Wildan Arsthasya Putra Budi

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Dariku untukmu

Judul: Dariku untukmu

Penulis: Wildan Arsthasya Putra Budi

SMA AL-Muslim

Pukul 20.00. Para editor dan para penulis berdiri di tengah aula. Dengan pakaian jas lengkap dengan topi dan dasinya. Hari itu hari yang spesial untuk orang-orang yang memenangkan penghargaan novel terbaik. Penghargaan yang diberikan setiap satu tahun sekali. Penghargaan ini diberikan kepada penulis-penulis yang baru saja memulai untuk menulis dan penulis-penulis yang sudah mahir. Penulis yang sudah berkali-kali menerbitkan novel mereka.

Di tengah kerumunan itu, berdiri seorang lelaki muda berumur 19 tahun. Lelaki itu bernama Radhika, pemuda yang baru saja menerbitkan novel perdananya. Novel yang dengan sangat mudah menarik perhatian banyak orang. Bahkan orang yang tidak menyukai novel saja bisa terpikat oleh novel ini. Cerita novel itu sangat menarik. Seperti seorang penulis yang mencurahkan semua keluh kesah dan rahasia yang selama ini disembunyikan olehnya.

Hingga tiba saatnya, satu orang pemandu acara berjalan menaiki tangga, dia mengeluarkan beberapa halaman kertas yang berisi nominasi-nominasi dan pemenang dari penghargaan itu. Disebutkan olehnya nama-nama yang memenangkan penghargaan itu. Hingga akhirnya, pada bagian penulis pemula disebutkan Radhika sebagai salah satu nominasinya. Radhika tidak berharap banyak, karena aula itu dipenuhi orang-orang hebat. Menurutnya peluang dia untuk memenangkan penghargaan itu 0 besar.

Pada kategori penulis pemula terbaik. Pemandu acara menyebutkan nama-nama orang yang masuk nominasi tersebut. Pemandu acara menyebutkan nama yang sangat tidak asing ditelinga Radhika. Ya, itu adalah nama Radhika. Nama pemuda itu sendiri. Pemandu acara itu pun memanggil nama Radhika untuk maju ke atas dan memberikan sebuah pidato. Radhika berjalan menaiki tangga satu persatu. Radhika sangat bergemetar. Dia sangat tidak percaya dengan hal ini. Jangan kan memenangkan penghargaan, novelnya diterima oleh editor dan bisa diterbitkan saja baginya adalah keajaiban yang menurutnya hanya terjadi sekali dalam seumur hidup. Dia tidak tau apa yang akan ia sampaikan pada pidatonya.

Radhika mengambil mikrofon dan mulai berbicara apa saja yang ada dipikirannya. Ia tidak peduli tentang apa yang disampaikan. Ntah itu bisa diterima oleh yang lain atau tidak. Yang terpenting adalah ia bisa turun dari panggung ini secepatnya. Radhika pun memberikan salam pembuka pada pidatonya.

“Selamat malam. Salam sejahtera untuk kita semua. Berdirinya saya di sini tidak lepas dari takdir yang telah disiapkan oleh tuhan. Begitu juga dengan penghargaan ini. Saya sangat tidak bisa menyangka akan hal ini.”

Radhika pun memulai pidatonya hanya berbekal kalimat yang terlintas di kepalanya. Hingga saat sampai disuatu bagian. Radhika mulai menangis di atas panggung. Para hadirin pun terlihat kebingungan atas kejadian itu. Orang-orang mulai melihat ke kanan dan kiri, bertanya kepada orang yang di sampingnya mengapa Radhika bisa menangis di tengah pidatonya.

Saat itu, Radhika mulai teringat akan masa lalunya. Masa-masa di mana ia merasa tersesat, masa-masa di mana hidup sangat terasa berat baginya. Pada saat itu, hidup Radhika benar-benar hancur. Dia tidak mempunyai tempat bersandar sama sekali. Keluarga yang seharusnya menjadi penopang dalam segala hal, yang seharusnya menjadi tempat menumpahkan segala keluh kesah. Keluarga yang sangat disayanginya harus hancur begitu saja saat seseorang mulai datang ke kehidupan keluarganya. Perempuan yang sangat dibencinya mulai merusak kedamaian keluarga Radhika. Karena perempuan itu, orang tua Radhika sering kali bertengkar hebat. Mulai meributkan hal-hal kecil yang berdampak kepada Radhika. Anak kecil yang malang, padahal di umurnya dia seharunya mendapat banyak kasih sayang. Namun yang terjadi malah sebaliknya, Radhika sering mendapat perlakuan yang tidak menyenangka. Terkadang Radhika menjadi pelampiasan oleh orang tuanya., dipukuli, dicaci dan lain-lain. Untung saja, Radhika bukan lah anak yang dengan mudah mentalnya bisa dihancurkan.

Radhika sering kali pergi ke perpustakaan untuk menenangkan pikirannya. Duduk di antara lemari-lemari yang tersusun rapih. Mengabaikan orang-orang yang menyuruhnya untuk pergi. Baginya, buku adalah satu-satunya hal yang bisa mengalihkan pikirannya dari dunia yang tidak adil ini. Buku seakan membawanya kepada dunia baru yang belum pernah Radhika lihat. Semua genre buku telah Radhika baca. Seperti, Fantasy, sains fiksi, romantis, drama, dan lain-lain. Radhika sangat sering terkagum dengan tulisan-tulisan yang ada dibuku. Oleh karena itu, Radhika mulai tertarik untuk menulis buku.

Menulis buku bukan lah perkara yang mudah. Pada awalnya tentu saja Radhika sangat kesulitan dalam pengerjaannya. Ia berkali-kali membuat tulisan namun tidak ada satu pun karyanya yang diterima oleh penerbit. Penerbit-penerbit itu sering kali membuang naskah yang dibuat Radhika bagaikan sampah yang tidak mempunyai arti. Radhika tentu sangat kesal dengan perlakuan mereka. Namun apa boleh buat, Radhika tidak mempunyai kekuatan untuk protes. Ia selalu berpikir lebih baik untuk terus menulis hal-hal yang baru dan tentu saja bagus daripada harus terus menggerutu karena hal itu.

Kala itu, Radhikaterus menulis di perpustakaan tempat ia biasa membaca. Hingga tiba-tiba seorang laki-laki tua berdiri tepat di sampingnya dan berkata.

“Aku sering melihat mu di perpustakaan ini, dan sepertinya kau sedang membuat karya ya?”

Radhika pun hanya mengangguk. Enggan untuk menjawab, karena Radhika tidak terbiasa untuk berbicara. Pengaruh orang tuanya membuat Radhika tertutup dengan orang lain.

“Hei nak. Aku kenal dengan seseorang yang sering kali membuat buku. Dia seorang laki-laki paruh baya yang tinggal diujung jalan. Setahu ku ia sedang mencari pendamping untuk karyanya. Mungkin kau bisa belajar dari dia”

Ucapan laki-laki itu pun dengan mudah bisa menyita perhatian Radhika. Bagaimana tidak, Radhika sangat ingin menjadi penulis. Ia ingin sekali bisa membantuk banyak orang dengan tulisannya. Dengan cepat Radhika mulai bertanya tentang laki-laki yang disebutkan oleh pria tua itu.

Setelah Radhika mendapatkan informasi yang cukup. Radhika pun berjalan ke alamat yang telah diberikan pria tadi. Ia berjalan melewati jalan yang dipenuhi orang-orang. Sore ini jalan terlihat sangat ramai dengan orang-orang yang berlalu-lalang ke sana ke mari. Radhika pun menelusuri gang demi gang. Alamat itu mengarahkan Radhika kepada rumah tua yang sepertinya sudah berdiri puluhan tahun. Radhika dengan perlahan mengetuk pintu rumah yang sedikit terbuka itu. Namun tidak ada jawaban sama sekali. Radhika memutuskan untuk memasuki rumah itu. Dan melihat seorang laki-laki dengan terkapar di tengah ruangan. Dengan cepat Radhika berlari ke arahnya dan berusaha untuk membangunkan pria tua itu. Pria tua itu pun terbangun dengan kaget dan dengan spontan memukul wajah Radhika.

Setelah Radhika menjelaskan semua hal. Laki-laki itu pun mengerti apa yang dimaksud Radhika.

“Oh iya, sepertinya kau belum mengetahui nama ku ya?” Tanya pria tua itu

“Iya pak” Radhika pun menjawabnya

“Panggil saja aku dengan nama Ray” jawab pria itu.

Suatu saat. Radhika bertanya kepada Ray bagaimana caranya menjadi penulis. Ray pun menjawab

“Tidak ada yang namanya jalan pintas untuk menjadi penulis. Bagiku menjadi penulis adalah di mana kita bisa membuat dunia baru kepada para pembaca. Oleh karena itu, jika kau bertanya bagaimana caranya menjadi penulis yang baik. Tentu saja caranya adalah terjun ke dunia ciptaan mu itu sendiri dan kau harus bisa membuat dunia itu berwarna dan penuh kesan. Menulis buku yang bisa membuat orang lain terkesan bukan hanya dengan memakai kata-kata yang indah. Tapi bagaimana kau bisa menyampaikan suatu hal kepada pembacamu.” Jawab Ray.

Radhika terus menyimak apa yang dikatakan Ray. Dengan tekun Radhika mencatat hal-hal yang dikatakan Ray di buku kecil yang selalu ia bawa.

“Biar ku tunjukan bagaimana caranya kau bisa membuat dunia di ceritamu senyata mungkin”

Ray pun mengajak Radhika untuk berjalan-jalan keluar. Berkeliling kota dan desa, melihat berbagai pemandangan dan merasakan tiap detiknya. Melihat berbagai macam orang dengan berbagai profesinya. Tentu saja itu adalah pemandangan yang biasa dalam pikiran Radhika. Pemandangan yang selalu dilihat dalam kesehariannya.

“Kau lihat orang tua di sana itu?” Ray berkata kepada Radhika sembari menunjuk kepada pria renta yang membawa karung berisi padi.

“Apa yang ada dipikiran mu saat melihat orang itu?”, tanya Ray kepada Radhika.

“Kasihan? Karena orang tua tidak seharusnya membawa barang berat itu” jawab Radhika dengan nada ragu

“Tapi bagaimana jika ku katakan kalau pria itu adalah orang tua yang paling bahagia di dunia ini? Orang tua yang selalu merasa bersyukur atas dunia ini, tidak pernah mengeluh, dan tidak pernah meratapi kesedihannya. Menurutnya hidup di dunia ini sudah suatu anugerah yang diberikan oleh tuhan. Mungkin kau melihat dia hanya seperti orang tua yang tidak mempunyai kekuatan apa-apa untuk mengubah takdir. Namun kenyatan yang sebenarnya, ia sudah sangat bersyukur atas takdir yang ia alami sekarang. Baginya keberadaannya di dunia ini sangat bermanfaat untuk orang lain, karena itu ia selalu bersyukur karena ia bisa hidup di dunia”.

“Radhika…” Ucap Ray.

Radhika hanya menoleh ke arahnya dan mempersiapkan diri untuk mendegarkan lagi.

“Menjadi penulis tidak hanya menuliskan apa yang ada dipikiran mu. Sebagai penulis, sudah seharusnya kita melibatkan hati kita dalam tulisan kita. Agar tiap kata yang kita tuliskan mempunyai artinya masing-masing. Dengan kau melihat sekitarmu dan memperhatikan lingkunganmu, Kau bisa membuat dunia yang kau ciptakan lebih berwarna. Kita harus bisa melihat dari pandangan yang berbeda. Tidak semua yang terlihat buruk benar-benar buruk, dan begitu juga tidak semua yang terlihat bahagia benar-benar bahagia. Kau harus sering-sering terjun ke dalam masyarakat. Dengan begitu kau bisa menemui banyak orang yang beragam, yang tentu saja ini akan membuat tulisan mu lebih luas dari sebelumnya.”

Radhika termenung, memikirkan segala hal. Kata-kata yang diucapkan oleh Ray sangat mengubah pikiran Radhika terhadap sekitarnya. Pertanyaan caranya agar bisa menjadi penulis yang dinantikan Radhika selama ini akhirnya bisa terjawab karena Ray.

Radhika pun melanjutkan pidatonya yang sempat terputus karena ia menangis di atas panggung. Berusaha melanjutkan pidatonya dengan tersengguk-sengguk. Namun Radhika tetap melanjutkannya. Sepulang dari acara itu, Radhika mengendarai motornya dan pergi ke toko bunga. Membeli sebuket bunga berwarna ungu. Radhika berjalan di tengah-tengah malam, lampu terang menyorot ke arah jalanan. Radhika terus berjalan, menaiki tangga-tangga. Radhika berhenti di depan makam yang bertuliskan Ray Hermawan. Ya, itu adalah makam Ray. Guru yang selama ini dikagumi oleh Radhika, guru yang berhasil mengubah pandangan hidup Radhika, mungkin jika tanpa Ray, Radhika tidak akan mendapatkan penghargaan ini. Mungkin juga, semua karya Radhika hanya akan berakhir di tempat sampah seperti dulu. Ray meninggal karena kanker yang sudah dideritanya sejak lama. Penyakit itu selalu disembunyikan dari Radhika karena tidak ingin membuatnya khawatir. Radhika pun menaruh sebuket bunga itu dan mendoakan Ray.

Setelah itu, Radhika berjalan menjauhi makam itu.

Profil penulis

Wildan Arsthasya Putra Budi. Lahir pada tanggal 22 Februari 2004. Anak ketiga dan satu-satunya anak laki-laki dari tiga bersaudara. Hobinya suka ganti-ganti. seperti menggambar, baca komik, miara ikan, hamster dan lain-lain. tapi yang pasti, satu hobi yang tidak pernah ganti dari zaman ia tk sampai sekarang sudah sma. sudah pasti adalah bermain game. Anak laki-laki mainstream yang sepertinya belum mempunyai hal yang mencolok.

Untuk kritik dan saran bisa menghubungi instagram @wildanartha dan [email protected] untuk gmail. dan terimakasih untuk yang sudah membaca :D

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post