BAB 1 Putih Biru
“Setelah Mbak baca tiga kali, tirukan bersama ya, Dik. Alam nasyroh laka shodrok. Alam nasyroh laka shodrok. Alam nasyroh laka shodrok. Bersama, satu, dua, tiga.” Nur memandu adik-adik di depannya dengan fasih. Alunan ayat suci mulai terdengar dari belasan mahasiswi yang duduk melingkar. Sesekali Nur membenarkan pengucapan yang keliru.
Masjid kampus tampak ramai sore itu. Beberapa lingkaran lain yang melakukan kegiatan serupa tampak memadati pojok-pojok masjid. Pemandangan seperti ini lazim ditemukan tiap sore di berbagai area kampus. Kampus memang menggalakkan pengajaran baca Alquran bagi tiap mahasiswa baru yang dikemas dalam bentuk kelompok-kelompok kecil. Kelompok yang dipimpin seorang tutor ini bebas melakukan kegiatan pengajaran di seluruh area kampus selama tidak mengganggu kegiatan perkuliahan. Hal inilah yang membuat salah satu kampus di Kota Malang tersebut menjadi rujukan bagi kampus-kampus lain terkait penanganan yang rutin terhadap pembelajaran Alquran.
“Shodaqallahul’adzim.” Kelompok belajar yang dipandu Nur tampak menutup kegiatan sore itu. Nur membuka ponselnya setelah menyalami satu persatu adik-adik bimbingannya yang bergegas membubarkan diri. Banyak pesan yang masuk, namun ada satu pesan yang membuatnya tersenyum. “Jangan lupa nanti malam kumpul bareng yang lain ya, nanti aku shareloc ke kamu.” Begitu isi pesan yang dibacanya. Segera jari Nur mengetik balasan, “Oke, siap bos.”.
Menyadari waktu telah beranjak senja, Nur melangkahkan kakinya menuju rumah kos. Hatinya berbunga mengingat bahwa teman-teman sekolahnya saat SMA mengadakan acara reuni kecil-kecilan nanti malam. Tak sabar rasanya ingin segera bertemu mereka. Suara tartil yang terdengar lamat-lamat dari masjid kampus dan langit yang perlahan menguraikan warna merah muda mengiringi langkahnya pulang.
~~~
Suara bel yang terdengar membuyarkan konsentrasi siswa yang sudah duduk dengan gusar sejak lima menit yang lalu. Mereka segera menghambur menuju kantin begitu Bu Winda, guru matematika yang terkenal galak itu keluar dari kelas. Pelajaran mematikan dengan guru yang menyeramkan adalah kombinasi yang sukses membuat perut mereka lapar. Puluhan siswa berseragam putih biru memadati kantin hingga tempat yang sejatinya luas tersebut terlihat sesak. Nur menghela napas menyaksikan keributan itu. Alamat kebagian tempe goreng aja nih, batinnya. Seruan Rina, teman sekelasnya, membuat Nur menghela napas untuk kedua kalinya, kali ini helaan lega. Rina sudah membawa dua piring siomay yang terlihat menggiurkan. Beruntung ia memiliki teman yang berkoneksi baik dengan ibu kantin. Entah obrolan seperti apa yang dilakukan Rina tadi pagi dengan ibu kantin sehingga bisa mendapatkan dua piring siomay dengan cepat.
“Makan di depan kelas aja, yuk. Kayaknya sepi deh.” Tanpa menunggu jawaban Nur, Rina sudah melesat menuju kursi yang ada di depan kelas mereka. Nur segera mengikuti langkah Rina sambil sesekali melirik ke lapangan basket yang membatasi deretan kelas putri dengan kelas putra. Terlihat sekumpulan anak yang asyik melempar bola tanpa memedulikan bel istirahat. Sekolah mereka memang memisahkan kelas antara siswa putra dan putri. Maklum, peraturan pondok melarang adanya interaksi yang sering antara santri putra dan putri. Kendati kelas-kelas mereka hanya dipisahkan oleh lapangan basket dan lapangan upacara.
“Ngeliatin siapa sih? Anak MTs kan nggak ada yang ganteng.” Celetukan Rina yang kini duduk di sebelah Nur membuyarkan konsentrasinya.
“Iya emang nggak ada kok. Buat kamu kan yang ganteng cuma cak-cak MA.” Nur balas mengolok Rina yang mengidolakan Gus Nizam, putra Kyai yang bersekolah di MA. Rina hanya tertawa mendengar jawaban Nur.
“Eh, kamu sudah kerjakan tugas dari Ustadz Rizal?” Tanya Rina.
“Halah mengalihkan perhatian segala. Sudah sih, tapi nggak tau benar atau tidak.” Jawab Nur sambil tertawa menggoda.
Bel masuk yang melengking membuyarkan obrolan mereka berdua. Bergegas mereka mengembalikan piring ke kantin. Keramaian di kantin pun segera mengurai. Begitupun lemparan bola di lapangan basket. Nur menyembunyikan senyumnya sembari berjalan kembali ke kelas. Masih terekam dengan jelas di kepalanya sosok lelaki bertubuh ramping yang sedari tadi sibuk mengoper bola di lapangan basket. Ia tidak tahu siapa lelaki tersebut. Hanya saja, ia tahu bahwa perhatiannya telah dicuri.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar