Bab 2
Istana Bulan
Myrianthia duduk di singgasananya sambil berpikir keras. Avantos dan Stracathos berdiri di hadapannya dalam balutan baju tempur mereka. Mereka tampak gelisah karena Myrianthia menggenggam erat tongkatnya.
Avantos akhirnya memberanikan diri dan angkat bicara. “Pergerakan Grathal masih belum signifikan, Ketua. Pasukan kami masih menahannya di pinggir Alam Ruh.”
“Bumi dan Istana kekacauan dijaga ketat oleh roh roh terkuat. Grathal tidak akan dapat menembusnya dengan mudah. Ini memberikan kita waktu untuk bersiap.” Tambah Stracathos
Myrianthia mengangguk. “Terima kasih. Bagaimana keadaan Kaios?”
“Ayahanda masih terlalu lemah untuk bertindak. Birithos masih berupaya memulihkannya dengan sihir kehidupan.” Jawab Avantos.
“Khyvanthia?”
Stracathos menggaruk rambut kelabunya. “Yah, kami masih belum memastikannya, tapi Khyvanthia bersembunyi dengan cerdik di Istana ruh. Grathal pasti butuh waktu untuk menemukannya.”
“Tetapi apabila ia tidak dibangkitkan, cepat atau lambat Grathal pasti menangkapnya dan menggunakannya sebagai jalan menuju dunia manusia. Serta, sekalipun Grathal berhasil meloloskan diri dari neraka, kita berempat saja belum cukup untuk melawannya.” Sergah Avantos
Myrianthia memperingati Avantos. “Kakak. Kau tahu kan apa yang terjadi pada Akita jika kita melakukannya?”
Avantos mengangkat tangan. “Aku tahu, Maaf.”
“Apakah mungkin kita harus membangkitkan mereka?” angguk Stracathos pada tapestri di dinding.
Avantos berbalik menghadap adiknya. “Dewa dewi Kuno?! Apa kau gila?! Bisa saja mereka menjadi musuh kita sendiri yang menambah masalah. Tidak! Sudah cukup musuh yang harus kita hadapi!”
“Tetapi, ayolah, Lihat sisi baiknya! Kita hanya perlu Zalyphton untuk melakukannya, lalu kekuatan mereka menjadi milik kita!”
Avantos mengacungkan tombaknya pada Stracathos. “Cukup dik, jangan membuatku meragukan loyalitasmu! Dewa-Dewi kuno sudah menipu banyak dari paman-paman kita.”
Stracathos menarik tali busurnya, anak panah terpasang. “Kau pikir aku cukup bodoh diperdaya oleh bisikan busuk mereka?”
Myrianthia turun dari singgasana. Bola di puncak tongkatnya bersinar. “Apa maksudmu?! Stracathos!”
Stracathos menurunkan busurnya. “Heh, kurasa hanya aku saja. Benar. Aku mendengar bisikan-bisikan busuk mereka. Janji-janji palsu mereka. Niatan buruk mereka. Semuanya yang terperangkap oleh angin, aku akan mengetahuinya.”
Tombak Avantos membara. Refleks, Stracathos kembali membidik kepala Avantos, dengan panah yang diselimuti Petir. “Turunkan senjatamu dik!” Hardik Avantos.
“Aku punya seribu satu alasan bagus untuk melepaskan anak panah ini ke kepalamu.” Jawab Stracathos.
“Hati-Hati Stracathos. Dewa-dewi kuno bukanlah lelucon. Kau harus terus waspada.”
Avantos masih mengarahkan tongkatnya pada Stracathos. “Aku tidak mengerti alasanmu. Jangan buat aku melepaskan Parahelion ke mukamu.”
“Dan aku juga tidak suka melihat kau kejang-kejang tersengat petir.”
Avantos murka. “Demi Ayah kita yang agung stracathos! Turunkan senjatamu!”
“Tidak sebelum kau.”
Myrianthia menghantam lantai dengan pangkal tongkatnya. Energi biru menyebar ke seluruh ruangan, menghempaskan dan melucuti senjata Stracathos serta Avantos. Namun, keduanya bangkit dengan senjata di tangan mereka.
“Hentikan! Jangan kalian memecah keluarga ini! Pertama, Kita butuh kekuatan besar untuk memanggil Zalyphton. Kedua, Avantos benar, mereka bisa saja menjadi musuh kita. Kita tidak bisa memutuskannya semudah itu. Ketiga, aku yakin bukan ini yang diinginkan ibunda. Ia pasti kecewa.”
Stracathos dan Avantos menurunkan senjata. “Maaf, Kakak.”
“Tentu saja. Jangan sampai tersesat di jalan yang salah dik.” Avantos menjabat tangan adiknya.
Myrianthia mendesah pasrah. “Untuk saat ini, aku akan bicara pada Khyvan-… Dewi Es dulu. Sidang ditutup.”
Avantos dan Stracathos membungkuk, lalu menghilang, kembali ke kerajaan masing masing bersamaan dengan Myrianthia yang meninggalkan singgasananya. Ia menuju kamarnya dan menanggalkan pakaiannya, satu persatu. Ia mengambil kalung ibunya dari lemari. “akhir akhir ini, dunia semakin gila. Benarkah aku? Ibunda?”
Myrianthia meletakkan kalung dan menuju ke bak mandi. Ia berendam tidak lama, hanya 10 menit, lalu membasuh tubuhnya. Ia berpakaian dan menuju ke bumi. Ke tempat tinggal Akita. Sedangkan di bumi Akita sedang bersenang senang menonton Kartun bersama Hana.
“Hahahahaha! Itu dia! Itu dia! Itu yang membuatnya lucu! Hahahaha!” Akita tertawa terbahak-bahak
Hana mau tak mau ikut tertawa. “Benar, itu lucu sekali.”
Sementara mereka menonton, Kizako mondar mandir di dapur sambil menerima telepon.
“Ya, harusnya subdivisi pemrograman sudah menyiapkan proposalnya. Iya, saya mengerti, namun itu bukan urusan saya apabila pengajuan sistem aplikasi ditolak bagian periklanan. Ya, betul, baik, lebih bagus begitu. Oke, saya tunggu hasilnya di ruang rapat senin besok. Baik, siang.” Kizako mematikan telepon dan melemparkannya ke meja. “Dasar monyet bodoh!”
“Kenapa, Kie? Kau dimarahi Komite lagi?”
Kizako menuju sofa dan memeluk Akita dari belakang. “Aku butuh kehangatanmu.”
“Ada apa sih?” Tanya Akita lagi.
Kizako membenamkan mukanya di rambut hitam Akita. “Tim Pengembangan melakukan kesalahan dan menyalahkanku karena kurangnya pengawasan.”
“Duh, jangan begitu. Ingat, kau harus menikmati pekerjaanmu. Selama kau menikmatinya, itu bukan masalah.”
Akita berdiri dan menuju kamar mandi, terdengar suara siraman, lalu ia keluar dengan handuk ke kamarnya. Tak lama kemudian ia kembali muncul dengan pakaian formalnya. Baju hangat hitam, Kemeja dengan pitanya terikat di leher, Blazer biru gelap, legging, Yeezy biru kesukaannya, dan tas.
“Kie, aku pinjam mobil ya, ada seminar yang digelar Dosenku dan ia ingin aku menemaninya sebagai asisten dosen. Oh! Kau sebaiknya ikut, Hana. Perusahaannya sedang buka lowongan besar-besaran.”
“Benarkah?! Oke! aku ikut!” Ujar Hana sambil bergegas menuju kamar mandi.
“Cepatlah, kutunggu kau.”
Tak lama kemudian Hana selesai berpakaian seperti Akita. Ia mengenakan pakaian formal yang cocok untuk musim dingin. Kizako memakaikan mantel Akita. “Dimana seminarnya?”
“Aula utama Menara sanders. Kau tidak keberatan kan aku meminjam Zylostrex-mu kan?” tanya Akita sambil memakai kupluknya.
Kizako menyerahkan kunci mobil. “Bio-Vet nya mungkin harus diisi. Tapi aku yakin baterai Phythiumnya penuh. Patuhi batas kecepatan!”
“Oke, oke, hahaha. Aku mengerti.” Akita tersenyum. “Kalau begitu, kami pergi dulu.”
“Hati-Hati.”
Mobil yang dimaksud Akita adalah Mobil Sport Zylostrex Velcrono S, buatan Eropa. DItenagai dengan mesin V-14 8 liter, dua turbo, serta mesin elektrik dengan baterai Phythium. Mobil ini menggunakan Bio-vet tahap lanjutan, sebagai pengganti bensin yang lebih ramah lingkungan.
Akita menyalakan mobil dan memanaskan mesinnya. Raungan V-14 dari knalpot khusus terdengar kencang. Kizako membelinya seharga dua juta dolar penghasilannya selama empat tahun menabung. Dikirim langsung dari Eropa.
“Kalian benar benar menjalani hidup senang ya? Tinggal di apartemen besar, punya mobil keren. Aku yakin masih banyak lagi.” Ujar Hana sambil mengagumi interior mobil.
“Ini semua hasil kerja keras Kizako. Kelak ketika aku sudah bekerja, aku juga akan ikut membahagiakan kita berdua.”
“Nampaknya kehidupan yang seperti itu mudah mudah saja bagi seorang dewi.”
Akita hanya tersenyum dan tancap gas. Mereka menuju kota Thylle, tempat Gedung pusat perusahaan Sanders berdiri. Jarak yang harus mereka tempuh sekitar 80 kilometer. Masuk ke jalan tol, Akita menggeser tuas mode mesin ke setelan jalan Tol. Raungan mesin semakin keras dan mobil melesat kencang. Ketika memasuki terowongan, pantulan derum mesinnya bagaikan musik.
Sampai di lobi, Mereka telah ditunggu oleh Professor Ella Sanders, Dosen Akita di kampus.
“Selamat datang Akita! Mobil yang bagus!”
Akita menjabat tangan dosennya. “Terima kasih, Prof. ah iya, kenalkan, ini Christina Hamilton. Aku memanggilnya Hana.”
“Senang berkenalan denganmu! Selamat datang di Sanders Tower!”
Hana memperhatikan sekitarnya dengan kagum. Lobi Menara sanders yang megah, dipadati dengan serangkaian teknologi maju, buah pikiran dari cendekiawan Ella sanders.
“Terima kasih sudah mau datang, Akita. Kalian datang tepat waktu, ayo masuk, seminarnya baru saja akan dimulai! Dan temanmu, dia bisa ikut sebagai tamuku di area VIP”
“Terima kasih banyak, Prof. kudengar divisi penerangan buka lowongan?”
Sanders menekan tombol lift. “Ah! Benar! Apakah kau sudah bekerja? Hana?”
“Sayangnya belum, saya belum menemukan pekerjaan.” Ujar Hana.
“Pas sekali! Akita sudah mengirimkan surat lamaran kerjamu ke mana mana. Kebetulan aku sudah membacanya. Divisi penerangan pasti sangat membutuhkan orang dengan latar belakang Pendidikan hubungan masyarakat. Sekarang, nikmatilah seminarnya! Setelah ini kau bisa menemui Rochella dari HRD untuk wawancara.”
Hana masuk lewat pintu utama ke barisan VIP. Sedangkan Akita mengikuti Sanders menuju belakang panggung untuk menyiapkan bahan seminar.
Selama seminar, Sanders memberikan materi bisnis futuristik pada entrepreneur muda, sedangkan Akita berdiri bersama rekannya di pinggir panggung. Akita sempat kehilangan fokus, dan mendengar suara-suara.
Akita.
Tolong.
Kita tidak punya waktu.
Pergi dari sini.
Akita kehilangan fokus sampai sampai ia tidak mendengar ketika Sanders memanggilnya untuk menjelaskan kriteria bisnis.
Kita harus bicara.
Tidak, tidak disini.
Ia sangat linglung sampai Sanders menghampirinya. Namun, begitu Sanders berusaha menyadarkannya, ia tumbang.
Akita membuka mata, namun ia berada di tempat lain. Seluruh tempat diterangi cahaya berkilau yang memantul ke segala arah. Di atas langit sana, bulan bersinar dengan terangnya. Taman itu dipenuhi keajaiban keajaiban magis. Tanaman tumbuh dengan lebat. Di air, roh roh air bermain bersama, seperti dalam mimpi, seperti malam hari di negeri magis. Bintang-bintang gemerlap di langit malam, Air terjun yang disekelilingnya tumbuh tanaman dengan bunganya yang bersinar.
“Selamat datang.” Ujar seseorang.
Akita berbalik, dan mendapati Khyvanthia berdiri di belakangnya. Khyvanthia masih seperti dulu. Rambut putih seputih salju, Mata biru cerah menusuk, tanduk kristalnya, Mahkota esnya. Semuanya sama seperti ketika pertama kali ia menampakkan diri. Di punggungnya tersampir kedua pedang kekuasannya, Spethia Lycephis dan Spethia Chavani.
“Dewi, lama tidak jumpa.” Sapa Akita sambil membungkuk.
“Yang terakhir itu, sudah lebih dari tiga tahun ya? Ketika aku mewujud di hadapanmu?”
“benar.”
Khyvanthia menghampiri Akita dan memeluknya erat. “Uuu… kau masih menjadi gadis kecilku yang imut!”
“Aduh! Tolong jangan terlalu erat! Aku tidak bisa bernapas!” Jerit Akita
Khyvanthia melepaskan pelukannya dan mengamati Akita sambil tersenyum. “Tetap jelita seperti dulu.”
“Kau yang memanggilku tadi?”
“Sepertinya, aku hanya berpikir, aku ingin berbicara denganmu. Ada hal penting yang harus kau tahu.”
Akita mengangguk. “Aku mendengar suara-suara memanggilku. Tidak kusangka itu menuntunku kesini. Tapi, ini dimana?”
Khyvanthia menyibakkan jubahnya dan bersimpuh di atas batu di tepi danau. Ia menepuk nepuk pahanya. “Kemarilah, ada yang harus kita bicarakan.”
Akita berbaring dengan kepala di pangkuan Khyvanthia. Sambil mengelus elus rambut Akita, Khyvanthia mulai bercerita.
“Kaios menyebut taman malam abadi tanpa batas ini Iffrica Nocturna. Disinilah kelak jiwa jiwa yang budiman akan dimasukkan dan abadi selamanya di dalamnya. Ini adalah sebagian kecil dari surga yang dikhususkan untuk orang orang yang menjalani hidup yang paripurna.”
Khyvanthia merengut. “Kurasa aku tidak bisa menyembunyikan kebohongan ya? Ini hanyalah ilusi yang aku bangkitkan ke dalam pikiranmu. Aku bahkan sedang terlelap di suatu tempat di Istana Ruh. Ini semua tidak nyata, dan ketika ini semua berakhir kau akan terbangun di ruang kesehatan Menara sanders.”
“Istana ruh?”
Khyvanthia tersenyum. “Tempat dimana kami, para Dewa-Dewi akan beristirahat ketika dunia yang diciptakan Kaios hancur. Aku akan jujur saja, tidak ada yang benar benar Abadi. Bahkan Dewi sekalipun.”
Raut Khyvanthia berubah marah. “Sekarang, Istana yang akan kami tempati diduduki oleh ancaman lain yang akan maju ke duniamu, Akita. Ia adalah Istri kekacauan. Ibu segala makhluk celestial seperti Kaios dan bahkan Ranrok. Wanita yang tercipta dari dan mengabdikan dirinya pada kegelapan. Namanya Grathal.”
Akita mengangkat tangannya. “Rasanya Ranrok pernah menyebutkan Namanya?”
“Kau benar, Grathal terjun ke neraka atas perintah suaminya supaya membantu Ranrok melepaskan diri dari belenggunya. Sebagai gantinya Grathal menetap di neraka. Ranrok bebas dan menghabisi dunia adik-adiknya, salah satunya adalah Kaios. Namun, kau dan Myrianthia membunuh Ranrok. Itu membuatnya murka dan bangkit dari neraka, melepaskan belenggu atas kehendaknya sendiri.”
Khyvanthia masih mengusap usap kepala Akita. “Sebelum mencapai dunia kita, Grathal harus melewati alam ruh. Artinya, ia harus mencari ruh yang cukup kuat untuk dijadikan tumbal sepaya ia bisa kembali ke dunia dan-“
“Dan Ruh itu adalah jiwamu. Jiwa seorang dewi yang sedang mengisi kembali tenaganya dan sekarang hampir selesai. itu adalah ruh yang dicari Grathal sebagai jalan kembali ke dunia atas lalu menyelesaikan apa yang dimulai oleh Ranrok.”
Khyvanthia tertegun. “Dari mana kau tahu aku hampir siap?”
“Sudah berapa lama kau mengisi sihirmu? Menggantikan energi yang hilang ketika memanggil Zalyphton sendirian lalu gagal? Lima tahun di alam Ruh yang dipenuhi sihir kehidupan cukup untuk membuatmu siap bangkit dan menghadapi Grathal.”
Khyvanthia terlihat sedih. “Di situlah, aku tidak bisa melakukannya.”
“Kita harus segera membangkitkanmu! Jika Grathal menangkapmu dan menggunakanmu sebagai jalan ke dunia kita, permainan berakhir! kau bisa kembali ke dunia, Myrianthia merindukanmu! Kau harus kembali ke keluargamu!”
Akita bangun dari pangkuannya, namun Khyvanthia menahannya. Khyvanthia menempelkan tangannya di jidat Akita. “Ada alasan khusus mengapa aku tidak mau melakukannya. Dan kau tidak perlu tahu. Sekarang, waktunya kau tidur.”
Tangan Khyvanthia kembali mengusap usap kepala Akita, lalu ia mulai menyanyi.
Walaupun tidak tahu apa makna kehidupan Aku tetap merasa cemas sudah berada di tempat ini.
Kesedihanku tercurah Dari atas langit yang dingin.
Salju yang biru Dari manakah asalku, dan ke manakah diriku akan menghilang? Salju yang biru Suhu yang terasa lembut di tanganku ini Masih terasa bekasnya.
Aku rela berkorban demi seseorang Walaupun harus mengorbankan diriku sendiri Apa yang sebenarnya orang-orang ketahui Saat aku meneteskan air mata demi seseorang?
Warna biru yang terus menerus berubah Akan mempertanyakan soal keindahan di langit yang tiada batas ini.
Salju yang biru Sampai kapan rasa sakit dalam hatiku ini akan menghilang? Salju yang biru Makna dari rasa sayang di tanganku yang terbuka lebar ini Perkataannya akan tetap menjadi bagian dari makna.
Meskipun rasanya sesakit ini Namun entah mengapa Aku merasakan ada sesuatu yang sedikit hangat.
Salju yang biru Meskipun tubuhku ini akan hancur Ada sesuatu yang ingin kulindungi Walau sedikit saja.
Blue Snow – Trident (2015)
Nyanyian Khyvanthia yang merdu bahkan tanpa alunan alat musik sudah cukup membuat Akita merasa mengantuk. Khyvanthia masih melanjutkan nyanyiannya.
“Kau tidak boleh… menyerah…” Ujar Akita lemah. Ia berusaha meraih wajah Khyvanthia namun tangannya sudah lemas.
Dari pandangan Akita yang kabur, Khyvanthia terlihat tersenyum. “Begitu pula kau. Kau memegang harapan dan kuasa atas salju di tanganmu. Tidurlah, tidurlah yang nyenyak.”
Akita semakin mengantuk dan akhirnya tertidur di pangkuan Khyvanthia.
“Selamat malam, gadisku.”
Akita terbangun dan di atasnya terpampang wajah cemas Myrianthia. Ia mengenakan kacamata dan topi. Rambut peraknya menjuntai keluar dari belakang topinya.
“Hei! Ia bangun!”
Akita duduk dan menekan kepalanya. Usapan Khyvanthia masih terasa. Myrianthia membantunya duduk dan menepuk pundaknya. “kau tidak apa apa?”
“Myri- Mary, kenapa kau ada disini? Apa yang terjadi?”
“Kau tiba-tiba saja pingsan ketika aku memanggilmu untuk memberikan materi. Ada apa? Apa tidurmu kurang?” Tanya Sanders.
Akita menggeleng. “Tidak, aku kehilangan fokus dan tiba tiba semua gelap.”
“Beristirahatlah dulu. Jangan paksakan dirimu jika kau masih merasa pusing oke? Dokter Lisa dan temanmu akan menemanimu disini. Sayangnya aku masih harus melanjutkan seminar yang pesertanya sudah membayar mahal. Sampai nanti.” Sanders keluar dan menutup pintu.
“Saya berada di ruangan sebelah jika anda membutuhkan saya.”
Setelah Lisa meninggalkan ruangan, tinggallah Akita dan Myrianthia sendiri.
“Apa yang SEBENARNYA terjadi?”
Myrianthia menyeringai. “Pada awalnya aku yang sebenarnya berniat untuk menunjukkan visi itu padamu. Visi tentang taman malam abadi Iffrica Nocturna. Namun, sepertinya Khyvanthia bertindak selangkah di depanku.”
“Aku sudah menduganya. Khyvanthia sudah siap. Ia bisa bangkit kapan saja dan kembali ke dunia. Namun karena satu alasan atau hal lain. Ia menolak kebangkitan.” Ujar Akita.
“Apa ia sudah memberitahumu semuanya?”
Akita mengangguk. “Grathal telah menduduki Istana Ruh. Kita harus bergegas apabila tidak ingin Khyvanthia dipergunakan oleh dia.”
Myrianthia mengangkat tangannya. “Kau benar, kita harus bergegas, namun apakah kau tidak ingin berpikir dua kali?”
“Apa maksudmu?”
Myrianthia menatap ke sembarang arah. “Yaa, apakah kau sudah puas menjadi penguasa salju? Tidakkah kau ingin abadi? Apakah kau rela kehilangan kekuatan salju? Lupakan Khyvanthia, kau bisa menguasai salju selam-“
“Hentikan omong kosong itu!”
Akita menatap marah Myrianthia. Air mata mengalir dari matanya. “Aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan! Membiarkan Khyvanthia membusuk selamanya di alam Ruh? Biarkan Grathal menangkapnya dan menghisap esensi hidupnya hingga kering?!”
Myrianthia tidak bisa berkata apa apa. “Biarkan Khyvanthia menghilang dan mati selagi Grathal menyerap daya hidupnya?! Apa itu yang kau sebut dengan sayang pada adikmu?! Dahulu kau bilang ingin sekali melihat wajah Adik kesayanganmu lagi kan? Kemana Myrianthia yang itu?! Kenapa tidak satupun dari kalian menginginkan kebangkitan sang Dewi salju?!”
Myrianthia menitikkan air mata.
Akita tertegun. “Kenapa… apa yang kalian rahasiakan dariku?! Jawab aku! Myrianthia!”
Dengan tatapan penuh penyesalan, ia mengatakannya. “Maafkan Aku, Akita. Aku tak bisa memberitahumu. Aku takkan pernah tega memberitahumu.”
Akita semakin marah, tangisnya semakin keras. Myrianthia mendekap Akita. Akita berusaha melepaskan diri dari pelukan Myrianthia. “Pergi! Tinggalkan aku! Aku tak ingin bicara denganmu! Aku benci kau! Aku benci kalian!”
Myrianthia masih mendekap erat Akita. “Bencilah aku sesukamu. Tetap aku tak bisa meninggalkanmu sendirian.”
“Aku sudah berjanji padanya.”
Myrianthia membaringkan Akita dan menutupinya dengan selimut. Akita menghabiskan kekecewaannya hingga ia tertidur kembali. Myrianthia menggunakan sihirnya untuk membawa Akita dan Hana kembali ke apartemennya, sementara KIzako mengambil mobilnya.
Ia duduk di samping ranjang seperti yang kerap ia lakukan dahulu. Biasanya ia akan menunggu hingga Akita terbangun. Namun tidak dengan malam ini. Ketika Kizako kembali, sinar bulan bersinar begitu terangnya , dan Myrianthia menghilang bersamaan dengannya.
Ia kembali ke kerajaannya. Mengempaskan diri lelah ke ranjangnya. Pelayannya yang melihat hal itu segera membawakan ratunya pakaian ganti.
“Setidaknya ganti dahulu baju anda sebelum tidur, yang mulia.”
Myrianthia berbalik. “Beritahu aku, Alevia, salahkah aku merahasiakan takdir seseorang?”
Alevia meletakkan baju di Kasur, mengambil tongkat kekuasaan Myrianthia yang dilemparkan sekenanya ke lantai, dan menyimpannya di relung pusaka. “saya tidak dalam posisi untuk memberikan argumen, yang mulia. Karena saya sendiri tidak begitu paham akan takdir.”
Myranthia bangun dan berganti baju. “Paling tidak beritahu aku.”
Alevia mengencangkan ikatan gaun tidur Myrianthia. “ada satu hal yang saya percaya. Bahwa takdir kita semua telah ditetapkan dan tidak akan berubah, apalagi ketika kita tidak berniat merubahnya sama sekali. Yang bisa kita lakukan hanyalah menerimanya dengan sepenuh hati dan menjalani hidup sebaik mungkin. Silakan duduk, yang mulia.”
Myrianthia duduk di depan meja riasnya. “bagaimana gaya yang anda inginkan malam ini, ratuku?” Tanya Alevia
“lurus saja.”
Alevia mulai menysiri rambut Myrianthia, sambil melanjutkan pemikirannya tentang takdir. “Menurut saya itu bukanlah suatu hal yang harus diketahui oleh semua orang. Mengapa? Karena saya yakin, apabila seseorang tahu takdir mereka, mereka cenderung akan merasa bahwa hidup ini tidak layak dijalani apabila takdirnya seperti itu.”
Myrianthia meraih minyak rambut dan memberikannya pada Alevia. “Saya yakin, apa yang anda lakukan adalah hal yang benar, yang mulia. Menyangkut perasaan seseorang apabila ada yang dirahasiakan dari mereka, tidak menutup kemungkinan mereka akan merasa kecewa, kesal, marah. Namun itu semua untuk kebaikan mereka sendiri.”
Alevia mengoleskan minyak ke tangannya, dan mengusap usap rambut perak Myrianthia. Aroma melati dan Chamomille menyerbak. “Rambut perak anda indah setiap kali saya memandangnya, yang mulia.”
“Terima kasih, Alevia.”
Setelah selesai, rambut Myrianthia bekilau seperti setiap malam. Alevia mencuci tangannya, mengambilkan peralatan minum teh yang disiapkan pelayan lain, dan membawanya ke meja rias.
“Tidak, malam ini tidak disini. Aku ingin kau ikut menikmati waktu istirahatmu bersamaku.” Ujarnya sambil membuka pintu pintu balkon. Menunjukkan penampakan taman belakang istana magis dengan bumi di atas kepala mereka.
Alevia memandang ke langit. “Malam ini bintang-bintang benderang, yang mulia.”
“Kau benar. Sudah lama aku tidak melihat bintang-bintang seterang ini.” Kata Myrianthia sambil menyeruput tehnya.
Alevia mengambil sebuah kue kecil. Mereka menikmati waktu beristirahat ditemani dengan suara air terjun dan kicauan binatang malam dari taman di bawah. Sampai Myrianthia menguap dan kembali ke kamar. Alevia merapihkan gelas gelas dan meletakkannya di dekat pintu.
Myrianthia naik ke pembaringannya. “tidurlah Alevia. Sudah sangat larut.”
Alevia tersenyum dan menyelimuti Myrianthia. “Selamat malam, Ratuku.”
Ia menjentikkan jarinya. Seketika semua penerangan perlahan meredup dan mati. Ia mengambil baki dan menutup pintu kamar sang ratu.
Myrianthia dibangunkan oleh ribut ribut diluar kamarnya. Ia menyibakan selimut dan meraih tongkatnya. Diluar, para pelayan dan penjaga istana mondar mandir ribut. Myrianthia menghampiri seorang penjaga yang sedang mengobati luka rekannya.
“Ada apa?”
“Serangan fajar, yang mulia!”
“Apa?! Siapa?”
Parjurit itu menekan luka berdarah-darah di perut rekannya. “Kami tidak tahu, Yang mulia. Yang pasti itu seragan dunia magis. Sebuah bola energi berhasil melubangi perisai kerajaan dan meledak di kompleks utara istana.”
Myrianthia menyembuhkan luka prajurit tadi. Seketika pendarahan berhenti dan lukanya menutup. “Terima kasih yang mulia!”
Myrianthia hanya tersenyum. “Pulihkan dia, bawa ke ruang perawatan. Kita akan butuh semua orang yang ada. Di mana area yang terdampak?”
“Gedung utama istana terbakar di bagian lorong penghubung lima, seksi lima belas sampai enam belas, akses jembatan ke Gedung arsip, perpustakaan, dan ruang rapat terblokir api!”
“Terima kasih.”
Myrianthia segera menuju lokasi yang ditunjukkan oleh penjaga. Alevia dan pengurus istana lain sedang berusaha mengendalikan api biru yang semakin liar setiap kali mereka melancarkan sihir untuk memadamkannya. Bahkan air pun tidak berguna. Myrianthia mengayunkan tongkatnya dan mengembalikan kondisi semuanya seperti semula.
“Bagaimana bisa perisai kita ditembus begitu mudahnya oleh serangan ini?”
Alevia merapihkan barang barang yang berantakan. “Bola api biru itu, melaju melewati perisai kita begitu saja. Entah apa itu, kurasa bukanlah sesuatu yang dapat kita atasi dengan mudah.”
Salah seorang petugas radar berteriak. “Datang lagi! Jumlahnya puluhan!”
“Yang mulia! Radar energi magis mendeteksi puluhan bola energi mengarah ke istana. Apa yang harus di lakukan?”
“Dari mana arah datangnya?” tanya Myrianthia
“22-34, 45-33-12, Baringan 242, kecepatan 1900 knot.”
“Menuju tepat ke sini.”
Myrianthia mengangkat tongkatnya. “Oke! Semuanya mundur! Aku tidak ingin ada lagi korban.”
Bola bola energi berpijar melaju cepat di hadapan mereka. Myrianthia mengangkat tangannya. Dinding energi berlapis sepuluh membentuk di hadapan mereka. Bola-bola energi menghancurkan Sembilan lapis dinding, namun lapisan terakhir, dihancurkan oleh sesosok makhluk.
Makluk humanoid itu mendarat di depan ujung tajam tongkat Myrianthia. Penampilannya bisa dibilang jauh lebih mengerikan dibanding Ranrok. Separuh manusia separuh binatang. Dari dada ke atas ia tampak seperti manusia, terkecuali telinga lancip, dan sirip di kepalanya. Dari pinggang kebawah, entah apa itu gabungan naga dan ular. Saking menjijikkannya Myrianthia hampir memuntahkan isi perutnya.
“Haa?! Apa apaan itu? Kau jijik dengan bentuk indahku?!” Bentak makhluk itu.
Alevia memengangi Pundak Myrianthia. “Sulit untuk menganggap wujud itu indah ketika lima mata menatapmu bersamaan. Huek.”
Makhluk itu mengepalkan tangannya. “Tch! Ketika semua ini berakhir dan nyonya berkuasa, kalian mau tak mau akan mengagumi wujudku.”
“Sudah sudah, cukup basa basinya! Sekarang jawab! Siapa kau dan mau apa kau datang ke sini?” Tanya myrianthia sambil menodongkan tongkatnya.
“Hei… hei… jangan kasar begitu. Aku hanya bermain lempar lempar bola bersama sepupuku, dan tanpa sengaja… sepertinya beberapa bola energi ilahi terlempar ke sini.”
“Jadi itu perbuatanmu? Apa kau tahu konsekuensi menyerang istana seorang dewi?”
Ia mengangkat tangan. “Maaf.”
Myrianthia masih menodongkan tongkatnya ke arah makhluk itu. “Hei! Ayolah, tenang sedikit. Kau bisa menurunkan tongkat itu.”
“Agar?” Myrianthia menurunkan tongkatnya.
“Bodoh! Supaya aku bisa mencungkil kepalamu lah!” ujarnya sambil menyerang Myrianthia.
Myrianthia mengangkat tongkatnya namun makhluk itu menepisnya semudah menepis lalat. Myrianthia dipaksa bertarung tangan kosong. Namun, makhluk itu pintar. Ia menghindari setiap serangan yang dilancarkan Myrianthia dan bahkan berhasil menggoreskan cakar kakinya di pinggang kiri Myrianthia.
“Wahh, kau lumayan! Sayangnya, aku bahkan baru bermain main!”
Myrianthia menekan lukanya. Darah perak bercucuran dari luka yang cukup dalam. “Kau belum memberitahuku namamu.”
“Untuk apa dewi jelita?”
“Supaya aku bisa mengutukmu agar mati hanya karena tercakar.”
Makhluk itu tertawa. “Kutuk aku sepuasmu dewi, percuma saja. Aku bahkan menanggung lima ribu kutukan abadi yang dijatuhkan padaku, dan aku masih bisa mendaratkan cakarku di tubuhmu.”
Ia menyibakkan rambutnya ke belakang. “Aku adalah penyuka wanita cantik, Dewi. Terutama yang abadi sepertimu. Ketika rencana nyonya selesai, kalian para wanita akan menjadi bagian dari kerajaanku! Aku Staukor! Kapak kelima nyonya Grathal! Penguasa maksiat dunia! Dan kelak, penguasa semua wanita!”
“Pff, Staukor.” Alevia menahan tawa.
“Hahahaha! Nama konyol macam apa itu? Hahaha! Bahkan nama pelawak kami masih jauh lebih keren!”
Staukor menggeram. “Kurang ajar! Tertawalah kalian untuk saat ini. Ketika nyonya bangkit, kalianlah sasaran utamanya.”
Ia menyilangkan tangan di dadanya dan menciptakan energi ledakan. Bersamaan dengan ledakan itu ia menghilang.
Myriathia masih menekan luka di pinggangnya, namun ketika Alevia menghampirinya ia terjatuh.
“Yang mulia! Anda baik baik saja?”
Myrianthia melihat tangannya yang berlumuran darah perak. “Mereka sudah bergerak. Kita harus peringatkan dewan.”
“Baik yang mulia, namun sebelum itu anda dimohon untuk memulihkan diri.”
“Kurasa tidak bisa. Tidak seketika dengan sihir. Aku baru menyadarinya. Cakarannya memiliki sihir anti penyembuhan. Kurasa aku harus berbaring sejenak.”
Alevia menekankan perban ke luka myrianthia. “Itulah yang saya maksudkan. Siapkan ruang perawatan satu! Luka anda harus segera di obati.”
Pengobatan magis tidak bekerja. Walaupun mereka tahu, Myrianthia adalah makhluk abadi, setidaknya mereka mencoba perawatan fana padanya. Menjahit lukanya dan menghentikan pendarahan. Sepertinya berhasil.
“Luka anda belum sepenuhnya menutup. Anda tidak boleh bergerak terlalu banyak.”
“Tidak, ada yang harus memperingatkan dewan. Mereka sudah bergerak.” Myrianthia berusaha untuk bangkit dari tempat tidurnya.
Alevia menahan bahu Myrianthia dan memaksanya untuk berbaring kembali. “Anda… tidak boleh, bergerak terlalu banyak. Serahkan semuanya pada saya. Anda harus memulihkan diri dahulu. Tolong yang mulia.”
Myrianthia Nampak khawatir. “Baik, kuserahkan semuanya padamu. Sampaikan kabar ini kepada sang dewi salju. Yakinkan ia untuk bersiap menghadapi serangan.”
Alevia membungkuk. “Dimengerti, yang mulia. Saya pamit dahulu.”
“Alevia! Tunggu! Pergilah ke kamarku, dan ambil salah satu koleksi senjataku dari relung pusaka. Bawa itu bersamamu. Itu akan melindungimu. Kumpulkan para dewa dewi di istana kekacauan! Aku yakin kau bisa.”
Alevia bergegas menyiapkan dirinya. Setelan pelayan berganti dengan kaos perak, legging, dan mantel perak bertudung. Ia membuka relung pusaka dan melihat lihat ke dalam. Sebagai pelayan ratu ia hapal betul apa saja yang tersimpan di dalam relung itu. Busur beserta anak panah, tombak, kapak yang bilahnya berbentuk bulan sabit, tongkat kekuasaan, dan masih banyak lagi. Dari sekian banyak pilihan, Alevia mengambil sebilah belati dari dudukannya.
Belati bermata dua itu Panjang sepanjang lengannya, mulus, dan agak melengkung di ujungnya. Ia mengamati belati itu, lalu menyarungkannya. Ia kembali ke kamarnya, meraih ransel berisi hal hal penting, dan gulungan panjang yang didalamnya terdapat pedangnya sendiri, Drivi.
Karena ia bukan dewi yang bisa berpindah tempat dengan mudahnya, ia menuju hangar Istana dan membawa pesawat tempur magis kerajaan. Ia bergegas menuju bumi, membawa peringatan dari sang Dewi bulan akan bahaya yang mengancam.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Panjang sekali ceritanya