Bab 24, Graduation
Graduation
Congratulation for your finally arrived
…..
“Duh, gimana ini ka..” ucapku lirih ketika gerbang sekolah sudah tertutup rapat tak ada sela. Fadhil menggaruk tengkuk kepalanya yang tidak gatal, lalu menatap pagar sekolah yang menjulang tinggi. “Sini kaki kamu, aku angkat habis itu kamu naik kepundak aku ya” Ucap Fadhil seraya menumpu kedua tangannya di depanku untuk menjadi bahan injakan. “Jangan ngintip loh” seruku seraya menginjak tumpuan tangannya. “Iyaaa, janji ga liat” Ucap Fadhil sedikit berteriak, lalu menahan aku yang sudah berdiri di pundaknya. “Gimana udahkan?, bisa aku lepas?” tanya Fadhil. “Bentar dulu” ucapku seraya meraih ujung pagar sebagai pegangan. “Udah?” tanya Fadhil. Aku mengangguk, lalu Fadhil melepas pegangganya pada kakiku. Lalu menyusul memanjat sepertiku. “Sini sini, lompat aja nanti aku tangkep” Seru Fadhil yang kini sudah lebih dulu masuk terlebih dahulu. “Serius lompat? Enggak gak mau” tolakku yang takut akan ketinggian. Fadhil menggaruk tengkuk kepalanya kembali, bingung harus berbuat seperti apa. “Ayo gapapa Dai” ucap Fadhil. Karena tak ada jalan lain, akhirnya akupun lompat dan ditangkap Fadhil. Entahlah aku takut degupan jantungku dengan ritme yang cepat ini terdengar olehnya, karena kini aku tengah dalam pelukannya. Hembusan nafasnya terdengar memburu. “Aku suka kamu” ucapnya lirih tepat ditelingaku. Mataku membulat mendengar pernyataannya, dan langsung melepas pelukannya. “terimakasih” jawabku seraya tertunduk. Fadhil kini mengerutkan dahinya lalu memegang tanganku. Dan saat itu pula, Pak Amin selaku satpam di sekolah ini menciduki kami yang baru datang. “Eh kalian berdua”.
Akhirnya, aku dan Fadhil mendapat hukuman hormat bendera selama pelajaran pertama habis. Aku sedikit meringis panas dengan matahari yang kini seperti membakar permukaan kulitku. Seketika, sinar mentari sudah tak terasa lagi di permukaan kulitku. Tangan Fadhil menutupi sinar mentari tersebut dan berhenti melakukan hormat bendera. Aku tersenyum menatapnya yang tengah berusaha membuatku tidak terkena sengatan matahari.
Fadhil langsung memegang tanganku hangat. “Aku suka sama kamu” ucap Fadhil dengan wajah gugup. Lagi lagi aku dibuat terbungkam akan pernyataannya kali ini. “Kenapa?” tanyaku memberanikan diri membuka suara. Fadhil menggeleng, “Enggaktau” jawabnya. “Kamu mau kan jadi pacar aku??” tanya Fadhil penuh harap. Aku tersenyum. Saat aku ingin menjawab pernyataannya, aku merasa darah segar mengalir dari hidungku, badanku melemas, pandanganku memburam.
“Dai?! Dai kenapa??” tanya Fadhil yang langsung memelukku hangat seraya terduduk ditengah lapangan. Kata terakhir yang kudengar darinya hanya sebuah kata penyemangat. “Dai, semangat ya, aku disini kok nemenin kamu” ucapnya. Aku tak sanggup sekedar membuka mata, hanya bisa mendengar apa yang para dokter katakan.
“ Dendi, ambil laringoskop ETT, nomor 7 terus banging!”
“Fara, siapkan obat di trolly emergency, terus lo pasang iv line”
Hanya suara dokter dokter disekelilingku yang sepertinya tengah sibuk sekali. Seketika aku seperti berada disuatu dunia yang sangat sepi dan indah dengan curug di arah utara. Saat itu aku tengah memakai baju dress indah berwarna marun dengan hijab yang menutup setiap helai rambutku. Aku terus menyusuri indahnya alam tersebut, merasa nyaman dan hampir berjanji ingin menempati tempat itu selamanya. Saat aku tengah menikmati udara yang sejuk, aku melihat Fabian tengah memakai baju berwarna serba putih dengan setangkai bunga digenggamannya. “Fabian?” panggilku seraya menepuk pundaknya. Fabian terkejut, dan langsung bangkit dari duduknya, “Kamu ngapain disini? Pulang sana” Ucap Fabian dengan nada mengusir. “Lah, Fabian ngapain disini??” tanyaku. Fabian menunjuk seseorang yang berdiri dibelakangku. Akupun menoleh dan melihat Fadhil menarik tanganku. Aku mengelak dari tarikannya, lalu menatap penuh mata Fabian. “Kamu ngapain??” tanyaku. Fabian tersenyum, “Aku akan tinggal disini selamanya” Ucap Fabian seraya berjalan perlahan menjauh dariku. “Tunggu-! Aku juga mau tinggal disini, didunia luar lebih mengganaskan” ujarku seraya mengejarnya yang hampir masuk dalam suatu lubang berwarna putih. “DAI!! PULANG SEKARANG. JANGAN IKUTIN GUE” bentak Fabian. Aku yang mendengarnya membentak begitu kasar, seketika melemas, lalu pasrah tanganku ditarik Fadhil, dan membiarkan Fabian hilang ditelan lubang bercahaya tersebut. “Fabiaaaan, Daii mau ikuuut” teriakku yang berlari mendekat kearahnya yang sebentar lagi akan menghilang. Terlambat, Fabian sudah hilang dihadapanku sekarang. “Pulang yuk” ajak Fadhil seraya merangkulku hangat.
“Semuanya sudah normal, saya yakin, dia tengah berusaha hidup” Ucap sang Dokter.
Aku merasa semuanya terasa ringan, lemas tak berdaya. Melihat ibu dan ayah yang menyambutku dengan senyuman. “Ayah, Ka Fadhil mana? Tadi dia disini kan?” tanyaku. Ibu mengelus rambutku hangat, “Fadhil dirumahnya teh, besok yaa ketemunya,, udah malem” Ucap Ibu lembut. Aku mengangguk pelan, lalu menatap alat alat dengan selang yang kini tengah bersahabat denganku. “Dai habis diapain bu?” tanyaku. Ibu tersenyum lalu mencium tanganku. “Alhamdulillah, teteh udah selesai menjalankan transplantasi tulang sum sum belakang,, jadi teteh gabakal ngerasain sakit lagi” Ucap Ibu. Aku terkejut mendapat pengakuan dari sang Ibu. “Jadi, tadi Dai operasi ya bu?” tanyaku. Ayah dan Ibu mengangguk pelan. Aku tersenyum, lalu menatap wajah ayah dan ibu secara bergantian.
“Ternyata benar ya, orang orang yang tengah koma, akan mengalami sebuah mimpi yang seperti nyata.” ucapku seraya mengingat lagi kejadian yang kusebut mimpi. Ibu tersenyum, lalu mengelus rambutku hangat, “Apa yang teteh mimpikan?” tanya Ibu. Aku menceritakan kejadian itu sedetai detailnya, lalu tertawa, “Tapi kok, yang udah meninggal di mimpi Dai kenapa Fabian ya bu? Jelas jelas kan dia masih hidup alhamdulillah sehat walafiat.” ucapku. Ibu tertawa, lalu menciumku. “Kangen kali kamu samaa Fabian” ledek Ibu. Aku bergidik ngeri, lalu kembali memejamkan mataku.
Keesokan harinya, Fadhil datang dengan Zahra, Nay, Buna, Candy, dan Rai. Senang rasanya dapat berjumpa wajah wajah mereka, setelah 2 hari tidak berjumpa. Namun, ada apa dengan wajah mereka, wajahnya begitu menampakkan kesedihan. Zahra memelukku, lalu tersenyum kearahku. “Untung kamu masih hidup,,” ujar Zahra seraya menangis kejar. Aku tersenyum, lalu mengusap kepala Zahra lembut. Mereka diam seribu bahasa, tak mengeluarkan sepatah katapun, melainkan saling melotot satu sama lain, seolah olah ada berita besar yang ingin mereka beritahu. “Kenapa?” tanyaku. Fadhil melangkah mendekat kearahku, memegang tanganku, dengan mengelus lembut tangan mungilku. “Kita semua sedih” ujar Fadhil. Aku pun tersenyum. “Gausah sedih, Dai gapapa kok,, sehat alhamdulillah” ujarku sedikit menghibur. Nay tersenyum, “Kita sedih bukan karena lo, eh maksudnya, kita seneng, lo bisa bareng bareng lagi sama kita,, tapi kita sedang kehilangan seseorang, kehilangan ketua kelas, kehilangan orang dengan julukan bego dikelas, kehilangan semuanya Dai” Ujar Nay. Aku terdiam, lalu menebak siapa yang Nay maksud. “Fabian?” tanyaku. Seketika tangis Zahra terdengan hingga sudut ruangan,menangis tak karuan. “Zahra kangen bacotnya Fabian, Zahra kangen Fabian duduk disamping Zahra, ngehibur Zahra, Zahra kangen bangeet sama sahabat cowok yang Zahra punya” tangis Zahra seraya memeluk erat Rai. Aku terdiam, kembali teringat mimpi yang muncul saat koma’ malam itu. “Fabian kenapa?” tanyaku dengan susulan air mata. “Fabian udah enggak ada Dai,,”Ucap Candy seraya mendekati diriku. “Dan ini, barang yang Fabian mau kasih ke elo pas mau jenguk lo kemarin lusa”. Air mataku kini sudah menetes tak karuan. Terjawab sudah, maksud dari kemunculannya dalam mimpiku semalam.
Aku menerima barang yang Candy berikan barusan, Membuka sebuah surat yang dibagian sudut kertasnya terdapat bercak berwarna merah. “Maaf...” ucapku lirih setelah membaca surat terakhir darinya.
….
Hari ini adalah hari kelulusan, dimana aku yang seharusnya berbahagia, lebih menjadi malapetaka. Seusai 1 bulan semenjak aku melakukan Transplantasi hari itu, Fadhil menembakku dan saat itu pula aku menjalin suatu hubungan dengan Fadhil. Senang rasanya bisa saling mencintai seperti ini. Sejak hari itu, dia tampak lebih menggemaskan, dan lebih perhatian pastinya. Namun, tepat hari kelulusan tanggal 26 Juni 2018, Ia mengakhirkan semua kisah yang sudah 5 bulan berjalan. Entahlah aku sangat rapuh hari itu.
“Happy Graduation, wish for you Semoga apa yang disemogakan tersemogakan” Sambutku akan kehadirannya yang menghampiriku. Aku bingung akan sikapnya hari itu, Dia sama sekali tidak menyapaku, mengulum senyum, bahkan tak bersuara sedikit pun kepadaku. “Aa?” panggilku seraya memegang lengannya. “Aku mau kita putus!” ucapnya penuh penekanan disetiap katanya. Seketika, bunga mawar yang aku pegang sedari tadi jatuh dari genggaman. Terdiam tak berkutik sekali pun. Rasa sakit itu menyeruak hingga membuat air mataku lolos begitu saja. Dia terlihat kejam hari itu, terlihat bukan seperti sosok Fadhil yang ku kenal, tidak pernah kasar dalam bertutur. “Aa??” panggilku lirih. “Aku bilang, Aku mau putus. Denger enggak sih?!” jawabnya dengan penuh penekanan. Aku pun berteriak kearahnya seraya melempar sebuah almbum foto yang ingin ku berikan kepadanya. “Kamu Jahat!!!” teriakku dengan melempar album itu tepat didadanya, dan langsung pergi dari tempat tersebut, dimana saat itu, aku diperhatikan beberapa pasang mata.
Mulai hari itu, dengan kejadian tersebut, dalam hati aku sangat membenci tanggal 26.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar