mau liat ruang makan ikhwan yang kebetulan saat itu lagi sepi. Kami bermain di balik meja catering yang bisa menutupi keberadaan kami berdua. Tapi ternyata, ada hal yang bikin aku kaget, sehingga aku jatuhin pintu geser bawah meja catering, karena rencananya, kami mau ngumpet di situ. Otomatis semua ikhwan pada ngeliat benda yang jatuh itu.
Awalnya, aku mau benerin pintunya yang jatuh, tapi urung, karena khawatir malah keliatan. Perlahan-lahan, para ikhwan jalan ke arah kita. Untungnya yang melihat aku dan Zahra hanya anak-anak yang pernah jadi anggota group WA. Walaupun, ada beberapa anak OSIS yang juga melihat, tapi seolah-olah mereka seperti melindungi kami, takutnya nanti ada salah satu dari ikhwan yang melaporkan kejadian ini.
Lumayan banyak ikhwan yang main di situ, Agam dan Kinan pun ada di sana.
“Ngapain di sini?” Kinan bertanya binung.
“Lha, kalian kenapa pada main di sini? Tadinya kan gak ada siapa-siapa”, jawabku dan Zahra berusaha mencari pembelaan.
Sebenarnya, aku dan Zahra merasa deg-degan juga. Waktu jam istirahat sebentar lagi, takutnya kami telat untuk masuk jam pelajaran, karena masih belum bisa keluar dari tempat persembunyian kami. Kami harus menunggu ikhwan-ikhwan itu bubar, baru bisa kembali ke kelas. Setelah menunggu agak lama, semuanya pun bubar. Aku dan Zahra lari terbirit-birit, agar tidak telat. Alhamdulillah, sampai di kelas, ternyata gurunya belum datang.
Huhhh…capek banget, untung kami masuk tepat waktu. Setelah itu, kami melanjutkan pembelajaran hingga menjelang waktu ashar dan pulang.
****
Keesokan harinya, aku dan Zahra melakukan hal yang sama seperti kemarin, dan kami main ke Gedung SD untuk ketemu sama adek kelas, setelahnya.
Jam pelajaran olah raga adalah jam yang paling ditunggu-tunggu. Saat bel berbunyi, Semua langsung bergegas untuk mengganti pakaian, mengambil sepatu dan berbaris di lapangan upacara, untuk membuat formasi lalu berjalan menuju gor sekolah kami, di sanalah tempat yang dikhususkan bagi akhwat olahraga, sedangkan para ikhwan di tempatkan di lapangan upacara dan lapangan SD.
Bukan rahasia lagi kalau aku suka basket. Tapi sayangnya, hari ini kita hanya bermain lempar bola. Hampir semua orang ingin segera menyelesaikan aktivitas olahraga agar bisa jajan di kantin. Karena peraturan sekolah melarang siswa membawa uang dan jajan di kantin, kecuali di jam pelajaran olahraga. Tapi, aku sendiri lebih suka olahraganya lebih lama, kalau hanya urusan jajan, itu paling terakhir.
Biasanya, Zahra yang masuk ke kantin utuk membelikan pesananku, sedangkan aku menunggunya di luar kantin sambil bermain bola sendirian. Itu menjadi kebiasaan kami, kalau waktu istirahatnya masih lama.
Kami biasanya hanya minum dan makan sebentar, lalu kembali bermain berdua di depan kantin. Kenapa di situ? Ya, karena semua lapangan terpakai oleh ikhwan. Walaupun, sejujurnya, aku dan Zahra pun merasa ragu, untuk main di sana.
Tapi, sudahlah. Mari kita abaikan. Aku dan Zahra masih tetap asyik main bola sepak dan bola voli berdua. Kami membuat gawang menggunakan benda apa saja yang berada di sekitar situ. Tapi, yang paling ngeselin, kenapa bolanya suka banget ke arah kelas ikhwan, ke kolong mobil, dan kadang ngegelundung ke tempat ikhwan lagi main bola juga. Dan, semuanya aku yang ngambil. Kecuali, saat bolanya ke arah lapangan ikhwan, justru ikhwan-ikhwan itu yang ngambil bolanya, terus di kasih ke kita.
Sebenarnya, Aku dan Zahra takut juga, sih. Hmmm… lebih ke arah khawatir, takutnya jadi fitnah kalau ada yang liat. Tapi, saat ada guru ikhwan yang main bareng sama aku dan Zahra, walaupun cuman sebentar, perasaan takut itu pun berkurang.
Di saat asyik-asyiknya main, tiba-tiba aku dan Zahra melihat ke arah koridor depan kelas akhwat. Ternyata, banyak banget akhwat yang melihat ke arah kami. Tentu saja, hal tersebut membuat kami merasa kurang nyaman, akhirnya kami putuskan untuk pindah ke Gedung SD.
Untuk ke gedung SD, kami terpaksa ngelewatin ikhwan yang lagi main bola disitu. Kami enggak ada pilihan lain, walaupun semua mata tertuju pada kami, terus mau gimana lagi.
Sesampainya kami di gedung SD. Enggak tahunya, lapangannya ramai banget. Akhirnya, kami mengunjungi kelas junior kami. Terus main, deh, sama anak-anak SD.
Karena sangking hebohnya main, sampai-sampai aku dan Zahra jatuh, dan ditarik-tarik kerudungnya. Agak ngeselin, sih. Tapi, kan, mereka masih SD. Malunya, pas kita jatuh, ada beberapa ikhwan yang ngeliat.
Sebenarnya, sudah lama aku dan Zahra mencurigai kakak kelas kami yang terkenal cukup nakal. Mereka adalah Kak Haiga, Kak Naufal, Kak Luthfi, dan Kak Bian. Karena dari kemarin, mereka sepertinya ngeliatin kami terus dan sekarang malah suka ngikutin, seperti memata-matai aku dan Zahra.
Jam istirahat telah usai, waktunya aku dan Zahra Kembali ke kelas. Saat mau ke kelas, banyak banget ikhwan yang ada di lapangan dan di kantin sekolah. Karena hanya aku dan Zahra saja, akhwat-akhwat manis ini, yang melewati mereka, otomatis semua pandangan ikhwan tertuju pada kami. Itu malunya, Subhanallah. Mana kondisi kerudung kami juga sudah enggak bener, muka acak-acakan karena berkeringat. Pokoknya, berantakan banget, deh.
Aku dan Zahra berlarian untuk menuju kelas, karena sudah telat gara-gara dicegat sama adik kelas. Sesampainya di kelas, aku dan Zahra lagi-lagi diberi keberuntungan karena gurunya belum datang.
Sekitar jam 2 sore, aku dan Zahra berjalan kaki untuk menuju rumah, di jalan kami sudah membuat rencana untuk main lagi, sesampainya kami di rumah. Kami ingin bersepeda.
Aku dan Zahra janjian untuk ketemuan di masjid, dekat rumahku. Setelah berganti pakaian aku langsung menuju masjid, dan ternyata Zahra sudah menunggu di sana. Kami pun langsung berangkat menuju arah ke sekolah.
Tapi, aku kebelet mau ke toilet, Zahra pun begitu. Kebetulan kami melewati lapangan futsal. Sebelum itu kami bertanya dulu ke abang bakso yang ada di depan gerbang lapangan, apa ada toilet di dalam.
“Ada, tinggal masuk saja. Nanti ke dalam belok kiri,” terang abang bakso.
Setelah berterima kasih, kami pun masuk ke dalam mengikuti arahan abang bakso yang baik hati itu. Tapi, apa yang kami takuti ternyata terbukti. Ada banyak ikhwan di sana. Pertama mereka cuma ngelihatin saja, pas aku dan Zahra masuk ke dalam toilet. Tapi, setelah keluar dari toilet, ada seorang ikhwan yang menegur, “Neng, mau kemana neng?”
Ternyata dia adalah kakak kelas yang kami curigai, sedang jadi spionase itu. Mereka bertanya sambil ngeledek gitu. Ya sudah aku jawab saja dengan sewotnya, “Dari toilet!”
Mereka pura-pura enggak dengar jawabanku, malah terus ngeledek-ledek.
“Neng, mau di imamin, enggak?” tanya mereka sembari tertawa-tawa.
Karena sudah males menanggapi, aku dan Zahra mengabaikannya, lalu pergi keluar.
Sesampainya di luar, kami ngobrol-ngobrol sebentar sama abang bakso, dan akhirnya kami jadi akrab, walaupun belum sempat nanya nama si abang bakso itu siapa. Hari-hari berikutnya, kalau aku dan Zahra pulang dari sekolah naik sepeda, kami sering berjumpa dengan abang bakso itu.
Disitulah awal aku dan Zahra berteman dengan Angga, Kinan, Rhay, Nathan, Adelio, Jauzan, Tio, Bastian, Dilan, Haidar, Abian (OSIS), Agam, Galih, dan Emilio. Serta Kakak kelas kami, Kak Haiga, Kak Naufal, Kak Luthfi, dan Kak Bian.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar