Antara Qonita dan Adiba || Full Episode
Adiba memasuki ruang kelas dengan murung. Hatinya berdebar. Keringat dingin mengalir di keningnya. Langkahnya gemetar. Pandangannya tertunduk ke bawah.
Dibukanya pintu kelas dan ia berjalan menuju bangkunya. Langsung dikeluarkannya buku pelajaran. Saat itu, hari masih sangat pagi. Masih ada waktu 45 menit sebelum bel berbunyi. Dikelas, baru ia sendiri yang hadir.
Dengan jemarinya, dibukanya lembaran kertas dihadapannya. Hari ini ada Tray Out. Meski semalaman ia belajar, Adiba tetap tak yakin akan mendapatkan nilai yang maksimal. Bagitu terhipnotis ia dengan untaian kata dan barisan rumus didepannya. Huuuh...
Perlahan, kelas mulai penuh oleh siswa yang baru datang. Adiba masih tetap menekuni buku didepannya. Akhirnya, belpun berdering. Pak Imron masuk ke dalam kelas. Pak Imron terkenal adalah guru yang sangat memperhatikan kedisiplinan. Karenanya, dia hanya memberikan waktu terlambat 10 menit setelah bel. Lebih dari itu, akan ada tugas tambahan untuk murid yang terlambat.
7 menit setelah Pak Imron masuk ke kelas, pintu kelas di buka. Qonita. Ia terlambat lagi. Tapi karena ia hanya terlambat 7 menit, ia diizinkan masuk. Setelah itu, kelas menjadi hening. Hanya suara Pak Imron saja yang terdengar.
"Kumpulkan buku-buku dan tas kalian di depan. Yang ada di meja kalian hanya alat tulis dan air minum saja!" kata Pak Imron.
Seluruh siswa segera meletakkan tas dan buku mereka didepan dan langsung duduk kembali di meja masing-masing. Setelahnya, Pak Imron segera membagikan kertas ulangan yang harus dikerjakan.
"Waktu mengerjakan adalah 120 menit untuk 50 soal!" Kata Pak Imron
Adiba tersentak. Sebelumnya, ia tak pernah mendapat soal sebanyak itu. Tapi dia berusaha tenang dan mengendalikan pernafasannya. Baiklah! Hadapi dan jangan lari!
10 menit berlalu. Tapi baru 2 soal yang berhasil dijawab Adiba. Akhirnya, setelah 30 menit berlalu, dia berhasil menjawab 15 soal. Lumayan.
Dimenit-menit terakhir, Pak Imron mengingatkan,
"Waktunya tinggal 10 menit lagi. Tetap tenang dan fokus ya..."
Adiba berusaha semaksimal mungkin. Tangannya semakin bergetar. Tapi akhirnya, ia berhasil menyelesaikan semuanya. Seketika, ketenangan mengalir dalam tubuh Adiba.
Waktu istirahatpun tiba. Adiba bermain bersama Annisa. Seperti biasa, mereka bermain petak umpet. Dan saat Adiba sedang bersembunyi, tak sengaja, dilihatnya Qonita yang sedang duduk di bangku taman sambil membaca buku. Kelihatan tenang sekali. Adiba tau buku apa yanv dibaca oleh Qonita. Pasti Buku Novel. Qonita sangat suka membaca buku novel.
Adiba termenung. Ia merasa sudah sepantasnya Qonita menjadi bintang kelas. Karena selama ini prestasi nya yang selalu berhasil membuat semua guru kagum padanya. Disetiap perlombaan, hampir semua ia menangkan. Adiba berpikir, mungkin saja Qonita menjadi sangat cerdas semenjak lahir. Karena ia tak pernah melihat Qonita membaca buku selain novel. Padahal kan, supaya kita lebih cerdas, mestinya harus baca buku pelajaran dong. Sedangkan Adiba, selama apapun ia belajar, sepertinya nilainya tetap biasa-biasa saja.
"Nah, ketahuan kamu! Lagi ngapain siih?" tanya Annisa yang tiba-tiba muncul.
"Astaghfirullah! Jangan kagetin aku dong, Niss" Jawab Adiba karena kaget.
"Ya lagian salah sendiri. Dari tadi aku ngawasin kamu lho. Ngapain sih? Melamun terus kamu dari tadi? Hayoo... Mikirin siapa?" tanya Annisa menggoda.
"Enggak kok. Aku cuma mikirin tentang Qonita." jawab Adiba.
"Oh, dia. Aku tau kok. Dia itu kayaknya pantes kalo disebut Ratu Kelas. Drama banget soalnya. Tapi kadang, Qonita bisa jadi berani banget. Kayak singa jantan yang kelaparan." kata Annisa.
"Maksudnya apa?" Tanya Adiba.
"Kemaren itu, aku lagi jalan-jalan di taman. Tiba-tiba aku di ganggu in sana adek kelas. Aku di kata-katain gendut lah. Uh.. Macem-macem deh. Nah, tiba-tiba Qonita muncul. Dia teriak-teriak ke adek kelas itu kalau gak boleh berkata kasar. Bahkan Qonita mengancam akan mengadu pada guru kalau aku masih juga diganggu. Qonita menyuruhku menjauhi adek kelas itu. Dan yah... Sekarang aku gak digangguin lagi deh." Jawab Annisa panjang lebar.
"Iya. Aku iri sama Qonita. Kalau aku sih, gak akan berani. Yang ada cuma bingung mau ngapain." Kata Adiba.
"Dah lah. Kita main lagi." Jawab Annisa.
Keesokan hari nya, Adiba masuk kelas seperti biasa. Dan ia datang paling awal lagi. Tak lama, Qonita masuk ke dalam kelas. Tak biasa nya dia datang tepat waktu. Qonita menyapa Adiba.
"Hai, Dibaa. Kamu deg-deg an enggak sama hasil TO kemaren?"
"Jelas dong. Masa enggak? Oh iya. Ngoming-ngomong, aku yakin kamu pasti dapet nilai tertinggi lagi." Jawab Adiba
"Ah. Belum tentu. Akhir-akhir ini nilaiku sering di ungguli oleh Ghazi. Mungkin aku yang kedua. Hehe" Kata Qonita.
"Masuk 10 besarpun masih untung. Kalau aku sih, biasa-biasa saja. Paling dapet 80 kebawah. Paling besar juga 85." Kata Adiba.
"Gak papa. Kalau terus berusaha, pasti nilaimu bisa lebih baik." Kata Qonita menyemangati.
"Tapi aku gak yakin..." Jawab Adiba dengan lirih.
"Kalau aku bisa, kamu pasti juga bisa, Adiba." Jawab Qonita sambil mengedipkan mata.
Akhirnya, hasil TO pun diumumkan. Pak Imron mengumumkan nilai dari 10 terbaik. Terbaik pertama adalah Ghazi, sesuai dugaan Qonita. Seisi kelas menyambutnya dengan tepuk tangan.
"Dan terbaik kedua adalah... Adibaa!! Selamat yah, Adiba. Kali ini kamu sudah berusaha keras. Nilaimu banyak meningkat. Pertahankan!" Kata Pak Imron.
Adiba terkejut. Apa?! Bahkan dia lebih baik dari Qonita, teman yang sangat dipuja olehnya? Seisi kelas langsung sunyi. Rupanya semua terkejut saat tau bahwa kali ini Adiba mendapatkan kehormatan dengan nilai terbaik kedua. Suara Pak Imron memecah kesunyian.
"Terbaik ketiga adalah... Qonitaa!! Selamat Qonita..."
Adiba tetap tak menyangka. Tangannya kembali bergetar. Adiba masih merasa seisi kelas menatap ke arahnya. Setelah pengumuman nilai usai, waktunya istirahat. Teman-teman Adiba mengelilinginya dan bertanya perihal nilainya dengan pandangan menyelidik. Adiba hanya menjawab, bahwa setiap malam dia belajar. Tapi ternyata banyak temannya yang tidak percaya. Mereka menyangka Adiba telah berbuat curang. Mereka menyangka Adiba telah berbuat hal yang tidak seharusnya. Tapi Adiba berusaha menyadarkan mereka.
"Tidak, teman-teman. Aku jujur. Setiap malam aku selalu menyempatkan diri untuk belajar."
"Aku gak percaya! Qonita aja masih kalah dari kamu. Masa iya kamu bisa mengungguli Qonita yang jadi bintang kelas?!" Jawab salah seorang temannya.
"Aku juga gak percaya."
"Aku juga!"
Akhirnya mereka meninggalkan Adiba sendirian. Adiba hanya diam. Dia tak ingin di tinggal kan teman-teman nya. Tapi ternyata, Qonita mendengar semuanya. Qonita selalu bisa menolong temannya yang dalam kesulitan. Qonita menghadang teman-teman yang tadi mengerumungi Adiba.
"Kenapa kalian gak percaya sih? Gimana kalau emang betul Adiba setiap malam selalu belajar?" tanya Qonita.
"Bukan gitu, Qon.. Tapi kami heran, kok bisa Adiba jadi lebih hebat dari kamu? Padahal biasanya kan, kamu yang nilainya tertinggi." Jawab Naila.
"Ah, enggak juga kok. Buktinya Ghazi bisa lebih hebat dari aku." Kata Qonita.
"Iya. Tapi kan Ghazi emang dari dulu nilainya bagus-bagus. Jadi ya wajar kalo dia bisa ngunggulin kamu." jawab Naila lagi.
"Hufftt... Kalian ini ada-ada aja. Udahlah. Aku gak tau harus ngapail lagi!" teriak Qonita.
Qonita berjalan sambil menghentak-hentakkan kaki untuk mempertegas kemarahannya. Sementara itu, seisi kelas langsung menyorakinya, "Sok aksii!!"
Adiba bingung. Tak tau apa yang akan dia lakukan. Karenanya ia bangkit untuk menyusul Qonita. Dicarinya Qonita di berbagai tempat kesukaannya. Adiba tau Qonita paling suka membaca buku di perpustakaan. Jadi, itulah tempat pertama yang akan diperiksanya. Tapi kata Kak Aini, penjaga perpustakaan sekolah, dia belum masuk perpustakaan seharian ini. Aini berjalan dengan lesu.
Tiba-tiba, dari sudut matanya dia melihat Qonita sedang duduk di bangku taman. Kelihatannya seperti menangis. Tapi sebelumnya, Adiba tak pernah melihat Qonita menangis. Dihampirinya Qonita, dan di tepuknya bahu temannya itu.
Qonita kaget. Dia segera meluruskan sikapnya. Dia memandang Adiba dengan alis yang hampir bertaut dan matanya yang selalu tajam menyorot.
"Ada apa?"
Adiba tergagap oleh sikap Qonita yang memancarkan keberanian. Dengan gugup, ia menjawab pertanyaan Qonita.
"Eh, aku mau minta maaf..."
"Untuk apa?" Tanya Qonita
"Karena aku, malah kau yang jadinya tersakiti..." kata Adiba dengan lirih.
"Salahmu kah, jika mendapatkan nilai bagus?" Tanya Qonita dengan serius.
"Aku tak tau. Tapi kalau aku boleh jujur aku sangat senang mendapatkan nilai yang lebih bagus daripada biasanya. Tapi, maafkan aku kalau aku jadi mengunggulimu..." Jawab Adiba.
Qonita menarik nafas panjang dan mengeluarkannya. Dipandangnya Adiba denga sedih. Kini, lenyaplah raut tajam yang selama ini selalu terpasang di wajah Qonita. Adiba merasa, Qonita memendam sesuatu.
"Ada apa, Qonita?"
"Aku ingin menceritakan sesuatu. Tapi aku tak yakin kau akan mau berjanji agar tidak memberitahukannya pada siapapun sampai kapanpun..." Jawab Qonita.
"Aku akan berusaha jika memang itu diperlukan" Kata Adiba meyakinkan.
"Baik. Aku percaya. Tapi kalau kau lantas ingkar, maka bersiaplah untuk menghadapku dengan rasa malu yang tak akan pernah kau lupakan." Kata Qonita. Lalu dia memulai kisahnya...
"Kau tau, aku adalah orang yang tak bisa tanpa orang lain. Aku butuh keluarga, teman, dan orang-orang baik lainnya." Kata Qonita. "Aku selalu merasa aku sangat bodoh dan tak mau berusaha. Selama ini, kau telah bekerja keras untuk mengharapkan nilai terbaik. Tapi aku? Aku tak serius belajar. Dari dulu aku suka membaca. Karenanya, tanpa belajarpun aku masih bisa menjawab soal-soal di kertas ujian. Karenanya, aku berusaha untuk serius mempelajari hal baru dengan hobiku. Yaitu membaca. Karenanya, aku tak pernah berpergian tanpa buku di tas atau tanganku. Aku menunjukkan nya terang-terangan karena aku tak peduli apa kata orang."
Qonita berhenti sebentar, lalu melanjutkan. "Secara tidak langsung, aku jadi menyukai popularitas dan pujian. Itulah sebabnya aku sangat mudah tersinggung jika di kritik dengan cara kasar. Aku menyukai kelembutan, tapi tak bisa bersikap lembut. Aku bangga dengan diriku seperti apapun adanya. Karenanya aku jadi mudah berterus terang. Akupun sangat mudah di ajak serius. Tapi sayangnya, banyak orang yang tidak menyukai ku karena itu. Aku sering dijadikan bahan ghibah anak-anak kelas kita. Aku sering disebut kesayangan guru karena aku bermanis muka didepan guru-guru dan berwajah serius di depan teman-teman. Sok pintar, sok aksi, dan untaian kata hina lainnya ditancapkan pada diriku. Seolah aku tetap bisa tegak ditengah amukan badai."
Adiba menatapnya dengan mata sembab. Ia tak pernah menyangka, temab yang selalu dikaguminya, yang membuatnya merasa 'insecure' setiap malam memiliki rahasia menyakitkan yang ia pendam. Qonita selalu terlihat tegar dan berani. Selain itu, dia juga tajam pada hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan.
Qonita menghapus air matanya yang telah jatuh dari pelupuknya, dan melanjutkan kisahnya.
"Mungkin orang lain mengira aku hanya bisa serius saja. Aku hanya bisa menjadi tajam dan menyeramkan. Tapi sungguh, jauh di lubuk hati terdalamku, aku pendam cinta kasih dan sifat pemaafku. Jadi, sebanyak apapun orang yang benci padaku, aku tetap bisa tegar karena aku bisa dengan mudah memaafkan mereka. Lagipula, mereka yang mencintaiku, lebih banyak daripada mereka yang membenciku. Tapi sekarang aku sadar, sebenarnya aku butuh pelukan dan untaian kata indah yang disertai pembuktian. Aku ingin seseorang yang benar-benar tulus padaku. Aku ingin seseorang yang benar-benar setia padaku."
Qonita menengadah ke langit yang mendung. Langit yang seolah turut suram dengan apa yang Qonita rasakan. Semilir angin dengan lembut menerpa wajah-wajah sendu. Setitik air hujan membasahi kening Qonita yang disertai dengan petir yang keras menderu.
Adiba membantu Qonita bangkit dan mereka bergandengan tangan menuju kelas. Murid lain juga bergegas masuk ke dalam kelas. Tak lama, hujan besar mengguyur. Petir tak henti-hentinya menyambar. Para murid langsung membuat kegaduhan dikelas. Itu membuat para guru kebingungan, apa yang harus dilakukan.
Tapi tak lama kemudian, hujan berhenti. Para murid diizinkan keluar kelas dengan syarat tidak bermain basah-basahan. Adiba mengajak Qonita ke taman tempat mereka bercerita tadi. Dan tentu saja semua bangku di taman basah disiram hujan.
Adiba menatap ke langit yang masih kelabu. Tapi hujan sudah berhenti dan dengan perlahan, kehangatan matahari menyinari bumi.
"Qonita, coba liat itu!" Seru Adiba dengan tiba-tiba.
"Pelangi! Cantiknyaa... Masya Allah." kata Qonita.
"Qonita, terkadang untuk menjadi bahagia kita perlu mengarungi terjangan badai kesulitan. Bahagia bukan berarti tak punya masalah. Tapi hakikat bahagia adalah saat kita punya banyak masalah, tapi kita berhasil melaluinya. Seperti hujan deras yang disusul dengan pelangi yang indah..." Kata Qonita sambil tersenyum.
Qonita terdiam. Raut wajahnya datar. Ditatapnya lagi pelangi yang seolah terlukis di cakrawala dengan rangkaian warnanya yang indah. Perlahan, dia tersenyum dan menatap Adiba.
"Kamu benar. Terimakasih karena sudah mengingatkan, arti kebahagiaan."
"Sekarang, ayo kita kembali ke kelas. Sebentar lagi akan ada pelajaran. Kau tau kan, kalo kita telat bakal dihukum apa?" Kata Adiba.
Mereka kembali ke kelas yang saat itu sedang kosong. Tapi tak lama, bel berbunyi dan semua murid kembali ke kelas. Pak Imron masuk kedalam kelas untuk menyampaikan suatu hal. Sepertinya hal penting. Karena Pak Imron tampak lebih galak dari biasanya. Para murid langsung mengikuti apa yang di instruksikan oleh Pak Imron.
Setelah semua siap di meja, Pak Imron mengambil kertas yang tadi dibawanya. Pak Imron menatap seluruh kelas dengan pandangan aneh.
"Anak-anak, bapak ingin meminta maaf pada kalian semua, karena ternyata nilai Tray Out kemarin ada yang keliru koreksi. Terutama di 5 besar. Bapak menemukan kesalahan dalam pengoreksian. Jadi hari ini, bapak akan umumkan ulang nama-nama yang masuk 5 besar."
Sesaat semua hening. Adiba langsung merasa lemas. Apa lagi sekarang? Pikirnya dalam hati. Lalu, Pak Imron melanjutkan.
"Untuk Adiba, bapak mohon maaf karena tadi bapak salah koreksi. Kamu tidak masuk 5 besar. Tapi tetap semangat untuk belajar ya..."
Adiba tergagap. Oh tidak! Apa yang harus aku lakukan sekarang? Seolah ada rasa sedih dan kecewa yang mengaliri tubuhnya. Pak Imron mengumumkan nama siswa yang masuk 5 besar. Qonita menjadi salah satunya.
Akhirnya, sore hari tiba dan itu artinya sudah waktunya para siswa untuk pulang. Adiba berjalan sambil merunduk. Dibelakangnya, semua sibuk membicarakan tentang dirinya. Adiba tak terbiasa dengan situasi seperti ini.
Adiba berjalan dengan lesu. Mentari sore hampir terbenam di ujung cakrawala. Tiba-tiba, Adiba mendengar namanya dipanggil. Ia menoleh ke belakang. Dilihatnya Qonita yang berjalan ke arahnya.
Setelah dekat, Adiba bertanya,
"Kenapa, Qonita?"
"Enggak kenapa-kenapa kok. Aku cuma mau bilang sesuatu. Tadi Pak Imron bilang, beliau merasa aneh dengan nilaimu, Adiba." Kata Qonita.
"Aneh gimana sih?" Tanya Adiba.
"Pak Imron sering melihat kamu giat sekali belajar. Tapi entah kenapa nilaimu selalu biasa-biasa saja. Padahal dulu, aku ingat nilaimu selalu besar. Jadi Pak Imron mau bertanya. Ada apa denganmu, Adiba?" Kata Qonita.
"Entahlah. Tapi aku sendiri sebenarnya sudah merasa bisa menjawabnya meskipun dibeberapa soal ada beberapa yang aku tidak yakin." Jawab Adiba.
"Nah, apa itu artinya?" Tanya Qonita dengan nada tajam.
"Memangnya apa?" Tanya Adiba balik.
"Itu artinya ada seseorang yang sudah mempermainkan lembar soalmu." Jawab Qonita.
"Maksudnya?" Tanya Adiba bingung.
"Tadi Pak Imron bilang, akhir-akhir ini Pak Imron merasa ada yang aneh dengan kertas-kertas soal yang akan diperiksa olehnya. Kertas ulanganmu selalu berada di paling atas. Padahal, Pak Imron yakin kertas soalmu ada dibagian tengah atau belakang. Pak Imron yakin bukan ia yang meletakkan kertasmu itu dibagian atas." Kata Qonita menerangkan dengan alis bertaut.
"Jadi, apa yang akan kita lakukan?" Tanya Adiba lirih.
"Tenang aja. Aku bisa di andalkan kok." Jawab Qonita sambil tersenyum.
"Oke. Aku percaya." Jawab Adiba.
Akhirnya mereka berpisah menuju rumah masing-masing. Adiba masih bingung dengan kejadian hari ini di sekolah. Semalaman dia mencoba mencerna maksud Qonita. Karena lelah, ia pun tertidur...
Dua hari kemudian, Qonita mengajak Adiba untuk berbicara berdua ditaman. Meski Adiba masih bingung, tapi ia mengikuti saja apa yang diinginkan Qonita. Akhirnya, mereka duduk di bangku taman seperti hari-hari sebelumnya.
"Adiba, aku sudah punya bukti kalau ada seseorang yang ingin agar nilaimu selalu dibawah rata-rata." Kata Qonita dengan serius.
"Maksudnya apa sih?" Tanya Adiba bingung.
"Menurutku, nilaimu tak mungkin hanya segitu-segitu saja dari dulu. Karena aku percaya kalau kamu sudah belajar setiap malam untuk mencapai nilai yang maksimal. Tapi nyatanya, nilaimu selalu tak membuatmu puas bukan? Karena itulah aku merasa bingung. Jadi, aku coba mencari tahu barangkali ada seseorang yang sengaja melakukannya." jelas Qonita.
"Oo. Terus apa maksudnya kamu udah menemukan bukti?" tanya Adiba lagi.
"Kemarin, aku ditugaskan untuk membawakan lembar soal ke Bu Rossa. Aku meletakkan lembar soalmu di bagian depan. Saat aku sudah sampai di meja Bu Rossa, aku menunggu sebentar sampai Bu Rossa selesai mengoreksi lembat soalmu. Aku juga mengajak Bu Rossa mengobrol. Dan saat aku lihat nilai yang ada di kertasmu, aku mendapati angka 95 di kolom nilai! Akhirnya aku pergi. Tapi tak jauh dari meja Bu Rossa. Aku pura-pura membaca buku. Setelah 25 menit, Bu Rossa meninggalkan kelas karena akan mengambil pulpen. Kata Bu Rossa, isi pulpennya habis. Jadi harus diganti yang baru." Kata Qonita.
Adiba mendengarkan dengan kening berkerut. Dia agak kurang mempercayai perkataan Qonita perihal nilai 95 miliknya. Tapi Adiba sadar dia memang harus mempercayai Qonita karena Adiba tau Qonita tidak pernah berbohong jika keadaan tidak memaksa. Adiba kembali memasang telinga untuk mendengarkan penjelasan Qonita.
"Bu Rossa pergi agak lama. Lalu aku melihat Lala memasuki kelas dan langsung menuju meja Bu Rossa. Mungkin Lala tidak melihatku karena aku duduk dipojok kelas. Tapi aku bisa melihat nya dengan jelas. Aku lihat, Lala mengambil selembar kertas diantara tumpukan kertas soal. Lalu dia mengambil sebuah botol dari kantungnya. Dibukanya botol tersebut dan pelan-pelas ditumpahkannya ke kertas yang tadi diambilnya. Lalu dia mengambil sebatang pulpen yang juga diambilnya dari kantungnya dan menuliskan sesuatu. Aku tak mengerti apa maksudnya. Jadi setelah Lala pergi, aku menghampiri meja Bu Rossa. Tapi sayang aku belum sempat melakukan apa-apa karena saat itu Bu Rossa masuk lagi kedalam kelas. Tapi aku masih sempat melihat namamu tertulis di kertas paling atas. Karena itu aku menyimpulkan bahwa Lala melakukan sesuatu di kertasmu." Kata Qonita melanjutkan.
Adiba bingung. Dia sendiri tak mengerti. Tapi dia percaya pada Qonita. Akhirnya ia menjawab, "Bagaimana kalau kita periksa sekarang?"
Qonita langsung tampak bersemangat. Dia mengangguk sambil tersenyum. Bagi Adiba, Qonita memang benar-benar berani melakukan apa saja untuk membantu temannya yang membutuhkan. Karena Adiba sendiri sebenarnya masih takut. Tapi akhirnya, ia tetap berdiri bersama Qonita
Mereka berdua berjalan ke ruang kelas. Disana, Bu Rossa sedang merekap nilai siswa. Saat itu Bu Rossa melihat Qonita dan Adiba.
"Qonita, Adiba. Maukah membantu ibu?" Tanya Bu Rossa.
"Membantu apa, Bu?" Tanya Adiba.
"Nanti saat bel kelas berdering, tolong bagikan kertas soal yang kemarin ini ya. Ibu masih ada dokumen yang harus dikirim. Jadi belum bisa membagikannya sekarang." Jawab Bu Rossa.
"Baik, Bu. Insya Allah kami bisa kok" Kata Qonita dengan nada serius.
"Terimakasih ya, Nak. Sekarang ibu pamit dulu ya..." Kata Bu Rossa sambil berdiri dan meninggalkan ruang kelas.
Qonita menatap Adiba. Adiba membalas tatapannya. Qonita menggandeng tangan Adiba ke pojokan kelas, tempat mejanya berada. Disitu, mereka mencari kertas soal milik Adiba. Bagi mereka, ini kesempatan besar untuk menyelidiki hal aneh yang kemarin dilihat Qonita.
Tapi mereka tak perlu terlalu jauh mencari. Karena kertas soal milik Adiba ada di paling atas. Bagi Qonita ini merupakan keanehan. Sebab, kemarin saat ia menaruh kertas Adiba di paling atas, itu artinya kertasnya harus berada di paling bawah. Tapi dia tak menyampaikannya pada Adiba. Karena bisa jadi Bu Rossa yang memindahkannya ke atas.
Adiba meneliti kertasnya. Itu memang tulisan tangannya. Tulisan Qonita kalah rapi dibandingkan tulisan tangan Adiba. Huruf demi huruf dirangkainya dengan indah. Tak perlu diragukan lagi. Ini memang kertas miliknya. Hanya saja angka yang tertulis di kolom nilai bukan 95 seperti kata Qonita. Tapi hanya 78. Adiba memandang Qonita. Kini ia mulai meragukan sahabatnya itu.
Qonita juga melihat hal yang dilihat Adiba. Ia mengerti. Angka 78 yang tertulis memang mirip sekali dengan tulisan angka Bu Rossa. Ia memandang Adiba yang memandangnya sambil berkerut.
"Qonita, kamu gak lagi main-main, kan?" Tanya Adiba lirih.
"Maksudnya apa?" Tanya Qonita balik.
"Ini. Angka 78 ini ditulis dengan tulisan tangan Bu Rossa. Aku khawatir kamu berbohong dengan cerita pengalamanmu yang kemarin." Kata Adiba dengan suara tinggi.
"Aku jujur, kok. Aku sendiri bingung dengan ini. Tapi aku yakin sekali, kemarin tidak salah lihat." Kata Qonita dengan bingung.
"Sudah cukup dengan sandiwaramu itu!" Kata Adiba tegas sambil memukulkan telapak tangannya ke meja dengan keras. Lalu dia pergi keluar meninggalkan Qonita sendirian dengan bingungnya.
Qonita menatap kertas didepannya. Ia agak sedih karena Adiba sepertinya tidak mempercayai nya lagi. Tapi dia tak tau harus berbuat apa. Karenanya, Qonita hanya membereskan kertas-kertas soal didepannya sambil memikirkan hal apa yang akan dikerjakannya.
Sementara itu, Adiba keluar kelas dengan dagu terangkat. Ia sendiri merasa heran kenapa berani berbicara kasar didepan Qonita, Sahabat yang sangat dikaguminya. Tapi sekarang ia memang benar-benar meragukan cerita Qonita. Ia keluar kelas dan bermain bersama Annisa.
Sorenya, Qonita pulang sekolah dengan lesu. Seolah ada beban sangat berat di pundaknya. Dia masuk ke kamar dan langsung berganti baju. Selesai shalat Maghrib, pintu rumahnya diketuk dari luar. Bunda membukanya. Ternyata yang datang adalah Tante Nia, tantenya Qonita. Qonita sangat senang karena tantenya datang.
Ternyata, Tante Nia bermaksud menginap selama seminggu di Rumah keluarga Qonita. Qonita jelas sangat senang. Diantarnya tantenya ke kamarnya yang rapi. Setelah Tante Nia berganti pakaian dan makan malam bersama keluarga Qonita, Tante Nia masuk ke kamar Qonita untuk menceritakan kisah hidupnya sebagai seorang detektif perempuan. Qonita memang sangat suka cerita detektif yang membantu polisi mengatasi tindakan kriminal.
Tante Nia mulai dengan kisahnya,
"Qonita, dalam kasus yang baru saja Tante terima, membuat polisi dan petugas keamanan menjadi pusing. Karena ada salah seorang napi yang kabur dengan diam-diam dari penjara. Dia memang sangat pandai melarikan diri. Bukan hanya itu, dia melenyapkan tulisan tangan Inspektur polisi dan Jendral yang berisi tentang hukuman bagi para napi dengan cara yang aneh."
"Aneh gimana, Tante?" tanya Qonita tertarik.
"Tulisan-tulisan itu bukannya hilang. Tapi berubah isinya. Ada beberapa kalimat dan nama yang tertulis di kertas-kertas tersebut menjadi lain dari yang sebelumnya ditulis oleh inspektur dan jendral. Anehnya, saat diperiksa dengan pemindai khusus itu merupakan dokumen asli. Yang sekarang menjadi pertanyaan bagi kepolisian adalah, Bagaimana cara merubah kalimat yang tertulis di kertas itu tanpa meninggalkan jejak sama sekali."
Qonita mendengarkan dengan penuh perhatian. Pikiran aneh-aneh mulai timbul dalam benaknya. Tentang komplotan, pengkhianatan, kejahatan, dan lain-lain. Tiba-tiba nafasnya tersentak. Tante Nia melihatnya dengan pandangan cemas.
"Ada apa, Qonita? Kamu sakit?"
"Enggak kok tante. Tapi tiba-tiba aku jadi ingat sesuatu. Kejadiannya hampir sama seperti yanh tadi diceritakan tante. Cuma mungkin agam beda sedikit. Hehe" Kata Qonita.
"Coba ceritakan ke Tante. Mungkin tante bisa bantu sedikit" Kata Tante Nia.
Qonita lalu menceritakan pengalamannya kemarin dan hari ini. Tentang Lala yang tidak sengaja dipergokinya, Pertengkaran dengan Adiba, dan kertas-kertas soal milik Bu Rossa. Qonita kurang jago bercerita. Tapi kalau ia sudah merangkainya dalam tulisan, membuat semua orang terkagum-kagum.
Tante Nia seperti nya tertarik. Tante Nia memang pendengar yang baik. Apalagi untuk Qonita yang kata-katanya banyak yang tidak bisa difahami. Tapi akhirnya Tante Nia mengerti.
"Besok, minta maaf sama Adiba ya. Kalian bertengkar bukan karena hal yang besar, kan?" Tanya Tante Nia.
"Iya, Tante. Tapi Tante tau gak, kira-kira cairan apa yang ada di botol Lala?" Tanya Qonita balik.
"Tante tidak tau. Tapi sepertinya itu hanya cairan pembersih pulpen yang biasa kamu pakai." Jawab Tante Nia.
Akhirnya Qonita tertidur. Ia terbangun karena Tante Nia menyipratkan air ke mukanya sambil tertawa.
"Ayo bangun! Jam setengah 6 lho! Kesiangan tuh Shalat Shubuhnya." Kata Tante Nia tegas.
Qonita langsung bangun dari kasur dan masuk ke kamar mandi. Di sekolah, ia bertemu Adiba. Qonita menghampiri Adiba untuk mengajak nya berbaikan.
"Adiba, aku minta maaf soal yang kemarin ya. Tapi aku memang jujur kok, dengan ceritaku. Maaf kalau kamu gak percaya." Kata Qonita sembari mengulurkan tangannya.
Adiba hanya memandang uluran tangan Qonita lalu membalikkan badan. Qonita jadi sedih. Ia juga tersinggung. Qonita berjalan ke mejanya lalu mulai membaca buku sampai bel berdering.
Selama pelajaran berlangsung, Qonita tak bisa fokus. Diperhatikannya Lala yang sedang mendengarkan penjelasan Pak Imron. Qonita berniat akan mengajak Lala bicara 4 mata. Qonita memang sangat berani melakukan hal-hal seperti itu. Karenanya, ia tak merasa takut pada resiko yang akan dihadapinya.
Akhirnya bel istirahat berbunyi. Seisi kelas sudah kosong kecuali Adiba, Qonita, dan Lala. Adiba sedang tak ingin keluar kelas. Jadi ia hanya mengerjakan latihan soal sambil memperhatikan Qonita yang berjalan ke meja Lala. Saat itu Lala sedang mencari sesuatu. Karenanya saat Qonita menyentuh pundaknya ia langsung kaget.
"Ada apa, Qonita?" Tanya Lala.
"Aku mau ngomong sesuatu ke kamu. Boleh kan?" Tanya Qonita balik.
Lala terdiam sesaat.
"Ya, tentu saja." Katanya sesudah itu.
"Kamu udah lihat berita di tv belum?" tanya Qonita memulai percakapan.
"Iya. Sudah. Yang tentang perubahan kalimat di dokumen yang ditulis pihak kepolisian dan jendral kan?" Kata Lala.
"Iya. Aku masih bingung dengan bagaimana napi itu melakukannya. Maksudnya masa iya sih tulisan tangan seseorang bisa dihapus tanpa meninggalkan jejak. Kalau pakai pensil memang bisa saja. Karena kita punya alat namanya penghapus. Tapi nyatanya itu ditulis pakai pulpen yang tintanya tebal dan sulit untuk dihapus." Kata Qonita.
"Aku juga bingung. Tapi aku sendiri gak ambil pusing sih. Aku gak tertarik dengan berita-berita begitu." Jawab Lala.
Tiba-tiba terdengar suara ribut diluar. Ternyata kakak-kakak SMA mengadakan bazae dadakan. Bazar tersebut berisi stand-stand permainan berhadiah. Lala memandang nya dengan kepingin. Lalu ia bangkit.
"Aku ingin lihat bazar itu. Kamu mau ikut?" Tanya Lala.
"Aku gak suka keramaian bazar. Mendingan di sini aja." Jawab Qonita.
Lala pun keluar kelas. Diikuti oleh Adiba yang juga keluar karena penasaran. Tinggallah Qonita sendiri di kelas. Yeah! Ini kesempatan bagus untuk melakukan rencananya!
Qonita merogohkan tangannya ke dalam tas Lala. Hatinya berdebar. Ia tau perbuatan seperti itu dilarang. Tapi tetap ia memasukkan tangannya kedalam tas Lala. Ia mencari botol tersebut. Botol yang berwarna hitam kalau tidak salah. Saat itu pandangannya melayang ke dalam lemari buku siswa yang terbuka pintunya. Disitu, dia melihat sebuah botol yang berwarna hitam. Qonita tertegun. Dengan cepat, dihampirinya Lemari Buku tersebut. Diambilnya botol berwarna hitam itu.
Qonita meneliti botol tersebut. Tak ada tulisan apa-apa di bagian luarnya. Hanya poloa dan berbahan kaca. Seperti botol-botol obat. Tiba-tiba, pendengarannya mendengar derap kaki menuju kelas. Dengan cepat dimasukkannya botol itu ke dalam kantungnya. Lalu ia pura-pura mencari buku.
Ternyata yang masuk adalah Lala. Ia melihat Qonita yang kelihatannya sedang sibuk mencari sesuatu. Lala menghampiri Qonita.
"Nyari apa?"
"Biasalah. Buku. Entah dimana tadi aku simpan." Kata Qonita mengelak.
"Tapi ini kan lemari bukuku." Kata Lala.
"Iya. Tapi aku udah cari kemana-mana gak ketemu. Lemari bukumu ini tempat terakhir yang belum aku periksa." Kata Qonita.
Qonita memang tidak berbohong. 2 hari yang lalu, buku Novel kesukaannya hilang di kelas. Dan memang cuma lemari buku saja yang belum diperiksa nya. Karena Qonita tidak menemukan bukunya, ia pun kelua. Menuju Taman. Ia sengaja keluar. Karena kebetulan di kelas ada setumpuk kertas yang sudah dinilai Pak Imron. Tapi saat itu Pak Imron sedang mengawasi bazar yanv sedang berlangsung.
Kalau nanti setelah nilai dibagikan dan nilai Adiba masih dibawah rata-rata, itu artinya bukan botol ini yang waktu itu aku lihat sedang dipegang Lala. Pikir Qonita. Ia lalu duduk dibangku taman yang menghadap ke pintu kelas. Jadi kalau ada seseorang masuk kelas, ia akan segera tau. Tapi ternyata tak ada yang masuk ke dalam kelas selama jam istirahat itu. Lala juga sama sekali tidak keluar kelas.
Ternyata Pak Imron belum bisa meninggalkan bazar itu. Ada keributan kecil di salah satu stand. Jadi untuk sementara kelas digantikan oleh Bu Rossa. Pelajaran Bu Rossa kali ini sangat membosankam bagi Qonita. Jadi ia sama sekali tidak menyimak pelajaran.
Dirumah, Qonita cepat-cepat mandi dan shalat maghrib. Setelah itu ia duduk di meja belajarnya. Diambilnya sebuah buku Novel miliknya. Lalu ia menulis namanya dengan pulpen yang paling tebal. Hadiah di hari ulang tahunnya. Dengan hati berdebar dan tangan yang bergetar, Qonita menumpahkan sedikit cairan dari botol itu ke atas tulisan yang baru dibuatnya. Dan ia memandangnya dengan takjub!
Dengan cepat, tulisan yang tadi dibuat Qonita langsung memudar dan menghilang. Qonita menyentuh kertas itu. Kering! Seolah tidak pernah ada sesuatu yang cair menyentuh kertas itu. Qonita mencoba sekali lagi. Dan hasilnya sama!. Qonita membalik halaman Novel nya. Ia mencoba cairan itu di atas tulisan yang diketik. Bukan tulisan tangan. Dituangkannya cairan itu setetes. Dan lagi-lagi tulisan tersebut memudar dengan cepat lalu menghilang bergitu saja. Tanpa jejak!!
Tiba-tiba, Tante Nia masuk ke kamar Qonita. Tante Nia melihat botol yang ada di samping Qonita. Tante Nia mengira kalau itu adalah botol obat.
"Kamu sakit, Qonita?" Tanya Tante Nia
"Enggak kok, Tante." Jawab Qonita sambil nyengir.
"Itu botol obat, kan? Kenapa dibuat mainan?" Tanya Tante Nia lagi.
"Ini bukan obat, Tante. Aku juga gak tau ini apa." jawab Qonita.
"Coba Tante lihat." Kata Tante.
Tante Nia lalu membuka tutup botol itu. Tidak ada bau. Warna cairan itu bening. Seperti air. Saat itu tiba-tiba Qonita bersin keras sekali. Tante Nia kaget dan tak sengaja menjatuhkan botol berisi cairan aneh tadi. Karena botol itu tidak ditutup, cairan yang ada di dalamnya langsung tumpah tepat di atas novel Qonita. Dan tentu saja tulisan yang ada didalamnya langsung memudar dan menghilang tanpa jejak.
Qonita memandang botol itu dengan sedih. Sekarang cairan ajaib itu tumpah. Tapi untunglah cairan itu tidak tumpah semua. Tapi hanya setengahnya saja. Tante Nia memandang keajaiban itu dengan kaget. Tante Nia menyentuh kertas novel Qonita. Kering!
"Cairan Penghilang Tinta!" Seru Tante Nia yang masih belum pulih dari kekagetannya.
Qonita menatap Tante Nia dengan bingung. Cairan Penghilang Tinta? Luar Biasa!!. Tante Nia segera menutup botol itu. Lalu menyerahkannya pada Qonita. Qonita mengambil botol itu dengan tangan yang gemetar.
"Tante akan menelepon kantor polisi dulu ya. Kamu jangan cerita tentang ini ke siapa-siapa dulu. Nanti tante pengen denger cerita gimana kamu bisa dapet Cairan Penghilang Tinta tadi." Kata Tante Nia tegas.
"Oke, Tante." Jawab Qonita masih dengan tangan yang gemetar.
Setelah itu Tante Nia pergi. Qonita menatap botol di tangannya itu sembari berpikir. Kenapa sih Tante Nia tiba-tiba langsung menelpon kantor polisi setelah melihat cairan ini? Pasti ada sesuatu yang pentinh deh. Begitulah pikir Qonita.
20 menit kemudian, Tante Nia masuk kamar Qonita lagi. Qonita duduk disampimg tantenya. Tante Nia menyuruh Qonita untuk bercerita. Qonita pun langsung menceritakan pengalamannya siang tadi sementara Tante Nia mendengarkan dengan baik.
3 hari kemudian, saat Qonita sedang duduk menghadapi kertas soal di kelas, ia teringat dengan Adiba. Bagaimana nilai Adiba ya? Mau bagaimana pun, botol yang berisi Cairan Penghilang Tinta itu sudah diambil Qonita. Qonita menunggu-nunggu datangnya jam pelajaran ke dua. Agar ia bisa mengetahui nilai Adiba. Karena baginya, itu adalah kunci untuk berbaikan dengan Adiba.
Akhirnya jam pelajaran ke dua pun datang. Pak Imron memasuki kelas. Setelah memulai dengan doa, Pak Imron membagikan kertas soal dari ulangan 3 hari yang lalu. Qonita mendapatkan nilai 98. Tapi baginya nilai bukanlah segalanya. Jadi ia tidak menyombongkan nilainya itu di depan teman-teman. Setelah Pak Imron keluar kelas, Qonita mendekati meja Adiba. Adiba sudah berkurang kejengkelannya pada Qonita. Jadi dia membiarkan Qonita melihat nilainya.
Qonita melihat angka 78 di kolom nilai kertas milik Adiba. Qonita jadi bingung sendiri. Ia benar-benar tak mengerti. Ia hanya mengangguk dan berterima kasih pada Adiba yang tetap belum bisa banyak bicara pada Qonita. Qonita kembali ke mejanya.
Hari ini, sekolah dipulangkan jam 1 siang. Qonita sangat senang karena itu artinya dia bisa menceritakan pengalamannya hari ini pada Tante Nia Lebih cepat. Sekolah Qonita termasuk sekolah yang full day. Jadi pulangnya jam 4-setengah 5 sore. Jadi tak heran jika para murid sangat senang sekolah hanya sampai jam 1 siang. Mereka biaa punya kesempatan bagus untuk beristirahat di Rumah.
Qonita membuka pintu kamar. Ternyata Tante Nia ada di dalam sedang membaca berita di ponselnya. Qonita segera berganti baju dan duduk di samping tantenya. Tante Nia memperlihatkan berita yang tadi dibacanya ke depan Qonita agar Qonita juga ikut membaca. Ternyata isi berita tersebut adalah ditemukannya sebuah formula ajaib yang memungkinkan kita untuk menghilang kan tulisan dengan tinta dan pulpen tanpa jejak. Qonita menatap berita itu dengan serius. Berita itu sudah lama ditayangkan. Tapi hanya segelintir orang yang bisa meng-akses berita tersebut. Ternyata harga dari Cairan itu juga sangat mahal dan tidak bisa dijumpai di pasaran. Banyak orang yang mempergunakannya untuk tindakan kejahatan. Sehingga perusahaan yang membuat cairan tersebut menjadi untung besar.
Dalam berita tersebut juga dijelaskan bahwa cairan itu mengandung sejenis bahan kimia yang membuat tulisan jadi tak nampak dan bisa diserap di kertas. Ada cara untuk memunculkan kembali tulisan yang telah dihilankan denfan cairan itu. Cara nya adalah dengan menyemprotkan alkohol ke atas kertas yang tulisannya sudah dihilangkan. Lalu secara perlahan tulisan tersebut akan muncul lagi. Banyak orang yang menjualnya di pasar gelap. Sehingga semakin banyak kasus yang masih belum bisa ditangani oleh pihak kepolisian.
Setelah itu Tante Nia mengajak Qonita untuk bercerita lagi. Qonita menceritakan tentang keanehan di sekolah tadi pada Tante Nia.
Malam hari, Qonita memikirkan cara untuk membuat Lulu mengaku tentang perbuatannya pada Adiba. Qonita berniat hendak menangkap basah Lala saat sedang melakukan perbuatan curang. Qonita sebenarnya masih ragu. Apa benar Lala yang selama ini merubah nilai Adiba dengan Cairan Penghilang Tinta? Ataukah ada orang lain yang melakukannya? Mau bagaimanapun juga Qonita pernah memergoki Lala yang sedang berbuat aneh-aneh di kertas soal milik Adiba saat kelas sedang kosong. Tapi Qonita bertekad akan mencoba rencananya itu meski ia harus mempertaruhkan harga dirinya. Karena apabila dia salah, hukuman baginya tidak setengah-setengah. Di sekolah ada peraturan tertulis yang menyatakan kalau ada siswa yang berani mengintip meja guru tanpa seizinnya, maka akan dikenai sanksi yang masih dirahasiakan oleh Kepala Sekolah.
Maka keesokan harinya saat jam istirahat sedang berlangsung, Pak Hadi, Guru Olahraga mengajak para siswa bermain kekuatan adu tim. Ada permainan lari tercepat, estafet, bermain bulu tangkis, sepak bola, dan bola tangab yang ditandingkan. Pak Hadi mengajak Qonita untuk ikut. Tapi dengan keras dan tegas Qonita menjawab kalau ia tidak tertarik. Katanya itu memang benar. Qonita punya 2 alasan. Yang pertama ia harus memeriksa kelas, yang kedua ia memang tidak menyukai pelajaran olahraga dalam bentuk apapun juga. Tapi anehnya badannya tidak pernah gemuk meski ia bisa dibilang Hampir Tidak Pernah berolahraga dan makannya banyak.
Karena Pak Hadi mengajak para siswa bermain bersama, kelas menjadi kosong. Diantara teman-teman nya, Qonita memang siswa yang paling malas saat jam olahraga. Qonita memasuki kelas yang kosong dengan hati berdebar. Setelah ia memastikan memang tak ada siapapun yang ada di dekat-dekat kelas, Qonita mendekati meja guru yang biasa dipakai untuk guru mapel. Disana ada setumpuk kertas soal persiapan Tray Out 2 milik Pak Imron. Qonita mencari kertas Adiba. Ada ditumpukan tengah. Dilihat nya kolom nilai. Belum ada nilainya karena Pak Imron belum sempat memeriksanya. Pak Imron baru sempat memeriksa setengah kertas siswa. Tapi Qonita punya siasat lain.
Di ambilnya pulpen berwarna merah seperti yang biasa dipakai Pak Imron saat menulis nilai. Qonita memang tak bisa menirukan tulisan angka Pak Imron. Tapi semalam ia sudaj berlatih selama 30 menit. Jadi ia lumayan bisa memgendalikan pulpen agar tampak mirip dengan tulisan tangan Pak Imron.
Ditulisnya angka 100 di kertas Adiba. Lalu ia bersembunyi di kolong mejanya. Karena letak mejanya ada di belakang, orang yang masuk ke kelas tidak akan bisa melihat ada orang di kolongnya. Tapi Qonita sendiri bisa melihat kalau ada orang masuk kelas dan mendekati meja guru. Qonita memilih tempat dimana ia bisa melihat dengan jelas ke arah meja guru. Itu tidak sulit karena mejanya memang menghadap ke meja guru.
Selama 5 menit setelah nya tidak ada yang memasuki kelas. Qonita sangat bosan. Ia juga agak lapar. Jadi dia mengeluarkan permen mint dari kantongnya dan mulai memakannya. Tak sampai 2 menit kemudian Qonita mendengar langkah kaki memasuki kelas. Dengan hati-hati dilihatnya orang tersebut. Ia berusaha agar tidak menimbulkan suaraa sedikitpun.
Ternyata yang masuk adalah Lala. Hati Qonita semakin berdebar. Saat lala sedang membuka tutup botol yang dibawanya, Qonita perlahan maju mendekati meja guru. Saat sudah tepat dibelakang Lala yang saat itu sedang berhati-hati menumpahkan Cairan Penghilang Tinta itu, Qonita langsung berteriak.
"NAH, KETAHUAN KAMU! AKU TAU APA YANG KAMU LAKUKAN! JANGAN JADI PENGECUT DAN TAMPAKKAN WAJAHMU PADAKU!" Suara Qonita menggelegar badaikan badai ditengah samudera.
Lala sangat kaget. Alhasil botol yang dipegangnya tumpah dan cairan didalamnya langsung mengenai seluruh kertas milik Adiba. Dan tentu saja tulisan-tulisan di atasnya langsung memudar dan akhirnya menghilang hanya dalam 2 detik. Persis seperti yang pernah di alami oleh Qonita dan Tante Nia.
Dengan tubuh gemetar dan dalam kondisi belum pulih dari kekagetannya, Laila membalikkan badan dan menatap mata Qonita yang terlihat setajam pisau. Tapi ia tak berani lama-lama menatap mata Qonita yang sedang memancarkan kemarahan. Lala menatap lantai dan menangis dalam diam.
Qonita sengaja membuat keributan dengan memarahi Lala dengan suara keras. Lala hanya bisa menatap lantai sambil menyembunyikan tangisnya. Tiba-tiba Adiba datang menghampiri dan melerai mereka.
"Sudah, Qonita! Memang Lala salah apa sama kamu?" Tanya Adiba sambil berteriak.
"Bukan sama aku, Adiba. Tapi sama kamu!" Jawab Qonita sambil berteriak pula. "Kamu kan tau Lala salah apa! Jangan pura-pura lupa dan membela orang yang bersalah, ah!"
"Iya aku tau. Tapi sekarang tenang dulu. Nanti teman-teman dan Pak Hadi datang ke sini lhoo..." Kata Adiba menyabarkan.
"Biar! Memang itulah maksudku berteriak-teriak tadi. Supaya teman-teman datang kesini!" Teriak Qonita masih dengan marah.
"Hey hey, Sudah. Ada apa ini?" Tanya Pak Hadi yang masuk kelas dengan bingung diikuti oleh teman-teman sekelas yang lain.
"Iya. Ada sih, Qon? Ribut banget kedengerannya, tau!" Timpal Ghazi yang mengagumi keberanian Qonita.
"Terserah kalian mau percaya atau tidak. Tapi aku akan ceritakan Kronologinya dari awal sampai akhir!" Kata Qonita dengan sangar.
"Yasudah. Cerita saja." Jawab Ghazi.
Qonita menceritakan semuanya. Tentang keanehan pada nilai Adiba, Kecurigaan Pak Imron, Memergoki Lala, berita di ponsel Tante Nia, sampai saat ia memergoki Lala hari itu. Semuanya ia ceritakan. Kecuali percakapannya dengan Tante Nia. Karena Tante Nia sudah melarangnya untuk bercerita pada siapapun.
Pak Hadi memdengarkan dengan tekun. Ia juga heran bercampur kagum. Sejak dulu Qonita memang siswa yang paling disukainya. Tapi mau Bagaimana pun juga, Pak Hadi harus menanyakan sesuatu yang sedari tadi terlintas di benaknya pada Qonita yang cepat naik pitam itu.
"Kamu punya saksi atas kronologimu itu?" Tanya Pak Hadi.
Qonita terdiam. Sebenarnya ada. Tapi ia telah dilarang Tante Nia agar jangan bercerita mengenai percakapan itu. Kalau ia Kata kan, artinya ia telah melanggar perintah Tante Nia. Dan Qonita bukan seorang pengkhianat. Adiba juga saksinya. Karena Adiba lah semua ini bisa terjadi. Tapi Qonita tak mau menyebabkan Adiba terkena masalah yang lebih pelik lagi. Terlebih ia belum bermaafan dengan Adiba.
Melihat Qonita yang terdiam karena bingung, Adiba angkat bicara. Ia memang agak takut jika disuruh bicara di depan teman-teman. Tapi ia merasa sudah seharusnya ia membela Qonita. Karena ialah Qonita harus melakukan semua ini. Karenanya, Adiba langsung menjawab pertanyaan Pak Hadi dengan tegas.
"Ya, Ada! Orang itu adalah aku." Katanya.
Semua memandang nya.
"Maksudmu apa, Adiba?" Tanya Qonita yang masih bingung memikirkan jawaban yang akan ia katakan.
"Saat Qonita mengintai Lala tadi, aku juga tak ikut olahraga. Aku berniat untuk meminta maaf pada Qonita tentang pertengkaran sepele itu. Jadi aku mengikuti Qonita dari belakang. Tapi saat kulihat Qonita memasuki kelas yang sedang kosong, aku pikir ia hendak melaksanakan rencananya. Jadi aku mengurungkan niat untuk menemuinya dan pergi ke taman dekat teman-teman yang sedang berolahraga. Aku memperhatikan jalannya pertandingan. Tapi 5 menit kemudian, aku melihat Lala yang agak memisahkan diri dari kelompok. Karena teringat cerita Qonita, aku lantas mengikuti nya. Lala berjalan ke belakang taman dekat pagar sekolah. Aku melihat dari pintu gerbang muncul seorang laki-laki. Kukira itu Pak Penjaga. Tapi ternyata bukan. Aku masih tetap mengintip dari balik pohon. Kulihat lelaki itu berbicara pada Lala dan memberikan sesuatu padanya. Setelah itu Lala kembali. Tapi bukan ke tempat pertandingan olahraga, melainkan ke kelas. Aku menunggu di luar dan tak berani mengintip karena takut ketahuan. Tak lama, aku mendengar Qonita berteriak memarahi Lala. Awalnya aku agak takut untuk melerai. Tapi akhirnya aku memberanikan diri dan masuk ke kelas. Lalu sesudahnya sama seperti yang kita ketahui bersama." Kata Adiba menjelaskan Panjang lebar.
Sesaat seisi kelas terdiam. Tapi tak lama kericuhan langaung terjadi. Qonita menatap Adiba dengan pandangan berterimakasih.
Lala yang sedari tadi hanya diam dan mendengarkan cerita Qonita serta penuturan Adiba, mulai angkat bicara. Masih dengan mata yang sembab ia menatap Qonita yang membalasnya dengan tatapan tajam seperti biasanya. Dengan suara bergetar, Lala bercerita...
"Semua yang dikatakan Qonita dan Adiba tadi benar. Aku memang bersalah. Maafkan aku..."
"Apa maksudmu dengan ini semua?" Tanya Qonita garang.
"Sudah, Qonita. Tenang dulu. Biarkan Lala menjelaskan. Kan kamu sendiri yang pernah bilang, Dibalik perbuatan seseorang, pasti ada alasan yang terpendam. Gitu kan?" Kata Pak Hadi.
Qonita langsung diam. Lalu Lala melanjutakan ceritanya.
"Ayahku adalah salah satu orang yang memproduksi Cairan Penghilang Tinta itu. Kupikir ayahku sangat cerdas karena telah bisa menciptakan Cairan Penghilang Tinta yang luar biasa itu. Tapi sayangnya ayahku tidak memanfaatkannya dengan baik. Ia mempunyai banyak karyawan yang sangat jahat. Mereka juga bersikap kasar padaku. Karenanya, ayahku lantas mengajariku cara menggunakan Cairan Penghilang Tinta dan Cara memunculkan kembali tulisan yang telah hilang karena cairan tersebut. Aku sangat tertarik. Dan mencobanya untuk bermain surat-suratan dengan kakakku. Awalnya aku tak tau bahwa aku bisa merubah nilai yang tertera di kertas soal dengan cairan itu. Tapi kemudian aku mengetahuinya. Lalu aku mencobanya. Berhubung nilaiku tidak terlalu bagus, aku mencobanya pada nilai ku sendiri. Tapi ayahku bisa langsung mengetahui kalau aku menggunakan Cairan itu untuk nilaiku dengan menyemprotkan alkohol ke kertasku."
"Lalu apa alasanmu membuat nilai Adiba seolah-olah selalu buruk?" Tanya Qonita tak sabar.
Lala melanjutkan lagi sambil mengusap air matanya.
"Ayahku sangat marah padaku karena aku telah menipunya. Aku dipukuli olehnya. Aku juga dikurung dalam kamarku dan dijaga oleh karyawan ayahku yang jahat itu. Karenanya aku ingin orang lain juga merasakan hal yang sama denganku. Lalu aku mengincar teman-teman di kelas ini. Awalnya aku ingin agar Qonita yang aku jadikan korban. Tapi tidak bisa. Karena menurutku dia akan langsung bisa menyadari bagaimana cara memunculkan kembali tulisan yang telah hilang dengan cairan itu. Lagipula kalau Qonita tiba-tiba nilainya menurun, akan sangaf mencurigakan. Jadi aku mencari teman yang lain. Lalu aku mendengar bahwa Adiba adalah anak yang rajin belajar. Lalu aku mengamati hasil ulangan harian Adiba. Ternyata dari hati kehari, nilainya mengalami kemajuan. Aku lantas menargetkannya menjadi korban. Dan akhirnya aku melakukan nya sampai sekarang. Aku tak menyangka ada yang bisa memergoki aku. Tapi sekarang aku sadar, aku telah berbuat kesalahan. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi."
Adiba menatap Lala dengan kasihan. Jadi itu alasannya. Adiba tak sampai hati memarahi Lala yang telah berbuat tidak adil padanya. Karenanya ia mau memaafkan Lala dengan tulus. Di tersenyum pada Lala yang membalasnya dengan tatapan teduh.
Tapi Qonita masih belum puas. Ia tetap ingin mendengarkan kelanjutan kisah Lala.
Lala melanjutkan dengan lirih.
"Aku juga berbuat hal yang sama dengan Ghazi..."
"Hah? Kenapa aku?" Tanya Ghazi dengan sewot.
"Aku yang membuat nilaimu di Tray Out pertama jadi lebib tinggi dari Qonita." Jawab Lala.
"Jadi kamu ini mau mengincar siapa sih? Adiba, Ghazi, atau aku?" Teriak Qonita yang mengagetkan seisi kelas.
"Sasaran utamaku adalah kamu, Qonita. Tapi aku tak bisa melakukannya langsung kepadamu. Karena aku takut..." Jawab Lala dengan suara bergetar.
"Itu namanya pengecut. Aku tak suka dengan pengecut yang hanya bisa bersembunyi dari fakta dan menarget kan orang lain sebagai tumbal atas dosanya!" Kata Qonita dengan lantang.
"Sudah, Qonita! Aku sudah memaafkan Lala kok." Kata Adiba dengan lantang juga.
Qonita memandang Adiba. Masih dengan kesal. Setelah itu dia berjalan ke mejanya dan membaca bukunya. Seisi kelas hanya bisa menatapnya sambil geleng-geleng kepala. Tapi menurut Pak Hadi, Qonita memang harus dibiarkan masuk dalam dunianya sendiri dulu saat emosinya sedang meletup-letup.
Tiba-tiba, bel berdering. Waktunya kembali ke pelajaran. Kali ini, Pak Imron yang mengajar. Pak Imron melihat Qonita yang masih asyik membaca buku selain buku pelajaran dan tanpa memedulikan sekitarnya. Pak Imron mendekati Qonita sambil membawa setumpuk kertas. Qonita sangat terkejut Pak Imron menjatuhkan kertas-kertas itu di depan Qonita.
Pak Imron menatap Qonita dengan pandangan galak. Qonita membalasnya dengan bingung. Lalu ia melayangkan pandangannya ke kertas itu. Ah, sekarang Qonita faham kenapa Pak Imron melihat nya dengan galak. Gelak tawanya pun meledak. Pak Imron dan teman-teman di kelas berpaling dan melihat Qonita dengan bingung.
"Aduh, maaf Pak Imron. Tapi aku tau kok kenapa kertas-kertas ini menghilang tulisannya." Kata Qonita masih dengan tawa kecil.
"Bapak bukan mau dengar alasan kenapa tulisan-tulisan ini menghilang. Tapi bagaimana cara mengembalikan tulisan-tulisan itu." Kata Pak Imron dengan galak.
"Gampang kok. Sebentar ya. Aku akan segera kembali." Kata Qonita sambil bangkit dan mulai berlari keluar kelas.
Belum sempat Pak Imron melarangnya, Qonita sudah menghilang dari pandangan. Pak Imron hanya bisa berdiri mematung. Muridnya yang satu ini memang luar biasa. Tindak tanduknya tak bisa ditebak. Tapi Pak Imron sangat sulit untuk merasa kesal dengan Qonita karena Qonita selalu bisa mengelak dari situasi sulit yang dialaminya dengan cara yang tidak disangka-sangka. Lagipula Qonita sudah sering membuktikan bahwa ia memang pantas dihormati. Semua guru di sekolah sangat kagum dengan kemampuannya itu.
Tak Sampai 2 menit, Qonita sudah kembali dengan membawa sebuah botol berisi alkohol. Di jajarkannya kertas-kertas yang tulisannya menghilang di mejanya. Dengan hati-hati dituangkannya alkohol di atas kertas-kertas tersebut. Perlahan, tulisan tulisan dalam kertas kembali muncul. Pak Imron memandangnya dengan kagum.
Pak Imron melihat kertas Adiba dengan kening yang hampir bertaut. Pak Imron menihat ada dua nilai yang saling bertumpuk di situ. Yang satu 100 dan yang satu 78. Qonita langsung menjelaskan apa yang terjadi sedangkan Pak Imron mendengarkan dengan serius.
Setelah mendengar keseluruhan cerita Qonita, Pak Imron melihat nilai milik Ghazi. Sebuah ide terlintas di benaknya. Pak Imron berjalan kembali ke depan kelas.
"Anak-anak, setelah bapak mendengarkan cerita Qonita, bapak memutuskan untuk mengadakan pertandingan uji coba untuk Adiba, Qonita, dan Ghazi. Kita akan beri mereka soal-soal sulit. Yang paling banyak menjawab pertanyaan dengan benar, berarti memang dialah yang berhak masuk ke peringkat pertama! Nilai dari Tray Out kemarin tetap akan bapak simpan dan tidak akan dirubah. Tapi untuk ketiga siswa ini ternyata ada tindak kecurangan yang terjadi. Jadi kita uji coba siapa yang sebenarnya berhak mendapatkan posisi peringkat pertama dikelas ini. Dan untuk 2 siswa lainnya akan tetap masuk ke 5 besar. Kalian semua Setuju?" Kata Pak Imron dengan berwibawa.
Sontak seisi kelas menjawab,
"SETUJUUUU!!!"
Sementara itu baik Adiba, Qonita, ataupun Ghazi hanya bisa menerima tantangan itu dengan pasrah dan dengan hati yang berdebar keras.
Esoknya, Pak Imron mulai menguji kemampuan Adiba, Qonita, dan Ghazi di jam pelajaran pertama. Karena tes ini hanya menggunakan suara dan tidak ditulis tangan, maka bisa dipastikan tidak akan ada yang bisa berbuat curang. Semua buku pelajaran di pegang oleh teman-teman sekelas. Sementara itu mereka bertiga harus menjawab pertanyaan yang di ajukan teman-teman mereka sambil berdiri di depan kelas.
Sesi pertama. Tentang Ilmu Pengetahuan Alam. Qonita kelabakan menjawab pertanyaan-pertanyaan di sesi ini. Qonita memang kurang jago di bidang sains. Karenanya, ia membiarkan Adiba dan Ghazi menjawab pertanyaan dari teman-teman.
"Aku tau! Cahaya memang bisa diuraikan dan cahaya yang diuraikan akan membentuk deretan warna-wana indah yang kita sebut dengan pelangi." Kata Adiba dengan semangat menjawab pertanyaan dari Annisa.
"Yak! Benar!" Teriak Pak Imron.
"Selanjutnya, pelajaran sejarah! Ada yang ingin mengajukan pertanyaan?"
Seisi kelas langsung gaduh. Dan anehnya, lagi-lagi Adiba yang berhasil menjawab. Karena itu, teman-teman srkelas kini percaya kalau Adiba sebenarnya sangat luat biasa. Hanya saja, karena ketidakadilan yang selama ini ditimpakan padanya, Adiba tak bisa membangun citranya. Kini ia menjadi kebanggaan kelas setelah Qonita.
Qonita pulang dengan hati gembira. Yak! Kasus selesai. Setelah kegaduhan di kelas, Qonita dan Adiba berbaikan kembali. Karenanya, Qonita melupakan 1 hal yang penting yang selama ini ia harapkan.
Malam hari sebelum tidur, Qonita menyadari kalau ia belum bertemu dengan Tante Nia semenjak pulang sekolah. Ada apa sih? Qonita bangkit untuk mengambil telephone. Tapi, baru saja ia hendak menekan tombol, pintu kamarnya terbuka dan tampaklah Tante Nia dengan senyumnya yang hangat.
Tante Nia ingin menceritakan sesuatu pada Qonita. Qonita duduk di samping tantenya. Tante Nia pun mulai bercerita.
"Qonita tau kan, tentang Cairan Penghilang Tinta itu? Nah, ternyata memang benar selama ini para napi itu menggunakan Cairan Penghilang Tinta untuk merusak dokumen di kepolisian. Dan setelah di telusuri, mereka adalah karyawan-karyawan dari salah seorang ilmuan paling berbahaya di kota kita ini. Dialah yang menciptakan Cairan Penghilang Tinta yang berbahaya dan laku di pasar gelap itu. Akhirnya para penjahat itu bisa ditangkap. Tapi si ilmuan masih sulit untuk ditangkap. Karena tuduhan atas dirinya tidak kuat. Hanya saja, keluarga nya memang tidak menginginkan keberadaan si ilmuan di rumah karena mereka mengetahui Kejahatan yang selama ini dilakukan oleh ilmuan tersebut. Lagipula saksi dari keluarga cukup banyak sehingga akhirnya si ilmuan bisa dipenjara."
Qonita agak terkejut mendengar cerita Tantenya.
"Tapi, Tante. Aku dan Adiba juga sudah berhasil mengungkap siapa yang selama ini menggunakan Cairan Penghilang Tinta untuk mengubah nilai Adiba. Pelakunya Lala. Dan dia melakukan nya karena dia ingin orang lain merasakan apa yang dirasakannya. Selama ini, Lala sangat ingin mendapatkan nilai yang bagus. Tapi mungkin ini bukan hanya kesalahan Lala. Tapi juga ayahnya." kata Qonita.
"Oh iya. Tante lupa bilang kalau ilmuan itu ayahnya Lala. Tapi kata Lala, ia memang merasa lebih baik ayahnya menjalani hukuman dahulu. Ia tak ingin perbuatan ayahnya terulang kembali. Karenanya, Tante minta agar Qonita mau berteman dengan Lala. Qonita mau kan? "Tanya Tante Nia.
"Insya Allah, Tante.." Jawab Qonita.
Jadi keesokan Harinya, Qonita mengajak Lala dan Adiba ke taman. Qonita mengajak Lala untuk berteman dengan ia dan Adiba. Lala tentu sangat ingin. Ia berterimakasih pada Qonita dan Adiba yang telah menyelamatkan sisi baik dirinya...
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kepanjangan gak niih ><
Waaahhh.. menarik dan bagus bangeettt kak! keren!!!
waaaw 7858 kata
Hehe :D