Hanna dan Dhiva mulai mengendap-endap menuju perpustakaan. Di sekeliling mereka, masih ramai orang berlalu lalang. Lapangan ramai dengan orang-orang yang berolahraga di minggu pagi. Sekadar berlari-lari kecil, bermain badminton, ataupun hanya duduk-duduk di pinggir lapangan.

Dari kejauhan, perpustakaan itu layaknya seperti bangunan tua tak berpenghuni. Dengan arsitektur belanda kuno, yang kian menambah kesan angkernya. Namun rupanya, sudah duduk disana kak Lily yang menunggu kedatangan keduanya. Ia masuk lewat jalur khusus beberapa menit lalu. Perpusatakaan memang ditutup pada hari minggu. Kedatangannya di minggu pagi ini, membuatnya memilih melewati jalur khusus agar tidak menimbulkan kecurigaan para siswa yang ramai berkumpul di lapangan.

Hanna dan Qilla tiba di depan perpustakaan.

“Loh, pintunya kok belum dibuka sih?” Dhiva berseru heran.

“Iya, padahal ini udah lebih dua menit dari kesepakatan,” Hanna melirik jam yang melingkar manis di tangannya.

Tiba-tiba, pintu depan perpustakaan terbuka begitu saja. Rupanya, kak Lily yang sudah berada di dalam sejak tadi, melihat kedatangan keduanya lewat kamera cctv yang terpasang di salah satu sudut halaman.

Hanna dan Dhiva saling bertatapan sejenak, untuk kemudian bergegas masuk, sebelum pintu perpustakaan ini tertutup kembali secara otomatis.

“Selamat pagi,” Suara itu terdengar hangat menyapa.

Mereka berdua mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Oh, rupanya itu suara milik kak Lily duduk di salah satu kursi baca di tengah-tengah perpustakaan.

Hanna menarik salah satu kursi kosong yang berada di hadapan kak Lily, sedangkan Dhiva mengambil posisi di sebelah kanan Hanna.