Kita Satu Sama
Sekarang ini adalah jam istirahat. Suasana dalam kelas pun menjadi lebih ricuh dari biasanya karena masing-masing dari mereka sibuk mengeluh dan meminta minum sehabis latihan silat tadi pagi.
Hareesha mengeluarkan kotak makannya yang berisi tiga buah kue dadar gulung. Warna hijau kue itu terlihat sangat lezat dan selalu berhasil membuat Hareesha bersemangat menyantapnya sampai habis. Nek Riah memang tahu betul selera cucunya itu.
“Reesha, mau ke kantin nggak?” tanya Lisna dengan diikuti Naila di belakangnya.
Hareesha menggeleng sambil tersenyum, “Nggak, aku bawa bekel. Kamu ke kantin sama Naila aja ya.”
“Ya udah, kita ke kantin dulu ya,” kata Naila. Lalu keduanya berlalu meninggalkan Hareesha di dalam kelas.
“Reesha, kamu masih punya minum gak?” Andre menghampiri meja Hareesha.
“Oh, ada. Sebentar ya,” Hareesha meraba tas bagian pinggirnya berniat untuk mengambil tempat minum. Alangkah terkejutnya ia ketika tidak mendapati apapun di sana. Hareesha kembali memeriksa seluruh isi tasnya. Benar saja, ia memang tidak membawa minum hari ini.
Dengan berat hati Hareesha mencoba menjelaskan pada Andre yang kehausan itu, “Andre, maaf ya. Ternyata aku juga gak bawa minum.”
Raut wajah Andre berubah menjadi murung seketika, “Iya gak apa-apa, Reesha.”
“Jangan marah ya. Atau gini, aku mau ke kantin beli minum, kamu mau nitip nggak?” tanya Hareesha.
“Gak usah, Reesha. Uang aku tinggal sedikit lagi,” jelas Andre.
“Pakai uang aku saja. Mau, ‘kan?” tawar Hareesha yang langsung dijawab dengan anggukan oleh Andre sambil tersenyum lega, “Wah! Makasih, ya!”
“Sama-sama. Tunggu, ya!” Hareesha bangkit dari duduknya dan bergegas menuju kantin.
Baru lima langkah Hareesha keluar dari kelasnya, tiba-tiba saja sebuah bola kasti membentur dahinya dengan cukup keras membuatnya meringis kesakitan.
Lalu Hareesha memijit kecil pelipisnya sambil berusaha mengambil bola kasti yang berada di samping kakinya. Hareesha berniat menyimpan bola itu ke kelasnya, tapi langkahnya terhenti. Sosok yang ditemuinya di koperasi tadi tengah menahan tangannya.
“Balikin!” ketus Bima.
“Ini punya kamu?” tanya Hareesha.
“Cepetan balikin!” Bima mengulang perintahnya.
Hareesha mengangguk. Ia mengembalikan bola kasti itu dengan melemparnya ke arah perut Bima. Membuat laki-laki itu batuk-batuk seketika.
“Rasain! Makanya hati-hati! Sakit tahu gak kena kepala orang?! Sudah salah, gak minta maaf lagi. Dasar!” seru Hareesha sambil berjalan meninggalkan orang di depannya itu.
Sementara Bima jadi membeku di tempat. Ia terkejut dengan perlakuan gadis itu yang sadis.
***
“Reesha!” Lisna dan Naila menghampiri Hareesha yang sedang mengantre minuman di kantin.
“Eh Lis, Nai!” sahut Hareesha.
“Kok kamu ada di sini?” tanya Naila dengan kedua tangannya yang dipenuhi bungkusan cimol, bakso goreng dan satu buah es doger.
“Ternyata aku lupa gak bawa minum,” jelas Hareesha. Lisna dan Naila yang mendengarnya pun ber-oh ria.
“Eh, itu kok dahi kamu merah? Kenapa?” tanya Lisna khawatir.
“Oh, ini.. Ini kepentok pintu tadi,” jawab Hareesha ragu.
“Beneran?” Naila memastikan kembali.
“Iya, bener kok. Aku mau bayar minumnya dulu ya,” Hareesha mengalihkan topik pembicaraan mereka.
“Aku sama Naila tunggu di sini ya,” kata Lisna.
Hareesha mengangguk. Ia berjalan menjauhi Lisna dan Naila lalu menyerahkan sejumlah uang pada Ibu kantin. Dua botol air mineral kini sudah didapatkannya.
Hareesha berbalik dan berniat menghampiri kedua temannya yang menunggunya. Tapi lagi-lagi sosok itu menghadangnya. Ternyata bukan tanpa sebab, Bima melindungi Hareesha dari temannya yang hampir terjatuh karena kurang hati-hati saat membawa semangkuk bakso. Alhasil, Bima lah yang menjadi korban. Lengan kanannya melepuh akibat tersiram kuah panas.
“Ya ampun, tangan kamu!” seru Hareesha. “Pasti sakit ya?” sambungnya.
Bima langsung menggeleng, “Nggak. Gak kerasa apa-apa.”
Tidak. Tidak mungkin. Hareesha tahu Bima pasti berbohong. Entah karena tidak mau Hareesha khawatir atau memang karena gengsinya yang terlalu tinggi.
“Aku anter kamu ke UKS, ya,” kata Hareesha.
“Gak usah. Biar Kak Bima sama aku saja!” sahut Putri yang baru saja datang.
Hareesha jadi terdiam. Ia bingung harus apa. Ia hanya ingin bertanggungjawab, tidak lebih. Tapi di satu sisi, ia takut Putri akan salah paham padanya. Bukannya Hareesha takut pada anak manja itu, ia hanya malas untuk bermasalah dengan siapapun.
“Ya sudah, aku ke kelas. Kak Bima, makasih ya,” kata Hareesha seraya meninggalkan mereka berdua.
“Tunggu!" seru Bima.
“Aku maunya di antar sama kamu," sambungnya.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar