
Dilema Nara
Nara terbangun karena sinar matahari menembus jendela kamarnya yang tak sejak kapan terbuka. Sejenak, ia hanya menatap langit-langit kamar. Matanya masih terasa sembab, sisa tangisan tadi malam. Kemudian Nara bangun dan duduk disisi ranjang kecilnya. Gadis itu memandang sekeliling kamar, dan tiba-tiba, suara pecahan kaca terdengar dari luar.
Nara menutup kedua telinganya kuat-kuat, enggan mendengar apapun. Setetes bening air matanya bergulir di pipi. Wajahnya dibenamkan dalam kedua telapak tangan yang lemah. Rasanya ia sudah tak sanggup lagi hidup dalam situasi seperti ini. Iya tak kuat hidup dalam lingkaran kesedihan yang selalu mengikutinya.
Nara berjalan keluar rumah. Ia menatap siluet hitamnya di antara bayang-bayang pepohonan. Cara berhenti ketika ada seseorang menghalangi bayangannya. Nara mendongak. Wajahnya terasa familiar. Nara tak sanggup menatap lawan bicaranya. Ia hanya memegang pipinya yang terasa nyeri karena tamparan barusan. Nara terisak diiringi suara teriakan gadis itu di telinganya.
Nara adalah anak perempuan yang hidup dengan kasih sayang utuh dari orang tua. Semula, ia mengira hidup dalam zona kesempurnaan. Tapi ternyata, semua itu bualan. Ayahnya ternyata sudah berkeluarga. Saat itulah ia menyadari ibunya adalah istri kedua ayahnya.
Istri pertama ayah Nara adalah sahabat dekat ibu Nara. Sahabat dekat yang saling mengaitkan janji untuk tidak menghianati satu sama lain. Begitu istri pertama ayahnya mengetahui, iya tentu syok berat. Nina, anak istri pertamanya pun tak percaya. Selanjutnya, teror mulai berdatangan sebagai tanda balas dendam.
Keluarganya berencana untuk pindah. Pindah ke wilayah yang cukup jauh untuk mengubur kolamnya masa lalu dan melanjutkan hidup. Tapi bagi Nara, pindah rumah hanyalah bentuk pelarian diri. Raganya takkan teraniaya lagi. Namun, jiwa dan pikirannya telah menyatu dengan frustasi.
Nara bergeming. Dalam pikirannya yang kalut, iya teringat Nina. Gadis itu ingin Nara lenyap dari dunia ini. Nara tahu apa artinya itu. Nara memandangi tubuh kakunya yang ditumpahi tangisan dan penyesalan yang terlontar dari ayah dan ibunya.
Awalnya ia berniat memutuskan urat nadinya dengan gunting biru kesukaannya. Namun, ia menguatkan dirinya atas segala risiko perbuatannya nanti. Nara tahu, kematiannya akan membawa segala keadaan berubah menjadi lebih baik seperti yang diinginkan semua orang.
Nara tersenyum, ia tidak merasakan kesedihan lagi, dia hanya merasakan gema bebas dan damai dalam pikirannya. Sekarang, iya tak perlu menerima berbagai bentuk kekerasan mental dari orang-orang sekitarnya. Ya sudah bebas dan hidup dalam kedamaian yang dirindukannya.
Nara menutup matanya, merasakan seluruh sensasi dan kedamaian yang mengalir di sekujur tubuhnya. Cahaya putih pun menuntun Nara ke dimensi lain, dimensi yang akan membawanya menuju keabadian.
Terimaka kasih telah membaca, semoga menginspirasi.
Jakarta, 31 Januari 2024
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar