Aku
Aku
“Silvi! Kapan kau akan pergi?” Aku berteriak dari atas sofa. Tanganku penuh oleh keripik pisang, mataku menatap siaran TV di hadapanku, dan mulutku sibuk berkoar-koar. Rasanya mulutku sudah berbusa karena sejak tadi berteriak pada adikku. Dia sudah siap dengan seragam SMAnya, tapi belum juga keluar dari kamar. Ini hari pertamanya ke sekolah, dan semalam aku berharap dia tak terlambat. Tapi harapanku musnah pagi ini. Lima menit lagi gerbang sekolahnya akan tutup, dan dia masih di dalam kamar.
“Silvi! Kau kira sekarang jam berapa?” Aku sekali lagi berteriak. Silvi keluar dari kamar dengan tas terbuka disandang ke depan. Dia berlari ke dapur, lalu pulang membawa bekal nasi dan air minum yang tadi kusiapkan. Silvi berlari kecil ke depan pintu untuk memasang sepatu, tapi gerakannya terhenti dan kembali lagi ke kamar. Aku yang memerhatikannya hendak berseru kembali, tapi dia langsung keluar dengan kaus kaki dan name tag di tangannya. Aku menggelengkan kepala “apa kau sepelupa ini? Nanti kepala pun lupa kau bawa,” aku mengutuk dalam hati. Setelah memakai sepatu,dia tak langsung pergi, malah berjinjit ke arahku lalu merampas bungkus keripik pisangku.
“Aku belum sarapan,” ucapnya sambil tersenyum jahil. Aku langsung melotot.
Selepas kepergian Silvi, aku mulai sibuk dengan tontonanku. Aku menguap, jadwalku ke rumah sakit masih dua jam lagi, sedangkan tempat praktekku buka menjelang sore. Siaran kesukaanku habis dan berganti dengan gosip seputar perceraian artis yang sedang hangat. Dikabarkan menjalin cinta lokasi lalu menikah, tapi belum satu tahun sudah bercerai. Perceraian dimungkinkan terjadi karena belum memahami pasangan. Aku mendesis, “aneh, untuk apa menikah jika nantinya akan bercerai juga.”
“Menikah untuk melengkapi agamamu, jalani dengan ikhlas dan lakukan yang terbaik. Jika bercerai, itu artinya ada yang salah, niatnya yang tak baik atau ikhlasnya yang kurang.” Entah sejak kapan Amak sudah berada di belakangku, ikut duduk di sofa, “yang aneh itu kamu, kenapa belum juga menikah?” Amak mencolek daguku.
“Amaaaak.” Aku berseru kesal.
***
Oleskan pelembab wajah yang sesuai dengan kulit, lalu aplikasikan foundation dengan tipis. Bubuhkan bedak padat dengan kuas agar merata. Pakai nude eyeshadow agar terlihat natural, dan sapukan eyeliner sedekat mungkin dengan garis mata. Selanjutnya gunakan mascara agar bulu mata lebih bervolume. Pakai blush on warna coklat sesuai denan tulang pipi. Sentuhan akhir lipstick warna peach di bibir.
Rambut panjangku disanggul dan dijepit. Kemeja coklat sebagai baju dalamku ditambah celana katun warna krem yang sedikit longgar. Pergelangan tanganku dilingkari sebuah jam kecil berwarna hitam mengkilat. Tak lupa, aku membawa hand bag sebagai pelengkap. Terakhir, jas putih yang menandaiku seorang dokter.
“Sempurna,” pujiku pada diri sendiri.
Aku berjalan ke meja makan yang sudah dihadiri Bapak dan Amak. Aku tersenyum kecil pada mereka, lalu ikut duduk di kursi. Aroma gulai ikan tenggiri dan salalauak meyergap masuk ke dalam lubang hidungku. Tanpa basa-basi aku meraih piring dan menyendok nasi. Satu suapan masuk ke dalam mulutku, awalnya terasa gurih namun lama-lama pedas menyengat. Aku memasukkan bola-bola salalauak ke dalam mulut sebagai penawar pedas. Amak sepertinya semangat sekali memasak gulai hingga memasukkan banyak cabe rawit.
Bapak tampak sibuk dengan korannya, walau sudah kujelaskan berkali-kali bahwa sekarang berita tak hanya di koran, sekarang ada HP, TV, atau internet, Bapak tetap bersikeras. “Aku tak mau mataku yang sudah rabun ini tambah rabun.” Begitu jelasnya.
Aku hidup di dalam keluarga yang bahagia, seluruh kebutuhanku terpenuhi, bisa dibilang keluargaku cukup terpandang. Bapak adalah pensiunan Camat di daerahku. Dia adalah pria yang peduli, ramah, dan berbaur dengan masyarakat. Jadi, tak ada alasan dia tidak terpilih menjadi Camat. Sedangkan Amak adalah pensiunan guru Bahasa Indonesia. Sebetulnya bukan pensiunan, tapi memilih pensiun muda semenjak Bapak menjadi Camat.
“Kau mau pergi?” tanya Bapak selepas dirinya membaca koran.
“Yaah, masih setengah jam lagi.” Aku menjawab sambil mengipasi mulut lalu meneguk air. Gila! Gulai ini membakar lidahku.
“Mungkin nanti malam kau harus menemani adikmu membeli buku,” ucap Amak. Aku mengangguk, ini tahun ajaran baru, Silvi pastinya membutuhkan banyak buku tulis. Pembicaraanku, Amak, dan Bapak terus berlanjut, dari sekolah Silvi, aku yang tadi pagi berteriak-teriak, pekerjaanku, gulai buatan Amak, hingga statusku. Eh, status? Sial! Pembicaraan ini selalu ingin kuhindari.
Bapak yang memulainya “Kau tak ada niat pacaran?” Aku yang ditanya hanya cengengesan. Pura-pura sibuk membereskan rimah nasi.
“Hidup itu tak hanya untuk kerja. Kerja untuk mencukupi hidup, harta saja yang kau dapat darinya. Sedangkan pasangan itu teman hidup, kebahagiaan yang kau dapat,” ujar Amak mengaminkan. Aku terjebak sekarang, untunglah waktu berbaik hati padaku, saatnya ke rumah sakit. Aku permisi pada Amak dan Bapak sambil menunjukkan jam di pergelanganku.
***
Aku mengendarai sepeda motor untuk ke rumah sakit. Jarak dari rumah ke tempat kerjaku hanya dua km, jadi tak membutuhkan waktu lama. Untuk kesana aku melewati jalan raya beraspal yang bisa memuat dua jalur berlawanan. Memang tidak besar, tapi itu sudah memadai jalanan yang memang lengang. Di sisi kanan dan kiri jalan di penuhi rumput liar setinggi lutut. Jika ada rumah warga, maka rumput itu berganti menjadi halaman. Warga di daerahku tidak memakai pagar, jika ada pembatas dengan tetangga paling hanya tumbuhan berbunga yang ditanami berderet.
Jika kalian melihat tempat tinggalku di peta, maka akan ada daerah yang berada di punggung Sumatera dan bersandar pada kokohnya pegunungan bukit barisan. Menyuruk di antara nyiur yang melambai, menghiasi tepian pantai, dan bersembunyi dari lasaknya angin darat dan laut.
Kalian pasti sudah bisa menebak pekerjaan mayoritas di daerahku. Apalagi jika bukan menebar jala, menarik kail, dan memprediksi cuaca. Nelayan di daerahku melaut malam dan subuh. Kadang bila tidak sibuk, aku dan Silvi menonton para nelayan menarik perahu ke laut saat matahari belum muncul. Lalu jam 11.00, aku akan membeli ikan segar hasil tangkapan. Biasanya para nelayan menjual ikannya ke rumah makan di sepanjang pantai atau pasar di hari-hari tertentu.
Aku memarkirkan motorku di halaman Rumah Sakit. Semburat keemasan mentari membuat mataku silau. Riak gelombang ombak terdengar beraturan membentuk irama ganjil yang mengetuk gendang telingaku. Bau garam mengelus lembut indra penciumanku. Aku menghirup napas panjang, merasakan udara yang menyejukkan. Entah sudah berapa kali aku kesini, tapi tetap saja ini terasa fantastis.
Rumah Sakit tempatku bekerja berada tepat di bibir pantai. Menghadap ke arah lautan lepas yang memesona. Menuruku letak rumah sakit ini cocok dengan kegunaannya. Rumah sakit berguna sebagai tempat penyembuhan, tentu kondisi alam yang segar akan mempercepat proses tersebut. Tempat ini juga sunyi dan tenang, terbebas dari hiru pikuk aktivitas manusia. Pasien pasti nyaman dengan keadaan yang akrab ini.
Aku melangkah ke dalam ruangan rumah sakit. Sesekali aku tersenyum pada perawat yang menyapaku. Sepagi ini Rumah sakit sudah sesak oleh pasien. Kadang dibenakku terpikir, kapan rumah sakit ini sepi? Kapan masyarakat ini bebas penyakit agak sehari? Karena setiap aku kesini selalu dipenuhi pasien.
Menurutku masyarakat bukannya selalu diterjang penyakit. Hanya saja semboyan “lebih baik mencegah daripada mengobati” itu masih tetap menjadi semboyan. Tahu maknanya tapi tidak menunjukkan lewat perilaku. Misalnya dengan keadaan lingkungan yang kotor, masyarakat tidak ada kemauan untuk membersihkannya. Maka tersebarlah berbagai penyakit. Bagi yang terkena dampak, akan langsung berobat ke rumah sakit. Lingkungan yang kotor tetap kotor, dan yang sakit tetap berobat. Padahal sumber penyakitnya, ada di lingkungan yang kotor.
“Pagi Ayu.”
Masyarakat harusnya sadar, bahwa obat hanyalah penyembuh dari penyakit. Datangnya penyakit itu yang harus dicegah. Tapi kita semua tahu bahwa mencegah adalah perkara paling sulit dilakukan. Masyarakat tak punya kemauan untuk bergerak dahulu sebelum penyakit datang.
“Pagi Ayu!” Aku gelagapan, terkejut dengan suara yang menyapaku. Oke, kita sudahi dulu pasal mencegah dan mengobati tadi. Aku menoleh, ternyata Hasan.
“Pagi juga,” jawabku sekenanya.
“Kau tak apa-apa, dari tadi kau bengong.” Aku mengangguk, lalu permisi ke ruanganku. Uh, sebegitu seriusnya aku bercerita hingga sapaan Hasan tak kuhiraukan.
Dia Hasan, seorang dokter muda seumuranku. Jika kalian melihat parasnya, maka kujamin hati kalian meleleh. Tampannya bukan main. Masih muda dan sudah menjadi dokter. Perawat di sini bisa sampai tengah malam jika berbicara tentangnya. Kadang beberapa dari perawat menjadi comblang antara aku dan Hasan. Aku tak ambil pusing, biarkan saja, toh, aku sendiri tak melihatnya sebagai pria.
Aku masuk ke dalam ruanganku yang langsung menghadap pantai. Kain gorden jendelaku berkibar diterpa angin laut, cahaya matahari masuk membentuk selarik cahaya di lantai keramik. Ini suasana yang bagus sebagai permulaan kerjaku.
Salalauak : Makanan khas Sumatera Barat yang terbuat dari tepung beras, rempah, ikan, dan
dibentuk menjadi bulatan lalu digoreng.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar