Sri Kusumo Fathoni Rais

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Pak Daud

Pak Daud

Oleh Sri Kusumo Fathoni Rais

Dari Sekolah SMA Al-Muslim XI IPA 3

Alarm berbunyi, aku terbangun dari tidurku dan dengan cepat mematikan alarm tersebut, aku melihat jam menunjukkan pukul 05.00. Dengan keadaan setengah sadar aku beranjak dari kasurku, kemudian berwudhu dan sholat subuh, setelah itu aku kembali tidur. Belum lama aku melanjutkan tidurku, tiba-tiba seseorang berteriak kepadaku.

“Budi, Buruan bangun! Udah jam tujuh lewat kamu masih santai-santai aja, cepetan siap-siap sekolah!”.

Orang yang berteriak kepadaku bukan lain adalah ibuku sendiri, aku sudah sering sekali diteriaki demikian, namun aku kurang percaya bahwa sekarang sudah pukul 7, aku mengira bahwa ibuku hanya membual agar aku cepat-cepat bangun. Namun saat aku melihat jam di Handphoneku, aku melihat jam benar-benar menunjukkan pukul 7. Aku segera mengangkat kakiku dan keluar dari kasurku, kemudian dengan cepat aku langsung mengambil seragam dan handuk dan mandi secepat kilat. Aku melewatkan sarapanku dan langsung pergi ke sekolah. Tidak lupa aku berpamitan kepada Ibuku.

“Bu, aku pergi sekolah ya, Assalamualaikum.” Ucapku

“Iya dek, Waalaikumsalam. Hati-hati di jalan, jangan lupa baca do’a.” Jawab ibuku.

Aku langsung mengendarai motorku secepat yang aku bisa, menyalip semua kendaraan yang ada di depanku. Sesampainya di sekolah, aku sudah ditunggu oleh Pak Daud, guru Matematika, Ia terkenal akan sifatnya yang “Killer”.

“Budi, apa alasanmu jam segini baru sampai?” Tanyanya dengan nada menakutkan.

“Tadi macet pak, saya gak bisa nyalip sama sekali.” Bohongku.

“Halah jangan bohong kamu, siswa yang telat sebelum-sebelum kamu nggak ada yang bilang macet. Malah tadi ada siswa yang ngeliat kamu baru siap-siap berangkat.”

Karena kebohonganku terbongkar dan terdapat saksi mata, akhirnya aku mengakui kesalahanku.

“Iya pak, tadi pagi saya ketiduran sampai jam tujuh.” Ucapku dengan lemas.

“Dasar, kamu dari dulu nggak pernah disiplin. Sekarang kamu lari keliling lapangan lima belas kali, habis itu langsung masuk ke kelas.”

Tanpa pikir panjang aku langsung menuruti apa kata Pak Daud. Setelah berlari mengitari lapangan, aku bergegas masuk kedalam kelas. Sesampainya di depan kelas, aku terkejut bukan main. Ternyata guru pertama yang mengajar di kelasku bukan lain adalah Pak Daud. Aku memberanikan diri untuk masuk kedalam kelas. Disaat kakiku menapak kedalam kelas, tiba-tiba terasa sebuah hawa yang menekan. Seluruh murid diam tak bergeming, tidak ada sedikitpun suara yang keluar dari diri mereka, bahkan suara nafas terdengar sangat jelas.

“Nunggu apa kamu? Cepet duduk.” Ucap Pak Daud.

Kalimat tersebut bagaikan suara komando dari seorang panglima TNI yang harus segera dituruti.

“B-Baik pak.” Jawabku.

Aku kemudian duduk di bangku belajarku. Kemudian kelas dimulai.

“OK, sekarang kita akan belajar materi penerapan trigonometri di kehidupan sehari-hari.”

“Haduh!”, pikirku. Pelajaran Matematika seharusnya merupakan pelajaran yang diajarkan oleh guru yang ramah dan santai. Susah rasanya apabila belajar matematika jika diajarkan oleh guru seperti Pak Daud, semua siswa harus tetap terjaga dan mencatat semua yang ia tulis di papan tulis. Sekalinya ada siswa yang ketauan melakukan kegiatan selain dari pelajaran, konsekuensinya sudah pasti membuat 10 soal tentang materi matematika apapun. Namun dari 10 soal tersebut, harus ada 1 soal yang tidak bisa Pak Daud selesaikan, siswa yang membuat soal juga harus bisa menunjukkan cara mengerjakan semua soal yang dibuat tadi langkah demi langkah dengan jelas. Apabila dari kesepuluh soal tersebut dapat dikerjakan semua oleh Pak Daud, maka siswa harus membuat 20 soal lagi tanpa ada peraturan tentang 1 soal yang tidak dapat diselesaikan sebelumnya. Itulah alasan mengapa seluruh siswa yang terkena hukuman akan langsung membuat 30 soal, karena mereka yakin bahwa mereka tidak akan pernah bisa membuat soal yang dapat membuat guru dengan perdikat Cum Laude lulusan Matematika FMIPA UGM kewalahan.

Belum 30 menit sejak pelajaran dimulai, tiba-tiba saja Pak Daud menunjuk ke arahku.

“Budi, coba kamu kerjakan soal ini.” Sahutnya.

“eh, I-Iya pak.” Jawabku.

Aku maju kedepan kelas, seluruh mata menuju kearah punggungku, tanganku yang sudah memegang spidol mulai berkeringat. Sekeras apapun aku berpikir, aku merasa soal yang terdapat di papan tulis tersebut tidak dapat aku kerjakan, pada akhirnya aku menyerah.

“Saya gak ngerti pak.” Ucapku.

Kalimat tersebut memecah kesunyian di dalam kelas tersebut, seluruh siswa langsung menatap kearahku dan menunjukkan ekspresi terkejut. Aku sudah siap menerima segala konsekuensi yang akan Pak Daud berikan kepadaku.

“Kamu daritadi nggak dengerin penjelasan saya ya? Ini soalnya sudah saya jelaskan tadi, malah sudah saya tulis jawabannya di papan tulis, kalau kamu nggak liat jawabannya, berarti dari tadi kamu nggak merhatiin bapak.”

“Sekarang kamu balik ke bangku kamu, setelah pelajaran saya selesai, kamu harus buat 10 soal tentang materi matematika apapun, kamu harusnya juga sudah tau harus ada 1 soal yang spesial. Ingat, kamu harus bisa mengerjakan soal yang sudah kamu buat. Kumpulkan paling lambat besok sebelum jam pelajaran pertama.” Tuturnya.

“Iya pak.” Jawabku dengan lemas.

Aku kembali ke bangkuku dan mulai memperhatikan pelajaran matematika dengan seksama. Setelah pelajaran usai, aku mulai mengerjakan tugas yang diberikan oleh Pak Daud. Soal ke-1 sampai ke-9 aku buat dengan apa adanya, kemudian disaat aku ingin mulai membuat soal ke-10, dilema datang. Aku mulai berpikir apakah aku harus langsung membuat 30 soal sekaligus atau mencoba membuat sebuah soal yang “spesial” untuk Pak Daud.

Pada akhirnya aku mencoba untuk membuat soal yang “spesial”. Namun bagaimana caranya? Aku bahkan tidak bisa mengerjakan soal pemfaktoran. Setelah sekolah usai aku segera masuk ke dalam kamarku dan mulai membuat soal “spesial”. Aku mulai mencari soal paling sulit di google dan berpikir untuk mencatatnya, tapi bagaimana jika aku disuruh untuk mengerjakannya? Sudah pasti aku tidak akan bisa mengerjakan soal yang aku salin dari google. Mau tidak mau aku harus berpikir sendiri soal apa yang tidak dapat dikerjakan oleh orang seperti Pak Daud. Kemudian terbesit sebuah materi matematika yang paling tidak aku mengerti, yaitu pemfaktoran. Aku berpikir mengapa aku bisa sesulit ini untuk mengerti materi pemfaktoran, kemudian aku mulai mempelajari materi tersebut lewat google. Setelah membaca banyak materi tentang pemfaktoran, aku tetap tidak mengerti. Pada akhirnya aku menyerah dan berhenti membuat soal. Aku kemudian membersihkan kamarku dan tidur.

Keesokan harinya aku mengawali hari seperti biasanya, namun kali ini aku tidak boleh telat. Aku langsung pamit dan pergi ke sekolah pada pukul 6 pagi. Sesampainya disana aku langsung mencari Pak Daud di ruang guru. Disana aku melihat Pak Daud sedang menghitung sebuah soal matematika. Aku mendekati Pak Daud dan menyerahkan tugasku.

“Lho, kenapa cuman sembilan soal?” Tanya Pak Daud.

“OIYA!” benakku, aku lupa bahwa kemarin aku hanya mengerjakan 9 soal.

“Eee, saya kemarin ingin membuat soal ‘spesial’ pak, tapi saya terlalu lama berpikir sampai akhirnya saya ketiduran.” Jawabku.

“Haih, kamu ini gimana sih, kalo kamu merasa nggak bisa bikin soal ‘spesial’, langsung bikin 30 soal aja kaya temen-temen kamu yang lain.”

“Gak.” Jawabku

“Mulai sekarang saya mau coba cari tahu soal macam apa yang tidak bisa bapak kerjakan, saya ingin mencoba setidaknya satu hal yang dapat saya banggakan di mata pelajaran ini.”

Mendengar hal itu, Pak Daud terdiam, raut wajah yang tadinya terlihat mengintimidasi tiba-tiba berubah menjadi ekspresi terkejut. Ia kemudian memberikanku selembar kertas yang berisi sebuah soal.

“Ini apa pak?” Tanyaku.

“Ini soal paling sulit yang pernah bapak kerjakan.” Jawabnya.

Soal tersebut tidak terlihat asing bagiku. Aku seperti sudah melihat jenis soal tersebut berkali-kali.

“Pak, ini bukannya soal pemfaktoran?”

“Iya, ini soal pemfaktoran.” Balasnya.

“Tapi kenapa bapak kesusahan dengan soal seperti ini? Bukannya soal pemfaktoran itu termasuk jenis soal matematika dasar?”

Pak Daud tersenyum

“Menurut kamu, soal pemfaktoran sulit atau tidak?” Tanyanya.

“Eee, menurut saya sulit pak.”

“Kalau materi lain? Trigonometri misalnya.”

“Kalau trigonometri saya masih lebih mengerti dibanding pemfaktoran, karena trigonometri jelas penjabaran rumusnya.”

“Kenapa bisa lebih mengerti trigonometri? Kan pemfaktoran materi dasar matematika.”

Aku terkejut mendengar pertanyaanku sendiri dilempar kembali kepadaku.

“Saya juga nggak tau pak, semaleman saya sudah belajar lewat google tetep nggak ngerti.”

“...sebenernya saya tahu alasannya.” Jawab Pak Daud.

“Alasan kamu lebih mengerti trigonometri dibanding pemfaktoran adalah karena saya sendiri.”

“Maksud bapak?” Bingungku.

“Bapak sebenarnya kurang memahami pemfaktoran, karena itulah saat materi pemfaktoran bapak jarang masuk kelas. Bapak tidak bisa mengajarkan kalian pemfaktoran karena bapak sendiri tidak memahami materi itu. Itu mungkin alasan kamu sulit memahami materi tersebut.” Ungkapnya.

”Itu juga alasan bapak membuat peraturan soal ‘spesial’ dalam hukuman bapak, karena bapak ingin melihat apakah ada murid yang memperhatikan Bapak dari awal bapak mengajar sampai materi terakhir, tapi, tidak ada satupun murid yang pernah mengetahui kelemahan bapak pada materi pemfaktoran.”

“Sebenarnya bapak iri dengan kamu dan teman-temanmu, karena kalian masih memiliki guru yang bisa mengajarkan materi yang tidak kalian mengerti. Sedangkan bapak sudah tidak ada tempat untuk bertanya lagi. Bapak sudah belajar lewat internet, tapi tetap saja bapak tidak pernah mengerti sepenuhnya tentang materi tersebut. Tolong maafkan bapak.”

Mendengar ucapannya tersebut, aku langsung kehabisan kata-kata. Ternyata Pak Daud yang terkenal akan kepintarannya dalam pelajaran matematika tersebut juga memiliki kelemahan. Namun yang paling membuatku kehilangan kata-kata adalah saat Pak Daud meminta maaf kepadaku, baru pertama kali ini aku mendengar Pak Daud meminta maaf kepada muridnya. Guru yang sebelumnya dikenal akan sifatnya yang “Killer” tersebut tiba-tiba terlihat ramah dan santai, seperti guru matematika idamanku. Hal tersebut mengubah pandanganku terhadap Pak Daud.

“Tidak apa-apa pak, ini semua bukan salah bapak. Bapak juga sudah berusaha untuk mempelajari dan mengajarkan kami sedikit tentang materi pemfaktoran walaupun bapak kurang mengerti, itu sudah merupakan hal yang spesial untuk saya dan teman-teman saya.”

Dari Mata Pak Daud berlinang setetes air mata, raut wajah yang sebelumnya aku kira tidak akan pernah kulihat dari Pak Daud langsung menampakkan dirinya. Semua emosi yang sudah dipendam oleh Pak Daud selama ini keluar pada saat itu.

Setelah beberapa waktu kemudian, aku kemudian bersalaman kepada Pak Daud dan pergi menuju kelasku. Tugas yang aku berikan kepada Pak Daud diberikan kembali kepadaku

“Coba besok kamu kumpulkan ke saya dengan soal ‘spesial’.” Ucapnya di ruang guru tadi.

Setelah sekolah usai, aku langsung mempelajari pemfaktoran sampai larut malam, berlembar-lembar soal pemfaktoran aku kerjakan hingga akhirnya aku mengerti materi tersebut dan membuat soal tentang pemfaktoran. Keesokan paginya aku bergegas berangkat sekolah. Aku pamit kepada Ibuku dan langsung menuju kesekolah. Sesampainya disana aku langsung menuju ruang guru dan menunjukkan Pak Daud tentang soal yang aku buat. Pak Daud awalnya mencoba mengerjakan soal yang aku berikan, namun pada akhirnya Pak Daud menyerah. Kemudian aku menjelaskan tentang cara mengerjakannya, setelah itu Pak Daud bertepuk tangan dan memberi nilai pada buku tugasku.

“Terima kasih Budi, bapak sekarang lebih mengerti tentang materi ini, bapak seharusnya tidak menilaimu dari kebiasaanmu.” Ucap Pak Daud.

“Tidak pak, seharusnya saya yang berterima kasih, berkat bapak saya jadi lebih mengerti betapa beruntungnya saya memiliki guru hebat seperti bapak, saya menjadi lebih bersemangat untuk berangkat sekolah dan belajar matematika berkat bimbingan bapak. Sekali lagi, Terima Kasih pak!” Jawabku.

Sejak saat itu, kehidupanku di sekolah berubah drastis. Semua rasa malas sekolah dan kesulitan belajar hilang berkat bimbingan Pak Daud. Jika bukan karenanya, aku pasti akan tetap menjadi orang pemalas hingga lulus sekolah nanti. Terima Kasih Pak Daud.

Profil :

Assalamualaikum Wr. Wb.

Namaku Sri Kusumo Fathoni Rais, biasa dipanggil dengan Rais atau Is. Aku lahir di Bekasi, Jawa Barat. Anak ke-4 dari 4 bersaudara atau bisa dibilang anak bontot. Hobiku bermain komputer dan bermain gitar. Apabila ada kritik atau saran bisa menghubungi Line id:rais787 atau bisa ditulis di kolom komentar. Sekian,

Wassalamualaikum Wr. Wb.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post