Sulthan Mursyidan

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Si Perisak (2)

Si Perisak (2)

Aku dan Zao sudah di kelas sejak tadi, tapi bu Amel tak kunjung datang.

Sambil menunggu Bu Amel datang, kami asyik mengobrol. Aku tertawa mengingat kejadian kemarin.

Saat Rio mulai mengejarku dan Zao, kami nyaris tamat, sebenarnya bukan seperti itu. Di ujung gang berkelok yang ingin kami lewati, gang yang di kedua sisinya rumah tingkat, berbanjar. Aku melongok sedikit sebelum lewat, seekor anjing terlihat menunggu, aku menahan langkah Zao. Zao memasang wajah heran, Aku mengintip , menunjuk ke kelokan, Zao ikut mengintip, Zao terlihat cemas, mapasnya tersengal. Aku dan Zao sudah kelelahan berlari, bingung, putar arah dan bertemu “geng perisak” atau bertemu seekor anjing.

Tenaga sudah banyak terkuras, aku berhitung dengan situasi…, tiba-tiba.

“hei, kalian menang lomba marathon.”

Aku kaget, Zao terdiam, aku baru ingat alat bantu dengarnya rusak.Hah…, siapa yang bicara, di gang sepi nan gelap. Atau anjing itu yang berbicara, aneh…, tidak mungkin.

Tiba-tiba sebuah benda bergelayut di pundakku, aku melirik pundak…

“Aaaa..”

Ditengah remang, Zao melihatku yang terperanjat, memasang wajah seperti bilang, kenapa?, aku juga melihatnya.Aku tertawa, di situasi gelap seperti ini kukira ular.

Guk...guk!!!

Tawaku terhenti.Karena teriakanku, anjing di depan gang menyadari ada orang yang ingin lewat. Aku mulai takut. Memangku tas, memasukkan omoideno-sho ke dalam-nya

“jika ingin selamat panjat tali ini!”

Suara itu terdengar lagi, aku bertanya tanya, siapa pemilik suara itu.Tapi aku seperti kenal suaranya.

Aku menghadap ke atas, di tengah kegelapan aku mencoba menelusuri asal tali itu. Ternyata tali itu berasal dari sebuah jendela di tingkat dua, rumah seseorang. Sesosok bayangan berbentuk kepala melongok dari jendela.

“Zao lihat.”

Aku menunjuk ke atas, Zao tak berkomentar. Aku lupa, alat bantunya, sudahlah. Aku menarik ujung lengan baju Zao.

Zao menoleh, di tengah remang aku melihat Zao memasang wajah seperti bilang, ada apa?. Aku menunjuk ke atas, Zao mendongak.

“sudah, naik!”

Bayangan itu menyuruh kami naik.

Guk…guk!

Anjing di kelokan gang sepertinya semakin penasaran. Aku menggigit jari. Tak pikir dua kali. Aku langsung menyambar tali, memanjat. Zao ketakutan, memegang tasku. Aku tertahan.

“tunggu Zao, aku duluan.”

Zao keberatan, menengrnyutkan dahi. Aku nyengir.

“heh, jangan berebut.”

Si bayangan mengomel.

Aku memanjat lebih cepat, Zao di bawah menunggu.

Aku sampai di atas rumah tingkat itu. Aku terkejut. Sebuah wajah aneh muncul, aku memejamkan mata.

Aku hampir berteriak. Tapi orang itu menutup mulutku.

“nanti kamu ketahuan.”

Aku membuka mata, ternyata Andre si pemilik suara. Pantas saja aku kenal suaranya.

“dasar mengagetkan saja.”

Andre tertawa puas. Berhasil mengerjaiku.

Aku melihat sekeliling.

“ini rumahmu?”

“ya.”

Aku pernah ke rumah Andre, tapi dari depan, aku tidak tahu kalau belakangnya gang.

“to…tolong.”

Suara Zao terdengar. Aku lupa, aku buru-buru menolong. Zao kesulitan memanjat.

Derap langkah sekelompok orang terdengar di luar gang. Pasti “geng perisak”. Andre buru-buru menarik tali masuk, melempar sesuatu keluar jendela.

“apa yang kamu lempar?”

Aku bertanya heran.

“jebakan.”

Andre berkata santai. Aku semakin heran.

“lihat saja sendiri.”

Aku melongok ke bawah, melihat gang yang gelap dan sepi, Zao ikut melongok. Tak lama, di tengah remang, terlihat “geng perisak” datang.

“tadi aku dengar suara, sepertinya berasal dari sini .”

Salah seorang dari mereka mendengar sesuatu. Jebakan bekerja.

“itu pasti mereka.”

Si ketua mendengus kesal.

Mereka diam sementara, berbisik, merencanakan sesuatu. Mereka kena jebakan. Anjing tadi sudah dekat, menampakkan wajah.

Salah seorang dari mereka menyadari.

“Aa…anjing.”

Yang lain juga melihat.

Guk…guk!

Anjing itu menggonggong, membuat buyar “geng perisak”. Mereka terpecah, berhamburan keluar gang, berlari terkentut kentut ke rumah masing-masing.

Aku tertawa lepas.

Setelah tertawa mengingat kejadian itu. Tiba-tiba Rio mendatangi meja kami, wajahnya tidak senang.

Aku menatapnya sinis.

“mau apa kau?!”

Zao juga melihat Rio. Zao memegang pundakku, berusaha menenangkan, takut kerusuhan terjadi.

Rio hanya melirik. Mendengus kesal. Meninggalkan meja kami.

Zao menatapku, tatapannya aneh.

“Sudah Zao, itu pantas baginya.”

Aku berkata sembari menatap tajam pada Rio. Itu memang pantas baginya, anak seperti dia yang suka merisak, membuat kerusuhan, memalaki adik kelas, tidak pantas diterima dimanapun.

***

Pelajaran berlangsung setelah satu jam istirahat kedua, tinggal satu pelajaran, lalu pulang, itu yang ditunggu.

Zao di sebelahku, fokus mengerjakan tugas yang diberikan bu Amel. Zao memegang telinga, lalu menghela napas panjang.

Aku kasihan melihatnya, andai aku bisa membantu.

“Zao.”

Aku teringat sesuatu, lagi-lagi aku lupa kalau…

“apa?”

Tiba-tiba Zao menjawab, aku bingung.

“kamu bisa dengar aku?”

Zao tersenyum, mengangguk. membuka omoideno-sho, menulis sesuatu di dalamnya, tak lama dia membalik buku ber-cover sakura itu. Dia bilang tadi kamu mau bertanya sesuatu?.

Aku gelagapan, lupa ingin bertanya apa.

“eh…anu, ga jadi deh.”

Zao memasang wajah, seperti bilang, ok. Senyap sementara.

“Alat bantu dengar mu sudah tidak rusak?”

Aku bertanya, memulai kembali percakapan.

Zao menulis sesuatu di omoideno-sho. Setelah beberapa lama, Zao terlihat berpikir, menatap langit langit ruang kelas. Lalu membalik. Dia bilang, Aku beli baru.

“baguslah kalau begitu.”

Kembali senyap. Sepasang mata licik terlihat memantau.

“baik, kumpulkan tugas kalian!”

Bu Amel menyuruh Selfi mengumpulkan tugas semua anak di kelas.

Setelah semua tugas terkumpul, membaca do’a, semua anak beranjak pulang. Zao sudah tidak sabaran, mungkin dia sudah lelah.

“a-yo Zein.”

Aku bahkan belum selesai memakai sepatu. Zao melesat dengan cepat menuju halaman sekolah, lalu dengan cepat menuju depan sekolah.

Aku menghampirinya, menyebrang. Kami sampai di depan gang yang kemarin kami lewati. Itu jadi jalan tercepat sekarang

Zao hendak melewati gang. Aku menyadari sesuatu. Segera ingin memberitahu Zao. Tapi sudah terlambat

Seketika Zao terjatuh, tersandung.

Ini jebakan!

Dari atas, sebuah ember seketika menumpahkan air, membasahi tubuh Zao. cihh…, jebakan klasik.

Aku menolong Zao, Zao memegang telinga, Dia menangis.

Aku melihat-lihat sekeliling. Berharap ada yang menolong. Tapi yang kulihat hanya sepasang mata licik mengintip dari gerbang sekolah.

Dasar si perisak, ini pasti ulahnya.

Zao di sebelahku menangis. Bukan karena dia anak yang cengeng, bukan juga karena bajunya basah, tapi karena dia takut alat bantu dengarnya rusak, khawatir dia akan menyusahkan orang tuanya. Sebab alat bantu dengar berharga mahal.

Semua itu terlihat dari wajahnya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post