Si Perisak (1)
Si Perisak (1)
Kembali di waktu istirahat. Aku paling suka waktu istirahat, sampai bosan melihat Zao yang sedang menulis di omoideno-sho, entah apa yang sedang ditulisnya, aku terhenti di satu titik, melihat lamat lamat tangan Zao, tangan kirinyanya yang terluka sudah di jahit.
Kemarin kami pulang selepas menemukan omoideno-sho, tangan Zao dicuci agar lukanya tidak terinfeksi, ternyata lukanya cukup dalam, mama Zao heran melihat Zao yang basah, kotor, berlumpur nan membawa luka dalam di tangan. Mama Zao langsung menangani setelah Zao membersihkan diri.Aku sudah pulang saat itu, Zao yang memberitahu. Bukan aku tidak peduli, tapi dia yang menyuruhku pergi, dia bilang lebih baik aku pergi untuk membersihkan diri, belajar untuk ujian hari ini, memang begitu dia bilang.
Sekarang waktu istirahat sedang berputar, selama istirahat aku membaca buku, mempersiapkan untuk ulangan harian IPA, aku paling suka pelajaran IPA.
Tiba-tiba Rio datang ke mejaku dan Zao, bagi yang belum tahu siapa Rio?, ayolah.., dia terkenal di kalangan anak nakal, kalian pasti tahu apa yang dilakukan anak seperti mereka, suka berbuat kegaduhan, dimana ada mereka pasti ada saja keributan.Selama kelas enam dia selalu berpindah kelas, dari kelas D ke kelas C, dari kelas C ke kelas B, dari kelas B ke kelas A, kelas kami yang damai nan tentram ini.Semua perpindahan itu disebabkan kenakalannya sendiri, tak ada kelas manapun yang mau menerimanya, kelas kami hanya belum tahu apa kegaduhan yang dapat dia lakukan.Anehnya, dari banyak anak nakal hanya dia yang dipindahkan sana-sini, mungkin yang lain lulus tes ketertiban, kesopanan dan cara bicara, entahlah…, yang jelas aku tidak suka dengan datangnya Rio ke mejaku.
“heh bocah tuli, sedang apa kamu disini?”
Rio mendorong Zao, sampai jatuh dari kursi, aku buru buru menolong Zao.Sudah kubilang, ini pasti tidak baik.
“seharusnya aku yang bertanya begitu.”
Dia benar-benar mengajak perang.
“diam kau sok pintar!”
“apa maksudmu berkata begitu, lantas mendorong Zao.”
Zao hanya menonton, menyaksikan adu mulut, tidak mengerti apa yang aku dan Rio bicarakan.Tadi pagi dia bilang alat bantu dengarnya bermasalah, dia selalu bilang “hah?”, tidak dengar apa yang aku katakan.Mungkin rusak karena terkena air sungai kemarin.
“berisik!”
“aku tidak ada urusan dengamu!”
Aku mendengus, kesal dengan perangainya.
“sudah, pergi kamu dari sini!”
“kamu tidak pantas ada di sini!”
Aku mendorong Rio dengan kencang, tubuh Rio menghantam meja.Aku tidak tega melihat Zao yang tidak tahu apa apa, masih terduduk diam, menyaksikan.Aku membantu Zao berdiri.
“aduuh..”
Rio berdiri, meringis, memegang pinggang, menatapku kesal, memukulku.Pertengkaran tak ter-relakan, aku mulai membalas, memberikan yang pantas dia dapat.Selfi panik, mencoba memisahkan kami, beberapa anak perempuan menjerit.
“panggil bu Amel!”
Selfi memerintahkan Siti, Siti berlari cepat ke ruang guru.
***
Proses belajar mengajar di mulai, tentu setelah proses pengadilan yang panjang. Setelah bu Amel datang, semua mulai membaik, bu Amel berhasil memisahkan kami, membawaku dan Rio ke ruang guru.Semua teman sekelas melongok, hanya melihat kepergianku, ruang guru menanti.Aku juga melihat mereka, Selfi yang terlihat panik, Siti yang menggaruk kepala, Andre yang terbengong sambil mengupil, dia memang jorok.Lalu melihat Zao yang juga terbengong, tidak mengeri apa yang sebenarnya terjadi, memegang alat bantu dengarnya.
Proses pengadilan panjang terjadi di ruang guru, aku panas, napasku memburu, di sampingku si pembuat onar, pura pura tidak tahu saat ditanya, Basa-basi busuk orang sok keren. Walau dia mengaku, tapi dia tidak merasa bersalah. Akhirnya setelah kami dinasehati oleh bu Amel, kami masuk kelas, Selfi bertanya apa yang terjadi di ruang guru, aku bilang, itu bukan untuk dibahas.
Waktu istirahat yang buruk.Untung amarahku cepat menguap.
“baik, ibu akan memberikan nilai hasil ulangan matematika.”
Seketika seisi kelar terdiam. Orang-orang terlihat panik
“nilai ulangan matematika tertinggi adalah, Zein…”
Teman teman bertepuk tangan, Selfi dan Siti di meja sebelah, memberi jempol. Aku senang mendapat nilai tertinggi, aku harus terpilih lomba. sepasang mata iri melirik.
“nilai ulangan matematika tertinggi kedua adalah, Selfi…”
Aku dan Selfi saling tatap, ber-tosan, kami sudah biasa dapat nilai bagus, Zao disampingku memberi jempol pada Selfi. Aku bingung, mungkin alat dengarnya bekerja lagi, atau karena suara bu Amel terdengar lantang, atau dia hanya asal memberi jempol, entahlah.
“nilai ulangan matematika tertinggi ketiga adalah, Zao….”
Ternyata Zao memang punya kejutan, dia d isebelahku meletakkan kepala di atas meja, dugaanku tadi benar dia hanya asal memberi jempol.
Semua mata tertuju pada Zao, aku kesal melihat Zao yang malas malasan, meletakkan kepala di atas meja lantas membuka-tutup omoideno-sho sambil tersenyum. Aku menyenggol Zao.
“mimpi indah…”
Zao terperanjat, menatapku kesal sambil memasang wajah, seperti bilang, "ada apa?” Zao melihat sekitar, teman teman bertepuk tangan. Zao mangut mangut , tidak mengerti apa yang terjadi, aku memutar bola mata, berhenti di satu titik. Sepasang mata iri kembali melirik.
“baik, kita lanjut ulangan IPA.”
Beberapa teman ber-yaah, kecewa. Aku malah bersemangat, ini pelajaran kesukaanku, aku harus dapat nilai tertinggi.
Aku tak sabar, sampai tidak tahu kertas ulangan sudah dibagikan, aku antusias, mulai mengerjakan.
Sehabis mengambil kertas ulangan, Zao disebelah ku masih meletakkan kepala diatas meja, terdiam memegang telinga, jahitan di tangannya terlihat, aku ingin jahil menyenggolnya lagi, tapi setetes air mata mengalir dari mata Zao.
“kamu kenapa?”
Zao menatapku tersenyum tertahan, memasang wajah, seperti bilang, tidak ada. Aku mengerti.
***
Ulangan IPA sudah selesai sejak tadi, bahkan sekarang kami sudah beranjak pulang, aku dan Zao keluar kelas, setelah selesai les bahasa inggris. Aku menyuruh Zao pulang lebih dulu. Aku tak tahan ingin buang air. Sepasang mata menatap tajam.
Zao memilih menunggu di depan sekolah.
Aku sudah selesai buang air. Apa yang aku lihat, si pemilik mata tajam dengan dua rekannya menghadang Zao, merenggut sebuah buku dari tangannya, omideno-sho dioper ke rekannya.Zao dipermainkan.
Tak ada orang yang menolong, sekolah sepi, sudah dua jam setelah bel pulang berbunyi. Jual koLes bahasa inggris hanya satu jam, tapi kami main dulu sebentar di halaman sekolah yang cukup besar dengan pancuran di tengahnya.
“dasar si perisak,”
“menjauh sana!”
Aku mendorong Rio, omoideno-sho yang di pegangnya terpental, si ketua “geng perisak” itu terjatuh, rasakan.
Rekannya menolong. Rio berdiri, mendengus, menatap tajam.
“ayo Zao pergi!”
Aku berteriak kencang, menerobos “geng perisak” sambil menarik tangan Zao,
Zao tertahan sementara. Memikirkan sesuatu.
“sudah, ayo.”
Dengan terpaksa Zao ikut berlari.
Aku menunjukkan omoideno-sho di tanganku, mata Zao melebar , dia bernapas lega, mulai berlari lebih kencang, meninggalkan “geng perisak” jauh di belakang.
Kami berlari Menyebrangi jalan.
Si perisak memang aneh, mau apa dia dengan Zao? Di belakang, mereka semua melotot.
“dasar anak sok pintar,”
“awas kau!”
Aku menghadap ke belakang, menjulurkan lidah. Rio kesal, mulai berlari, napasnya memburu, mengejarku dan Zao.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar