tiara adelia listiany

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

BAB 1: DITERPA UJIAN (PETUALANGAN HIJRAH ZARINA)

BAB 1: DITERPA UJIAN (PETUALANGAN HIJRAH ZARINA)

Duka menyelimuti diriku dan keluargaku ketika proses pemakaman berlangsung. Disetiap sudut penjuru arah, hanya isak tangis yang kudengar. Aku terdiam seolah-olah dibawa kedalam Lorong-lorong kenangan Bersama Ayahku. Saat ini, usiaku masih 8 tahun dan duduk di kelas 2 SD. Namun, diusiaku yang masih sangat belia ini, Allah menakdirkan untuk memisahkanku dan Ayahku.

Tiba-tiba, sebuah memori kecil menuntunku untuk mengikutinya. Memori itu memperlihatkan kenangan Ketika Ayah mengajarkanku bagaimana cara menulis yang benar. “Nak, kalau menulis, pensilnya jangan terlalu ditekan. Supaya gak gampang pegal dan tulisannya bagus” Ujar Ayah yang tengah mencontohkan cara menulis yang baik menurutnya. Saat itu, tak ada sedikitpun rasa haru manakala Ayah dengan sabarnya membimbingku. Entah mengapa, baru terasa setelah tiada.

Lalu, memori itu menuntunku berjalan mengikutinya ke sebuah ruang, dimana ruang itu menyetel rekaman kenangan Ketika Ayah mengajakku dan Mama ke taman rekreasi ANCOL. Terlihat disana aku sedang menaiki sebuah wahana Bersama Ayah dan Mama dengan raut wajah yang riang gembira, tapia gak sedikit tegang karena wahana itu berputar cepat dan membuatku seperti ingin terbang. Kini, aku hanya bisa berdengus pelan dan tersenyum ikhlas menyaksikan ini semua.

Dan memori itu Kembali mengajakku untuk mengunjungi ribuan ruang kenangan yang tertata rapih, “kurasa sudah cukup”. Aku Kembali fokus menyaksikan detik-detik Almarhum Ayahku yang perlahan ditimbun dengan tanah.

“Rina, kirimkan beliau Alfatihah ya nak..”, “iya Ma…”

Selesai sudah proses pemakaman Almarhum Ayahku. Terlihat begitu banyaknya pelayat yang turut serta mengantar Almarhum Ayahku ke peristirahatan terakhirnya, “Ma, Rina senang deh. Ternyata banyak banget orang yang sayang sama Ayah”, aku terharu sekaligus Bahagia karena semangat mereka yang bersedia membawakan keranda jenazah Ayah dan mengiringi serta mendoakan Ayah. “Semoga Allah balas kebaikan mereka ya, Rin…”, Mama pun turut bahagia.

Satu persatu dari mereka semua melangkahkan kakinya untuk meninggalkan makam Ayahku, hanya tersisa Aku dan Mamaku. “Rina, Mama harap kamu bisa jadi kakak yang baik untuk calon Adikmu ya..”, Mama tak kuasa menahan air mata nya, mengalir sudah hingga air mat aitu jatuh ke makam Ayah. “Iya, Ma. Rina janji bakal jagain Adek dan bimbing Adek, sebagai pengganti Ayah”. Aku hanya bisa mengelus lembut bahu Mama dan mengelap air mata nya yang suci itu. Walaupun usiaku masih bocah, tapi Aku memiliki rasa iba yang dalam kepada Mama. Aku berfikir, siapa yang akan menafkahi kami.

Terlintas didalam hatiku rasa ingin cepat-cepat dewasa, “Ma, Zarina kepengen deh bisa jadi orang dewasa”, “Loh, kenapa kamu berfikir seperti itu?” dahi Mama berkerut, menunjukkan keheranannya terhadap argumenku. “Biar bisa kerja dan dapat uang yang banyak, Ma” dengan senangnya aku melontarkan kata-kata itu saking tertariknya menjadi orang ddewasa. “Soalnya, Rina suka iri sama Mas Affandra. Huh, dia tuh ya suka mamerin uangnya, tapi nggak ngasih sepeserpun buat Rina”, terkadang Ketika mengingat hal itu aku merasa kesal. Mama tertawa cekikikan, “Nak, sepupu kamu itu lucu yaa”. Melihat Mama tertawa cekikikan saja Aku bersyukur, setidaknya Mama tidak larut dalam kesedihan.

“Nak, pulang yuk. Pamit dulu yuk sama Ayah.” Dan untuk terakhir kalinya, kami memberikan sebuah doa special yang diharapkan kami untuk Ayah di alam sana. Selangkah, dua Langkah, hingga Langkah ketujuh, ku berharap para malaikat yang akan mengunjungi makam Ayah untuk bertanya-tanya padanya agar tidak berwujud menyeramkan dan membuat Ayah ketakutan. “Ya Allah, aku mohon jangan Engkau suruh para malaikat menyiksa Ayah. Aamiin”. Setelah aku mengucapkan doaku dalam hati, entah mengapa dating hembusan angin yang menyejukkan hatiku. Tiba-tiba, yang tadinya aku merasa khawayir meninggalkan makan Ayah, kini menjadi lebih tenang.

Tak terasa, jam dindingku menunjukkan pukul 16.00 WIB. “Oh ya, Aku kan harus ngaji”. Dengan sigapnya aku bangun dari tempat tidurku untuk berganti baju dan langsung mengambil tas. Tanpa seperizinan Mama, aku langsung lari meninggalkan rumah menuju masjid yang letaknya kurang lebih 10 meter jaraknya dari rumah. Hatiku terasa mengganjal sekali Ketika tidak berangkat mengaji.

Semangatku untuk bisa belajar membaca ayat-ayat Al-quran tak pernah patah meskipun aku selalu diasingkan oleh teman-teman sepengajianku. Salah satu alasannya adalah karena aku tak bisa bersosialisasi dengan baik, sebab 1 tahun yang lalu ada sebuah kejadian yang memberrikanku trauma terhadap publik. Dibully, dipaksa dan diledek oleh mereka yang tak bertanggungjawab.

Seperti biasa aku berlatih membaca Al-quran di sudut ruangan dan menyendiri. Mungkin, seharusnya anak-anak seusiaku aktif bersosialisasi dengan teman sebaya, tapi berbeda denganku. Kadang terlintas di pikiranku bahwa menyendiri itu lebih asyik, dan kita bebas berimajinasi serta melakukan hal yang kita suka tanpa gangguan orang lain.

Lagi-lagi, aku ditertawai oleh mereka karena pakaianku yang lusuh dan tubuhku yang bau keringat karena berpanas-panasan saat di makam tadi. “Ihhhh, disini kok bau nya gaenak gitu ya”, “iya ih, jijik banget kayak bau bangkai!”. Ucap dua teman sepengajianku yang Bernama Zikra dan Nadine. “Rin, Rin. Gapernah berubah kamu ya bocil. Lusuh terus, mana sekarang bau ketek, iihh ga malu ya? Rina kan cewek, masa bau” tiba-tiba sosok lelaki yang usianya jauh lebih tua daripadaku menghampiriku sembari menghujamku dengan kata-kata yang memalukan dan menyakitkan. Entah apa yang membuat lelaki itu tega mempermalukan seorang Anak kecil yang sudah jelas usianya jauh lebih muda itu. Aku yang menahan tangisan, lari menjauhi mereka semua yang tak punya hati itu, bahkan Ketika aku menangis sesegukkan mereka masih tega menertawakanku.

Aku menghampiri guru pembimbingku dan menceritakan semua yang terjadi. “Hmm, tapi mereka nggak salah juga kok, Dek. Kamu emang bau banget…” sontak aku merasa sangat sangat terpukul. Bahkan, orang dewasa yang mungkin bisa kupercaya itu bisa menyakiti hatiku. “Maaf, Mba, kok tiba-tiba ada bau yang gaenak ya?” seketika itu pula dengan sisa-sisa tenaga yanjg kupunya, aku berlari meninggalkan tempat tersebut. Dengan rasa yang tak karuan, aku berlari kencang dan hampir menabrak balita yang sedang bermain sepeda roda 3 bersama ibunya yang tengah memegang mangkuk makanan balita itu. “Woy, bocah! Pelan-pelan dong! Kalo anak saya jatoh gimana? Saya aduin Mama kamu ya!” lagi-lagi aku berbuat onar, entahlah, kurasa memang aku yang salah, salah untuk terlahir didunia ini. “M-m,maaf Bu, aku enggak sengaja”, “lain kali jalan santai aja, Dek, jangan lari-larian kayak gitu”. Mengalir sudah air mataku, aku tak bisa menahannya lagi, air mat aini mengalir begitu deras.

Mereka semua tahu bahwa Ayahku baru saja berpulang ke sang pencipta, tapi tak ada satu orang pun yang berbelasungkawa, bahkan datang melayatpun tidak. Ratusan orang yang datang ke makam Ayah tadi hanyalah kerabat, sanak saudara dan teman Ayah bekerja serta teman lama Ayahku. Aku dan keluarga ku hanyalah pendatang di daerah ini.

“Assalamu’alaikum Mama!”, berkali-kali aku mengucapkan salam dari luar rumah tapi jawaban tak kunjung terdengar. “Huu.. huu.. Mama buka pintunya..” aku berteriak sambil menangis dan terus memanggil Mama. Aku menggedor-gedor pintu rumah sehingga para tetangga datang menghampiriku. “Rina, ssshh! Jangan berisik ya, anak saya lagi tidur nanti kebangun. Kamu kenapa nangis?” ujar perempuan paruh baya itu kepadaku, “Ma-mam,mamaaa. Mama aku kemana k-kok daritadi aku panggil ga di-di buk-bukain pintuu.. Hiks, hiks, hiks..”, lalu datang anak perempuan muda yang mengatakan jika satu jam yang lalu Mama pergi mencariku karena tiba-tiba aku pergi dari rumah, saat ditengah jalan, dia bilang Mamaku mengalami pecahnya ketuban sehingga airnya begitu deras mengalir. “Dan, sekarang Mama Rina lagi dirumah sakit”, seketika aku kaget dan semakin histeris tangisanku. “Rinaaa! Ya ampun, udah udah nangisnya jangan kenceng-kenceng!” ibu paruh baya itu langsung membentak dan hampir saja memukulku, untung saja perempuan muda itu menepisnya dan menasihati ibu tersebut, “maaf ya, Bu, tolong dimaklumi, Rina ini masih kecil, wajar saja dia histeris. Bahkan orang dewasa pun akan histeris seperti ini jika mengetahui orangtuanya terkena musibah, Bu”, ibu tersebut langsung membalasnya dengan mencaci perempuan muda itu, dan pergi meninggalkan kami berdua.

“Rina, sekarang kamu ikut kakak ya ke rumah sakit” aku mengangguk pelan dan dia langsung menggendongku sambil mengelus lembut kepalaku.

Sesampainya di rumah sakit, Kakak perempuan itu membawaku ke ruang rawat inap. Dan benar saja, Mama berada di ruangan itu dalam kondisi tidak sadarkan diri. Setelah redanya tangisanku tadi, sekarang aku Kembali menangis lebih histeris dari yang sebelumnya. “Cup cup cup, Rina jangan nangis kayak gini yaa, nanti Mama Rina sediih lho, kalo Rina seperti ini” ucap Kakak itu dan dia menuntunku untuk keluar dari ruangan itu menuju kantin rumah sakit. Dia menyuguhkanku semangkuk mi instan kuah hangat dan segelas the manis hangat. “Nah, Rina makan dulu ya.. jangan nangis lagi, oke?”, “iya k-kak, makasih ya kak”. Perlahan rasa sedihku mulai hilang karena kakak itu yang terus mengajakku bermain tebak-tebakkan, sampai suatu saat aku penasaran siapakah Namanya, “Oh ya, nama kakak siapa? Kok Kakak bisa tau nama aku?”, “namaku Indah, ya aku tau kamu karena setiap hari Kakak lihat kamu ngaji”. Aku pun heran, dan bertanya lagi padanya “Kak Indah emangnya ngaji juga?”, “enggak, Dek”. Aku pun semakin heran dan bertanya Kembali padanya “loh, nggak ngaji tapi kok bisa tau aku sih, Kak?”, “Hehe iya, kakak nganterin Adiknya Kakak berangkat ngaji. Karena rumah kami lumayan jauh dari Yayasan”. Belum usai rasa penasaranku terjawab karena ingin menanyakan hal yang lain, tiba-tiba datang seorang laki-laki yang cukup tinggi dan sepertinya usia dia lebih muda dari Kak Indah.

“Kak, bagi uang dong” ujar sosok laki-laki itu yang ternyata dia adalah orang yang ikut membullyku saat di Yayasan tadi. “Loh, kakak in ikan yang tadi ikutan bully aku!” karena saking kesalnya, aku langsung membentak lelaki itu dihadapan kak Zahra. “Oh, inikan bocah kecil yang bau itu?! Ngapain kamu deket-deket Kakak saya? Mau nularin baunya ya?” ucap dia sambil tertawa dan menutup hidungnya dengan kedua tangannya. “Cukup sudah!, Ilham kamu kenapa sih? Dia massih kecil lho! Ga sepantassnya kamu caci maki dia!”. Laki-laki yang ternyata Bernama Ilham itu langsung menunduk diam dan Kembali menadahkan kedua tangannya dihadapan Kak Zahra.

“buat apa?” tanya Kak Zahra dengan raut wajah marahnya. “Buat, ya buat biasa”, “kalo buat main PS, Kakak ga mau kasih!” bentak Kak Zahra kepada Adiknya itu. Lalu Ilham pergi meninggalkan kami berdua dengan raut wajah kesalnya. “Maaf ya, Rina. Si Ilham emang gitu anaknya, main PS terus”. Aku hanya bisa tersenyum kecut menanggapi perkataan Kak Zahra. “Kenapa dia ga minta uang sama Ayah dan Mama nya? Kenapa harus minta sama Kakak?”. Dari sinilah aku mengetahui silsilah keluarga Kak Zahra, ia menceritakan semua hal yang mana aku hanya bisa mengangguk dan mendengarkan karena aku kurang mengerti saat itu. Ia bercerita bahwa Ilham adalah Adik tiri dari pernikahan ibu kandung dan Ayah tirinya. Dari pernikahan itu, ibunya memiliki 3 buah hati yang mana semuanya berjenis kelamin laki-laki. Kak Zahra adalah anak tunggal dari pernikahan ibu dan Ayah kandungnya. Lalu ia bercerita bahwa sejak perceraian kedua orangtuanya itu, ia diasuh oleh Ayah kandungnya. Namun tanpa sedikitpun rasa kasihan, Ayah kandungnya pergi meninggalkan Kak Zahra demi tinggal Bersama perempuan yang ia cintai. Ibu tirinya tak rela jika Zahra harus tinggal bersamanya dan menjadi pengganggu di kehidupannya.

Kak Zahra dititipkan di panti asuhan selama kurang lebih 18 tahun. Ketika dewassa, ia memutuskan untuk keluar dari zona nyaman dan mencari penghasilan sendiri. Dan kini, di tahun 2011 ia berusia 20 tahun. “Sudah 2 tahun, Kakak kerja di kantin rumah sakit ini” begitu ucapya. Tak lama kemudian, suara adzan maghrib berkumandang, “Wah, yuk sholat, Dek”. Usai sudah perbincangan kami, Aku dan Kak Zahra pergi menuju musholla yang tak jauh dari tempat kami berada.

Saat sholat maghrib telah usai dilaksanakan, Kak Zahra berpesan kepadaku, “Rina, jangan lupa doain Mamanya, Ya. Doa anak yang sholihah pasti cepat dikabulkan. Rina mau kan kalo Adik dan Mamanya Rina selamat?”, “tentu dong, Rina mau lihat Mama dan Adik Rina bisa sehat dan bisa main bareng Rina”. Lalu sehabis itu aku memanjatkan doa, aku menengadahkan kedua telapak tanganku ke depan wajah. Belum aku menyebutkan permintaan, air mata sudah membendung di kelopak mata ku. Lama-lama, aku tak kuasa menahannya, air mat aitu mengalir deras. Ku panjatkan segala doa yang kuinginkan, bahkan aku meminta kepada tuhan agar bisa bekerja dan mendapatkan uang meskipun usiaku masih sangat kecil. Mungkin terdengar lucu, Tapi menurutku pada saat itu adalah hal yang kudambakan.

Tak terasa, waktu menunjukkan pukul 21.00 dan Mamaku belum juga siuman. “Rina, tenang ya, lama-lama Mama mu pasti bangun. Emang diperlukan waktu yang cukup Panjang supaya pulih”, aku hanya mengangguk pelan dan menundukkan pandangan. “Sekarang kita pulang”, “aku takut di rumah sendiri, Kak” jawabku dengan nada suara yang pelan. “kita pulqng ke rumah Kak Zahra, mau kan? Sebenernya bukan rumah yang besar sih… hanya kos an sepetak, tapi tidur dijamin nyaman, Dek” lalu aku menunduk dan tersenyum, dengan perhatiannya, Kak Zahra menggendongku. Aku mengantuk dan terlelap dibahunya yang kokoh itu.

Mentari mulai terbit “pokoknya pagi ini aku harus bisa melihat Mama bangun”. Aku bangun dari tidurku dan tidak melihat Kak Zahra, “perasaan Kak Zahra semalem ada disampingku, kok ga ada ya. Di kamar mandi juga ga ada bunyi air”. Aku merassa bingung dan sedikit takut karena baru pertama kali menginap di rumah orang. Perlahan ku buka gorden jendela dan melihat pemandangan diluar kos an yang begitu indah. Lalu, ku buka jendela dan ku hirup udara segar, “wahh, kos an nya Kak Zahra banyak banget bunga dan tanaman, seger dan sejuk bangett udaranya”, aku sangat gembira karena tak pernah ku temui di lingkungan rumahku tanaman yang indah dan banyak seperti ini. Tak lama kemudian, Kak Zaahra dating membawa dua bungkus makanan yang sudah kuduga pasti itu adalah nasi uduk. “Kakk, nasi uduk yaa?”, “iyaa, Dek, mari makan…”.

Dengan lahapnya ku menyantap sebungkus nasi uduk dengan sambal hingga tersedak, “uhuk uhuk.. Kakk tenggorokanku panass bangettt, uhuk uhuk” ucapku sembari mengkipas-kipaskan tangan dan bergelagat seperti cacing kepanasan. “Waduhh, pelan-pelan dong, Dek. Nanti kalau pingsan, gimana?. Nih minum duluu”. Langsung saja ku raih gelas yang penuh dengan air bening itu lalu meneguknya dengan cepat. “Huaaahh, akhirnyaaa”, kak Zahra tertawa dan akupun ikut tertawa karena lucunya reaksiku Ketika tersedak tadi.

“Oh ya kak, aku mau ke rumah sakit jenguk Mama”, “oh ya, Kakak lupa bilang. Mama kamu udah siuman dan ada satu kabar yang pastinya kamu seneng bangett” aku terkejut dan merasa bersyukur sekali Ketika tahu Mama sudah tersadar, “apa lagi, Kak?”, “adikmu sudah lahir, Rin”, saat itu rasanya aku ingin kopral dan lompat setinggi mungkin karena senangnya mengetahui adikku telah lahir. “Sujud syukur, Dek”, “nanti kita tengok sama-sama ya”. Tak sabar rasanya ingin bertemu dengan Adikku yang pastinya lucu dan menggemaskan.

Sesampainya di rumah sakit aku langsung memeluk erat Mama yang sedang menyusui adikku itu. “Ma, maafin Rina, ya. Kemarin Rina pergi ngaji ga izin dulu sama Mama” ujarku sambal menangis terharu dan merasa bersalah. “Alhamdulillah, gak apa nak. Yang penting sekarang Mama bisa liat kamu lagi”, kami saling berpelukan dan bersukacita. “Alhamdulillah, turut senang atas kejadian ini..” senyum Kak Zahra menambah rasa bahagiaku. “Nak, Kakak Zahra ini yang nolong Mama.. dan kebetulan Mama udah kenal dia sejak lama. Karena Mamanya Kak Zahra ini teman SMA nya Ayahmu”, “waah, aku seneng, Ma, bisa kenal sama orang baik seperti Kak Zahra”. Kamipun saling berpelukan dan berbahagia atas lahirnya Adikku.

Adikku lahir premature, berat badannya masih sangat ringan. Berdasarkan usulan Mama, Aku, dan Kak Zahra, kami setuju untuk memberinya nama “Rasyad Sky Alfaith Gazali” yang mana Rasyad berarti anak yang mendapat petunjuk, Sky berarti langit, Alfaith berarti anak yang beriman dan Gazali yang berarti seorang ahli Quran. Kami berharap jika kedepannya Rasyad dapat menjadi anak yang berguna bagi agama, nusa dan bangsa.

Hari demi hari berlalu, kini memasuki hari ke 100 setelah Rasyid lahir. Mama berencana untuk pindah tempat tinggal ke kota Jakarta. Hari ini, pukul 09.00 kami merapihkan pakaian dan barang-barang yang masih ingin digunakan. Jadwal keberangkatan pesawat tinggal 5 jam lagi dan aku sibuk menjaga adikku sembari menunggu mama selesai berbenah. “Ma, emangnya Dede Rasyad udah dibolehin naik pesawat?” tanya ku, “kalau usianya sudah tiga bulan, sudah boleh, Nak”. Bertambah satu ilmu, aku memang merasa sangat senang Ketika aku bisa mengetahui hal-hal yang belum tentu anak seusiaku mengerti.

Kami berpamitan kepada semua tetangga yang kami kenal selama delapan tahun ini dan tentunya juga berpamitan kepada Kak Zahra. “Hati-hati, ya. Zarina anak yang pintar, apalagi pengetahuan agamanya, ditingkatkan terus ya disana. Jangan lupa belajar dan yang terpenting harus menjaga Kesehatan, oke?” ujar Kak Zahra dengan raut wajah yang menahan kesedihan dan memaksakan untuk tersenyum itu. ‘Oke, Kak!. Zarina janji!, kota Padang ini ninggalin kenangan baik dan buruk buatku, aku akan terus ingat keindahan kota ini!”, “iya betul, terutama untuk Kak Zahra. Terimakasih atas tiga bulan terbaiknya, ya. Jaga Kesehatan, saya yakin kita pasti bisa bertemu lagi suatu saat nanti. Alhamdulillah sekarang udah ada telepon genggam, jadi mau kontekan pun mudah”. Kami saling berpelukan dan bersalaman, terimakasih kota Padang, engkau meninggalkan sejuta kenangan, walaupun lebih banyak kenangan buruknya, tapi aku tetap bersyukur dibesarkan di kota yang kaya akan rempah-rempah ini. Selamat tinggal, Padang.

Dalam surah Al-baqarah ayat 286, Allah berfirman:

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”

Maka dari itu, percayalah jika Allah pasti akan memberikan kemudahan dari setiap ujian yang kita lewati. Dari bab 1 cerita ini kita belajar bahwa pentingnya bersyukur, harfta yang sebenar-benarnya adalah orangtua, tanpa orangtua kita tidak mungkin bisa hidup dengan Bahagia. Bagi kalian yang masih memiliki orangtua yang lengkap, jagalah mereka seburuk apapun mereka. Bagi yang hanya tersisa ibu ataut sebaliknya, jaga ia, ia adalah satu-satunya harta yang tersisa dihidupmu. Dengan doa mereka, hidupmu pasti tentram. Karena ridho orangtua, adalah ridhonya Allah.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Bagus kak, semangat ya.

09 Nov
Balas



search

New Post