Bab 21, Mengikhlaskan
Mengikhlaskan
Apa yang pergi, Lepaskan.
Apa yang hilang, Relakan.
Kalau keduanya sakit, Jangan dilawan.
….
Satu semester sudah kulewati. 3 bulan setelah kerja kelompok waktu itu, hubungan Zahra
dengan Fadhil telah kandas begitu saja. Yang kutahu, Zahra telah bosan dengan hubungan
yang menurutnya tidak berfaedah, Zahra sadar bahwa akan sia sia orang yang pacaran jika
nantinya tidak berakhir dipelaminan. Zahra sedang ingin sendiri, fokus dengan
pendidikannya, dan tidak melulu soal cinta.
“Gaes, nanti malam mingguan dirumah gue yuk, lagi sepi nih” Ajak Buna. Kami ber-empat
saling berpandangan satu sama lain, yang pastinya satu pemikiran. “Yaelaah, tenang
Makanan penuh noh dikulkas, Free Wifi dan Ac” lanjut Buna seraya berkacak pinggang.
Seketika seutas senyum terukir diwajah kami. “Skuylah” Jawab Nay seraya sedikit
mendorong bahuku. “Siapa yang mau dijemput sama gue?” tanya candy seraya
mengancungkan tangannya. Aku dan Rai segera mengangkat tangan. “Ah elah, jok motor
gue bosen kali sama pantat pantat lu” ceplos Candy. “lu yang nanya anjir!! kesel kan gue”
ucap Rai sedikit ngegas. Nay dan Zahra segera menepuk nepuk pundak Rai, “Sabar buk
sabar” Ucap Nay seraya tertawa kecil. Sedangkan Candy hanya tertawa tak berdosa. “Jadi
gak gue jemput?” lanjut Candy dengan selipan tawa disetiap katanya. “GAK” tolak Rai
seraya menatap sinis wajah Candy. “Dih ngambek” ledek Candy tertawa. “Cute Girl masa
ngambek aish” ledek Buna. Rai yang mendapat perlakuan seperti anak kecil tersebut, tak
kuasa menahan tawa. “Iiiih niat mau ngambek ga jadi kan, ah” Kesal Rai dengan seutas
garis diwajahnya. Seketika beberapa toyoran mendarat di kepala Rai. “Bully Rai nyok
Bullyyy” teriak Nay seraya menggelitik Rai. Tak berapa lama, Rai menangis, “Ahh udaah”
Teriak Rai dengan memanjangkan huruf terakhirnya. Kami bersorak gembira, “Yeyyy Rai
nangis, berhasil kitaa” Teriak Candy seraya tertawa. Seketika Rai memelukku seraya
meneteskan Air mata. “Yaah Rai ngadu ke emaknya, yaah” ledek Zahra seraya tertawa.
“Ish! Dieeem” teriak Rai dengan isakan di sela sela katanya. Sedangkan aku hanya tertawa.
…..
“Sampai jumpa dirumah gue yaa” ucap Buna seraya melambaikan tangan. Satu per satu
teman temanku sudah meninggalkan sekolah ini. Tinggalah aku dengan Rai yang masih
menunggu jemputan. Rai sedikit memanyunkan bibirnya, lalu menangis dihadapanku.
“Aih, kamu kenapa?” tanyaku seraya tertawa melihat wajah lucunya ketika menangis. “Rai
suka sama orang, tapi orang itu suka sama yang laiiin” rengek Rai seraya sedikit
menghapus air matanya. “Masih si Kelvin?” tanyaku seraya sedikit merangkul Rai. Rai
menggelengkan kepalanya, “ Bukan ish” kesal Rai. Aku semakin geli dibuatnya. “Siapa
tuh?” tanyaku seraya tertawa. Seketika wajahnya terlihat senang ketika ingin menyebut
namanya, “Brion” ucapnya sedikit berbisik. “Ha? Brayn??” tanyaku sedikit berteriak karena
tidak mendengar ucapannya barusan. “Brion bodoh” lontar Rai. Aku mengangguk pelan,
“Baik, silahkan deskripsikan sosok Brion” ucapku mempersilahkan Rai mendeskripsikan
sosok itu dimatanya. “Brion, Nama panjangnya Alden Brion Wesley, kelahiran di negara
Amerika Serikat, Dia sangatlah tampan dan rupawan, selain parasnya yang diatas rata rata,
prestasinya pun tak kalah menyaingi, ia selalu mendapat gelar juara umum disekolah dan
mengikuti beberapa perlombaan dan olimpiade.” Ucap Rai seraya menggepalkan tangannya
dalam dalam kearah depan dengan wajahnya yang terlihat berseri seri. Aku yang
mendengar celotehannya sedari tadi hanya bisa mengulum senyum. “boleh ku lihat
orangnya?” tanyaku sedikit penasaran dengan nama yang tak asing itu. Rai langsung
membuka sandi di layar handphonenya dan memberi handphonenya kepadaku. Mataku
membulat, lalu sedikit menunduk untuk menetralkan wajahku. “Ganteng yaa?” tanya Rai
seraya tersenyum. “Biasa aja” ucapku seraya memberikan handphonenya. “Buta lo mata
lo?! Gantengnya kayak gitu,, ohh emang bener kali ya rumor rumornya kalau lu demen
sama cewek” Ucap Rai. Aku tertawa mendengar apa yang Rai ucapkan, “ Masa Ukhti kayak
Dai suka sesama jenis sih? Gak mungkin” Ucap seorang laki laki yang berdiri tepat
dihadapan Rai. Rai sedikit mendongakkan kepalanya lalu berdiri, “ Mungkin aja, masa
cowok kayak gini dibilang biasa aja, kalau ga aneh” Kesal Rai karena cowok yang
disukainya dianggap wajahnya standar. “Biasa aja sih emang” celetuk Fabian yang
langsung pergi meninggalkan Rai dan Aku. Rai sedikit menatapku sinis, lalu kembali duduk
disampingku. Aku yang bersikap bodo amat langsung membuka layar handphone tanpa
menggubrius Rai yang sedang ngambek. “Yaaah” ucapku sedikit kecewa mendapat satu
pesan tersebut. Rai yang tak kuasa menahan jiwa ke-kepoannya segera membatalkan
ambeknya. “Kenapa dah Dai?” tanya Rai seraya menatap layar handphoneku. “Rai, nanti
tolong bilangin ya ke temen temen, Dai enggak bisa ikut kerumah Buna” ucapku menitip
pesan. “Kenapa?” tanya Rai. “Kemungkinan seminggu lagi Dai ikut ujian tahfidz di Jakarta
Utara” jelasku. “Buset-! Ujian aja jauh jauh banget” ucap Rai seraya menatap mataku tajam.
“Yaudah, Dai pulang dulu ya,,” ucapku sedikit melambaikan tangan.
…..
“Dai, kita bisa bicara sebentar?” tanya Fadhil yang sudah memakai tasnya. Aku
mengangguk pelan lalu mengikuti langkahnya yang berjalan menuju tangga. Saat itu
suasana rumah ummi sudah sepi tak ada lagi anak anak disana kecuali aku dan Fadhil.
Fadhil duduk di salah satu permukaan tangga, dan menyuruhku duduk disampingnya,
sedikit membuang nafas kasar dan langsung menyenderkan kepalanya di tiang tangga. Aku
yang sangat khawatir dengan sikapnya kini, langsung bertanya memberi perhatian. “Kenapa
ka?” tanyaku seraya memegang bahunya. Entahlah aku memiliki keberanian seperti itu.
“Zahra kenapa?” tanyanya dengan nada serius. Jantungku seketika berhenti mendapat
pertanyaan seperti itu. Dengan cepat pandanganku beralih ke objek lain, dan langsung
menjawab pertanyaannya. “Ada apa dengan Zahra ka?” balikku bertanya. “Aku nanya kok
dibalikin?” ucap Fadhil seraya tertawa kecil. “Zahra kenapa mutusin aku?” tanya Fadhil lebih
memperjelas. Aku menggeleng, lalu tersenyum tipis kearahnya, “enggak tau ka” jawabku
seadanya. Dahi Fadhil mengernyit, lalu sedikit mendekatkan wajahnya didepan wajahku,
“Kamu deket sama dia bukan?” tanya Fadhil tak percaya. “Betul, kami bersahabat” jawabku
seraya tersenyum enggan. Tanpa berkata laagi, Fadhil langsung berdiri dan
meninggalkanku sendiri yang tengah duduk di salah satu anak tangga.
Wajahnya lusuh, jalannya lunglai, Rambutnya sangat berantakan tak terurus, bahkan
penampilannya kini jauh berbeda ketimbang hari hari bersama Zahra dan sebelum
mengenal Zahra, sebegitukah cintanya pada Zahra hingga ia seperti ini sekarang?.
“Ka” panggilku seraya berjalan mendekatinya. Fadhil menoleh sekejap, lalu kembali
melanjutkan langkahnya. Dari sorot matanya aku dapat merasakan kesedihan yang sangat
mendalam. Aku terus melihatnya berjalan menuju motornya. Semakin melihat wajahnya
yang begitu pucat, semakin pula aku khawatir akan terjadi apa yang tidak diinginkan. Saat
Fadhil ingin melajukan motornya, aku kembali memanggil namanya, “Ka Fadhil-!” teriakku
yang memberhentikan aktifitasnya. Sedikit menghela nafas kasar, lalu tersenyum damai
kearahnya. “Kenapa?” tanya Fadhil. “Dai boleh ikut kaka?” tanyaku seraya melengkungkan
senyum diwajah. Dahi Fadhil mengernyit, lalu melirik kearah jok motornya. “Serius?”
tanyaku. Fadhil tersenyum, lalu mengangguk pelan.
Hari semakin malam, suasana jalanpun semakin tenang, Dan Fadhil tak berbicara sepatah
katapun. Seribu satu kali aku berfikir untuk membuka suatu pembicaraan dengan cowok
yang tengah patah hati ini. Tak kunjung kutemukan topik yang pas untuk menyambung
obrolan kami dan membuat dia tertarik membuka suara.
“Ka” panggilku. Dia hanya mengangguk. “ih jangan diem dieman bisa ga? Dai dari tadi
angker tau ga?!” Kesalku akibat anggukan darinya. Dia tertawa kecil, lalu membuka
suaranya, “ iyaa kenapa?” tanya Fadhil. “Kenapa gak gitu dari tadi sih, tau ga dari tadi tuh
Dai angker liat jalanan kanan kiri, mana sepi banget lagi, terus ditambah kakanya jawabnya
cuma kayak gitu, kan jadi mikirnya digonceng arwah hidup-!!” kesal ku sedikit berteriak.
Fadhil tertawa, lalu kembali menutup mulutnya rapat. Sepertinya dia mengingat sosok Zahra
kembali. Hingga akhirnya aku menyerah membuka topik terlebih dahulu. Seketika, Fadhil
melirik kearah spion, seketika jantungku berdebar cepat, ingin rasanya berteriak kegirangan,
Tetapi semua itu kubungkam akibat ulahnya yang menakut nakutiku.
“Eh kenapa senyum senyum, ha?” ledek Fadhil seraya tertawa. “Jangan kepedean ya,, tadi
tuh aku ngelirik ke spion itu gara gara ngerasa bebannya tambah berat, kayak ada yang
ngikut dibelakang kamu gitu, eh ternyata..” ucapannya terpotong dengan teriakanku.
Refleks aku memeluknya, berteriak tak jelas, dan menyumpah serapahi sosok Fadhil.
Semakin lama, Fadhil semakin menjadi jadi meledekku soal hantu. Aku termasuk tipikal
orang yang sangat penakut jika dihadapkan dengan makhluk makhluk ghoib. Pelukanku
semakin erat akibat ulahnya. Sungguh pelukan itu tidak kubuat buat, aku benar benar takut
saat itu.
….
“Dai masuk dulu ya,” pamitku sambil melepas helm yang kugunakan. Fadhil tersenyum, lalu
melambaikan tangannya. Degup jantungku berdetak tak menentu, rasa gembira mengalir
begitu saja, berbonceng dengan orang kukagumi sejak lama. Melihat ia ingin menyalakan
mesin motornya, aku kembali mendekatinya, lalu mengeluarkan uang berwarna hijau
tersebut. Dahi Fadhil mengernyit, mempertanyakan maksud dan tujuanku memberinya uang
bernilai dua puluh ribu. “Terimakasih bang ojek” ledekku. Seketika Fadhil tertawa, “terima
jangan?” tanyanya seraya mengangkat kedua alisnya. Aku tertawa akibat ulahnya. “terima
jangan?” ulangnya seraya tertawa kecil. Aku langsung memegang tangannya, lalu
menyelipkan uang terbeut dalam genggamannya. “Terima” jawabku seraya tertawa kecil.
Fadhil langsung tersenyum lebar, “Terimakasih neng” Ucap Fadhil seraya mengantongi
uang yang kuberikan. “Lumayan bisa dibuat beli kopi” lanjutnya seraya tertawa. Aku hanya
mengangguk mendengar alasannya. “Yaudah, udah tambah malem nih, aku balik dulu yaa”
pamit Fadhil yang sudah menyalakan mesin motornya kembali. “Pulang ya” lanjutnya. Aku
tersenyum dan langsung melambaikan tangan. “Hati Hati, Jangan meleng, Be Careful-!!”
teriakku. Saat aku menoleh kearah ambang pintu rumahku, aku sudah melihat ibu berdiri
memerhatikanku sedari tadi. Jantungku berhenti seketika, bingung harus menjelaskan apa
nanti ketika mendapat pertanyaan pertanyaan horor dari ibu. Aku melangkah ragu
memasuki rumah, berusaha tersenyum dan menyapanya seperti biasa. “Assalamualaiku
bu,,” salamku seraya mencium hormat punggung tangan sang ibu. Ibu tersenyum meledek,
“Tadi dianter siapa teh?” tanya Ibu. Aku tersenyum enggan lalu membuka mulut untuk
menjawab. “Temen bu” jawabku seraya menunduk. Ibu mengangguk pelan lalu
mengernyitkan Dahinya. “Kalau kamu pulang sama cowok tadi, Mba Vita gimana??” tanya
Ibu. Mataku membulat lalu menepuk jidatku, “Dai Lupa Bu” ucapku sedikit syok. Ibu segera
membuka handphone dan mendapat beberapa panggilan dari sosok yang tengah
dikhawatirkan sekarang. “Kamu tuh ya,, lain kali bilang ke mba Vita kalau pulang sama yang
lain, ibu jadi enggak enak nih sama Mba Vita” Omel Ibu seraya mengangkat telpon dari Mba
Vita. Aku menyengir tak berdosa, dan langsung masuk kedalam rumah.
Entahlah, aku masih terbayang semua yang terjadi hari ini. Bayangan itu ku tumpahkan
dalam sebuah cerita bersambung.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar