Lily's Adventure (Bab 1)
Cahaya matahari menyengat kulitku. Aku menyipitkan mata. Silau, batinku. Berjalan pelan menuju rumah-rumah penduduk. Sesiang ini, hanya ada Tiga, Empat orang yang membeli jualanku. Aku mengeluh, teringat Nenek di rumah yang menyuruhku cepat pulang setelah semua jualanku habis.
“Kak!” seorang anak kecil berumur 7 tahun berteriak memanggilku. “Kak Lily! Aku mau beli Misro!”
Aku menoleh. Tersenyum. Akhirnya ada yang beli. Aku mengangguk. Mengambil Tiga jajan Misro. “Terima kasih.” Aku menjawab pendek. Tersenyum setelah si anak memberikan uang nya.
Umurku baru Delapan tahun. Tapi, sudah dibiasakan berjualan oleh Nenek saat berumur Enam tahun. aku anak Piatu. Tinggal di gubuk tua bekas peninggalan Ibuku dulu. Kata Nenek, Ibuku meninggal setelah melahirkanku. Dan Ayahku, pergi entah kemana. Ia merasa kehilangan setelah Ibuku meninggal, dan pergi meninggalkan aku dan Nenek.
“Lily!” aku menoleh. Mencari sumber suara. Siapa yang memanggilku?
“Lily! Ini aku, Hasna dan Nadia!”
Aku menoleh ke belakang. Hasna dan Nadia terlihat berlari-lari kecil kearahku. Hasna sedang membawa tas kecil yang selalu digandeng nya. Nadia pun terlihat begitu. Bedanya, Nadia membawa tas besar berisi banyak buku Novel.
“Ada apa, Nad, Na?” aku bertanya. Memandang wajah teman terbaikku itu. Ya, mereka memang sahabatku. Aku tidak sekolah, maka banyak anak seumuranku mengejekku. Tapi, Nadia dan Hasna berbeda. Mereka tetap bermain denganku walaupun aku dekil, dan lebih pendek daripada mereka—beda sepuluh centimeter. Malah, mereka juga sering membelaku sewaktu aku dilempari sampah plastik oleh anak-anak lain.
Nadia menggeleng. “Aku dan Hasna mau mengajak kamu bermain. Kamu mau? Di rumahnya Hasna.” Nadia menunjuk Hasna disebelahnya. Hasna disamping Nadia mengangguk sambil mengangkat dua jarinya.
“Ayo, Lily… aku baru download game baru, nih! Papa juga baru belikan aku mainan! Pasti seru kalau kita main bareng!” Hasna mendesakku. Memegang lenganku lembut.
“Hm…” Aku terdiam sebentar. Berpikir. Tak apalah, aku kehilangan satu dua pelangan. Toh, Nenek juga tak pernah memarahiku jika mendapatkan uang sedikit. Aku mengangguk. Nadia dan Hasna berlompatan senang.
Saat itu, aku benar-benar melupakan kata-kata Nenek untuk pulang cepat.
…
“Eh?” Bibi Seli yang sedang duduk membaca buku di teras depan rumah Hasna menoleh. Kaget melihatku dan Nadia. “Ini Nadia yang kutu buku itu, ya? Sama, Lily yang eh, cantik itu, ya?” mata Bibi Seli menatap mataku. Setiap aku datang kerumah Bibi Seli, dia selalu berlama-lama menatap mataku.
Hasna mengangguk. “Ma, mereka mau main dirumah. Boleh, kan, Ma?” Hasna memohon pada Mamanya. Menatap Bibi Seli dengan tatapan memohon.
Bibi Seli mengangguk.
Aku menggaruk kepala. serius nih, aku tadi dibilang cantik sama Bibi Seli? Kataku dalam hati. Duh, kok aku ge-er ya? Huss… Mungkin biar aku senang saja. Segera kuusir pikiran aneh itu.
“Oh, ya, Na!” suara Bibi Seli memutus prasangkaku. “Suruh Bibi Lia buatkan Es Jeruk, ya? Juga, Mama beli Pizza tadi. Bawakan keluar ya. Masa’ tamunya gak dikasih makanan, sih?” Bibi Seli mengedipkan matanya. Tertawa kecil.
Hasn ikut tertawa kecil. Mengangguk. Nadia disebelah nya entah kenapa ikut tertawa juga—padahal kan, gak ada yang lucu?
Aku terdiam. Pasti menyenangkan memiliki keluarga yang hangat seperti ini.
“Lily? Kenapa masih diam disana? Ayo, Masuk. Teman-teman mu sudah masuk, itu.” Bibi Seli menunjuk punggung Hasna dan Nadia yang menghiang dibalik pintu.
“Eh—” aku jadi serba-salah. Tergagap malu.
…
“Giliranmu, sekarang, Lily!” Hasna berseru. Kami sudah tenggelam dalam permainan teka-teki. Permainan lama, memang. Tapi, bagi kami, anak umur delapan tahun, itu tetap permainan yang seru!
“Aghhhh!!! Kalah, lagi!” Nadia disebelahku yang sedang bermain Teka-teki Gambar dengan Handphone Hasna berseru marah. Gemas mengangkat tangan nya, kesal.
“Hei, Hei! Jangan lempar hp nya, Nadia!” Hasna merebut cepat handphone nya sebelum benar-benar dilempar oleh Nadia.
Aku disebelah Nadia terkekeh. “Sabar, lah, Nad… orang sabar jidatnya lebar!” ujarku menggoda Nadia.
Nadia melotot marah. “Bukannya bantu, malah bikin marah saja!” Mungkin, itu kata Nadia dalam hati. Bersungut-sungut. Lari mengejarku dan Hasna. “Awas saja, kalian! Siniiiii!!!” Nadia semakin mengincar kami. Bersiap menggelitik.
“Hei, Hei, Hei! Ada apa, ini?!” Bibi Lia yang sedang membawa gelas berisi Es Jeruk berseru. Menatap kami tak mengerti.
“Hasna! Nadia! Lily! Jangan, berlari-lari!” suara Bibi Seli dari teras depan terdengar. Ia bersiap masuk ke rumah karena mendengar keributan dari dalam.
Gerakanku, Hasna, dan Nadia langsung terhenti. “Maaf, Bibi.” Ujarku dan Nadia bersamaan. “Maaf, Mama.” Kata Hasna.
Bibi Seli mengangguk lembut. “Ayo, kita makan-makan dulu… Lia, Pizza nya kamu simpan dimana? Bawa kesini!” Bibi Seli menatapku, Hasna dan Nadia lembut sambil menggandeng kantong plastik yang entah isinya apa. Bibi Seli duduk disofa empuk.
“Oh, ya!” ujar Bibi Seli yang melihatku menatap penasaran kantong plastik yang dibawanya. “Kamu penasaran banget, ya, Lily? Ini, Jajan dari Melissa bakery. Kamu tahu, kan, Hasna? Itu loh, jajanan kesukaanmu.” Bibi Seli mengeluarkan se-stoples Kue yang bertuliskan, Lidah Kucing Vanila.
“Wah! Ini Lidah Kucing, Ma? Mauuu!!!” Hasna berseru. Bergegas mengambil paksa stoples yang dipegang Mamanya. “Yummy… Ini enak banget, Lily, Nadia! Kalian wajib coba, deh!” Hasa mengambil sepotong kue ‘Lidah kucing’ nya.
Aku dan Nadia saling pandang. Tersenyum tipis.
“Nah, sama yang ini juga, nihhh!” Bibi Seli menunjukkan sekotak kue yang ia bawa.
“Coklat-Keju!” Seru Hasna. Tanpa menunggu, ia langsung mengambil kue tersebut. “Ini, ini yang paling…. Ugh! Enakkk!” ujar Hasna belepotan. Mulutnya penuh dengan jajan.
Bibi Seli terkekeh-kekeh. “Hasna itu, kalau urusan makan, paling minta ampun. Sampai kalahin bibi loh, waktu hamilin dia!” Bibi Seli mengedipkan matanya. Tertawa lebar.
“Ih, Mama! Enak saja!” Hasna melotot pada Mama nya. Mata bulat Hasna terlihat lucu.
“Dasar Gembul!” Bibi Seli mencubit lengan Hasna. Semakin tertawa.
Aku dan Nadia yang sedari tadi hanya menonton ikut tertawa lebar melihat mata Hasna yang kian membesar—karena melotot.
“Sudah, sudah… Jangan terlalu banyak ketawa. Kamu juga, Hasna. Bisa-bisa Matamu keluar kalau melotot terus!”
“MAMAAAA!!!”
Tertawa.
…
“Kamu masih jualan keliling, Lily?” Tanya Nadia. Kami sedang asyik memakan jajan setelah menggangu Hasna.
Aku mengangguk. “Aku butuh banyak uang untuk berobat Nenek. Nenek makin hari, makin sakit…” jawabku pelan. Menjelaskan. “Eh—” aku cepat menutup mulut. Sadar bahwa salah omong. Bukankah, Nenek selalu bilang, jangan pernah bicarakan kalau Nenek sakit didepan Bibi Seli? Karena, kalau Bibi Seli tahu, Bibi Seli akan… aduh, terlalu sedih melihat Nenek yang terkulai lemah. Dan aku? Segera diomeli oleh Nenek.
“Li-ly?” Bibi Seli menoleh. Jidatnya berkerut.
“Eh. Tidak ada, kok bibi… semua baik-baik saja.” Aku berusaha tenang menjelaskan. Berbohong. “Oh, ya! Nenek!” Seruku. Melepas jajan yang sedang kupegang.
“Ada apa, Lily?” kali ini, Hasna yang menoleh.
“Ne-Nenek… Nenek sendirian di rumah!” Aku berseru. Aku benar-benar lupa, kalimat Nenek yang menyuruhku untuk pulang karena Nenek sedang sakit.
Bibi Seli terlihat tegang. Buru-buru memanggil pegawai rumahnya. “Lia, Mina, Ria! Tolong lihat keadaan Nenek Lily di rumah nya! Segera!” ia memandang ke tiga pembantunya itu.
“Baik, Nyonya!” Bibi Lia, Bibi Mina, dan Bibi Ria serempak mengangguk. Bergegas mengambil sandal diteras depan.
Aku ikut berlari dibelakang Bibi Ria. Sambil berseru lirih, “Nenek…”
“Lily!” sura tegas Bibi Seli menghentikan langkahku, serta Langkah pegawai-pegawai rumah Hasna. “Kamu diam disini. Yang lain, cepat ke rumah Lily! Segera!”
Bibi Lia, Bibi Mina dan Bibi Ria mengangguk cepat sambil berlari kecil. Aku menoleh. Bertanya-tanya, ada apa, sih, Bibi? Aku sedang buru-buru. Nanti, Nenek kenapa-napa! Mengomel dalam hati.
“Sini, Lily!” Bibi Seli mengangguk padaku.
Aku hendak berseru sebal. Namun, terdiam. Menuruti perintah Bibi Seli.
“Lily…” inotasi suara Bibi Seli melunak. Memandangku teduh, seperti pandangan seorang ibu pada anaknya.
Aku menelan ludah. Belum pernah aku mendapatkan pandangan seperti ini. “Ya?” aku mendongak menatap wajah Bibi Seli patah-patah.
“Ceritakan semuanya, Lily. Ceritakan!”
Aku mengangguk patah-patah. Menceritakan semuanya, lagi-lagi dengan suara patah-patah. Pelan.
Bibi Seli menghela napas nya setelah mendengar ceritaku. “Kamu seharusnya beri tahu Bibi, sayang. Jangan dibiarkan begitu saja. Kalau kamu memberi tahu Bibi, siapa tahu Bibi kan bisa tolong? Bibi kan Dokter. Kalau hal seperti itu yang dilarang Nenekmu, tak apa dilanggar.” Bibi Seli berkata pelan.
Nadia dan Hasna memandang kami. Menonton.
“Kamu paham, Lily?”
Aku mengangguk. Namun, belum genap anggukanku, Bibi Mina berseru memberikan salam. Lari terpogoh-pogoh.
“Wa’alaikumussalam…ada apa, Mina? Ada yang salah?!” Bibi Seli langsung berdiri melihat Bibi Mina lari terpogoh-pogoh. Aku, Hasna dan Nadia ikut berdiri. Ada apa?
“Eh, anu, Nyonya… itu!” Bibi Mina menelan ludah. Nafas nya tersenggal—jarak rumahku memang agak jauh dari rumah Hasna.
“Nadia! Bawakan Bibi Mina air.” Bibi Seli berseru tegas pada Nadia. Nadia mengangguk. Bergegas mengambil air di dapur.
“Begini, Nyonya. Eh, Nenek Lily, dia…eh, pingsan di dapur, Nyonya. Eh, ditangan nya ada darah. Mungkin habis memotong sayur, atau apa, Lalu, eh, tangan nya kena…”
Aku terhenyak. Nenek… Nenek pingsan?! Tidak mungkin! Aku berlari keluar Rumah. Berusaha menyusul pegawai rumah Hasna yang sedari tadi sudah sampai di Rumahku.
“Lily!” Nadia dan Hasna berseru. Mencoba menahanku.
“Lily!” Bibi Seli ikut berseru. Menyusulku cepat. Memegang lenganku. Bibi Mina ikut memegang lenganku. Berseru, tenang.
“Tidak Mau!” aku berteriak. Memberontak. Nenekku sakit. Nanti dia pergi dan aku tak ingin Nenek pergi. Ibu, Ayah, mereka pergi saja sudah cukup membuatku sedih. Jangan ditambah Nenek pingsan, apalagi sampai… Lidahku kelu.
“Diam disini, Lily!” Bibi Seli menarik lenganku paksa.
“TIDAK MAU!” aku menjawab parau. Kasar menepis tangan Bibi Seli yang hendak menahanku lagi.
“Bibi sudah hubungi Rumah Sakit, Lily. Kamu tenang saja!” Bibi Mina ikut berseru. Menarik tanganku. Kali ini, aku tak sempat menepis tangan Bibi Mina. Dia menarikku masuk kedalam Rumah.
“Lily mau ke rumah! Lily mau pulang!” aku memberontak. Menggigit bibir. Menahan tangis. “Lily tidak mau Nenek sakit! Lily harus segera kesana! Nenek pasti mencari Lily!”
“Tenang, Lily!” Hasna disebelahku berusaha menahanku. Untuk anak seumuran kami, kami sudah terbiasa marah, memberontak, atau apalah karena tak dibelikan mainan, atau yang lainnya. Tapi, Masalahku kali ini berbeda. Bukan karena mainan, dan yang lain. Tapi, karena Nenek. Seseorang yang mungkin akan… Pergi!
“LILY!”
Gerakan kakiku yang memberontak terhenti. Menoleh pada sumber suara, Bibi Seli.
“Lily… dengarkan Bibi, Lily. Dengar. Stop, jangan marah, dulu. Jangan!”
Aku menurut. Memasang wajah masam. Jilbab lusuhku awut-awutan. Bekas marahku tadi.
“Lily… kamu, kamu jangan marah dulu, sayang. Menurut Bibi, kamu lebih baik menunggu disini saja. Jangan dipaksakan kesana. Lebih baik, kamu tunggu Papa nya Hasna sebentar. Dua jam lagi, ia datang. Kita bisa pergi dengan Mobilnya—karena hanya Papa Hasna yang bisa mengendarai mobil. Siapa tahu, Nenekmu sudah pergi langsung ke Rumah sakit. Lagipula, kalaupun kamu sudah datang kesana, kamu tidak diizinkan masuk menemui Nenek mu Lily… Tidak diizinkan! Nenek mu boleh jadi belum sadar, kan? Jadi, itu akan sia-sia.” Bibi Seli bicara Panjang-lebar. Menyentuh bahuku. “Ya, sayang, ya?”
Aku menghembuskan nafas—kali ini, aku sudah lebih rileks. Mengangguk pelan. Menatap wadah tuduh telus Bibi Seli
“Nah, sekarang lebih baik, Nadia pulang dulu saja. Tadi, Bibi ditelepon sama Bunda mu. Katanya, mau pergi jalan-jalan, ya? Ke Rumah Nenek dan Kakek? Nadia pulang, ya…”
Nadia terlihat hendak protes. Namun, kemudian, mengangguk. tak berani melihat mata tajam Bibi Seli.
Saat itu, umurku 8 tahun. Untuk anak seumuranku, aku sudah mengerti tentang kata Pergi. Dan saat ini, seseorang yang sangat kucintai, sedang bersiap untuk pergi. Pergi meninggalkanku lagi. Selamanya.
…
“Ayolah, Om… Jalannya cepat-cepat.” Aku mengomel dalam hati.
“Pa, jalan nya cepetan, dong, Pa. Kasihan, Lily, dia mau cepat-cepat lihat Nenek, nya!” Hasna lebih dulu berseru sebelum aku benar-benar mengomel.
“Iya, Hasna. Ini sudah cepat kok.” Om Reza menyahut di jok depan.
Setengah jam lalu, aku berseru riang melihat mobil om Reza terparkir rapi di teras Rumah Hasna. Om Reza bingug melihat istrinya, dan anak nya berseru-seru, segera menuju Rumah Sakit. Dengan cepat, Bibi Seli menjelaskan pada om Reza. Ditambah sedikit olehku dan Hasna.
“Tunggu sebentar, dua menit lagi sampai!” kata Bibi Seli disamping om Reza.
Aku dan Hasna mengangguk. Menatap ke luar jendela lagi.
Dua menit kemudian, Bibi Seli menyikut Hasna yang melamun. Bilang, bahwa kami sudah sampai. Aku yang dipanggil Bibi Seli bergegas turun dari mobil. Lari menuju pintu gerbang Rumah sakit.
“Lily!” panggil Bibi Seli. “Kita bawa pakaian-pakaianmu dulu, ya?”
Aku menoleh. Mendengus sebal. Namun, mengangguk. Malam ini, aku akan menginap di Hotel dekat sini. Persis disamping Rumah Sakit. Oleh karena itu, kami terlebih dahulu pergi ke Hotel.
“Nah, Nanti Hasna sama Lily satu kamar, ya? Om sama Tante disebelah nya lagi.” Kata om Reza saat kami masuk ke lobi Hotel.
Aku mengangguk cepat. Tak sabar menuju Rumah sakit. Aku sama sekali tak tertarik melihat Hotel ini, padahal, aku baru kali ini masuk ke Hotel. Setelah kami selesai dari Hotel, kami bergegas menuju bangunan sebelah nya. Rumah Sakit.
Bibi Seli berbincang sebentar dengan teman nya, yang satu Rumah Sakit. Bibi Seli memang Dokter, tapi, Dokter Anak. Jadi, hanya bisa membantu Nenek melalui teman Dokternya.
“Nah, Lily, Hasna, Nenek kalian ada di Ruangan Intan nomor sebelas. Ayo, kita naik kesana. Eits, Lily, kita naik ke atas. Pakai Lift. Kamar Nenekmu ada dilantai Lima. Lama, loh, jalan nya lewat Tangga!” Bibi Seli menahanku yang berlari kecil menuju Tangga.
Eh? Aku menoleh. Menatap Bibi Seli dan Hasna yang cekikikan. Kok, aku jadi serba-salah, ya?
…
Aku yang membuka pintu kamar Nenek. Suasana dingin segera menyergap ku saat melangkahkan kaki ke lantai kamar Nenek. AC di ruangan Nenek menyala. Memberikan udara sejuk bagi orang yang memasuki nya.
Tapi, aku sekali lagi, sama sekali tidak tertarik melihat AC tersebut. Aku lebih tertarik melihat Nenek yan terkulai lemah di ranjang Rumah Sakit. Selang infus terlihat menempel di lengan Nenek. CPAP terlihat menempel dihidung Nenek—Continous Positive Airway Pressure. Aku berseru tertahan melihat keadaan Nenek.
“Nenek…” aku menggoyangkan tubuh Nenek. Dingin. Detak jantung nya masih terasa. Helaan Nafas hangat nya juga masih ada—walau putus-putus. “Nenek…”
“Nenek belum sadar, Lily.” Sahut Om Reza setelah legang sejenak. “kita tunggu di luar saja, ya?”
“Tidak mau!” aku menjawab galak. Tetap memegang lengan Nenek. “Lily tidak mau tinggalkan Nenek!”
Bibi Seli menghela nafas prihatin. “Kita cari makan, yuk, Lily… ini sudah jam Dua loh…” Bibi Seli memegang bahuku. Tersenyum penuh kasih sayang.
Aku mendongak. Menatap tatapan teduh dari mata Bibi Seli. Aku menggeleng. Aku, aku takkan pernah meninggalkan Nenek. Nenek sedang sakit. Tak mungkin aku tinggalkan Nenek sendirian.
“Baiklah kalau begitu.” Bibi Seli menghela nafas Panjang. “Bibi, om dan Hasna mau makan di Hotel dulu, ya? Kamu kalau lapar, bisa tanya teman-teman Bibi.”
Aku tak mengangguk, juga tak menggeleng. Tetap memegang lengan Nenek.
Bibi Seli, Om Reza dan Hasna sudah keluar dari ruangan.
Aku terisak. Sesak, sakit, sedih, menyesal, entahlah. Rasa itu bercampur aduk menjadi satu. Sesak melihat Nenek terbaring lemah. Terikut Sakit karena mengetahui bahwa Nenek juga sakit. Menyesal karena mengabaikan kalimat Nenek. Sedih karena semua harus begini.
Aku menghela nafas Panjang. Kenapa hidup ini, begitu menyakitkan? Mengapa aku harus kehilangan orang yang begitu aku cintai? Mengapa Ayahku pergi meninggalkanku dulu? Mengapa Tuhan harus membuat takdirku begini? Pertanyaan itu terus terul;ang dari pikiran ku.
Nenek, aku tak kuat jika harus kehilangan Nenek lagi. Cukup sudah Ibu dan Ayah saja yang pergi. Mengapa harus ditambahi Nenek? Aku menghela nafas lagi. Kali ini, lebih Panjang.
Lamaku menunggu. Beberapa jam kemudian, aku jatuh tertidur. Masih memeluk Nenek.
…
“Lily!” sebuah suara memanggilku. Merdu.
Aku menoleh kesana kemari. Bingung, itu suara siapa? Bingung, aku dimana?
aku menginjak rerumputan lembut. Burung-burung terlihat terbang diatas sana. Bunga-bunga terlihat bermekaran. Menyentuh telapak tanganku. Di seberang sana, Gerbang yang terbuat dari emas terlihat terbuka lebar.
“Lily!” suara itu memanggilku lagi. Nenek. Ya, dia sedang berlari kearahku. Punggung Nenek tak tampak bungkuk. Bahkan, Lihatlah, wajah Nenek tidak terlihat keriput. Pun tidak setitik pun terlihat wajah kusut karena sakit yang dideritanya itu. Aku bahkan hampir tidak mengenal Nenekku sendiri.
Disamping Nenek, terlihat seorang wanita muda. Jilbab biru nya terlihat indah sekali. Seperti air! Sejernih air! Syal Pink yang melilit dilehernya terlihat meliuk-liuk. Wajah wanita muda itu terlihat bercahaya, sama dengan wajah Nenek. Ia memakai jubah indah berwarna putih. Hidung mancung nya terlihat cantik. Dan memiliki mata biru yang indah tiada kira. Berwarna sama seperti jilbab ‘air’-nya.
“Lily!” Bukan Nenek yang memanggilku, melainkan wanita muda itu.
Aku mendongak. Hendak berlari menghambur ke arah Nenek.
Tapi, Hei! Kakiku sama sekali tak bisa digerakkan! Aku mencoba mengangkat nya lagi. Hei, ada apa ini? Aku hanya bisa berdiri mematung—aku hanya bisa menggerakkan tangan—ditengah-tengah jutaan Bunga. Berseru memanggil, “Nenek!”
Nenek dan wanita muda itu tiba didekatku. Nenek memegang tanganku. Wanita Muda yang tak dikenal itu memeluk bahuku. Harum wangi tubuhnya tercium dihidungku. Aku mendongak. Tubuh Nenek dan wanita yang entah siapa itu, sangat wangi!
“Ne-nek?”
“Iya, sayang? Nenek disini,” Nenek tersenyum. Senyum nya terlihat amat menawan. “Lihat, itu! Kau tahu, dia siapa, Lily?”
Aku bergumam, mengapa Nenek malah bicara tentang wanita muda cantik, itu?
“Dia Ibumu, Lily.” Nenek menjawab tanpa menunggu gelengan atau anggukan ku. Tersenyum lebar. Senyum yang selama ini tak pernah kulihat.
Aku terhenyak. Ibuku? I-bu-ku? Benarkah itu Ibu? Aku mendongak. Wanita muda cantik itu tersenyum, melambaikan tangan nya. Hei, dia benar-benar mirip denganku! Hidung mancung nya mirip denganku, juga…mata biru cantik nya!
“Iya, Lily sayang?” Mata biru wanita muda itu mengerjap-ngerjap anggun. Terlihat cantik.
Nenek terkekeh. “Kamu tahu, Lily? Nenek akan menceritakan Rahasia kecil.” Ujar nya.
Aku menoleh pada Nenek. Rahasia kecil? Rahasia apa? Menatap penuh antusias.
“Kamu mau tahu, Lily?” Nenek memandangku. Menunggu jawaban dariku. Wanita muda disebelahku tersenyum manis. Amat manis.
Aku mengangguk.
“Kamu, ibumu, berasal dari Norwegia, sayang. Dan beruntunglah, kamu memiliki mata biru cantik itu… Juga wajah putih bersihmu, yang ditutupi tubuh dekilmu itu.” Nenek tertawa kecil.
Aku terhenyak. Aku, aku berasal dari Norwegia? Namun, mengapa Nenek tidak mewarisi mata biru itu?
“Nenek itu, ibu dari Papa, Dear…” Wanita muda itu, ibuku, yang menjawab. Seakan mengetahui pikiranku. “Nah, percayalah Lily… Jangan pernah bersedih hati. Takdirmu tidak pernah salah. Percayalah, suatu saat, semua yang terasa menyakitkan akan berubah menjadi indah. Percayalah, semua rasa sakit, sedih, yang kau lewati, suatu saat akan ada hikmah nya!” Ibu mencubit hidungku.
Aku menyeringai bingung. Darimana ibuku tau kalau aku berpikir seperti itu tadi?
“Lily, juga percayalah, ayah mu bukan tidak menyayangi mu. Tapi, dia masih sedih karena kepergian Ibu mu. Dia juga masih sedih karena diusir oleh keluarga Ibumu…” Nenek ikut menambahkan.
“kenapa diusir, Nek?” aku bertanya dengan suara bergetar. Melipat kening.
“Kamu akan mengetahui nya sayang… kamu pasti akan mengetahui nya…”
“Biarkan Lily mendengar nya, Nek, Bu… Lily mohon!” aku tetap memohon pada Ibu dan Nenek.
Ibuku menggeleng lembut. “Kamu akan mengetahui nya, sayang. Bukan sekarang, tapi, Mama yakin, kamu pasti akan tahu.” Ibu memandangku lembut.
“Tapi, Bu..”
Nenek menggeleng. “Ingat kata Ibumu, sayang… Oh, ya, panggil Ibumu, Mama. Agar ada sedikit-sedikit, Bahasa Inggris-nya.” Nenek mencoba bergurau—yang sama sekali tidak lucu dan tidak penting.
Aku menghela nafas pelan. Mengangguk walau tak setuju.
“Nah, sayang, hari ini, Nenek akan menyusul Ibumu. Ibumu sudah menjemput Nenek. Jujur, Nenek tak ingin meninggalkan mu, Lily… Tapi, memang sudah ketentuan Allah.” Ujar Nenek. Wajahnya tampak sedih. “Lily, Jagalah Allah, Niscaya, ia akan menjagamu, Nak. Jika kamu meminta, mintalah pada Allah. Allah lah yang maha kaya. Jika kamu memohon pertolongan, mohon lah pada Allah. Ingat kata Rasulullah itu, sayang. Ingat. Kamu Janji?”
Aku mengangguk mantap. Aku berjanji. Walau, masih bingung, Nenek akan menyusul? Maksudnya apa?
“Juga, my Dear,” Mama menambahkan. “Kamu, Jadilah anak yang penyabar. Jika kamu kecewa, jangan pernah mengeluh. Jika kamu terjatuh, jangan pernah berhenti. Berdiri, lagi, dan lagi. Jika kamu sesak, jangan pernah menyerah. Sekalipun. Jika kamu marah pada suatu hal, jangan pernah sedetikpun membenci. Membenci Bibi Seli, Hasna, atau yang lain. Dan kalaupun kamu marah, ingatlah kebaikan yang pernah ia lakukan. Jika kamu Sakit, jangan pernah membalas. Jika kamu sedih, jangan sampai sedih berlarut-larut. Dan jika kamu kehilangan, jangan pernah berputus asa. Itu nasihat yang dulu Mama dapatkan dari Nenekmu, grandma. Okay? Janji?”
Aku mengangguk patah-patah.
“jangan pernah membenci Ayahmu yang meninggalkanmu, Honey. Jangan pernah sekali pun. Ia punya masalah tersendiri yang lebih rumit, honey… Paham?”
Aku mengangguk lagi.
“Nah, waktu kami sudah habis, sayang. Bersenang-senanglah diluar sana… Buat kisah hidupmu menarik. Jadikan kisah hidupmu itu, seperti Novel. Jadilah tokoh utama yang baik.” Mama mencubit hidungku sekali lagi—mungkin ini kebiasaannya. Memeluk.
“Mama… Nenek… Mama dan Nenek mau kemana?” Mata biruku mengerjap-ngerjap. Bertanya.
Nenek membalikkan badan. “Tidak kemana-mana sayang. Kami hanya pergi sebentar. Kami akan tetap disamping mu! Selalu disisimu”
“Nggak Mau!” aku paham maksud Nenek, Nenek akan menyusul Ibu. Ia akan pergi selamanya. Tak pernah Kembali. “Jangan Pergi Nek!” aku berteriak parau. Kakiku sama sekali tak bisa digerakkan. “Mama! Jangan tinggalkan Lily!”
Mama menoleh. Tersenyum. Melambaikan tangan nya. Hilang ditelan gerbang emas itu. Aku menangis. Menangis sendiri
…
“Nenek!” aku terhenyak. Bangun dari tidurku. Aku bergegas memegang lengan Nenek. Dingin. Bergegas ku dengar detak jantung Nenek.
Aku terkesiap!
“Dokter! Dokter!” aku berteriak. Membuka pintu ruangan. Berteriak memanggil Dokter, perawat, apa saja yang bisa mendatangkan Nenek ku lagi. Hasna, Bibi Seli dan om Reza sudah pulang dari tadi. Mereka juga segera masuk ke ruangan Nenek dirawat. Bibi Seli segera memeriksa detak jantung Nenek, Nafasnya, dan Nadi nya.
“Permisi, permisi!” Seorang wanita muda—lebih muda dari Bibi Seli—menyibak kerumunan—banyak orang datang karena mendengar teriakan ku. Mungkin dia Dokter, pikirku. Tapi, dengan keadaan seperti ini, aku malas berpikir tentang ini itu. Aku lebih memikirkan kondisi Nenek. Cemas. Mungkinkah dia masih bisa ditolong?
“Permisi, honey!” Dokter muda itu menyuruhku minggir—tebakanku benar, dia seorang dokter. “Honey, bisa tolhong kheluar? Shaya akan berusaha sebaik mungkhin, honey.” Kata Dokter itu. Bahasa Indonesia nya, agak ditambah H, H, dan H. Juga, R nya terasa tidak sempurna.
“Lily!” Bibi Seli yang tadinya sudah keluar ruangan masuk lagi. Menarik lenganku. “Sorry, Doctor Ella. Saya benar-benar minta maaf!” Bibi Seli terlihat memohon dengan Bahasa yang tidak ku mengerti.
“Thak apha, Seli.” Dokter muda yang dipanggil Ella itu menggeleng. “Shaya jugha pernah kehilangan seorang khakak. Mungkin, sepherti icu lah yang dirasakan anak ini.” Ia menunjukku.
“Thanks, Doctor Ella. Sekali lagi, saya minta maaf, jika merepotkan. Ayo, Lily, kita keluar!” Bibi Seli membungkukkan badan nya. Bergegas menarikku yang dibantu dengan Om Reza yang sudah masuk ke ruangan Nenek.
“Okay, Seli.” Dokter Ella mengangguk. menutup pintu ruangan Nenek setelah aku berhasil dikeluarkan.
Aku duduk dipinggir Lorong Rumah Sakit. Duduk menyendiri. Bibi Seli, Hasna dan om Reza memutuskanku ditinggal sendiri terlebih dahulu. Bilang, bahwa aku butuh waktu untuk mengerti kesedihan ini.
Aku hendak membantah saat mendengar kata Om Reza—tapi, segera kuurungkan. Tidak. Aku bukan sedih. Aku bukan sakit. Air mataku sudah habis saat menemani Nenek beberapa menit lalu. Tidak. Aku sedang memikirkan kata-kata Mama dalam tidurku. Juga kata-kata Nenek. Papa diusir? Karena apa? Kenapa Papa tak menemuiku? Tak pernah mau menjagaku? Aku orang Norwegia? Punya mata biru? Cantik? Aku segera ingat, beberapa jam lalu Ketika Bibi Seli memujiku cantik. Segeraku melangkah ke cermin di samping Lorong.
Aku menatap mataku.
Dan, Hei! Benar! Lihatlah, aku punya mata yang cantik sekali! Persis seperti mata Mama! Hidungku juga terlihat mancung!
“Keluarga Nyonya Laila!”
Aku menoleh. Salah satu perawat menyebutkan nama Nenek!
“Ada apa, Tante?” aku bertanya polos. Menatap Wajah perawat itu. Dibelakang si perawat, Dokter Ella terlihat bingung, sedih, dan entahlah.
“Ada apa, sih, Tante?”
Ia menghela nafas. Bibi Seli terlihat didalam ruangan—aku tak sempat berpikir, kapan Bibi Seli masuk? Ia—Bibi Seli—melangkah keluar dengan nafas berat. Memelukku erat. Berkata, “Sabar, ya, sayang…”
Sebenarnya, apa yang terjadi?
…
NB: Untuk yang sudah tau kelanjutan nya, Good. Aku ulang post karena baru mengikuti kelas Sasisabu. Untuk kisah selanjutnya, lihat di akun sasisabu ku, Sunny Hinata.
Terima kasih!
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Nomorku ada di grup sasisabu kk, pp nya gacha hehe
sipm kak Aura
nomor pribadi, kan, kak?
AISMELNO ya kak?