Sulthan Mursyidan

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Kisah Dua Sahabat

Kisah Dua Sahabat

“Kita mau kemana?”

Zao terus menarik tanganku. Entah ingin mengajakku kemana. Dia memasang wajah seperti bilang, sudah ikut saja, pasti seru.

Tadi pagi aku terkejut melihat Zao didepan rumahku, sedang duduk. Sepertinya belum lama dia disana, mungkin dia malu memanggilku didalam rumah yang sedang asyik membuat tugas proyek dari bu Amel. Saat aku keluar rumah lantas melihat Zao yang sedang duduk seketika bangkit, berseru senang karena akhirnya aku keluar. Lalu membawaku ke rumahnya untuk mengambil uang. Bahkan aku belum pamit dengan ibuku. Dasar Zao, entah kenapa semangat sekali dia pagi ini. Padahal hari ini hari libur.

Sekarang aku dan Zao sedang berada di jalan menuju tempat yang dimaksudkan Zao. Sepertinya menuju kota.

“Kita mau kemana?”

aku bertanya lagi.Memastikan kemana aku akan pergi.

“toko.”

“ooh.”

Akhirnya dia bersuara.

“toko apa?”

Kali ini dia memasang wajah, seperti bilang, ada deh. Aku menekuk bibir. Menyebalkan. Awas saja kalau tempatnya membosankan, aku tidak mau diajak pergi lagi.

Sepertinya perjalanan kami masih panjang,.Langkah Zao belum juga terhenti.

“tugas proyek mu sudah selesai?”

Aku bertanya, berusaha memecah keheningan. Zao terlihat sedikit terhenti, lalu menghadap ke arahku, tersenyum, seperti bilang, belum.

“hayoo.., pasti kamu akan dimarahi bu Amel.”

“orang tuamu akan dipanggil ke sekolah, dimintai keterangan…”

“dan..”

Zao tidak mempedulikanku yang mencoba membuatnya panik. Langkahnya terhenti di depan sebuah toko alat tulis di pinggir jalan. Toko yang cukup besar. Banyak buku terjajar rapi di rak. Ada buku tulis, buku gambar, buku agenda, dan lain sebagainya, terlihat dari luar toko.

“ini tokonya?”

Zao tersenyum, seperti bilang, ya. Zao masuk toko tidak sabaran, segera melihat lihat sekeliling. Berhenti pada sebuah rak besar, berisi buku diary, rak itu berurut dari yang yang paling kecil sampai yang paling besar, berjajar rapi seperti sebuah pasukan. Sekarang dia berada didepan rak yang paling besar.

Aku berpisah dengan Zao. Aku memutuskan melihat lihat pulpen dan pensil di tempat lain. Zao masih terlihat di seberang, dia pindah ke rak yang agak besar.

Aku melihat dua anak kecil di dekat rak paling besar. Bercanda, saling memiting, dan saling mendorong. Aku segera tahu apa yang akan terjadi.

Aku berlari ke arah Zao, wajah Zao terlihat senang karena telah menemukan yang dicari, dia menunjukkannya padaku, aku tidak memperhatikan. Mencoba memperingatinya.

Dengan cepat kekhawatiranku terjadi, seorang anak terdorong kuat ke arah rak paling besar. Rak besar itu jatuh, dua anak kecil itu berlari panik.

Zao heran, menatapku yang begitu cepat berlari ke arahnya dengan napas memburu, tidak mengerti.

“awas!!!”

Aku berteriak, aku segera mendorongnya lebih jauh dari kekacauan.

Rak besar menimpa rak yang agak besar, lalu menimpah diriku, dan dilanjutkan ke rak yang lebih kecil. Tubuh kecilku dipenuhi tumpukkan buku, tersungkur tidak berdaya. Aku tidak bisa bergerak, kakiku terasa begitu sakit.

Sementara Zao terlihat jelas di anatara kekacauan. Berdiri di mematung. Buku berserakan di sekitarnya, wajahnya pucat pasi, tak mengerti apa yang telah terjadi. Semua mata tertuju padanya.

***

“ka-mu ba-ik ba-ik sa-ja?”

Kini aku yang hanya memasang wajah, aku tersenyum. Zao menanyakan keadaanku sekarang. Suara kecilnya terdengar terbata bata. Dia takut aku marah padanya. Tapi aku sama sekali tidak marah padanya. Itu hanya sebuah kecelakaan.

Zao takut takut melihat kakiku yang di bungkus perban.

Kejadian itu sudah dua jam yang lalu, setelah Zao tak tahu harus berbuat apa, sementara semua mata tertuju padanya. Akhirnya banyak pengunjung membantu membereskan masalahnya. Beberapa petugas kesehatan membawaku ke rumah sakit. Tulang kakiku patah setelah tertindih rak yang cukup besar.

Dua anak tadi mendapat teguran keras dari pihak toko dan ibu mereka ditagih ganti rugi atas kerusakan rak toko itu.

Untung salah satu petugas kesehatan tadi kebetulan kenal ibuku, jadi dia menelepon ibu untuk menjemputku dan Zao.

Tapi masalahnya adalah Zao. Sejak mengantarku ke rumah sakit. Dia hanya diam tak berekspresi. Menundukkan kepala.

Aku dan Zao duduk di bangku pinggir jalan, sambil menunggu ibuku datang menjemput kami.

“aku baik baik saja Zao.”

Aku mencoba memecah keheningan.

“a-ku me-mang ti-dak ber-gu-na.”

Eh… aku menatap Zao yang tertunduk, tidak percaya apa yang baru saja dia katakan.

“Sudah Zao, ini, aku belikan."

Aku berusaha menenangkan suasana. Menunjukkan sebuah benda.

Zao terkejut melihat buku itu ada di tanganku.

Zao mengangkat kepala. Menoleh padaku. Bola matanya melebar.

Buku yang tadi sempat ditunjukkannya. Aku menemukan buku itu saat aku tertimpa rak.

Meskipun aku tidak terlalu memperhatikan cover bukunya tapi aku yakin ini bukunya.

Zao mengambilnya, lalu menatap buku indah bermotif pohon sakura itu dengan tatapan bersalah.

Setelah beberapa saat termenung. Zao menatapku.

“te…terimakasih.”

Zao mencoba mengatakannya selancar mungkin.

“bukan masalah.”

“Kenapa kamu sangat menginginkan buku itu?”

Zao tertunduk.

“Ma-af ya, ga-ra ga-ra a-ku ka-mu ja-di ce-la-ka.”

“Se-ha-rus-nya a-ku ti-dak me-nga-jak-mu.”

“Se-ha-rus-nya…”

“Itu bukan salahmu, itu hanya kecelakaan.”

Aku tidak tega mendengar suaranya yang pelan semakin bergetar. Entah kenapa dia begitu merasa bersalah. Padahal itu bukan perbuatannya.

Tidak lama ibuku datang menjemput. Dengan motor.

“Ayo Zao.”

Selama perjalanan tidak ada percakapan sama sekali. Aku tidak tahu harus berbicara apa.

***

Sebulan setelah kejadian itu aku masuk sekolah. Aku tidak masuk sebulan terakhir untuk penyembuhan tulang kakiku.

Aku tidak berangkat bersama Zao, dia sudah pergi lebih dulu. Memang selama aku di rumah, dia menjengukku, memberitahukan keadaan sekolah dan tugas rumah, katanya tugas prakarya diundur hingga hari ini. Atas permintaan Zao, Entah kenapa sebabnya.

Baik, aku berangkat dengan semangat, membawa prakarya yang sudah ku persiapkan.

Aku sampai di depan kelas, ada yang aneh kelas begitu sepi.Tidak ada tanda kehidupan di dalamnya.

“haloooooo…”

“Ada orang di sini?”

Aku berteriak kelas tetap sunyi.

Aku masuk.

“Selamat datang kembali Zeiin…”

Aku terkejut. Ada surprise untukku, Zao yang menyiapkannya.Teman temanku yang lain ikut membantu. Zao menghampiriku.Tersenyum, lalu menarikku ke mejaku dan Zao.

Apa yang kulihat, miniatur rumah minka. Aku tersenyum pada Zao.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post