WINTER

Temui titik balik kamu disini💖 Percayalah💞 kamu bukan pusat dunia kawan➗ 🔃ATLAS PERASA, PETA UNTUK PULANG🔃...

Selengkapnya
Navigasi Web
Benang Rahasia Menjadi Kelambu

Benang Rahasia Menjadi Kelambu

Enggar Dwi Pangesti

Benang Rahasia Menjadi Kelambu

Novelet

SENJA YANG MENGUNING

Semua telah begitu

Begitu indah namun terbelenggu

Terbelenggu akan rasa yang ragu

Sungguh aku tak mengerti, aku tak tahu

Senja yang menguning kala itu

Ajwa Aisyah itulah namaku. Nama yang indah dan aku sangat bangga memiliki nama itu. Perempuan berjilbab cadar dengan mata berbinar itulah aku kata orang. Aku teramat menyukai nuansa senja yang memberi kesan magic. Senja yang menguning memberi sensasi tenang nan nyaman bagi jiwa yang resah. Menengadahkan tangan, mendongkakkan kepala, memejamkan mata dan tersenyum simpul menyempurnakan semua.

Semua yang kurasakan akan sirna seketika jika senja hadir. Lelah, letih, sedih, bahagia dan semua rasa akan netral begitu saja tanpa meninggalkan jejak dan bekas, seperti tidak melakukan sesuatu apa pun satu detik bahkan beberapa jam yang lalu.

Rumah minimalis yang terdesain sedemikian rupa menghadap hamparan sawah menambah nuansa asri. Terlebih tanaman bermacam bunga tumbuh subur nan mempesona di halaman menambah kesempurnaan penyejuk mata dan hati.

“Assalamualaikum... “ aku terhentak akan itu. Suara yang teramat aku kenal sejak 3 tahun lalu. Muhammad Ali. Lelaki yang baru kupercaya menjadi teman berbagi cerita. Seketika aku berusaha mengendalikan diri di depannya. Mencoba bangun dari dunia fantasi yang kubuat sendiri.

“Assalamualaikum... Ajwa Aisyah” suara itu kudengar lagi dan semakin lembut.

“Waalaikumsalam... Ali” entah kenapa aku lebih suka memanggilnya Ali walaupun kebanyakan mengenalnya dengan sebutan Ammad.

“Ajwa kenapa?” selidik Ali curiga.

“Maaf. Aku melamun.” datar.

“Tadi!” sambungku.

“Ajwa..” suara lembutnya menuntut penjelasan.

Sore yang ganjil menorehkan misteri janggal. Entah apa yang telah terjadi aku pun tak dapat menafsirkan. Semua begitu rumit untuk dijelaskan oleh tirai kata yang membentuk kelambu kalimat. Akhirnya kami hanya tenggelam dalam kesunyian.

“Ajwa!” kali ini nampak menghardik.

“Iya Ali”.

“Mau pergi bersama. Sekarang?” kulihat kerut dikeninnya membuat alis tebalnya hampir menyatu.

“Mmmm.. Tapi”.

“Aku paham” kulihat menunduk.

“Apa!”.

Ali tak menjawab. Dan kami kembali diselubungi kesunyian. Benar-benar sunyi. Tak ada suara. Aku ragu memulai kata pemecah kesunyian. Mulut seketika terasa berat dan terkunci. Air liur seperti tinggalkan lidah. Keluh.

“Ajwa aku minta maaf” akhirnya Ali memecah kesunyian.

Aku tercengang mendengarnya. Berusaha mencerna kalimat yang terlontarkan dan baru didengar itu dengan seksama. Detak jarum jam semakin terdengar dalam kesunyian, menemani kebingunganku yang dibuatnya. Aku tak mengerti firasat apa ini. Ada yang hendak disampaikan tapi tak kuasa. Ada yang menghalangi!.

“Ajwa, kau mendengarku?” kulihat risau.

“Ada apa ini” aku membelakangi.

“Aku akan menjelaskan besok. Sejelas-jelasnya. Karena mungkin sekarang bukan waktu yang tepat untuk membicarakannya.”

Aku masih tetap diam seribu kata dengan menerka perbincangan yang banyak menyisakan tanya. Untuk pertama kali senja yang menguning menjadi saksi bisu sebuah misteri kata yang terucap dari teman ku Ali.

“Aku tidak dapat membaca fikiran orang lain. Tapi mungkin Ibumu telah mengatakannya. Tapi tetap aku akan menjelaskan semua besok agar kamu lebih tenang menghadapi kehidupan ini” kembali dia mengeluarkan kalimat yang membuatku semakin bingung.

Bulir air hangat ku rasa menggenangi pelupuk mata. Lagi dan lagi menetes semakin deras. Aku tak tahu Ali melihatnya atau tidak karena aku membelakanginya beberapa menit lalu. Namun, yang jelas aku yakin Ali masih dalam posisi saat terakhir aku melihatnya. Tertunduk.

“Aku harus pergi sekarang. Aku harap kamu datang ke tempat yang sering kita kunjungi berbagi ide. Telaga. 11.00” aku tak dapat menangkap ekspresinya.

Berbeda. Apa Ali lupa mengucap salam. Atau Ali masih berdiri di belakangku. Saat aku sadar bahwa sendiri di teras, aku berusaha menoleh ke belakang namun amatlah terasa berat bak ada batu di kaki dan pundakku. Sesaat berhasil membalikkan badan, ternyata. Memang benar Ali telah meninggalkanku. Sendiri.

“Apa ini. Kenapa aku menangis?” mendapati wajahku sembab tergambar cermin.

Lutut ku lemah tak tahu mengapa seperti lumpuh. Begitu saja meluncur bagai tak bertulang di atas lantai pualam.

TELAGA 11.00

Telaga hijau

Menjadi saksi bisu

Dua insan terpisah tak bertemu

Karena takdir tak memihak. Bersatu

Apa yang terjadi setelah itu

Pagi yang cerah kembali ku dapati mentari hangat menyapa ibu pertiwi. Sejuk segar. Sepoi semilir angin berhembus. Burung bernyanyi riang masih tetap singgah di pelantara rumah. Jendela berdecit pertanda telah usang termakan waktu. Suaranya mampu membuat ngilu yang mendengarnya.

“Assalamualaikum.. sayang” suara di balik pintu.

“Waalaikumsalam.. Ibu tunggu sebentar” bergegaslah aku melepas mukena dan menggantinya dengan jilbab.

“Sayang ini ada surat dari Ammad” ku dapati senyum menggoda singgah di wajah tuanya.

“Ibu. Kapan Ali memberikannya?” antusias.

“Baru saja. Kalian aneh di era digital ini masih surat menyurat.” Sebal aku melihatnya tertawa tipis.

“Sekarang Ali dimana?”

“Sudah pulang.” Tanpa basa basi.

“Bu..”

“Astagfirullah.. Ayam goreng Ibu!” aku kaget dibuatnya.

Kebiasaan yang sulit ditinggalkan para Ibu-ibu sering lupa. Tapi apa isi surat ini. Kenapa tidak diberikan langsung kalau memang Ali menyempatkan waktu untuk menemui aku pagi ini. Ali memang sosok yang dingin dan misterius. Seperti halnya kedatangannya yang membuatku curiga. Sudahlah itu bukan masalah, selama Ali di sini juga bersikap sopan dan mungkin hal itu yang membuat Ayah dan Ibu cepat akrab dengannya.

*Assalamualaikum... Ajwa temanku..

Maaf kemarin sore membuatmu bingung dan mungkin marah. Sungguh aku tak bermaksud untuk membuatmu demikian. Sungguh..

Maaf juga aku meninggalkanmu sendiri tanpa berpamit salam. Aku menyesali itu. Ku mohon datanglah menemui aku di tempat yang telah kukatakan kemarin..

Dan aku janji kamu akan menemukan apa yang kamu cari..

Wassalamualaikum. .

Dari temanmu

Muhammad Ali

Aku terdiam duduk memandangi luar jendela, kini aku tak sibuk lagi menganalisis keadaan alam di sekitarku. Kini apa yang aku pikirkan semua hampa. Aku tak dapat membayangkan apa gerangan yang akan terjadi, tak dapat pula aku pikirkan kata apa yang akan terucap oleh teman yang misterius itu. Dan aku memutuskan untuk bersiap pergi ke telaga.

“Ajwa kemana?”

“Mau ke telaga kak”

“Telaga”

“Ada yang aneh”

“Tidak” datar.

Aku tak tahu kakak ku itu bersikap dingin bahkan teramat dingin padaku. Sampai saat ini usiaku menginjak 19 tahun dan mungkin dia tidak tahu kapan aku hadir dalam dunia yang indah ini. Miris. Untung saja ada Ali dia seusia dengan ku hanya aku lebih muda 2 tahun darinya. Sikap yang dewasa dan bijak walaupun dingin seperti kakak tapi Ali mampu membuatku nyaman. Sudahlah!.

“Jalan memanjang. Rumput di tepi jalan dan semua ini seakan berdamai dan ingin menyampaikan sesuatu pada diri ku. Tapi apa!. Bad feeling selalu menghantui ku seakan memberi isyarat akan ada yang terjadi” hati ku terus berbicara tak mau berhenti.

“Ada apa di sana?” terkejut akan suara wanita berambut ikal panjang.

“Maaf. Saya tidak tahu Mbak. Mungkin kecelakaan” mataku tertuju pada kerumunan.

“Mungkin. Mari lihat” ajak wanita itu penasaran.

“Maaf saya terburu-buru.” Aku mengingat Ali.

“Ya sudah tak apa. Mari”.

“Mari” jawabku.

Ku rasa wanita itu seusia dengan ibu. Dan jelas dia non muslim kulihat dari kalung yang di kenakan. Tapi kenapa wajahnya sekilas mirip dengan ku. Ah, mungkin firasatku saja.

“Ada apa. Kenapa kerumunan itu seakan menghentikan langkahku untuk pergi ke telaga. Kenapa hatiku teramat berat meninggalkan kerumunan itu. Kenapa mata ini tertuju ke sana. Perasaan apa ini” hatiku berdebat lagi dengan fikiranku.

Kenapa jalan terasa panjang padahal telaga dekat dengan rumah. Gerimis mulai turun dari atap langit tapi dimana Ali. Dia selalu on time bila membuat janji tapi sekarang lihatlah kemana dia!.

“Baiklah aku tunggu di bangku hijau itu”.

Sebenarnya siapa dan ada apa dikerumunan tadi. Aku dibuat penasaran. 11.00. Kulihat jam yang melingkar di pergelangan tangan. Risau. Benar-benar risau fikiranku tak bisa lepas dari kerumunan di jalan itu. Hati ku gelisah. Dan kemana Ali!.

“Oh tidak. Terlambat sekali dia” gerutu ku sebal.

“Anak itu sedang apa?. Dimana orang tuanya”.

Aku putar mataku melihat setiap sudut telaga itu. Namun nihil. Semua itu tak menghasilkan apa pun. Gadis kecil itu terlihat bahagia sekali aku dapat merasakan dari sorot mata dan senyum yang tersungging menghiasi wajah lugunya. Rambut yang bergelombang panjang terurai sesekali bergerak menari diterpa angin. Dia memakai bando dan itu cukup membatu wajah ayunya tetap terlihat tanpa ada yang menghalangi.

“Halo... gadis cantik”.

“Aaaa...”

“Astaga”.

Aku kaget mendapat jawaban sapaanku. Ternyata, gadis kecil yang malang. Aku lihat lekat-lekat tangannya menuju tas kecil di sampingnya. Oh. Itu buku dan pena. Apa yang hendak dia tulis. Dia kali ini menarik pakaianku.

“kakak jangan kaget apa lagi kasihan meliatku. Sungguh aku tak mau belas kasihan dari seseorang. Namaku Zhua. 13 tahun”. Tulisan yang indah itu membuat aku sesak.

Tidak bisa dibayangkan gadis di hadapanku ini memiliki hati yang kuat dan tabah. Subhanallah. Allahuakbar.

“Maaf dek. Kakak mengerti”

“Kakak ini Islam ya?” Kembali kuterima secarik kertas.

“Benar dek. Kenapa adek menanyakan hal itu?” senyumnya berubah.

“Zhua...” seorang berambut ikal menyambar tubuhnya yang mungil. Dan tunggu, aku mengenalnya wanita itu tak asing dalam pandangan. Tapi siapa?

“Mbak”

“Terima kasih dek sudah menemani Zhua” cemas sangat terlukiskan di wajahnya.

“Apa yang terjadi. Kenapa Zhua di biarkan sendiri”

“Lain kali saya jawab. Nama saya Evav. Maaf kakaknya Zhua kecelakaan jadi harus segera ke rumah sakit” penjelasan yang cukup membuat kakiku terpaku dan terbenam dalam tanah.

Pundak yang kupandangi itu kini termakan ujung jalan yang menyimpang. Fikiranku kembali pada Ali. Sesaat mungkin aku ingin untuk pergi, namun kenyataannya aku tak melangkah sejengkal pun. Aku masih berharap dia datang menepati janji yang dibuatnya.

Alunan azan berkumandang merdu memecah kesunyian dunia seisinya. Ini adalah langkah memenuhi panggilan sang pencipta bukan untuk menyengaja mengingkari janji. Aku yakinkan hati yang berat hengkang dari tempat aku berdiri.

“Ajwa!”

“Iya kak”

“Kau ini. Menyusahkan saja”

“kenapa kau mencariku?”

“Ayah mencari. Ibu panik handphone kamu tidak bisa dihubungi”

“Soal itu aku minta maaf. Tapi Ibu tahu aku kesini, kau juga”.

“Pulang cepat”

“Aku boleh ikut denganmu?”

“Tidak kau jalan kaki saja. Sehat”

Dia tidak dapat menangkap ekspresiku karena aku memakai cadar. Tapi kalau dia tahu, pasti dia mengejek aku habis-habisan. Padahal dia membawa mobil Ayah, sungguh dia sampai hati menyuruh adiknya jalan kaki di bawah terik raja siang yang teramat menyengat kulit di tengah hari seperti ini. Kejam hatiku mendesir geram.

“Baiklah aku beritahu Ayah sesampainya di rumah”.

“Untuk apa dia menjalankan mobilnya pelan di tepat di belakang ku. Apa dia sudah gila mau menabrak adiknya sendiri. Atau dia mau mengejek aku. Kenapa dia?. Menyebalkan” hatiku semakin tidak bersahabat.

“Ayo naik tuan putri” dengan nada yang lembut.

“Tidak. Aku jalan saja. Sehat”

“Adik ku yang cantik tapi tertutup cadar”

Aku kali ini hanya meliriknya aku selalu benci jika dia berkata demikian. Dia selalu mempengaruhi Ibu untuk mau membujukku membuka cadar yang telah menemaniku selama lima tahun terakhir ini. Alasannya tak logis.

“Ayolah Bu. Ajwa tak usah memakai cadar. Perempuan baik dan shalehah tidak tercermin dengan cadar melainkan dari akhlaknya. Lagi pula Ajwa kalau seperti itu laki-laki mana yang mau mendekatinya Bu” kalimat itu masih terngiang di telingaku.

Beruntung aku memiliki orang tua yang bijak. Dan aku beruntung dengan cadar ini aku di pertemukan dengan Ali tiga tahun lalu di suatu kesempatan menjadi relawan penyuluhan dunia tani.

“Ajwa. Naik kalau tidak kakak akan kena marah”

“Baiklah”

“Bagus. Adik yang baik menyelamatkan kakaknya” senyum simpul aku lihat menghiasi wajahnya.

“Dimana teman kamu itu. Kata Ibu kau ke telaga itu untuk menemuinya”

“Tidak tahu”

“Ada apa dengan kalian”

“Tidak ada apa pun”

“Ajwa”

“Apa”

“Kau baik-baik saja?”

Aku tak dapat melihat pemandangan yang kita lewati, kakak mengemudikan dengan kecepatan yang lumayan. Aku tak mungkin ceritakan tentang Ali bisa-bisa aku jadi bahan tertawaan sepanjang jalan.

“Baik. Kakak sendiri?”

“Maksud kamu?

“biasanya kakak sikapnya dingin ke aku kenapa sekarang berubah?”

“Kakak salah. Kakak minta maaf”

Aku pandangi wajahnya dari samping. Dan aneh, aku dapati dia dengan keringat mencucur deras dan terlihat tegang tidak seperti yang tergambar dalam pertanyaan yang keluar dari mulutnya. Aku memang setelah masuk dalam mobil selalu memandang ke luar jendela. Keringat itu terasa ganjil sebab mobil Ayah ber-AC.

Satu jam perjalanan kita diselubungi kesunyian. Lelah saat ini teramat mendera dan akhirnya mata ini tertutup rapat. Tertidur.

“Dimana aku!” ku pandangi sekelilingku putih. Pasir.

Aku lihat lekat-lekat sampai mata ini hampir terpejamkan. Subhanallah pemandangan yang elok rupawan. Itu gunung di tengah laut. Ya, sekarang aku tahu tempat apa ini. Gunung itu adalah anak gunung krakatau.

“Tapi kenapa tempat wisata ini lengang seperti tidak ada kehidupan. Tunggu, itu Kakak. Kenapa dia menghindari aku”.

“Kak” aku coba teriak memanggilnya.

Dia tidak menengok. Apa suaraku kurang keras sampai dia tidak mendengarnya. Baiklah aku akan mengejarnya memang dia selalu keras kepala dan menyebalkan. Dan aku dapat meraih lengannya.

“Maaf dikira saya anda kakak saya”

“Takdirmu akan berakhir di sini” suara yang seram membuat bulu kuduk merinding.

“Apa maksud anda”

Belum sempat mendapat jawaban dari orang itu. Telinga ku terusik deburan ombak gemuruh. Dan whussss. Itu bukan ombak biasa itu tsunami. Aku menjerit histeris.

“Ajwa bangun” suara itu sekilas kudengar.

“Kakak”

“ Kau mimpi buruk”

“Beruntung itu hanya mimpi” aku menarik nafas lega.

“Itu karena kamu tertidur saat kewajiban kamu belum ditunaikan” mengingatkan atas kewajiban shalat.

“Tolong kak cari masjid terdekat”

Aku rasa sesak. Tanpa berpikir panjang aku buka cadar ku. Toh, ini di dalam mobil lagi pula yang melihat wajah ku hanya kakak. Mahram ku. Aku teramat sesak sampai aku seperti orang terkena asma saja

“Ajwa kita sampai”

“Sebenarnya kita mau kemana?”

“Ke masjid”

“Kakak”.

“Ke rumah baru kita”

“Apa?”

“Kakak tidak tahu menahu alasan kita pindah. Jadi jangan tanya itu. Sungguh” dia menatap meyakinkan aku.

“Baiklah aku mau shalat tapi kakak imamnya”

“Mari” aku terkejut melihat tingkahnya.

Hari mulai menguning terlihat lembayung menawan singgah menghiasi sepanjang jalan menuju rumah baru kami. Kakak ku telah berubah. Aku senang akan itu, aku mulai menemukan sosok seorang kakak di dalam dirinya yang belasan tahun aku pertanyakan dan aku rindukan.

LUPAKAN

Senja lembayung yang menyiksa

Menyiksa jiwa yang menunggu merana

Senja lembayung menjadi saksi

Menjadi saksi dikemudian hari

Seperti ada benang merah yang membentangi

Lembaran baru tanpa bayang Ali telah aku lewati. Untuk itu tak butuh waktu lama karena sekarang kakak ku Bahtera Bintang seakan menjadi benteng pelindungku. Genap sudah dua puluh satu tahun usiaku dan dia lebih tua lima tahun dariku. Dia juga yang meyakinkan aku tentang ketakutan mimpi yang menghampiri lelap ku kala itu adalah hanya bunga tidur dan tidak bermakna apa pun. Dan aku mulai merencanakan langkah ku mengikuti sinar sang mentari agar tidak diam di satu tempat.

“Kak”

“Iyah”

“Nama kakak kok aneh?”

Seketika kulihat dia terdiam mungkin dia tersinggung akan pertanyaan yang aku ajukan. Tak apalah dari pada aku penasaran. Pagi ini dia membuatkan nasi goreng spesial untuk sarapan kali ini. Ya aku tinggal di rumah bersama kakak, orang tua ku tak ada kabar sejak kami pindah. Kakak selalu pergi saat aku menanyakan tentang mereka. Aku seakan berada di sebuah drama yang mereka rencanakan.

“Nama kamu juga dulu bukan Ajwa”

“Maksud kakak!”

“Nama yang Ayah berikan ke kamu sewaktu bayi itu Zhuannara Bintang”

“Kenapa berakhiran bintang dan kenapa nama ku di ganti”

“Karena orang tua kita menginginkan kita untuk mandiri dan mengikuti bintang setiap langkah”

“Kenapa aku tidak tahu tentang itu”

“Ada banyak hal yang kamu tidak tahu dan mungkin tidak perlu tahu”

“kakak tahu”

“Apa”

“Aku menyesal menanyakan hal tadi”

“Tak perlu disesali. Kau tahu”

Kini kakakku Bahtera Bintang duduk di sampingku dengan sorot mata berbinar dan antusias ingin menceritakan sesuatu yang telah lama mengganggu pikirannya itu dan mungkin dia rasa sekarang adalah waktu yang tepat.

“Sebelumnya kakak minta maaf ada banyak rahasia yang disembunyikan dari kamu. Semua itu demi kebaikan kita. Ajwa, kakak, Ayah, Ibu dan”

“Apa ada saudara kita yang lain yang aku tidak tahu?” aku menyela dengan dugaan yang mendiami hati.

“Ya. Kamu benar ada adik kita dan kakak tertua kita”

“Apa. Kenapa Ayah Ibu tidak mengatakan dan jika benar kita punya adik seharusnya aku tahu Ibu hamil” di luar dugaan.

“Tidak setiap yang kamu tahu itu kenyataan sesungguhnya. Percayalah”

“Lalu kenapa mereka menyuruh kita kesini padahal mereka sendiri tidak tahu kemana. Mereka meninggalkan kita”

“Mereka orang baik tapi penghinaan mereka luar biasa”

Aku terkejut bukan main mendengar kalimat itu keluar dari mulut kakakku sendiri dengan rasa penuh kemarahan. Aku mulai merasa takut berada di dekatnya sekarang. Entah apa yang salah dia terlihat seperti waktu masih di rumah kami yang lama. Aku takut.

“Kamu kenapa?” melirik dengan mata yang memerah

“Tak apa. Aku baik”

“Ya sudah makan ini dulu sebelum kamu kuliah”

“Baik kak”

Tiada keberanian lagi yang aku miliki untuk menanyakan lebih banyak lagi. Bercerita saja aku enggan. Aku takut membuat dia bersikap seperti dulu lagi dan mempermasalahkan cadar yang telah menjadi identitas ku saat ini.

“Kakak nanti pulang jam berapa?”

“Kayaknya malam”

“ Tidak bisa diusahakan sore kak”

“Tidak. Ada banyak hal yang kakak harus selesaikan”

“Baiklah”

“Kenapa?”

“Tak apa”

Dia hanya melirikku lagi. Sebenarnya itu jawaban yang aku mau. Selagi dia tidak di rumah karena sibuk bekerja maka aku akan mencari sesuatu rahasia yang disembunyikan selama ini. Di kamarnya sepulang kuliah nanti.

Seperti biasa aku diantar kakak dan pulang menggunakan angkutan umum. Aku bergegas menuju kamar kakak. Ah tidak. Kamarnya terkunci, bagaimana ini.

“Ajwa kalau kamu kehilangan kunci. Kunci cadangannya ada di laci bawah TV”. Oh yah kakakku pernah mengatakan hal itu.

“Benar kunci ini sangat membantu kak. Terima kasih” ku genggam kunci itu dengan penuh pengharapan.

“Alhamdulillah”

Semua sudut tak dapat aku biarkan terlewatkan begitu saja. Aku harus telusuri setiap jengkal kamar ini. Kalau tidak aku akan mati penasaran. Dan akhirnya

“Dbugggh”

“Astagfirullah. Sakit sekali kaki ku” aku meringis kesakitan

Tapi sakit ini segera terobati dengan apa yang temukan album foto dan perekam suara. Dan itu mampu membuat ku mengetahui segalanya.

“Bahtera Bintang anak ku. Jagalah Zhuannara Bintang adikmu baik-baik. Kelak bila waktunya tiba maka kita akan di persatukan kembali sebagai keluarga yang bahagia. Pesan dari ayah dan ibu jangan sampai Zhua mengetahui semuanya sebelum ayah dan ibu atau kakak kamu menceritakan kebenarannya. Tersenyumlah dalam segala situasi karena kita adalah bintang. Bintang akan selalu menghiasi langit dikala malam dan siang. Kita sebut bintang pada malam hari dan kita tahu matahari juga bintang dikala siang” kudengarkan suara rekaman yang ku kira seorang laki-laki. Suaranya begitu berwibawa dan sangatlah bijak.

“Keluarga impian yang ku dambakan kini hanya menjadi angan-angan semata. Dan itu karena ulah ku waktu itu harusnya aku lebih sabar lagi sehingga itu tidak akan terjadi dan kita semua dapat menjadi keluarga yang bahagia. Maaf kan kakak, Ajwa.” Tulisan itu aku simpulkan adalah tulisan tangan dari kakak ku Bahtera Bintang.

*****

“Ajwa”

“Ajwa”

“Ajwa”

Klik.

Kali ini bukan suara yang memanggilku melainkan suara menyalakan lampu. Aku tak tahu apa yang aku lakukan ini benar. Otak ini terasa berat, hati ini terasa sakit dan tubuh ini tak mau lagi menopang tubuhku untuk berdiri sampai sekarang pukul 8:52 PM.

Aku masih terdiam dengan posisiku seperti semula dan aku masih tak percaya dengan apa yang aku temukan ini. Mungkin ini hanya sebagian kecil dari rahasia kakak yang disembunyikan dariku dan aku ingin mendengarkan penjelasannya langsung dari mulutnya. Tak selang waktu lama akhirnya langkahnya berhenti tepat di depan ku. Seketika pandangan kami bertemu beradu dan aku kembali di buatnya terdiam karena tubuh kekarnya mematung persis di depanku. Dan aku yakin sikapnya itu menunjukkan bahwa dia tahu persis apa yang menimpaku kali ini.

“Ajwa apa yang kau lakukan di sini!” aku terdiam

“Ajwa kaki kamu terluka”. Ku lihat samar raut paniknya.

Aku hanya ingat itu dan terakhir dia melepaskan penemuanku di kamarnya dan setelah itu aku tak tahu apapun yang terjadi. Aku tak dapat melihat lagi mata ini terlalu berat untuk aku buka, telinga ini juga seakan tak mampu menyaring apa yang telah di ucapkan oleh orang di dekatku dan jangan ditanya tubuh ini.

Samar ku dengar suara itu ku dengar lagi namun teramat samar. Kenapa anggota tubuh ku terlalu lemah bahkan hanya untuk membuka mata saja aku tidak berdaya.

“Adik Anda tidak apa-apa hanya keterkejutan yang membuatnya selemah ini. Jadi Anda tenang saja tidak usah khawatir dia akan siuman beberapa menit lagi”

“Baik dok. Mari saya antar”

“Mari. Dan jangan lupa berikan obat ini tepat waktu agar tenaganya bisa pulih seperti sedia kala lagi”

Hanya itu. Hanya itu yang aku dengar dan aku tak tahu apa lagi yang mereka bicarakan atau mungkin mereka telah pergi meninggalkan aku sendirian di dalam ruang yang aku yakin berwarna biru ini.

“Aku harus bangun!” titah ku pada tubuh ini.

“Akhirnya” tak terasa kata itu meluncur dari mulut ku.

“Ajwa kau sudah sadar. Syukurlah”

“Kak tidak marah ?”

Kakak ku itu tidak menjawab hanya saja memberikan isyarat menggeleng saja. Tapi itu membuat ku semakin keheranan karena sikapnya yang begitu aku tak mengerti selama ini.

“Tidak ada alasan kakak untuk memarahi. Kamu adalah satu-satunya yang kakak miliki”

“Kenapa kakak menangis”

“Mungkin ini saatnya kau tahu tentang keluarga kita”

“ Maksud kakak apa aku tak mengerti”

“Tapi kau harus berjanji. Untuk tidak melakukan hal bodoh seperti tadi lagi dan apa pun yang membuat kakak akan kehilangan kamu. Janji!”

“Janji kak. Apa?”

“Kakak tidak tahu apakah orang tua kita masih hidup atau”

“Maksud kakak Ayah Ibu!”

“Ayah Ibu yang kau panggil selama ini itu bukanlah orang tua biologis kita. Mereka hanya orang baik yang Tuhan kirim saat keluarga kita terpuruk. Tapi hanya kakak dan kamulah yang mereka angkat menjadi anak” mendengar itu aku sudah tidak terkejut lagi aku hanya tertunduk merenungi.

“Mungkin hanya itu yang dapat kakak ceritakan tentang kebenaran orang tua kita. Dan sewaktu kamu ke telaga kala itu Senja datang dan dia adalah kakak tertua kita. Kak Senja hendak menemui orang tua angkat kita tapi nasib berkata lain. Bukan suatu penyambutan yang dia terima melainkan caci maki yang dia dapatkan dan akhirnya kakak sebagai adiknya tidak tahan dan hal yang mengerikan itu terjadi saat Ibu menggenggam pisau buah yang waktu itu di todongkan tepat di wajah kak Senja aku balikkan sampai mengarah ke tubuhnya dan naas hal itu terjadi. Ibu merenggang nyawa di pelukan anak angkatnya sendiri”

“Ayah yang kala itu kalap karena kejadian itu hendak membalas apa yang kakak lakukan pada Ibu dan hal itu terjadi lagi pisau itu di ambil Ayah dan hendak membunuhku tapi sempat terhalang Kak Senja namun saat itu Ayah sama sekali tidak bisa menerima perbuatanku akhirnya Ayah menusukkan pisau itu ke tubuhnya sendiri” kini tangisnya semakin deras dan aku mengerti arti keringat dingin saat kakak menjemput ku ke telaga.

“Dan kamu harus tahu Kak Senja yang menanggung berbuatan kakak. Dia mencabut pisau itu dari tubuh Ayah. Menyuruh kakak pergi menemui kamu”

“Jadi sekarang dimana Kak Senja kenapa semua ini kakak tutup rapat dari ku kak. Aku perlu tahu tentang ini kakak tahu itu kan”. Tangisku pecah mendengar kenyataan pilu itu.

“Kak Senja di tahan di penjara karena dia yang memegang pisau itu terakhir kali dan sidik jarinya terlacak polisi. Dia teramat sayang pada kita. Tidak akan dibiarkan bahaya mendekati kita selagi dia hidup. Dia kakak terbaik di dunia ini, sampai rela bersembunyi di bagasi mobil sejak menjemput kamu di telaga menuju rumah baru ini”

“waktu itu kenapa kakak tidak beri tahu aku kak. Jika kakak waktu itu menjelaskan aku tidak akan seperti ini kak”

“Maaf Ajwa. Itu permintaan Kak Senja”

“Aku ingin bertemu Kak Senja”

“Tidak. Ini bukan waktunya kakak mohon bersabarlah”

Tangis kita berdua tak bisa tertahan oleh apa pun. Semua tumpah ruah dalam ruang biru itu. Aku melihat penyesalan mendalam di dalam matanya. Aku berusaha menyelami danau hatinya namun itu tidak dapat aku lakukan ada yang menutupi rapat sekali sehingga cahaya pun tidak dapat menebusnya dan itu adalah luka yang terdalam yang tak kunjung sembuh oleh waktu.

Hari berlalu cepat dari peristiwa itu aku tak berani untuk menanyakan lebih jauh tentang masa lalu yang di dalamnya aku ada namun terlindungi oleh benteng-benteng tinggi nan tebal sehingga aku tidak dapat memanjat ataupun membobol tembok itu. Tangan mungil ini hanya bisa meraba tekstur kasar dari tembok yang berada tepat di hadapanku. Terkadang aku merasa tidak adil, ingin tahu tapi itu semua dapat luruh saat aku mengingat lagi kejadian yang telah di ceritakan kakak tentang dirinya dan kak Senja kala itu.

“Ajwa nanti pulang jam berapa?”

“Asar kak. Kakak mau menjemput!”

“Insyaallah kalau tidak ada keperluan mendesak kakak jemput” kali ini senyum manis tersungging di wajahnya.

Hari ini aku merasa teraman tidak bergairah menjalani kehidupan padahal hari ini adalah dimana hari aku mulai bekerja dan mendapat penghasilan sendiri. Walaupun memilih bekerja aku masih tetap menomor satukan kuliah ku. Ah.. mungkin ini karena aku belum meminta persetujuan dari kakak.

“Gedung menjulang itu adalah tempat pertama aku bekerja”

Semoga langkah yang kini menjadi pijakan ku tidaklah goyah. Berharap jika semua ini menjadi kokoh dan menjadi awal yang baik untuk memulai sesuatu hal yang baru. Aku tidak mau hanya mencoba tapi aku ingin benar-benar serius dalam pekerjaan ini.

“Selamat pagi” seseorang menyapa

“Pagi”

“Mbak Ajwa telah di tunggu di ruang 03 lantai 4, harap segera menghadap” sambungnya

“ Ditunggu” heran

“ Iya Mbak. Mari”

“Mari” terdiam aku dibuatnya

Siapa aku? Dan untuk apa aku langsung dipanggil. Apakah aku membuat kesalahan. Perasaan tidak. Pikiranku berkecamuk menduga-duga. Sampai akhirnya aku telah berhenti berdiri di depan pintu 03 lantai 4 itu dengan hati yang ragu. Pelan namun pasti pintu itu terbuka. Lagi dan lagi sampai benar-benar terbuka lebar.

“Permisi Bapak memanggil saya?”

“Iya. Duduk”

“ Baik Pak”

“Kenapa Anda tidak memberi tahu kakak Anda”

Terkejut saat ungkapan itu terlontarkan. Bukan hanya karena kalimatnya namun aku mendapati kenyataan bahwa yang menjadi atasanku itu adalah kakak ku Bahtera Bintang. Aku tak mengetahuinya sebab aku hanya tahu bahwa dia bekerja di perusahaan sebagai akuntan bukan di perusahaan telkom seperti ini. Dari awal aku merasa aneh kenapa seleksinya begitu mudah mengingat perusahaan ini adalah perusahaan ternama di kota ini.

“Berhubung kamu sudah sampai di sini maka kakak pikir sudah tidak ada lagi yang harus di tutupi dari kamu. Sebenarnya kakak telah bekerja di sini sejak lulus SMA . Dengan kemampuan kakak yang mumpuni kakak telah dapat bekerja dengan jarak jauh. Karena teknologi saat ini semakin pesat”

“Ajwa tahu bagaimana kakak bekerja di sini?”

“ Tidak kak”

“Kakak di sini bekerja dengan kakak sulung kita. Kami memiliki misi khusus dan rahasia. Misi itu berkaitan dengan waktu, karena itu sampai detik ini misi itu belum terselesaikan”

“ Apakah misi itu mirip dengan misi tokoh Esok di novel “Hujan” kak”

“Bisa dikatakan mirip. Tapi berbeda karena ini misi nyata”

“Misi apa itu kak kenapa sampai dirahasiakan”

“Mungkin beberapa bulan lagi kamu akan tahu”

“ Dan satu lagi ada yang mau bertemu dengan kamu dia ada tepat di belakan kamu sekarang. Menolehlah”

Kejutan. Ya kejutan yang tak bisa di bayangkan sebelumnya. Orang yang beberapa tahun telah menghilang dengan meninggalkan berjuta tanya kini hadir kembali di hadapanku.

“Ali” hampir saja aku berteriak

“Dia bukan Ali tapi kakak sulung kita Senja. Waktu itu dia hendak membawa kamu jauh dari kakak karena dia tahu risiko dari pekerjaan kakak” tertunduk

“ Maksudnya Kak”

“Dia berhasil menyelamatkan kamu tapi dia tidak bisa menyelamatkan dirinya sendiri”

“Lalu kenapa kalian menyembunyikan ini dari aku. Aku perlu tahu semuanya Kak” kekecewaan mulai merasuk dalam jiwa.

“Maaf Ajwa itu yang lebih baik untuk kamu. Orang tua angkat kita dulu telah meninggal di tangan kita berdua karena mereka yang telah membocorkan pada pihak anggota kehormatan misi. Bahwa mereka bukan orang tua biologis kita”

“ Lalu apa salah mereka. Mereka berkata jujur”

“Kejujuran mereka telah melenyapkan keluarga kita. Sampai kini kita hanya tinggal bertiga saja”

“ Kenapa seperti itu kak. Apa hubungannya dengan misi kalian itu”

“Misi kita misi rahasia dan yang paling utama hanya kita yang bisa menyelesaikan misi ini secara tuntas. Karena mereka menghina dewan misi dan anggota kehormatan turun tangan. Mereka tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan diri”

“Lalu bagaimana keluarga kita kak”

Aku lihat Ali, maksudnya Kak Senja menyandarkan kepalanya pada tembok yang dingin berwarna putih itu dengan tangan di tekuk ke belakan.

“Keluarga kita. Ayah telah tiada dia meninggal di tempat lab. Misi. Entah apa yang terjadi ruangan itu terbakar”

“Lalu yang lain bagaimana Ibu dan adik?”

“Mereka menghilang kakak sudah mencarinya kemana-mana namun hasilnya nihil”

“Lalu sekarang aku hanya berdiam diri menjadi orang bodoh yang tak tahu apa pun dan telah kalian bohongi bertahun-tahun!” lantas aku beranjak pergi meninggalkan ruangan putih itu.

“Ajwa” Kak Bahtera memanggil

“Biarkan” Kak Senja menahannya saat hendak mengejarku.

SAAT AKU TAHU

Malam begitu dingin

Berselimut hujan

Rintiknya menjadi tirai bening

Tetes air ciptakan sunyi hening

Misi rahasia biar terpendam

Dalam tanah yang dalam

Pada saatnya aku tahu kenyataan

Dingin. Memang dingin, sudah beberapa bulan lalu rumah yang nyaman di sulap sunyi tak ada sepatah kata pun terucap walau hanya sekedar sapa. Kini kebersamaan tidaklah sama lagi. Karena hanya raga saja yang dekat.

“Bacalah email dari Kak Senja. Dia bilang telah mengirimkan email tadi malam”

“Iya nanti aku baca”

“Sampai kapan kamu seperti ini terus?”

Aku memilih pergi dari pada menjawab pertanyaan dari Kak Bahtera. Aku tak tahu hati dan pikiranku belum bisa berdamai dengan kedua kakak ku itu.

“Kenapa Kak Senja hobi sekali mengirimkan bentuk surat dan memberi aku teka teki. Di bicarakan langsung kan bisa kenapa harus lewat email” gerutu dalam hatiku.

Pagi berganti siang dan akhirnya petang datang menciptakan hitam legam senja yang indah kini tidaklah bermakna apa-apa. Terkadang aku berpikir kenapa aku harus hidup di dunia ini. Semua tak adil bagiku terlihat semu dengan bayangan misteri.

Hari ini adalah hari yang menyebalkan semua harapan yang ku rancang kini hanyalah menyisakan khayalan. Bekerja, mendapat kawan baru dan mendapat gaji atas keringatku sendiri. Tapi sekarang aku kembali terlunta-lunta di jalanan yang tak berujung ini. Dengan dilema yang mendalam.

“Mbak bisa tolong saya?” ucap wanita tua itu.

“Bantu apa ya bu?”

“Saya hendak menyelamatkan dunia ini. Ini genting” cemas terlukis jelas di keriputnya”

“pokoknya hanya Mbak yang bisa membatu. Tolong kalau Mbak masih ragu. Maka lakukan ini untuk keberlangsungan manusia di bumi” jelas wanita berumur itu.

“Saya masih tidak mengerti apa yang sedang ibu bicarakan ini. Tabu menurut saya” terasa alisku mendekat.

“Mari masuk dalam mobil, akan aku jelaskan diperjalanan. Karena bencana akan terealisasi oleh misi rahasia bodoh itu!” sahutnya emosi.

“Baiklah aku coba pegang ucapanmu” aku masih ragu dan hanya memegang pintu mobil wanita itu dengan beribu keraguan.

“Ambillah ini Mbak. Kalau tidak percaya” mengambil sebuah pistol dari dalam tasnya.

“Untuk apa ini?” aku terkejut bukan main.

“ Saya seorang psikolog jadi mudah saja untuk mengetahui apa yang Mbak sedang rasakan” jelasnya.

“Baiklah, memang ada keraguan di hati saya”

“Jadi bawalah pistol ini bersamamu, agar hati Mbak tenang duduk di sampingku”

“Iya. Baiklah!”

“Cepat sebelum semua terlambat “

Aku berusaha membuang rasa ragu ku jauh-jauh. Tak akan aku biarkan ini semua akan merusak apa yang telah aku pilih. Dan aku berharap tidak salah dengan mengiyakan untuk satu mobil dengan orang yang sebenarnya asing bagiku.

“Siapa yang menyupiri?”

“lihat ini. Oke mobil melajulah pada rute yang saya pikirkan” titahnya mengejutkan.

“Oke nyonya” seketika mobil menyala dengan sendirinya dan dari samping telah melilit sabuk pengaman.

“Waw..semua ini menakjubkan” ucapku.

“Dan kamu tahu siapa yang memiliki hak patennya” tanyanya.

“Tahu dia adalah BB&S singkatan nama ilmuan terhebat masa ini. Dengan usia yang belia sudah memiliki kemahiran yang luar biasa” kagumku mengingat sosok BB&S.

“Dan kamu tahu mobil secanggih ini bisa terbang?” kembali mengajukan pertanyaan.

“Tahu tapi hanya dengan deteksi mata pemilik hak patenlah yang dapat menggunakannya karena di khawatirkan akan menimbulkan masalah penerbangan”.

“Yak kamu jenius” pujinya.

“Kenapa jadi membicarakan tentang kecanggihan saat ini. Apa hubungannya dengan keselamatan penduduk bumi “

“Ada. Tentu saja ada bahkan sangat erat dengan kamu”

“Aku tak mengerti?”

“Sekarang gini coba kamu perintahkan mobil ini untuk terbang!” dia tersenyum.

“Apa!”

“Iya coba saja” nada yang mengejek.

“Oke mobil saya pegang kendalimu. Terbanglah!”

Seketika mobil itu pun melayang meninggalkan aspal kala itu. Aku terkejut bukan main di buatnya. Aku tak menyangka ini bisa aku lakukan. Tapi kenapa aku bisa memegang kendali?

“Kali ini Mbak sedang memikirkan kenapa mobil ini bisa terbang kan!”.

“Kok ibu tahu?” selidikku.

“Sekali lagi Ibu ingatkan ya. Ibu adalah seorang psikolog jadi ibu mudah saja untuk menebak apa yang sedang Mbak pikirkan”

“Ibu ini psikolog bukan peramal!”

“Ah sama saja antara dua itu” santai menjawab kegelisahanku.

“ Bu sebenarnya apa yang sedang kau ingin beritahu padaku”

“Kamu akan tahu beberapa menit lagi” ucapnya.

“Baiklah!”

Sebelas jam sudah aku merasa terkurung. Tempat ini sangat pantas di sebut penjara dari pada mobil super canggih di era ini. Bagaimana tidak aku dibuat seperti tawanan yang sedang di permainkan.

“Bu, sepengetahuan saya tidak ada yang bisa ambil alih mobil seperti ini sembarangan. Tapi kenapa saya” ucapanku terhenti.

“Karena kamu memiliki mata dan darah yang sama dengan ilmuan yang telah membuatnya” jelasnya.

“Apa!” aku keheranan.

“ Ilmuan hebat itu yang kau kagumi dia adalah tak lain kedua kakakmu sendiri”

Aku terdiam seribu bahasa tak menyangka. Apa yang aku dengar ini kenyataan atau hanya ilusi. Aku menerka wajah tua itu guna menemukan suatu kejujuran apa yang dia katakan adalah fakta. Namun, aku tak melihat kebohongan sedikit pun dari wajahnya itu. Dan akhirnya aku mengalah untuk hanya diam tak menjawab, berusaha berdamai dengan hatiku sendiri.

“Sekarang anggaplah saya adalah ibumu dan saya akan memanggilmu dengan sebutan nak”

“Baiklah terserah saja” aku memalingkan wajah.

“ Nak. Kita tidak memiliki waktu yang banyak untuk menggagalkan misi rahasia. Anak ibu terlibat dalam misi itu, namun mereka tidak mendengar nasehat ibu. Mereka nekat untuk melanjutkan misi itu. Karena otak mereka telah di cuci oleh pimpinannya. Dan sekarang ibu harus mengorbankan semua anak ibu” kata itu langsung menghentikan cerita ibu itu dan segera di ganti dengan pecahnya tangisan.

“Apa misi rahasia itu sama dengan misi yang diceritakan kakak waktu itu” gumamku lirih.

“Benar nak” ibu itu ternyata mendengarku.

“Ibu kenapa misi itu berbahaya?”

“Misi itu untuk kepentingan individual pemimpin negara saja. Mereka melihat pemikiran ilmuan hebat itu dapat dimanfaatkan melihat sisi ilmuan yang selalu mengedepankan kehidupan manusia. Pemimpin negara memanipulasinya agar misi itu terlihat untuk menyelamatkan kehidupan manusia”

“Lalu sebenarnya apa yang akan terjadi jika misi itu akan selesai di garap”

“Dalam misi itu ada pelepasan zat berbahaya yang dilepaskan ke langit menggunakan puluhan roket ulang aling. Dan itu akan menyebabkan langit kehilangan awan sama sekali. Memang hal itu menggembirakan manusia tapi itu tak bertahan lama karena bencana yang sesungguhnya akan melanda seluruh dunia”

“Sebegitu fatalnya!” aku tak menyangka.

“Iya. Di masa depan manusia tidak bisa berjalan leluasa di bumi yang indah ini. Lalu ilmuan akan berpikir keras sekali untuk menciptakan alat paling mutakhir untuk mempertahankan populasi manusia”

“Lalu apa yang saya bisa lakukan untuk menghentikan misi itu bu?”

“Hanya satu cara. Kamu harus merisert programnya”

“Bagaimana aku bisa aku tidak tau menau tentang hal itu”

“Ibu yakin kamu sudah tahu tentang misi ini bahkan sebelum ibu ceritakan”

“Apa!”

“Dari kakakmu. Beberapa hari lalu” mengingatkan aku.

Aku langsung mengingat waktu itu. Ternyata misi rahasia itu yang sedang dia perbincangkan. Tapi bukannya hanya kedua kakakku saja yang mengerjakannya.

“Sebenarnya ada seratus ilmuan hebat tapi bodoh yang terlibat di dalamnya” ucapnya kesal.

“Lalu bagaimana bu” aku mulai panik.

“ Kita harus menggagalkannya secepatnya karena satu bulan lagi pemimpin negara mau mengumumkan terhadap publik”

“secepat itu?”

“Apanya yang cepat misi itu sudah berjalan dua periode nak “

“Jadi memang sudah dipersiapkan matang-matang”

“Iya banar”

“Lalu tunggu apa lagi” geramku.

“Tidak semudah itu kita menggagalkan misi yang sudah tersusun sedemikian rapinya. Itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan Zhua”

“Zhua! Namaku Ajwa bu bukan Zhua”

“Ibu tidak salah memanggilmu Zhua” senyum mengembang berdamping keriput di pipinya.

“Tapi memang namaku Ajwa bukan Zhua!”

“Namamu Zhuannara Bintang, kakak pertamamu Senja Angkara Bintang dan kakak keduamu Bahtera Bintang masing-masing di belakang nama kalian ‘bintang’ itu menunjukkan kalian dari marga ilmuan besar yang telah tiada prof. Reans Bintang. Mungkin kamu belum tahu apa pun tentang latar belakang keluargamu sendiri.

“Apakah benar itu nama ayah kandungku?”

“Iya itu adalah nama ayahmu”

“Tapi ibu ini siapa sebenarnya. Kenapa ibu tahu segalanya tentang aku yang aku sendiri tidak tahu”

“Tak usah Zhua menanyakan itu karena untuk sekarang tidak penting siapa ibu dan dari mana ibu tahu tentangmu Zhua”

“Baiklah” aku mengalah untuk diam.

“Zhua boleh ibu minta sesuatu padamu? Satu saja” ucapnya.

“Apa itu bu”

“Ibu mau melihat wajahmu. Jadi, bukalah cadar yang Zhua kenakan. Ibu mohon” ucapnya memelas.

“ Untuk apa bu” aku dibuat heran.

“Ibu hanya ingin melihat wajah ibumu Zhua. Ibu sangat merindukan ibumu” menundukkan kepala.

“Baiklah toh ibu kan seorang perempuan” jawabku.

Tidak ku sangka apa yang dimintanya. Dan saat aku benar-benar membuka cadarku ibu itu langsung merengkuh tubuhku dalam pelukan eratnya. Terasa pelukan kerinduan yang mendalam telah mendera pada batin. Aku kebingungan untuk meredakan tangisnya. Dan akhirnya mobil super cangih mengeluarkan suara.

“Mode perlindungan pemilik hak paten akan di persiapkan, tinggal menunggu perintah” suara mesin mobil itu memberi peringatan.

“Oh Tuhan ibu sampai membuat kamu takut. Maaf kan ibu Zhua?”

“Tak apa bu. Jangan khawatir”

Akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Tempat ini sangat asing bagiku. Aku tak dapat mengetahui dimana aku berada saat ini.

Aku turun dari mobil dan menggunakan kembali cadar ku. Kami berada di sebuah bangunan besar berwarna putih. Ada banyak orang disini dan mereka semua mengenakan seragam yang mewah. Aku merasa semua mata tertuju padaku. Aku tak tahu apa yang sedang mereka pikirkan tentangku.

Beruntungnya aku menggunakan penutup aurat yang syar’i dan cadar. Itu membantuku untuk menutupi kecemasanku saat ini.

Semua orang di sini terlihat sangat disiplin sampai tidak ada satu pun yang bertegur sapa. Mereka hanya sibuk dengan apa yang sedang mereka kerjakan saja. Aku mulai tak nyaman dengan semua ini. Aku takut!

“Aku ikut ibu!”

“Baik bu” aku menurut.

“Jangan hiraukan mereka. Mereka hanya aneh melihatmu berbeda itu saja”

“Iya bu” aku tak berani untuk menanyakan lebih jauh.

“Kamu di sini bisa membuka apa saja dengan menggunakan scan wajah jadi tak usah khawatir”

“Bagaimana wajahku bisa terdeteksi?” aku heran.

“Karena kamu istimewa” jawabnya.

“Lalu tempat ini apa?” tanyaku sembari berjalan.

“Kamu tidak usah banyak menanyakan apa pun lagi. Apa tidak capek dari tadi di perjalanan bertanya terus!” ketusnya.

“Maaf bu”

Sikap ibu itu seketika berubah padaku. Aku merasa terjebak oleh perangkapnya. Aku menyesal kenapa beberapa jam lalu aku yakin dia orang baik-baik.

Aku teringat kedua kakakku aku ingin menemui mereka. Aku tak mau di sini sendiri, aku ingin pulang. Semua pandangan itu tak dapat aku tafsirkan. Yang jelas mereka sangat tertekan dan sebagian dari mereka melihatku kasihan. Entah kenapa padahal mungkin mereka lebih baik dariku.

Bagaimana tidak mereka tinggal dan bekerja dengan fasilitas yang tak biasa ini bahkan menurutku ini sesuatu yang super canggih. Memang di luaran sana sudah menggunakan mesin yang mutakhir juga tapi itu semua masih tidak ada apa-apanya jika di bandingkan dengan apa yang ada di gedung ini.

Aku berkali-kali dibuat terpana akan kecanggihan yang ditawarkan setiap langkahku. Sungguh hebatnya Tuhan menciptakan ilmuan sejenius itu di masa ini.

MISI RAHASIA

Aku yang polos. Aku yang lugu

Aku yang tak tahu. Aku yang bodoh

Tertipu oleh sosok penentram ibu

Aku yang kini menyesal. Bersalah

Hanya terdiam dan pasrah

“Zhua tunggu di ruang xxii ini ibu berikan jam perekat agar kamu tidak tersesat di sini” ujarnya.

“Baik bu” kali ini aku harus berhati-hati.

“Nanti ibu temui kamu 3 jam setelah ini”

Ibu itu tidak membutuhkan waktu lama untuk meninggalkan ruangan ini. Karena semua ruangan telah di desain sedemikian rupa dengan kemutakhiran tingkat tinggi. Aku melihat orang disekitar ku yang sedang berbincang dan satu orang lagi menyentuh jam perekat mirip punya ku dan menakjubkan lantai pualam yang datar itu menunjukan kehebatannya yaitu memunculkan meja dan kursi untuk mereka berbincang tentang sebuah masalah.

“Hallo jam perekat telah diaktifkan. Siap menunggu perintah” sesaat aku menekan salah satu tombol yang ada di jam perekat itu.

“Wow.. subhanallah” lirihku.

“Dimana ruang xxii” ucapku meminta di tunjukan arah.

“Mohon perintah diawali dengan ‘oke jam’” peringatan jam itu.

“Oke jam dimana ruang xxii” ucapku lagi.

Seketika muncul seperti layar bening dan memperlihatkan rutenya di atas jam perekat itu. Dan orang-orang juga tidak pernah membawa apa pun hanya memakai jam perekat dan bola kecil, yang aku baru tahu bola kecil itu saat di tekan akan berubah seperti miniatur refleksi. Menakjubkan.

Sekelilingku kini berubah drastis tanpa aku sadari. Dulu aku orang yang sangat suka dengan kesederhanaan waktu masih tinggal bersama dengan orang tua angkat dan kak Bahtera.

Aku tak menyangka apa lagi aku orang yang memang sangat penasaran dengan hal yang baru aku ketahui termasuk misi rahasia itu.

“Baiklah anda telah sampai di depan ruangan xxii” jam perekat itu memberi intruksi.

“Oke jam terimakasih” jawabku.

“Perintah tidak terdeteksi. Ulangi maksud anda dengan perintah yang jelas” jam perekat kembali memunculkan suara.

Aku tersenyum simpul mengetahuinya. Karena memang benar mesin hanya menerima perintah bukan menerima pujian apalagi ucapan terimakasih.

“Oke jam bagaimana saya bisa membuka pintu ini”

“Dengan meletakan ibu jari ke cermin kecil dan menatap ke kamera di depan lalu biarkan kamera memindai wajah anda” jelas jam perekat itu.

Aku mencobanya dan ya berhasil pintu itu terbuka. Aku langsung melangkahkan kaki ku dalam. Ruangan ini kosong tanpa ada apapun diatas lantainya.

“Oke jam kenapa ruangan ini kosong”

“Semua ruangan di sini kosong karena apa pun perintah bisa pengguna akan muncul dari bawah lantai”

“Oke sediakan saya sofa dan meja lalu jus alpukat”

Belum satu menit perintah itu aku ucapkan seketika lantai terbuka pelan dan mengeluarkan apa yang aku minta. Benar-benar membuat malas penghuninya.

Aku langsung menghabiskan jus alpukatnya karena aku sangat haus. Tiba-tiba aku penasaran dengan ibu yang tadi. Apakah jam perekat ini tahu tentang ibu itu.

“Oke jam jelaskan mengenai orang yang bisa memberimu kesiapa saja itu” aku sedikit ragu datanya ada.

“Dia adalah dewan kehormatan misi. Hanya itu data yang bisa di munculkan untuk di kemukakan”

“Apa!” aku terkejut.

“Lalu kalau dia dewan kehormatan misi seharusnya dia yang bisa menggagalkan misi itu bukan aku” hatiku berbicara.

Suara mesin pintu terdengar seperti ada yang membuka dan tentu saja dia ibu itu. Aku sudah tak sabar untuk menanyakan semua yang menjadikan aku menduga-duga tak karuan.

“Ajwa!” suara yang tak asing itu mengejutkan aku.

“ Kakak!”

“Kenapa kamu disini? Ini bukan tempatmu” terdengar marah.

“Aku. Aku”

“Kenapa pula email dari kakak tidak kamu baca! Itu penting. Oh Tuhan bagaimana ini.”

“Maaf aku lupa tentang email. Tadi di tengah perjalanan ada seorang ibu yang minta bantuan ku” jelasku gugup.

Kak Senja baru pertama kalinya marah kepadaku. Aku takut, dia yang kukenal pertama kali sebagai sahabatku yaitu Ali sesama relawan kala remaja. Dan hingga aku tahu dia kakakku belum lama ini.

Dia langsung merengkuh tubuhku di pelukannya dan menangis. Dia terlihat merasa bersalah tapi aku tak tahu tentang apa. Dan suara pintu itu terdengar kembali.

“Wah.. bagus kalian sudah ada di sini” ucap ibu itu.

“Nyonya apa yang kau lakukan. Kenapa kau bawa adikku kemari. Kau sudah berjanji jika tidak melibatkan dia dalam misi ini!” terkejut kak Bahtera yang meliatku di ruangan ini dengan kak Senja.

“Memangnya saya bodoh. Kalian tidak akan bisa menyelesaikan misi kalian tanpa dia. Kalian hanya mengulur-ngulur waktu saja supaya bisa menggagalkan misi ini kan!”

“Ya memang benar. Kami sudah muak dengan ambisi mu yang ingin melampaui Tuhan”

“Bicara apa kamu. Dasar orang bodoh” cerca ibu itu kepada kak Bahtera.

“Lepaskan dia” bentaknya pada ibu itu.

“ Boleh saja asal misi pertama kita uji coba” senyum sinis.

“Komputer pelihat masa depan itu belum diselesaikan”

“Jangan menipu lagi. Bahkan kalian telah melihatnya. Mendahuluiku”

“Jangan asal bicara Nyonya”

“Lalu bagaimana kalian bisa tahu kalau adik kesayangan kalian aku bawa kesini kecuali kalian telah mencoba misi pertama komputer pelihat masa depan”

Seketika kak Bahtera terdiam seperti mengiyakan perkataannya. Aku masih tak tahu kak Senja masih memelukku erat seakan kita tidak akan berjumpa lagi.

“Baiklah kita ke ruang misi sekarang” sesaat kak Senja setelah melepas pelukannya.

“Kak Senja!” teriak kak Bahtera.

“Sudahlah serahkan saja pada yang Maha Kuasa”

Ibu itu menggerakkan bola kecilnya. Dan muncullah layar transparan. Setelah memberi instruksi dinding di belakang kak Senja terbuka dan menampakkan isinya.

“welcome to the secret mission room” suara terdengar di dalam ruangan itu.

“Cepat tunjukan!” perintahnya kasar pada kak Senja.

Kak Senja melangkah meninggalkanku diikuti ibu itu di belakangnya lalu kak Bahtera menghampiriku dan menggandeng tanganku untuk ikut bersamanya.

“Maafkan aku kak ini semua salahku yang tak pernah mendengarkan kakak. Dan selalu marah dengan apa yang dilakukan kakak padaku. Padahal itu untuk kebaikanku sendiri” sesalku.

“Sudahlah ini semua sudah terjadi. Kita harus berhati-hati sekarang karena wanita licik itu akan tidak segera puas kalau misi utamanya belum juga terselesaikan”

Aku kali ini memilih menurut dan diam. Menurutku apa yang aku lakukan dan keputusan yang aku ambil ini terlalu tergesah-gesah untuk percaya pada orang yang baru saja aku kenal.

Kak Senja langsung mengoperasikan komputer tanpa layar itu karena di gedung ini hanya menyentuh saja langsung terpampang semacam layar transparan di depan orang yang hendak mengoperasikannya.

“Maaf. Komputer tidak bisa dioperasikan oleh lebih dari dua pemilik hak paten” peringatan dari mesin itu menunjukan aku juga termasuk pemilik hak patennya.

“Tuan Bahtera anda keluar. Biarkan kakak dan adikmu menjadi jaminan disini”

“Tapi Nyonya”

“Keluar!”

“Tak apa kak doakan saja yang terbaik untuk kami di sini” aku membisikannya.

“Baiklah”

Setelah kak Bahtera keluar dari ruangan ini. Barulah komputer pelihat masa depan bisa dioperasikan.

“Jadi apa yang hendak Nyonya lihat sekarang?” tanya kak Senja.

“Tahun 3030 apakah yang terjadi pada dunia ini”

Kak Senja kembali memainkan jari lincahnya itu di atas layar transparan di hadapannya. Bunyi-bunyi sentuhan seakan berirama seperti sedang memainkan piano.

“3030 dunia ini di kuasai oleh seorang wanita yang selama hidupnya berambisi menaklukkan dunia dengan tangannya sendiri. Namun banyak kebijakan tidak rasionalnya yang membuat dunia sangat bergantung padanya terlebih wanita ini memiliki komputer pelihat masa depan dan suksesnya misi rahasianya” deskripsi dari paparan 3030 kehidupan di dunia.

“Sudah kuduga!” ibu itu terlihat angkuh dan sombong.

“Kak bagaimana sekarang. Apa kita akan biarkan dunia menjadi apa yang dia inginkan”

“Kakak akan berjuang demi kehidupan ini Ajwa”

“Baiklah kak semoga Tuhan memudahkan”

“Mari kita bicarakan pada kakakmu Bahtera. Dia pasti sedang mencemaskan kita”

TUHAN TETAP ADA

Masalah apa pun bicaralah pada-Nya

Padanya yang menciptakan langit dan bumi

Tiada kata yang indah selain asmanya

“Tuhan berikanlah petunjukmu pada ku dan kakakku yang sedang berada di dalam perangkap seorang yang berpikiran picik. Selamatkanlah dunia ini, pertahankanlah kehidupan yang indah ini. Sesungguhnya memang benar kehendakmu yang paling baik untuk umatmu tapi aku mohon janganlah engkau biarkan orang seperti akan menjadi pemimpin di dunia yang telau kau ciptakan ini” doaku di sepertiga malam.

“Ajwa apa yang sedang kau lakukan” tegur kak Senja.

“Shalat kak!” aku heran.

“Shalat?”

“Iya apa kakak tidak tahu?”

Kak Senja hanya menggelengkan kepala. Aku pikir dia tahu karena dia dulu berpakaian agamis. Ternyata untuk shalat saja dia tidak mengetahuinya. Aneh.

“Bukannya kakak agama islam?” tanyaku.

“Bukan, kakak ateis” ucapnya mengejutkan.

“Lalu waktu dulu pas sedang menjadi relawan bukannya kakak berpakaian agamis seperti seorang muslim”

“Iya benar, tapi itu hanya untuk dapat menjagamu di sana karena kakak tahu Bahtera tidak bisa menemanimu menjadi relawan. Dan pakaian itu aku kenakan agar kamu bisa menerima kehadiran kakak. Itu jaga ide Bahtera”

“Apa!”

“Maafkan kakak” menunduk.

“Baiklah. Tapi apakah kakak mau menjadi muslim?”

“Kakak tidak bisa menjawabnya sekarang itu soal kepercayaan”

“Apa yang membuat kakak ragu?”

Kak Senja terdiam dan aku memandangi wajahnya agar aku temukan alasan dua ragu. Tapi wajah itu begitu murung terlihat jelas jika dia sedang mengalami dilema yang mendalam.

“Kakak akan menjadi muslim jika masalah ini bisa di tangani dan misi rahasia bisa digagalkan” ucapnya.

“Baiklah kak aku percaya Tuhanku hanya satu yaitu Allah swt. Dan dari rahmatnyalah kita akan mendapat kemudahan untuk mengatasi semua ini”

“Walau pun aku belum menjadi muslim?”

“Ya. Sebelum kakak menjadi muslim”

“Baiklah semoga Tuhanmu mendengar doamu”

“Pasti kak aku percaya”

“Mau menemani kakak ke suatu ruangan?”

“Kemana kak?”

“Ayo ikut”

Akhirnya aku menurutinya aku mengikuti langkahnya dan terhenti di depan sebuah ruangan. Aku tak tahu ruangan itu.

“Ajwa kita sudah sampai. Mari masuk”

“Ruang apa ini kak”

“Sudahlah masuk saja. Bagaimana kamu tahu kalau kamu tidak masuk!”

Benar juga yang dikatakan kak Senja. Bodoh sekali aku bertanya tentang itu. Harusnya aku tinggal masuk saja. Toh dia kan kakakku tidak mungkin menipu ku seperti ibu itu.

“Kak Bahtera”

“Cepat ke mari kita perlu menyusun strategi untuk dapat menggagalkan misi rahasia”

Seketika suasana diselimuti ketegangan dan keseriusan. Kami bertiga duduk melingkari sebuah meja bundar. Kak Bahtera dan kak Senja secara bergantian menjelaskan strategi yang telah mereka buat.

Fajar telah menampakkan diri. Kami harus segera keluar dari ruangan ini sebelum diketahui oleh Nyonya dewan kehormatan misi. Benar saja wanita itu sedang mencari kami.

“Dari mana saja kalian?”

“kami baru saja keluar kamar masing-masing” jawabku.

“Cepat kerjakan tugas kalian!” memerintah.

“Kami tidak akan melakukan apa pun hari ini. Kami ingin menghabiskan waktu bersama. Karena Nyonya telah membawa kami berkumpul di tempat ini”

“Apa tuan Bahtera. Apa tuan tidak waras menyepelekan misi ini” celotehnya.

“Awalnya kami ingin cepat menyelesaikan misi ini agar kami bertiga kembali hidup normal sebagai keluarga dan mencari pendamping masing-masing” ucap kak Bahtera.

“Iya benar. Jadi, kalau kita sekarang dikumpulkan disini buat apa kita cepat-cepat menyelesaikan misi ini. Toh kita juga sudah berkumpul di tempat ini” sambung kak Senja.

“Baiklah kalau itu yang membuat kalian cepat menyelesaikan misi ini” lirik ibu itu.

Perlahan dia menyentuh layar di hadapannya mengatur program perintah. Dan setelah siap lantai di bawahku perlahan turun, ini membuat aku panik walau pun aku tahu ini akan terjadi.

“Itu yang kalian mau jauh dari adik kesayangan kalian kan” senyum mengejek.

Kata itu yang terakhir dapat aku dengar setelah itu hening dan akhirnya aku berada di sebuah ruangan yang tak tahu pastinya dimana karena semua ruang sama saja di gedung ini. Gedung ini mirip seperti labirin menurutku. Rumit untuk dipecahkan dimana aku berada.

“Saatnya aku melakukan tugasku sebelum terlambat”

“Oke saya adalah salah satu pemegang hak paten dalam semua program di gedung ini” ucapku.

“Otoritas dapat di kenali. Silahkan memerintah” suara bergema di ruang itu.

“Oke. Antar dan beri petunjuk untuk ke ruang ixi ruang monitoring sistem” perintahku.

“Sistem mempersiapkan” jawab mesin ruangan.

“Telah sampai. Silahkan buka pintu sebelah kanan” intruksi mesin kembali bersuara.

Aku langsung masuk ke ruang kendali sistem. Aku harus membalikkan program secara halus aga semua tidak di rasakan oleh ibu itu.

“Wah banyak sekali yang harus aku lakukan.. dan aku ingat untuk ruang di sebelah xxii harus terakhir dinonaktifkannya. Dan aku siap untuk risikonya”

“Ajwa kita harus berkorban di sini. Kamu harus bisa bergerak cepat sebelum semua di ketahui Nyonya dewan kehormatan misi. Kau mengerti jangan khawatir semua orang yang kamu lihat di gedung ini bukanlah orang tapi mereka hanya robot” kata kak Senja menggema dalam penakku lagi.

“Baiklah ini demi semua orang agar di masa depan tidak di pimpin oleh orang yang salah” aku memantapkan hatiku.

Aku mulai memegang kendali karena aku memang mahir urusan teknologi aku mampu menjalankan strategi ini dengan mudah. Hanya dua jam aku dapat mengendalikan setengah gedung ini lebih dari ratusan ruangan dan robot telah di nonaktifkan kan jika ruang ini yakni ruang misi di nonaktifkan maka tinggal menghitung mundur dari hitungan tiga akan terjadi sesuatu pada bangunan ini.

Tahap akhir, aku ingin tahu apa yang sedang terjadi di ruang inti. Aku membuka program ruang inti terlebih dahulu.

“Beberapa menit lagi misi ini berhasil. Tapi aku ada satu permintaan” ucap kak Senja.

“Apa itu?”

“Aku ingin menjadi seorang muslim”

Suasana ruang itu pun hening seketika setelah mendengar permintaan dari kak Senja. Kak Bahtera lalu mengajaknya bertayamum karena dia tahu tidak mungkin memberi perintah lagi karena mungkin aku telah menonaktifkannya.

Setelah tayamum kak Bahtera menuntunnya mengucapkan dua kalimat syahadat. Ibu itu yang sebenarnya Nyonya dewan kehormatan misi hanya terdiam melihatnya.

“Ikuti aku ya kak” kata kak Bahtera.

“Baiklah”

“Asyhadu alla ilaha illallah”

“Asyhadu alla ilaha illallah” kak Senja terbata-bata.

“Wa ashadu anna muhammadarrasulullah” kak Bahtera melanjutkan.

“Wa ashadu anna muhammadarrasulullah” terlihat kak Senja sulit mengucapkan.

“Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah” kak Bahtera mengartikan bacaannya.

“Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah” kak Senja mengikutinya.

“dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah rasul (utusan) Allah”

“dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah rasul (utusan) Allah” tersungging senyum manis menempati baris kaku wajahnya.

Aku sangat terharu dengan apa yang kulihat dan kudengar di ruang inti itu. Walau pun hanya bisa melihat dan mendengar lewa ruang kendali. Aku sangat bahagia sekali.

“Semua telah di nonaktifkan. Hitungan mundu gedung ini akan mengalami ledakan” suara itu membuatku panik.

“Ini kesalahanku aku tak sengaja menonaktifkan ruang inti. Padahal aku ini mengatakan bahwa aku bahagia melihat kakakku menjadi seorang muslim”

“Tiga, Dua, Satu”

Dhummmm... tentuman maha dahsyat telah terjadi dan aku tak pernah merasa sakitnya terkena ledakan itu. Karena hanya dengan hitungan detik nyawa tidak akan selamat. Dan memang benar kata kakakku, kita harus mengorbankan jiwa kita untuk kehidupan semua orang dan membinasakan orang yang tak berhati macam dewan kehormatan misi.

“Aku tak tahu dimana kini aku berada. Semua terlihat putih dan dari kejauhan ada dua orang lelaki mengulurkan tangan dan aku berusaha menggapainya”

“Ajwa kita berhasil” sosok itu tersenyum.

“Iya kak. Aku bahagia dengan keputusan terakhir kakak” ujarku.

“Mari. Ikut bersama kakak kita temui Ayah dan Ibu. Mereka telah menunggu kita tak sabar ingin melihat anak gadisnya” yang ku yakin itu kak Bahtera.

Akhirnya aku mengikuti ajakan mereka menuju titik sinar di hadapan kami. Kami teramat bahagia karena sekian lama merindukan kebersamaan sebagai keluarga yang utuh sebentar lagi akan menjadi kenyataan.

“AGAMA ISLAM BEGITU SEMPURNA, DAN AKU SEBAGAI PENGANUTNYA MASIH BANYAK KEKURANGAN. JADI, JIKA AKU MELAKUKAN KESALAHAN, SALAHKAN SAJA AKU. JANGAN AGAMA ISLAM KARENA AGAMA ISLAM ADALAH AGAMA YANG SEMPURNA”

***TAMAT***

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post