Bab 1
Matahari, langit, laut, bumi, dan Bulan. Lima kerajaan yang telah menjaga keseimbangan alam selama ribuan tahun. Masing masing dipimpin oleh Dewa dengan kekuatan maha dahsyat. Setiap tahun, para dewa berkumpul di istana kekacauan, rumah mereka, untuk bersidang dihadiri dewa pencipta, sekaligus ayah mereka.
Namun beberapa tahun terkahir, kekuatan mereka melemah dan bahkan hilang. Semua dikarenakan bangkitnya iblis penyerap kekuatan dari alam kekacauan, Ranrok. Kaios dilumpuhkan, Dan secara tak langsung, semua kekuatan dewa dewi melemah. Kecuali Myrianthia sang dewi bulan.
Avantos mengunci dirinya di kerajaan Matahari. Stracathos menghilang bersamaan dengan angin musim gugur. Birithos juga dilumpuhkan. Namun diantara mereka semua yang bernasib paling mengenaskan adalah Khyvanthia. Ia kehabisan sihir untuk menyembuhkan Putranya yang sekarat, namun gagal. Pada Akhirnya Khyvanthia harus kembali ke alam ruh dan mengisi sihirnya.
Selama itu, kekuatan Khyvanthia yang disimpan dalam pedangnya, spethia chavani, tersegel atas kehendaknya didalam jiwa keturunannya, Akita Shirayuki. Berkat bantuan Myrianthia, ia berhasil membangkitkan kekuatan Khyvanthia dan menggantikannya sebagai penguasa es dan kerajaan kutub. Ranrok berhasil dikalahkan, dan smeua kembali seperti sedia kala.
Dibalik kesuksesan itu, ada bahaya yang mengintai. Dari dalam jurang Neraka yang terbawah, bangkit sesosok makhluk purba yang bahkan keberadaaanya tak diketahui Kaios. Khyvanthia terpaksa bersembunyi di istana Ruh. Makhluk itu meraung dan bangkit menuju dunia fana.
Kaios menghadangnya di ujung Alam Ruh. Avantos dan Stracathos mengamati dari kejauhan. Terjadilah pertempuran antara Kaios dan sosok itu, namun apa daya, Kaios dikalahkan. Dewa itu seharusnya menghilang, jika saja tombak Avantos tidak menangkis pedang sabitnya, dan anak panah Stracathos menancap di tubuhnya.
Kaios dilarikan ke Istana Kekacauan, dan sebagai gantinya mereka harus merelakan istana Ruh di duduki oleh sosok itu. Kaios sekarat, dan hampir saja kembali ke tempat asalnya, Jurang Neraka. Mereka harus menyusun strategi untuk mencegah sosok itu menghancurkan alam semesta yang diciptakan oleh Kaios, dan berhasil, apapun taruhannya.
Vlodos, Tingkat kedua
30 Desember 4370
“Kie, bangun, kau harus pergi ke kantor.” Ucap Akita sambil mengguncang tubuh Kizako.
“Mmhh… 10 menit lagi.”
Akita tersenyum. Ia memunculkan Spethia Lycephis, pedang kekuasaan atas Air, dan menodongkannya ke arah Kizako.
“Bangunlah, atau kutenggelamkan kau.”
Kizako terlompat dari ranjang. “Wawawawawa! Aku bangun! Aku bangun! Jangan tenggelamkan Aku!”
Akita masih tersenyum. Ia menyimpan kembali pedangnya. “Sarapan sudah siap, segeralah mandi! kau sudah telat.”
Kizako bangun dan berlari ke kamar mandi. Akita membetulkan Apronnya dan kembali memasak. Sudah 5 tahun sejak itu, namun ingatan tentang kejadian dengan Ranrok tak akan pernah hilang dari ingatannya.
Ia akan selalu mengingat bagaimana ia menikamkan pedangnya ke tubuh ranrok dan membunuhnya. Ia akan mengingat bagaimana pedang neraka Ranrok menancap di sisi tubuh Kizako. Ia akan mengingat, bagaimana airmata dan jeritannya ketika ia mengorbankan jiwanya supaya semua selamat. Banyak yang terjadi setelahnya. Sehari setelah pertempuran, ia terbangun di rumah lamanya yang sepi. Ibu dan Ayahnya sudah tiada. Akita memutuskan untuk menjual rumahnya dan membeli apartemen untuk ditinggali. Untungnya Kizako mengajaknya tinggal di kondominium miliknnya.
Setahun kemudian, ia lulus dan masuk ke universitas swasta Brelka. Ia membiayai sekolahnya dengan warisan ibunya, dibantu oleh Kizako yang bekerja sebagai kepala divisi di perusahaan swasta. Kini Akita sedang mengambil Pendidikan lanjutan dan hampir selesai.
Bangun pagi pagi sekali, memasak, dan menyiapkan bak mandi untuk Kizako. Kemudian ia akan pergi kuliah. Selesai kuliah ia pulang, berbelanja di minimarket, merapihkan Apartemen, dan memasak makan malam. Malamnya, Kizako pulang, dan Akita selalu menyambutnya dengan senyuman termanisnya. Mereka kemudian makan malam bersama dan beristirahat, mengakhiri hari yang sempurna. Sudah tiga tahun ia hidup seperti ini.
Ini hal yang tabu. Aku sebenarnya juga tidak ingin membahasnya. Namun kasih sayang Kizako pada Akita dan sebaliknya sudah melampaui keluarga. Mereka mencintai satu sama lain. Mereka saling memberikan semangat, untuk hidup, dan membuat masa depan yang indah bagi mereka berdua, dan dunia yang ingin mereka ciptakan.
Namun, Kizako tak pernah lupa akan tugas dan kewajibannya sebagai jenderal dewi salju. Setiap akhir minggu mereka akan mengunjungi kerajaan kutub. Bersidang dengan Dewan, dan bersenda gurau dengan dewa dewa lain. Terkadang, Myrianthia berkunjung. Hanya sekedar untuk berbicara dengan Khyvanthia, atau ikut menikmati makan malam buatan Akita
Akita duduk melamun di meja makan. Hari ini ia tak ada jadwal kuliah. Seluruh pekerjaan rumah sudah selesai, makan malam sudah siap, tinggal menunggu Kizako pulang dari kantor. Menu kali ini adalah Asparagus panggang, Stik ayam, sup krim, dan kentang goreng, ditambah saus jamur kesukaan Kizako. Ia melihat jam. Pukul setengah lima sore. Ia beranjak ke sofa dan menyetel televisi. Dan dari jendela ada pemandangan matahari terbenam yang indah, dan tanpa sadar ia tertidur.
Ada sebuah tangan halus yang menyentuh pipinya dan membangunkannya. Kizako duduk di sebelahnya, masih mengenakan blus kantornya. “Kie?”
“Aku pulang.”
“Oh, aku tertidur. Itu jarang terjadi.” Ujar Akita.
“Kau pasti Lelah, tidurlah di kamar, sofa tidak bagus untuk kesehatanmu.”
“Tidak, hanya saja, suasana sore ini nyaman sekali, aku jadi mengantuk. Tunggulah sebentar, akan kusiapkan makan malam.”
Akita bangun dari sofa dan menuju dapur. Ia menghangatkan sup krim dan Asparagus, memanggang ayam, dan memanaskan kentang. Sambil mengaduk sup, tiba tiba saja dari belakang Kizako memeluknya.
“Kenapa kie?”
“Aku butuh pelukanmu… hari ini… hari yang melelahkan.”
“Pekerjaanmu menumpuk?”
“Tidak, hanya saja bus kota padat sekali hari ini. Aku ingin menyegarkan diri.”
Akita berhenti mengaduk. Ia berbalik dan memeluk Kizako. “Baiklah, peluk aku.”
Kizako memeluk Akita erat erat sehingga Akita hampir tak dapat bernapas.
“Hei, Hei! Kizako! Terlalu erat!” Jerit suara khyvanthia.
“Dewi? Kau merasakannya juga?”
“Jelas lah! Aku merasakan apa yang Akita rasakan! Aku tahu kau menyayangii Akita tapi kalau memeluk harap ingat padaku!”
“O… oke, maaf, Dewi.”
“Untuk sekali ini biarkan saja dia, Yang Mulia. Ia butuh penyemangat.” Ujar Akita sambil tersenyum.
“Kalian… aku tak mengerti apa yang membuat kalian seperti ini. Sudahlah. Nikmati kebersamaan kalian. Peringatan untukmu kizako! Jangan kau berani melakukan apa apa pada Akita!”
“Tentu, yang mulia.”
“Ia sudah pergi, sekarang, bagaimana kalau makan malam?”
Tidak seperti dulu. Masakan Akita kini lebih lezat, berkat berjam jam yang ia habiskan di dapur. Belajar memasak supaya tak bergantung pada Kizako. Kini, mereka tinggal bersama, dan selalu Akita yang memasak. Ia melakukannya dengan senang hati, karena Kizako telah menemaninya selama ini.
“Fwah, makan malam yang enak.”
“Iya.”
Akita berdiri menuju kulkas, dan mengisi gelas dengan es batu. Kemudian ia menuju lemari kabinet dan mengeluarkan sebotol anggur merah impor langsung dari eropa.
“Supaya semangatmu terpulihkan.”
“Anggur? Baiklah, 3 gelas saja.” Ujar Kizako
Tetapi akhirnya Kizako menghabiskan 2 botol anggur, dibandingkan Akita yang hanya 2 gelas. Akita memandangi Kizako yang mabuk sambil memegang botol anggur. Ia menggoyang goyang anggur dalam gelasnya sambil memikirkan sesuatu.
Kizako masih memegang botol anggur dan berayun ayun tidak stabil di kursinya. “Khu khu khu… enaak…”
“Letakkan botol itu Kie, jika kau tak ingin memecahkannya.” Ucap Akita. Ia meletakkan gelasnya yang sudah kosong.
“eeehh? Tapi isinya belum habis.. uuu…” Kizako mengangkat botol anggur ke mulutnya.
Akita mendesah. Rasanya salah ia mencampur vodka dengan anggur itu. Hanya sedikit, tidak sampai sepertiga botol, tujuannya untuk membangkitkan semangat Kizako. Namun ujungnya Kizako malah mabuk.
Akita menghampiri Kizako. “Ayolah, sudah malam. Kau belum mandi. Letakkan botol itu!” Ucapnya sambil memegang pundak Kizako.
“Uuhh… dunia ini terbalik…”
“Ayolah, sini, kubantu kau.” Akita mengambil botol anggur dari tangan Kizako dan meletakkannya di meja. Ia lalu membopong Kizako ke kamar mandi. Ia menyuruh Kizako supaya mandi sendiri, sedangkan ia akan merapihkan bekas makan.
“Temani aku mandi.” Pintanya.
“Kau mabuk Kie. tidak, aku belum membersihkan dapur.”
“Itu bisa diselesaikan nanti kan?” ujar Kizako dengan wajah memerah.
“Duh, sudah kuduga sebotol penuh wine akan membuatmu seperti ini. Matamu merah dan napasmu bau anggur.”
“ehehehe…”
Akita menghembuskan napas. “Baiklah, sekali ini saja.”
“yeayy…”
“Dasar, kau masih seperti anak anak.”
Akita melangkah ke kamar mandi dan mulai menanggalkan pakaiannya, satu per satu, menampakkan tubuh halusnya yang indah. Sekali lagi, ia dikejutkan dengan pelukan Kizako dari belakangnya.
“Kau tahu, kau sangat cantik Akita. Tubuhmu halus dan indah.”
“Sudahlah, cepat masuk ke ke kolam sana.”
Akita memanggil Spethia Lycephis dan membuat ombak yang menyeret Kizako masuk ke kolam. Sedangkan ia sendiri melompat masuk.
“Hua?! Apa? Apa?”
Akita muncul ke permukaan. “Sudah kuduga air ini akan menyadarkanmu.”
“Apa?”
“Kau mabuk seperti orang mati. Untunglah air kolam ini ku ambil langsung dari sumbernya.”
“Kau bisa melakukan itu?”
Akita mengangkat Spethia Lycephis. “Dengan pedang ini, aku bisa melakukan apapun yang kumau terhadap elemen air. Menciptakannya, mengendalikannya, memanggilnya, dan masih banyak lagi.”
Kizako bersandar ke dinding kolam. “Ah, iya, aku ingat.”
Akita tersenyum dan menyimpan Spethia Lycephis. Kolam mereka memang kecil. Hanya seluas 1,5x2 meter, dan sedalam 80 senti. Cukup untuk mereka berdua berendam. Di sebelah kanan bak ada pemandangan menuju kota. Dan di kirinya ada shower dan toilet.
Akita mengahmpiri Kizako dan duduk di pangkuannya. Kizako melingkarkan tangan ke leher Akita.
“Hari yang melelahkan?”
“Ya… senangnya aku bisa berendam seperti ini tiap malam.”
Kizako mengelus elus kepala Akita. “Sebentar lagi kuliahmu selesai, apa yang akan kau lakukan?”
Akita diam tidak menjawab. Alih alih ia berbalik dan menepuk pelan pipi Kizako. “Kau masih mabuk. Kuliahku masihkan setahun lagi.”
Kizako tersenyum dan kembali mengelus rambut halus Akita, dan itu membuat Akita mengantuk. Ia memindahkan tangan Kizako dari kepalanya dan beranjak keluar kolam.
“Ada apa?”
Akita mengeringkan tubuhnya dan berpakaian. “.Aku akan merapihkan dapur. Kau jangan sampai tertidur di sini.”
“Oke.” ucap Kizako sambil mengacungkan jempol.
Akita menuju dapur dan merapihkan bekas makan malam mereka. Sambil mencuci piring, pikirannya melayang. Hari hari yang mereka jalani, kenangan kenangan bersama Kizako. Itulah yang membuat Akita dapat bertahan, untuk hidup dan berbahagia sesuai permohonan ayah dan ibunya. Namun di dalam lubuk hatinya, Akita tak dapat terus memendam kerinduan pada keluarganya. Pelukan hangat ibunya, usapan halus tangan ayah di kepalanya. Suatu waktu, kerinduan itu akan membobol penahan mentalnya, dan menyembur keluar.
Bunyi bel pintu mengembalikan fokus Akita. Ia melirik jam. Pukul 9 malam. Siapa yang berkunjung selarut ini? Ia mengintip lubang kaca dan melihat siapa itu.
Kizako keluar dari kamar mandi dan menghampiri Akita. “Ada tamu?”
“Ya, dan kau takkan menduga siapa yang datang.”
Kizako mengintip. “H…Hana?”
Kizako cepat cepat membuka pintu dan menerjang hana.
“Hanaaa… kemana saja kau? Aku sudah lama tidak mendengar kabarmu. Bagaimana? Kau baik baik saja? Kuliahmu lancar?”
Akita mengusap jidatnya. “duh… Kie, setidaknya beri Hana sedikit waktu bernapas.”
Kizako melepas pelukannya
“Ah, lebih baik. Maaf aku datang selarut ini. Bagaimana kabar kalian?” Ujarnya sambil melepas topi lebarnya.
“tidak, tidak, kami senang kau datang. Ayo masuk.”
“Terima kasih.” Ucap Hana tersenyum. Ia meraih tas besarnya.
“Ah, soal itu, biar aku yang bawakan.”
“Wah, terima kasih banyak Kie.”
Christina Hamilton. Ketika SMA Kizako memanggilnya Hana, supaya ia tak merasa seperti murid pindahan dari eropa, dan juga karena ketertarikannya pada bunga. Sudah 3 tahun sejak terakhir kali mereka berjumpa. Selulus dari SMA, Hana melanjutkan kuliah di Eropa. Karena jaraknya yang jauh, komunikasi menjadi sulit.
Mereka bersenda gurau sambil duduk di dalam Kotatsu yang hangat. Diluar, salju sedang turun. Akita bisa merasakannya. Inilah saat saat dimana kekuatan Khyvanthia dalam puncaknya. Akita menyuguhkan Ocha dan dimsum instan.
“Sekali lagi, maaf aku menganggumu di waktu selarut ini. Untunglah, jalan dari stasiun subway ke apartemenmu tidak jauh.” “Dibawa santai saja. Lagipula, kau sahabat kami. Soal salju itu, maaf ya? Aku memang penguasa salju, namun alam sekalipun memilik batas yang bisa dikendalikan.”
“kau mempertahankan watakmu itu Akita. Kau sudah sangat cocok menjadi seorang istri.”
Akita memerah. “ah… eh, tidak juga.”
Kizako tertawa dan menepuk punggung Hana. “kau sendiri bagaimana? Sudah punya pasangan?”
“eh!? Aku? B…belum.”
“Begitu. Oiya, ngomong ngomong, kau baru saja kembali dari inggris kan? Dimana kau tinggal sekarang?”
Hana menunduk. “Sebenarnya, setelah lulus, orangtuaku memberikan kebebasan padaku, beserta modal. Lalu aku memutuskan kembali ke sini, ke tanah dimana pahlawan jelita kita menyelamatkan dunia.” Ucap Hana sambil tersenyum.
Akita memperhatikan, ada yang aneh dari senyum Hana. Tidak seperti bagaimana ia terakhir melihatnya 3 tahun silam.
“Aku memutuskan untuk mencari pekerjaan disini, dengan berbekal latar belakang Pendidikan hubungan masyarakatku. Ketika aku mendarat. Baru saja aku mengaktifkan ponsel. Kepala pelayanku menelepon dari inggris. Katanya sepulang mengantarku dari bandara, mobil orangtuaku tersambar petir secara tidak sengaja. Kini, mereka berdua sedang kritis dan dirawat di rumah sakit.”
Kizako memegang pundak Hana. “Maaf, aku tak tahu…”
“Tidak, bukan apa apa. Aku bersyukur, sangat bersyukur tuhan masih memberikan mereka keselamatan, walau kondisi mereka kritis. Aku benar benar tak tahu apa yang harus dilakukan. Sampai di sini sudah larut malam, aku tak bisa check in hotel, dan kedua orangtuaku kritis. Alhasil aku mendatangi kalian.”
Akita menggenggam tangan Hana. “Aku tahu rasanya kehilangan orang paling berharga untuk kita. Apalagi ketika menyaksikan sendiri bagaimana mereka tewas mengenaskan di hadapan kita. Ketika itu, aku merasa sangat sedih, karena tidak dapat melindungi orang yang berharga bagiku. Jangan jadi seperti itu, kau pasti bisa melewati ini.”
Hana mulai menangis. “Namun, aku tak tahu apa yang harus kulakukan! Aku belum siap hidup tanpa mereka.
“Tidak ada yang pernah siap ditinggal oleh orangtua kita, Hana. Namun, mereka selalu mempersiapkan kita sebaik mungkin untuk menghadapinya. Kuatkanlah hatimu, tak ada yang abadi di dunia ini, bahkan Dewi sekalipun.”
Akita mengambil tissue dan mengelap Air mata Hana. “Mereka belum meninggal. Masih ada kesempatan bagi mereka. Namun, apapun hasilnya, mereka akan, pasti selalu bahagia karena kau telah hadir untuk mereka.”
Tangisan Hana makin kencang. Kizako merangkulnya. “Terima kasih, Akita. Memang tidak salah aku mengunjungimu.” Ucap Hana sambil mengelap Airmatanya.
Akita tersenyum. “Tidak masalah. Malam ini, menginaplah dulu disini. Kau tidak sempat check in hotel kan? Besok akan kami carikan apartemen untukmu.”
“Terima kasih Akita. Kau benar benar orang yang sangat baik.”
“Jangan dipikirkan. Tunggu sebentar, akan kusiapkan kamarmu.”
“Eh? Tidak! Tidak perlu repot repot. Aku hanya butuh tempat bermalam. Kurasa aku akan tidur disini saja.” Tolak Hana
“Sofa tidak baik untuk kesehatanmu. Lagipula, lebih baik menginap disini sampai kau dapat apartemen dibanding di hotel bukan?”
Kizako terkejut. “Tunggu! Kita punya kamar lagi?”
Akita berdiri dan menghampiri pintu di sebelah pintu kamar mereka. “Apartemen ini memiliki dua kamar. Namun karena dulu Kizako tinggal sendirian, ia menggunakan kamar ini sebagai Gudang. Ugh, kau harusnya lihat kondisi tempat ini saat aku pertama kali ke sini.”
“Aku membersihkan gudangnya, membuatkan kompartemen tersembunyi di pojok koridor kamar mandi, itulah Gudang yang sekarang. Aku merapihkan ruangan ini, membelikan beberapa perabot dan memasangkan AC. Dan kini…”
Akita membuka pintu. Lampu lampu di dalamnya otomatis menyala sendiri. Di dalam ruang itu ada Kasur, meja dengan lampu, lemari, Sofa, dan beberapa hal lagi. Akita berbalik menghadap Kizako dan Hana. “…menjadi kamar tamu yang indah.”
“Wuaah bagusnya!… eh tapi tunggu. Kalau ini kamar tamu, dan apartemen hanya punya dua kamar, kau tidur dimana Akita?”
“A-Aku?... aku… tidur di..”
“Ia tidur sekamar denganku, karena pernah suatu malam, aku pulang larut dan menemukan Akita yang tidur duluan. Namun ia bergerak-gerak gelisah dan memanggil manggil ibunya. Makanya, aku selalu menemaninya tidur sekarang.”
“Ah, begitu…”
Akita melihat ke dapur. “Ngomong-ngomong, kau sudah makan?”
“Eh? Sudah, di pesawat.” Ucap Hana. Tak lama kemudian perutnya bersuara.
Akita tertawa. “Kau tak pandai berbohong hana. Tunggulah sebentar, biar kubuatkan kau sesuatu.”
Akita kemudian beranjak menuju dapur. Kizako merasa mengantuk, jadi ia memutuskan tidur duluan.
“Istirahatlah, akan kubawakan kopermu ke kamar. Nikmati tivinya. Akita! Aku tidur duluan!” Kata Kizako sambil menggeret koper dan tas Hana ke kamar tamu. Kemudian ia menuju kamar.
“Oke, selamat malam.”
Akita melanjutkan memasak sedangkan Hana menonton saluran berita di televisi. Tak lama kemudian, masakannya matang. Tumisan daging yakiniku, Tempura instan, sup miso, nasi, dan ocha. Ia meletakkan semuanya dalam satu nampan dan membawanya ke kotatsu tempat Hana duduk. Walaupun sudah menyalakan penghangat, hawa dingin masih terasa dari sela sela jendela.
Ia meletakkan nampan. “Di kulkasku tidak banyak bahan yang bisa dimasak, soalnya aku belum belanja lagi. Nikmatilah.”
“Tidak apa apa! Ini lebih dari cukup. Terima kasih, Akita. Maaf aku merepotkanmu.”
Akita tersenyum dan meraih remote tivi. Ia menyesap ochanya, meraih sumpit dan mencomot sebuah dimsum. Di televisi sedang ada pemutaran film drama kesukaan Akita, jadi ia menontonnya.
Hana meletakkan sumpitnya dan mengucap syukur. “Bagaimana? Enak?” tanya Akita.
“Makanan jepang terlezat yang pertama kali kurasakan dalam 3 tahun. Kau tahu? Di inggris mereka nggak begitu ahli memasak masakan Asia.”
“Syukurlah, berarti usahaku selama ini tidak sia-sia.”
Hana mengelap mulutnya dengan tisu. “Bicara soal musim dingin. Bolehkah aku melihatnya? Pedang musim dinginmu itu?”
“hmm? Kau mau melihatnya? Baiklah, ini akan sedikit dingin.”
Akita mengulurkan tangan, dan Spethia Chavani membentuk di tangannya. Hana dibuatnya terkagum kagum. Spethia Chavani tetap berbentuk seperti dulu. Namun kini dengan kilau kilau yang lebih indah dan benderang. Kentara sekali bahwa pedang itu sedang jauh lebih kuat dibanding ketika musim lain.
“Waah, indah sekali. Apa itu… Kristal?”
“Ya, Kristal suci yang ditambang dari surga, lalu ditempa dengan energi kekacauan. Mau memegangnya?”
“Eh? Bolehkah? Bukannya itu simbol kekuasaanmu?”
Akita mengulurkan pedang ke Hana. “Asalkan tidak hilang.”
Hana menerima pedang. Sensasi pertama yang ia rasakan adalah besarnya kekuatan salju yang tersimpan dalam pedang ini.
Hana mengusap bilahnya. “Anggun sekali, cocok untukmu Akita.”
“Terima kasih. Ah iya, yang satu lagi…”
Akita mengulurkan tangan kirinya dan spethia Lycephis mewujud di tangannya. “Pedang Lautan. Simbol kekuasaanku yang lainnya.”
“Bagaimana kau menggunakannya dalam pertarungan?” Tanya hana sambil mengembalikan pedang Akita.
Akita menyimpan pedangnya. “mudah saja. Jika kau bermain game MOBA, peran dewi salju dalam setiap pertempuran dengan lima dewa adalah Assassin. Pembunuh, Ninja, Semacamnya. Aku menggunakan dua pedang untuk menyerang musuh. Spethia Chavani membantu pergerakanku, dan Spethia Lycephis membantu serangan.”
“Luar biasa. Tak heran kau bisa menang dengan mudah.”
“Kurasa bukan begitu. Inkarnasi Khyvanthia lah yang memberiku kekuatan dan kelincahan. Sekarang istirahatlah. Sudah sangat larut. Besok saja ku cuci piringnya.”
Akita merapihkan rumah, dan menyelinap ke dalam selimut hangat di samping Kizako. Namun ia tetap memikirkan sesuatu. Entah bagaimana, rasanya kedatangan hana ke sini membangkitkan memori menyakitkan ketika ibunya hilang tertimbun reruntuhan resor, atau ketika ia melihat tubuh kaku ayahnya yang menukarkan jiwa dengan jiwanya.
Senyumannya berubah menjadi isakan pelan. Akita sudah muak menangis, namun kesedihan dalam hatinya terus mendorong keluar. Ia seharusnya sudah Bahagia, namun entah mengapa ia tak pernah mendapatkan arti kebahagiaan itu sendiri. Hatinya sakit, dan rasanya ia ingin mati saja, dan menemui kedua orangtuanya di alam arwah.
Tiba tiba saja Kizako mendekapnya. Akita terkejut, Kizako seharusnya sudah lelap tertidur.
“A-ada apa?”
“Aku tidak tahan melihatmu seperti ini setiap malam. Seberapa banyak kesedihan yang kau pendam sebenarnya? Setiap malam kau menangis dengan isakan pelanmu. Kau pikir aku tidak tahu? Kumohon, hentikanlah! Sudah cukup seperti ini.”
“T-tidak, hanya saja… sebuah memori menyakitkan bangkit ketika aku melihat hana.”
“Ketika ia bercerita soal ayah dan ibunnya? Iya, aku juga seperti itu. Kukira dengan keabadian aku bisa melupakan masa laluku yang kelam. Dua kali aku kehilangan orangtuaku. Ayah dan ibu kandungku terbunuh, kemudian, aku harus berpisah pada orangtua angkatku ketika aku menerima keabadian.”
“Aku pikir setelah ribuan tahun hidup, akhirnya aku akan melupakan masa lalu. Itu salah! Bayang bayang mereka, bayang bayang orang yang kusayangi, menghantuiku setiap malam. Aku hadir di pemakaman jenderal brian dan istrinya. Aku melihat ketika mobil yang mereka tumpangi ditabrak hingga jatuh ke sungai. Setiap malam, setiap akan terlelap. Aku dihantui memori kelam masa laluku. Aku sudah muak! Sepertimu, aku juga ingin melupakan kenangan kenangan itu. Namun apa yang bisa kuperbuat?”
Akita terkejut, apa yang dikatakan Kizako benar, ia tak bisa serta-merta melupakan begitu saja kenangan kenangan itu. Namun ia bisa melakukan sesuatu terhadapnya.
Kizako melihat wajah Akita yang menahan tangisnya. Ia meraih pipi Akita. “Maaf, aku tak bermaksud kasar, aku hanya ingin kita berdua hidup dengan bahagia.”
Akita masih menangis, namun seulas senyum terukir di bibirnya. “Menurutmu, apa itu kebahagiaan?”
“Sebuah kebohongan yang diciptakan manusia fana supaya mereka bisa terlepas dari kenyataan akan kejamnya dunia. Itu yang akan Khyvanthia katakan. Sejujurnya, aku juga tidak tahu. Kita sebagai makhluk abadi tidak mungkin mengenal kebahagiaan. Keputusasaan selama bertahun tahun bahkan ber abad abad kau hidup akan selalu ada disana, membebanimu.”
“Kau akan berpikir, kapan aku merasakan apa itu kematian?’ dan, ‘sampai kapan aku akan hidup seperti ini!? Aku sudah muak!’ Pikiran pikiran seperti itu.”
Akita merenung. Sebenarnya ia sudah memikirkan ini pada hari dimana Khyvanthia memberitahukan kekuatannya, dan juga kelemahan terbesarnya. “Di dalam hatimu akan selalu terdapat kegelapan, biarkan kegelapan itu keluar dan ia akan menghancurkanmu.”
Akita tidak mengerti kegelapan apa yang dimaksud, namun ia tahu itu bukan sesuatu yang bagus. Kelemahan terbesar dalam dirinya, adalah hatinya yang keropos oleh penyesalan-penyesalan di masa lalu. Pilihan pilihan keliru yang ia buat. Jalan jalan sesat yang ia ambil. Semua itu akan terus membebaninya selama ia hidup dengan keabadian.
Suara suara nun jauh di kegelapan memanggilnya. Membisikkan kesedihan kedalam mimpi mimpinya. Menariknya untuk jatuh ke jurang hampa. Tetapi sebuah tangan dengan sigap menariknya kembali ke permukaan.
Akita bangun dan melihat langit langit. Masih pukul 3 pagi. Kizako masih terlelap di sebelahnya. Mimpi yang baru saja ia alami Nampak sangat jelas. Akita bangun dan menuju bilik meditasi, mengaturnya sedemikian mungkin supaya ia dapat berkonsentrasi dan mengoreksi kesalahan kesalahan dalam jiwanya. Kierza mempelajari bahwa meditasi sangat bermanfaat untuk kesehatan jiwa. Makanya Ia membuat sebuah bilik kecil cukup untuk 1 orang, dan menempatkan beberapa barang yang bisa membantu pikiran fokus.
Karena menjadi abadi bisa membahayakan mentalmu sedemikian rupa. Setidaknya meditasi sejam sehari bisa menstabilkan emosimu. Setelah bermeditasi, pikiran akan terasa segar dan bisa digunakan untuk beraktifitas kembali dalam kondisi optimal. Itulah yang dirasakan Akita setelah bersila di sana. Mendengarkan suara suara, bisikan musim dingin yang kadang membawakannya informasi berharga.
Selesai meditasi, Akita kembali ke Kasur dan terlelap. Besok ia tidak perlu bangun pagi, karena setiap minggu kegiatan mereka hanya lari pagi, sarapan bubur China di kios dekat taman, lalu beristirahat di rumah. Kizako ada janji turnamen game Online dengan teman kantornya. Lalu sorenya mereka berencana pergi ke festival bintang Volbir.
Yang membuat minggu ini lain dari yang sebelumnya, Hana mengikuti semua rutinitas mereka, bahkan ikut membantu tim Kizako memenangkan pertandingan game online hanya bermodalkan Laptop (dimana Kizako harus menggunakan PC gamingnya). Alhasil ruang tamu dimeriahkan mereka berdua dengan segala macam teriakan histeris, tawa, dan efek suara dari game. Kebebasan Akita menonton drama hilang, digantikan dengan hadiah turnamen sekitar 50 ribu dolar bagian Kizako. Harga kecil yang haru dibayar demi sesuatu yang lebih besar.
Malamnya Kizako menjanjikan mereka traktiran makan sepuasnya di Restoran puncak Volbir. Desa ini sudah banyak berkembang dari terakhir kali Akita mengunjunginya bersama Myrianthia. Menjadi tujuan utama turis yang ingin melihat Vlodos. Kota yang dirumorkan menjadi tempat tinggal sang penyelamat. Volbir terlihat lebih menawan malam ini. Jalanan desa dimeriahkan pawai pawai kebudayaan khas setempat. Lalu puncaknya, malam nanti, pukul sepuluh hingga duabelas, semua lampu akan dimatikan dan pengunjung bisa menikmati kilau malam Vlodos, dibawah bintang-bintang.
Pemikiran manusia memang luar biasa. Neo-Freeland mengklaim bahwa penyebab ledakan besar empat tahun lalu adalah planet yang hancur karena rudal nuklir mereka. Sementara Dmytropia menyatakan itu adalah alien yang mencoba menggali inti bumi, namun terjadi kesalahan sehingga meledakkan planet misterius itu.
Akita melihat lihat hiasan sepanjang jalan. Pemandangan malam tempat tinggalnya di bawah sana. Ada satu rumor yang mengatakan bahwa terjadi pertempuran besar di kepulauan Maladewa. Saksi bilang bahwa sesosok iblis melawan dua gadis. Yang satu memegang pedang, dan yang satunya membawa tongkat yang mengeluarkan cahaya. Selama pertempuran, pulau diselimuti badai salju. Lalu, badai salju ganjil yang serupa muncul di salah satu daerah Vlodos, lalu menjadi dasar rumor tempat tinggal penyelamat bumi.
Akita dan para Dewan tutup mulut. Manusia akan mengatakan apa yang mereka lihat. Sekalipun itu berbanding seratus delapan puluh derajat dengan faktanya. Lebih sedikit yang mereka tahu, lebih baik. Kizako menggenggam tangannya dan menuntun Akita ke salah satu restoran.
“Paket makan sepuasnya, untuk tiga orang.” Ujar Kizako pada pelayan.
“Baik bu. Waktu manikmati hidangan adalah 120 menit, pelayan akan mengantarkan anda ke meja, silakan menikmati!”
“Khu khu… ada yang sedang berduit nih” sindir Akita.
Hana melepas kupluk dan sarung tangannya. “Harus ku akui, lawan kita tadi, Asteria Online Sports ya? Memang cukup ahli.”
Kizako duduk dan melepas mantel. “Tidak sebanding dirimu, Hana. Makanlah sepuasnya, ini hasil kerja keras kita.”
“Kesalahan mereka di menit terakhir terlalu fokus melindungi pengangkut mereka, sehingga melupakan markas yang kosong.” Ujar Akita, lalu ia bangkit mengambil makanan.
“Tepat. Hana ternyata memiliki bidikan jitu juga, Akurasi tertinggi di tim.”
“Ahahaha. Kapan-kapan kalau kau ada turnamen lagi, hubungi saja aku.”
Akita kembali dan meletakkan senampan penuh makanan. Sebagian besar ia mengambil daging untuk dibakar.
“tunggu, kau tidak mengambil sayur untuk rebusan?”
Akita memelototi Kizako kesal. “Kukira bukan hanya aku yang makan di sini.”
“Hehehe, bercanda. Sekalian kuambilkan minuman.”
Akita duduk dan mulai membakar daging.
“Kalian berdua, akur sekali ya?”
Akita menatap Hana. “Ya, sudah banyak yang kami lalui bersama untuk membunuh Ranrok. Ketika aku terbangun di rumah lamaku yang berantakan, hanya Kizako yang ada di sisiku. Aku tak ingat apa-apa sejak pertempuran berakhir. Yang kutahu aku berdiri di pinggir tebing, menatap matahari terbenam sambil menggandeng tangan seseorang.”
“Ketika aku bangun lagi, aku berada di lantai rumah lamaku yang berantakan dan kosong. Aku melihat sekitar dan hanya menemukan Kizako dalam balutan jaket musim dinginku yang paling tebal. Aku heran, mengapa ia tertidur dengan baju setebal itu di awal musim semi? Ketika ia bangun ia bilang bahwa aku pingsan begitu saja bersamaan dengan hilangnya senja. Ia membawaku ke rumah, namun ketika ia akan pulang aku membuat badai salju yang membuat seisi rumah berantakan. Kizako terpaksa menetap dan menidurkanku supaya badai mereda.”
“Begitu… itulah mengapa kalian amat dekat ya?”
“Ya, begitulah. Kau tidak mau makan hana?”
“Eh? Ah iya! Nanti saja, aku akan menunggu Kizako kembali.”
Menikmati daging bakar hangat di tengah dinginnya musim dingin, ditemani sup dan teh hangat. Akita benar benar menyukai ini. Restoran dilengkapi kaca kaca panoramik ukuran jumbo yang menyediakan pemandangan ke kota Vlodos. Angin musim dingin di luar tidak terlalu mengganggu, berkat pengatur iklim yang dipasang di setiap pojok desa.
“Ohh… aku kenyang sekali.”
“Jika kita hitung, Kizako menghabiskan satu setengah kilogram daging.” Ujar Akita.
Hana menutupi mulutnya. “Mengerikan…”
“Harimau kita ini memang buas.”
Hana melihat jamnya. “Sudah waktunya. Ayo, kita lihat-lihat festival!”
Puncak Volbir telah disulap menjadi lokasi wisatawan sejak terakhir Akita ke sini. Sebagian besar adalah toko toko baru yang menyediakan bermacam souvenir. Ia ingat betul, beberapa tahun lalu ia ke sini dengan Myrianthia, Volbir hanyalah sebuah desa kecil. Hanya pemandangan matahari terbit yang membuatnya menakjubkan. Kini, Kilau Vlodos dan bintang-bintang menambah keindahan Volbir.
Akita melihat sebuah toko souvenir yang menarik dan memutuskan untuk mampir.
“Silahkan, souvenir Volbir.” Ujar seorang nenek yang tampaknya pemilik toko tersebut.
Akita melihat lihat isi toko. Sebuah jepit rambut menangkap pandangannya. Jepit perak itu terbuat dari bahan yang Akita tidak mengetahui sebenarnya apa, dihiaskan Kristal Kristal kecil, samar samar berkilau redup. Akita mengambil jepit itu dari dudukannya dan mengamatinya.
“Jepit rambut itu terbuat dari bebatuan langka di Volbir. Orang menyebutnya Volratite. Kristalnya digali langsung dari bebatuan oleh suamiku. Hadiah ini ia berikan pada putriku, namun mereka berdua meninggal mendahuluiku karena sakit. Ini adalah peninggalan keluargaku yang berharga.” Kata nenek penjual.
Akita tertegun. “Ah! Maaf, aku menyentuh tanpa izin. Segera kukembalikan!”
“Jangan! Tidak perlu. Itu hanya tiruan dengan bahan yang sama. Yang asli kusimpan dengan baik. Ambillah. Kenakan itu di rambut indahmu.”
Akita mengenakan jepit itu dan menyibakkan rambutnya ke belakang. Nenek takjub melihatnnya. Ia mengelus pipi Akita dan mengamatinya lekat-lekat. “Kau, mirip sekali dengan putriku. Cantik, berani, kuat. Ya, aku bisa melihatnya. Tatapan itu sama seperti tatapan putriku. Pakailah itu selalu, niscaya kau akan selalu berada dalam berkah.”
Kizako mengeluarkan uang. “Berapa harganya nek?”
“Tidak! Tidak perlu bayar. Kuberikan ini gratis.”
“Benarkah?! Terima kasih nek!”
Nenek penjual tersenyum. “Tidak, justru aku yang berterima kasih, sudah membiarkanku melihat putriku kembali, walau hanya mirip.”
Mereka berpamitan dan melanjutkan berjalan, sambil menikmati bermacam pawai budaya di sepanjang jalan. Hingga mereka menemukan lokasi yang enak untuk duduk dan menikmati malam bintang.
“Tahun ini telah kita lewati dengan baik bukan?” Tanya Kizako
Akita mengangguk. “Benar.”
“Walau ada hal yang tidak mengenakkan, bukankah kita harus tetap bahagia?” Kata Hana
“Benar sekali.” Hitung mundur menuju tahun baru.
Lima.
Akita menggandeng tangan Hana dan Kizako. “Ucapkan keinginan kalian.” Kata Akita.
Empat.
“Semoga tahun depan menjadi tahun yang baik.” Kata Kizako
Tiga.
Hana menatap angkasa. “Semoga kita melewati kehidupan dengan Bahagia.”
Dua.
“Semoga kita semua bisa memiliki masa depan yang indah.”
Satu.
“Selamat tahun baru!”
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar