Rafika Amani

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Kalimat yang Terputus

Kalimat yang Terputus

Aku terus memacu kecepatan motorku. Angin malam yang dingin menembus rongga di antara helm dan pelipisku, membuat lapisan kulitku membeku. Aku menghirup ingus yang mulai turun dari lubang hidungku. Sial! Gejala influenzaku kumat. Anak rambutku menari-nari, mengikuti kemana arah bayu berembus. Baju kaos tipis yang kukenakan melambai-lambai bagaikan nyiur di tepi pantai. Karena suhu yang dingin menyunsum, bulu romaku sampai berdiri. Aku menyelip puluhan pengendara motor dan mobil, tak peduli dengan umpatan mereka. Menerobos kerumunan pemuda yang sibuk merumpi, dan mengeluarkan bunyi klakson sebagai pertanda kedatangan pengendara gila yang adalah aku. Aku menatap sekilas lampu merah di hadapanku, tak ada waktu, lampu merah ini hanya akan memperlambatku.

“Gila kau!”

“Mau mati dia!”

Pendengaranku tak lagi peduli dengan puluhan kutukan pengendara lainnya. Urusanku jauh lebih penting dari mereka yang mungkin hanya berpacaran, pulang kerja, atau mencari toko buku yang sepi di awal tahun ajaran baru ini. Urusanku berhubungan dengan perasaan, walaupun pacaran juga berhubungan. Urusanku melibatkan perjuangan cinta dan penantian, kendati menunggu waktu pulang kerja juga penantian. Urusanku merujuk pada kepastian, meski toko buku sepi pengunjung juga sesuatu yang pasti. Yah, intinya urusanku jauh lebih penting, melebihi ribuan urusan lainnya.

Bandara berskala internasional yang kumasuki berpendar oleh ratusan lampu melingkupinya. Tanpa ragu, aku berlari menuju ruang tunggu. Aku melihat jam, 27 menit, itu scor terbaruku. Dengan kecepatan di atas normal, kita membutuhkan waktu 35 menit ke bandara. Sedangkan aku datang 8 menit lebih cepat, walau dengan catatan harus menerobos dua kali lampu merah.

Aku berjalan melewati dinding kaca yang memantulkan bayanganku. Aku berhenti, megamati lebih jelas, ada yang salah. Aku tersadar, bagaimana mungkin aku menemuinya dalam keadaan begini. Mata dengan pesona garis hitam melingkar dibawahnya, bibir kering, rambut kusut yang di ikat asal, dan wajah tanpa polesan bedak sedikitpun. Aku melihat tubuhku lalu berganti ke kaca besar, baju kaos putih pudar dan celana training hitam hadiah 17 Agustus empat tahun lalu di tambah sendal jepit sebagai alas kakiku. Aku menggelengkan kepala, semerana inikah aku di tinggal dia sampai melupakan gaya modisku. Pasti dia akan langsung ilfiel denganku.

Aku berjalan ke arah deretan kursi tunggu, kakiku sedikit pegal akibat berkendara gila-gilaan tadi. Setelah duduk, aku menyapu pandangan ke seluruh ruangan. Seorang wanita yang kalau dilihat mungkin seumuran denganku, tengah memangku balita kecilnya. Di depannya berdiri lelaki yang agaknya suaminya menyuapi ice cream pada balita itu. Mereka sesekali tertawa ketika suapan suaminya meleset dan malah membuat pipi anaknya cemong. Aku yang melihat ikut tertawa kecil. Di sisi lainnya sepasang kakek dan nenek saling bercerita. Sang Kakek mereka sebuah guyonan, si nenek langsung tertawa tipis sambil menepuk pelan tangan pria tua yang digenggamya. Aku yang menyaksikannya turut tersenyum.

Aku melihat ke arah TV besar yang menampilkan jadwal keberangkatan dan kedatangan pesawat. Ini sudah lewat tiga menit dari jadwal kedatangan pesawat yang ditumpanginya. Para penumpang lainnya sudah membanjiri ruang tunggu. Sedangkan dia belum juga tampak batang hidungnya. Ratusan penumpang berlalu lalang di hadapanku, tapi tak ada yang seperti dia. Aku menatap lorong menuju ruang tunggu ini, tetapi tidak ada yang segagah dia, tak ada yang sebercahaya dia, dan tak ada tanda kedatangannya. Dua puluh menit berlalu, keadaan tetap tak berubah. Orang-orang yang menjemput dan yang turun sudah berganti untuk yang kedua kalinya.

Aku mengetuk lantai bandara dengan ujung sandalku. Aku mematah-matah jariku hingga berbunyi. Perasaan dan pikiranku mulai cemas, aku menggigit bibir. Tanganku meremas ujung baju, memelintirnya hingga kusut. Ruangan ber ac ini terasa begitu panas, aku menyeka peluh di dahi dan leher.

Hatiku tak enak, bukankah mungkin saja Reza menipuku, menjahiliku. Tapi setega inikah? Sekejam inikah permainan Reza? Jika itu benar, ini bukan salah Reza, otakku membantah. Tidakkah aku yang duluan percaya pada Reza, berlari meninggalkannya lalu meroket ke sini. Aku bahkan tidak memastikan kebenaran ucapan Reza. Walau begitu, dimana hati Reza jika membodohi sahabatnya yang sedang patah hati? Hatiku menjawab. Otakku lagi-lagi membalas, kau bahkan sering melupakan sahabatmu sendiri. Bukankah ini balasan setimpal untuk kekesalannya padaku? Kepalaku sesak dipenuhi segala kemungkinan terburuk.

Hingga dari kejauhan, aku menemukan punggung kokoh yang kukenali diantara ratusan penumpang. Tergesa, aku mengikutinya. Beberapa orang tertabrak oleh bahuku. Satu dua mengumpat, sedang yang lainnya hanya berdecak kesal. Punggung tadi semakin dekat denganku. Saat jarak kami hanya setengah meter lagi, aku menarik belakang kemejanya. Membuatnya tersentak. Tubuh itu membalik, dan saat mata kami bertemu, aku sadar kalau mata itu tidak seindah miliknya.

Setelah membungkuk dan meminta maaf, aku kembali berjalan. Sebentar aku menatap lorong tadi, dan tetap tak ada yang berubah. Aku berbalik, membuang semua harapan yang tadinya membumbung tinggi.

Hatiku yang tak bisa bekerja sama malah luruh dihantam kemungkinan, Akibatnya air mataku turun, meggurat pipiku. Aku membalik badan, tak lagi menatap lorong yang lengang. Aku menundukkan kepala, membiarkan bulir air mataku tumpah. Anak rambutku lengket oleh air mata yang membasahi wajahku. Keadaanku benar-banar kacau, rasanya aku ingin berteriak dan menyebut namanya selantang mungkin.

Dua menit berlalu, tangisku mereda, diganti oleh isakan kecil yang menyebalkan. Tentu saja aku harus mengingat dimana aku sekarang. Aku menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Kalaupun sekarang Reza hanya bergurau, aku tak akan marah. Ini salahku yang ceroboh.

“Rahayu.” Suara itu terdengar bagai siliran angin lembut dari belakangku. Walau pelan, aku hafal mati dengan suara khas ini.

Tubuhku refleks membalik. Air mataku yang sudah berhenti kembali menggenang. Tanganku yang bergetar, mendekap mulutku. Dia berdiri di depanku, bibirnya membentuk senyum. Wajahnya tampak pucat dengan rambut kusut, tapi itu tak membuat gagahnya hilang. Aku menangis semakin keras, kebahagiaanku meluap, memenuhi setiap rongga dadaku. Dia berjalan selangkah ke depanku, tangannya hendak mengusap kepalaku.

“A..ku…” Belum usai kalimat dari bibirnya, belum sampai telapak tangannya, belum langsung niatnya, tubuh itu langsung ambruk. Aku berteriak kalap.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post