Veraya Putri Alivia Darma

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Bab 1, Kakek Pergi Untuk Selamanya

Bab 1. Kakek Pergi Untuk Selamanya.

Mobil hitam dengan catnya yang mengilap itu melaju dengan cepat melewati pepohonan. Seorang anak 14 tahun sedang duduk di kursi belakang memandang hamparan sawah yang berada di balik jendela mobilnya. Padi-padi hijau siap panen, para petani yang sedang bekerja, dan latar gunung yang besar menghiasi pemandangan asri itu. Sudah hampir 3 tahun dia tidak melihat sawah. Pemandangan sehari-harinya hanyalah gedung-gedung modern yang tinggi. Ia sedang menuju perjalanan pulang ke rumah kakek di Desa Wonorego. Kabar duka datang dari sana. Kakeknya, Aradhana Cahyadi Zad telah berpulang.

Kakek itu mempunyai seorang cucu yang pemberani. Namanya adalah Arsenio Damarendra. Seorang anak tunggal di keluarganya. Ia memakai kacamata, kulitnya berwarna sawo matang dan mempunyai rambut yang tebal dan bergelombang. Poninya hampir menutupi seluruh keningnya. Damar sangat dekat dengan kakek. Sewaktu kecil, ia suka bermain dan menghabiskan waktu bersama kakeknya. Meskipun sudah 3 tahun tidak berjumpa, kesedihan Damar saat mendengar bahwa kakeknya meninggal tetap mendalam. Suasana di mobil itu sangat sunyi dan menyedihkan. Beberapa tetes air mata jatuh melewati pipi anak itu. Ia mengingat betapa banyak kenangan yang sudah diukir bersama kakek kesayangannya. Sekarang kakek sudah pergi untuk selamanya. Mobil itu terus melaju melewati pepohonan. Hingga tiba di suatu gapura bertuliskan “Desa Wonorego”. Mereka memasuki area desa, melewati rumah-rumah sederhana yang tersusun rapi di pinggir jalan. Rumah kakek berada sedikit jauh dari sana. Letaknya di atas bukit Rogayono. Sebuah bukit yang hijau, sepi, dan tenang. Di sana, dikelilingi pohon-pohon rindang yang asri, terdapat padang rumput luas, dan permukimannya lebih sepi. Hanya ada lima sampai lima belas rumah. Kakek lebih menyukai daerah yang sepi, karena di sana kakek bisa melakukan hal yang ia suka tanpa dilihat atau dikomentari orang lain. Selain itu, daerah yang tenang juga membantunya untuk menghindari kambuh pada penyakit jantungnya.

Tak terasa, mobil sudah dekat dengan hunian kakek. Terlihat dari kejauhan sebuah rumah kayu 2 lantai yang berdiri kokoh. Terasnya dipagari oleh pagar kayu yang berbentuk pilar-pilar kecil. Di depannya ada tangga untuk naik ke teras tersebut. Dinding kayunya berwarna coklat tua, Di kanan dan kirinya terdapat beberapa jendela kaca patri berukuran sedang. Rumah itu bisa dibilang besar. Hunian kayu yang khas itu dipagari pohon-pohon yang rindang dan beberapa tanjakkan. Di sekitar rumah, ada 3 mobil yang terparkir di sana. Ramai, ada yang sedang turun dari mobil, ada yang mengambil barang-barang di bagasi, dan ada yang sedang menangis. Ayah Damar memarkirkan mobilnya di sebelah kanan mobil bermerek Nissun milik saudaranya. Lalu mereka semua turun, sapa menyapa dengan para kerabatnya. Rumah yang biasanya sepi itu akhirnya menjadi ramai karena satu anggota keluarga telah berkurang.

“Halo, kamu Damar, kan?” Sapa seseorang yang melambaikan tangannya perlahan. Ia berjalan dari mobilnya lalu mendekat ke arah Damar. Gadis itu umurnya terlihat beda satu tahun lebih muda dengan Damar. Rambutnya diikat satu ke belakang. Ia memakai jaket merah muda lembut berbahan velvet dan celana hitam panjang.

“Sonya!” Sontak Damar langsung memeluk erat sepupunya itu. Ia merasa kangen karena sudah 3 tahun lebih mereka tidak bertemu. Terakhir yang diihat pandangan matanya adalah diri Sonya waktu ia masih 10 tahun. Kalau kemana-mana pasti membawa boneka kelinci merah mudanya. Sonya Natalia Darmana, sepupu Damar yang paling dekat. Perasaan Damar tercampur aduk, terasa banyak hal yang tertunda. Ia harusnya bisa menghabiskan waktu dengan kakek dan Sonya lebih lama lagi. Sekarang Sonya sudah besar, tidak tahu masih mau diajak bermain petak umpat lagi atau tidak. Kakek juga sudah tiada, ia merasa bersalah karena tidak pulang selama waktu yang lama.

“Kakek, Sonya... Kakek sudah pergi.” Ucap Damar dengan penuh nada kesedihan. Ia menangis terisak-isak dalam pelukan Sonya, mengingat seluruh kenangan mereka bersama kakek. Kakek itu orangnya asyik, pandai, bijak, dan paling andal dalam memperbaiki mainan Damar yang rusak. Mereka sering pergi memancing bersama, pergi ke pasar untuk membeli bahan masakan nenek, dan sering bermain kejar-kejaran hingga ke ladang. Kakek sering membacakan dongeng sebelum tidur saat Damar dan Sonya menginap di kampung. Damar mengingat jelas betapa manisnya senyuman kakek. Saat ini, semua itu hanya akan menjadi kenangan yang terpajang di album memori mereka.

Sonya berusaha menenangkan Damar dengan mengelus-elus punggungnya. Ia juga merasakan hal yang sama. Merasa kehilangan. Kehilangan orang yang dia cintai, orang yang ia jadikan sebagai panutan. Banyak sekali hal baik yang sudah kakek ukir di dunia. Kakek biasanya paling suka pakai baju batik kalau keluar rumah, tapi kalau di rumah ia suka pakai kaos. Ia mengingat kakek dengan rambutnya yang diberi minyak wangi, jadi terlihat mengilap. Ia ingin kakek masih berada di sini, memeluknya dengan erat, memberinya kehangatan, dan menceritakannya dongeng yang seru. Sonya pun ikut menangis. Hatinya terasa hancur saat merealisasikan tentang semua ini. Ia tak mau kakek pergi.

Perlahan mereka melepas pelukannya. Damar mengusap air mata yang barusan mengalir di pipinya. Mereka berdua lalu masuk ke dalam rumah bersama. Di dalam, banyak orang yang sedang duduk di karpet. Jenazah kakek ditutupi oleh kain batik. Jenazahnya wangi, tidak ada satu pun lalat yang berterbangan. Semua orang di ruangan itu merasa kehilangan. Kakek akan dimakamkan sebentar lagi.

Damar bertemu dengan sepupunya yang lain. Semuanya masih kecil, ada Marysa, Sella, Mina, dan Sueb. Sueb paling suka main gundu bersama teman-teman di kampungnya. Ia bisa menghabiskan waktu dari siang hingga petang untuk bermain gundu. Dalam keluarga besar itu, Damar paling dekat dengan Sonya. Ia sudah menganggap Sonya sebagai saudarinya sendiri.

Setelah beberapa lama didoakan, jenazah kakek siap untuk dikebumikan. Para keluarga bersiap untuk berangkat ke pemakaman. Sepanjang jalan, Damar berusaha untuk tidak meneteskan air matanya. Setibanya di pemakaman, mereka semua berhenti sejenak. Orang-orang mengebumikan jenazah kakek dengan berat hati.

.

.

.

Langit perlahan berubah menjadi oranye, burung-burung terbang ke arah selatan. Angin bertiup-tiup pelan seraya membelai rambut Sonya. Ia sedang duduk melipat kakinya di tepi sungai. Buih-buih air menenangkan pikirannya. Ia memangku sebuah buku harian berwarna coklat. Sebuah pena yang ada ditangannya ia nyalakan, lalu Sonya menulis tentang hari ini. Semuanya terasa fana, orang yang disayangnya pergi. Sekarang nenek tinggal sendiri. Sebutir air mata jatuh dari wajah Sonya. Tak lama, Damar datang menghampiri. Sontak Sonya langsung menghapus air matanya.

“Hei! aku menemukan ini di album lama nenek. Ini foto kakek waktu muda. Tampan sekali ya,” kata Damar sambil menunjukkan selembar foto. Di foto itu Nampak seorang pemuda yang sedang memasangkan cincin ke jari seorang wanita cantik. Warna lingkaran cincinnya hitam. Di tengah cincin itu, ada ukiran berbentuk hati yang memancarkan cahaya.

“Damar, lihat cincin itu. Kenapa pada bagian ukiran hati di tengah itu terlihat bersinar? Kulihat sepertinya itu cahaya,” tanya Sonya bingung.

“Mungkin itu efek kamera,” balas Damar. Lalu ia bangun dari duduknya, “Itu saja sih yang ingin kuberi tahu. Ayo pulang, sudah mau malam.”

“Baiklah.” Sonya pun berdiri lalu pulang.

Saat perjalanan pulang, pandangan Damar tertuju pada sesuatu. Ada sebuah bangunan kecil di belakang rumah. Dari kejauhan bangunan itu terlihat gelap, suasana bangunan itu menyeramkan. Damar menghiraukan saja apa yang baru ia lihat, lagipula itu hanya bangunan kecil yang dibangun kakek untuk suka-suka. Ia melanjutkan langkahnya. Beberapa saat kemudian, ia tiba di depan rumah, lalu naik ke atas tangga pendek dan membuka sepatunya di teras. Di dalam, nenek dan anak-anaknya sedang menghidangkan masakan yang selesai mereka buat. Aroma ayam goreng dan sup jamur yang masih hangat melayang-layang di udara. Semua anggota keluarga berkumpul di ruang keluarga untuk menyantap makan malam. Suasananya hangat, seperti saat 3 tahun lalu. Terasa seperti rumah, nyaman, hangat, dan terasa seperti tempat untuk kembali dan beristirahat.

“Ayo dimakan, Nak!” Kata nenek sambil menunjukkan makanan dan lauknya. Selain ayam goreng dan sup jamur, di tengah-tengah karpet ada nasi yang ditempatkan di sebuah bakul, mentimun yang sudah diiris tipis, tahu, tempe, dan juga sambal khas nenek yang melegenda. Damar menyendokkan secentong nasi ke piringnya, ayam, timun, dan tak lupa juga menuangkan beberapa sendok centong sayur sup jamur ke piringnya. Beberapa jenis makanan itu tersusun rapi di piring beling yang bermotif ragam hias geometri. Piring yang biasanya didapat dari hadiah saat membeli sabun cuci atau kecap. Damar menyendokkan satu suap nasi dengan jamur lalu menyantapnya. Rasanya khas sekali, rempah-rempah dari sup jamurnya terasa hangat, kuahnya mengalir di kerongkongan, jamur yang baru dipetik tadi siang juga sangat lembut. Terasa gurih, segar, dan nikmat. Sup jamur nenek membawanya ke masa lalu, saat ia selesai bermain petak umpat, nenek suka menyuruh mereka untuk makan dahulu. Sup jamurlah yang biasa nenek masak untuk cucu-cucunya. Keluarga besar mereka mengobrol tipis-tipis selagi makan. Saling bertanya kabar, kelas berapa, dan ada yang membahas keberatannya merelakan kakek.

Makan malam keluarga itu berlangsung hangat, mereka mengulang momen 3 tahun yang lalu, rasanya hampir sama. Hanya saja sekarang kakek tidak hadir untuk ikut makan.

Setelah selesai makan, Damar pergi ke luar untuk mencari ketenangan. Dari teras ia melihat-lihat daerah mana yang kira-kira dapat menjadi tempat menghirup udara segarnya. Di sisi kanan rumah, ada sebuah halaman yang cukup luas, tidak ada mobil yang parkir di sana. Kakek menetapkan peraturan kalau halaman itu khusus untuk cucu-cucunya bermain. Tanpa pikir panjang, Damar segera turun dari tangga pendek itu dan berjalan ke arah halaman di sisi kanan rumah. Dilihatnya ada seorang gadis yang sedang berbaring santai di atas rumput. Rambutnya digerai dan terhampar di atas rerumputan. Ia mengenakan piama merah muda dengan motif garis-garis.

“Sonya, lagi apa di sini?”

“Melihat bintang, Mar,” jawab Sonya pelan. Raganya tenang sekali, seakan hanya ada dirinya dan bintang di luar angkasa sana. Lalu Damar mendekat. Ia ikut merebahkan tubuhnya ke rumput. Pegal-pegal di badannya terasa hilang seketika. Hatinya tenang.

“Wah, indah ya. Di Jakarta mana ada pemandangan bintang sejelas ini,” kata Damar terpukau sambil menatap manik-manik luar angkasa yang berkilauan itu.

“Nggak nyangka ya, kakek sudah meninggal. Aku jadi ingat saat kakek mengajak bermain kita di halaman ini. Dulu kakek sangat bersemangat saat melihat bintang bersama kita,” curah Sonya.

Lalu Damar menunjuk ke arah dua bintang paling bersinar yang saling berdekatan. “Ya. Aku ingat persis bintang yang itu kakek namai Damarendra dan Darmana.”

Sonya tersenyum mengangingatnya. Lalu ia menambahkan, “yang itu namanya Marsya, terus yang berwarna biru bersinar itu namanya Mina, yang warna sedikit keemasan namanya Sella, dan yang bersinar terang itu Sueb.”

Kami takkan pernah melupakannya, kek.

Mereka berdua tertawa-tawa, dulu saat kakek menamai bintang-bintang ini Sueb meminta bintangnya yang paling bersinar. Dia sampai merengek habis-habisan supaya bintang yang paling terang itu dinamai dengan namanya. Ingusnya keluar masuk saat menangis di depan kakek. Akhirnya kakek mengiyakannya dengan sedikit tawa. Ia mencarikan bintang yang bersinar terang untuk Sueb. Ia melihat ke sana ke mari, dan akhirnya menemukan sebuah titik putih yang terang. Entah itu adalah planet atau bintang, tapi pada akhirnya cahaya itu dinamai Sueb.

“Kamu pulang kapan, Mar?”

“Kata mama, aku di sini sampai satu minggu. Sekalian nemenin nenek, nenek pasti kesepian kalo kita cepat-cepat pulang. Kamu sendiri kapan?” “Sama, satu minggu lagi,” jawab Sonya.

“Kalau begitu, mari kita habiskan waktu di sini sebelum semuanya tidak bisa diulang lagi!” ajak Damar. Ia membayangkan apa saja yang akan dirinya dan sepupu-sepupunya lakukan untuk menghabiskan waktu dan tetap dekat.

“Mar, aku takut kalau sesudah kakek meninggal keluarga kita satu sama lain tidak akan dekat lagi. Sebelum kakek meninggal saja kita sudah nggak ketemu selama 3 tahun. Bagaimana ke depannya?” Sonya menghela napas. Raut wajahnya berubah menjadi muram.

“Aku juga takut akan hal itu, Sonya. Tapi kita masih bisa bertemu, kan? Harusnya keluarga kita makin sering pulang supaya nenek nggak kesepian. Aku yakin kita bisa pulang bareng-bareng tiap tahun,” ungkap Damar. Ia berusaha menghibur sepupunya itu.

“Aku harap begitu.” Kesedihan terpancar di wajah Sonya. Ia takut kehilangan kebersamaan yang keluarga mereka punya. Semoga saja setelah ini keluarganya bisa lebih dekat. Kakek harus melihatnya.

“Aku yakin sekarang kakek sedang terbang bersama bintang-bintang di luar angkasa sana. Menyusuri tata surya, bermain di cincin Jupiter, berkeliling bimasakti, dan berdansa dengan para bintang jatuh. Kakek pasti sedang tertawa bahagia. Suatu saat kita akan menemui kakek dan bermain bersamanya,” ungkap Damar. Ia tersenyum, dan meneteskan sebutir air matanya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post