Nebula
"Karya seorang pembohong." Aku mengumpati papan tanda di depan persimpangan yang bertuliskan: Siap Memberi Pengalaman Gembira . Masa kanak-kanak dan remajaku terlewati di tempat ini, pengetahuanku lebih dari sekedar kata-kata itu. Ku injak pedal gas lebih keras agar cepat berlalu dari papan tanda itu. Menyusuri jalanan sempit berlika-liku dan jurang menghiasi sisi kanannya cukup memacu adrenalin.
Aku akui pesona desa ini memang mampu menarik orang luar untuk datang menikmati pantai bersih dan udara segarnya. Namun, yang ada dipikiranku hanyalah rasa hambar dan memuakkan. Tercium aroma yang sama di sepanjang jalan. Bukan bau enak, bukan pula bau tak enak. Ini aroma ikan kering yang menjadi khas desa kecil ini.
Setelah lepas dari bentangan aspal yang menjadi rival bagi orang mabuk perjalanan, mobil merahku berhenti di depan mushala. Rumput liar hampir merambat masuk ke dalam mushala jika seandainya tidak ada kerikil kecil yang menghalanginya. Bahkan saat aku menginjakkan kaki di lantai keramik kekuningan itu warnanya langsung memutih menyamai bentuk telapak kakiku, seperti stempel. "Apa masih pantas menghadap Tuhan di tempat sekotor ini?" Melihat betapa tidak terurusnya bangunan suci itu, aku memutuskan untuk kembali ke dalam mobil.
Bersama mushaf kecil di bangku sebelah kemudi, aku melaju ke arah timur menuju rumah yang menjadi alasan pertamaku kembali ke tempat ini. Jantungku terpacu lebih cepat saat roda mobil berhenti berputar. Terdiam di depan sebuah rumah berbahan beton yang diberi warna biru. Aku tidak melupakannya walau sudah Tujuh tahun pergi mencari tempat yang bisa menerima kehadiranku. Tidak ada yang berubah, hanya saja warna biru dindingnya sudah terlihat mengabur.
Seraut wajah gadis kecil terlihat. Rambut hitam dan kulit kuning langsat dengan beberapa lebam kebiruan di pipi kirinya. Dia bersembunyi di balik jemuran seprai bermotif batik. Gadis itu tertarik keluar saat seorang wanita merenggut bajunya, berbagai umpatan dilayangkan pada gadis kecil itu.
Tidak, bukan sekarang waktunya. Aku menggeleng keras, mencoba menghilangkan bayangan masa lalu yang mungkin saja membuatku mengurungkan diri untuk masuk ke dalam rumah biru itu.
"Bismillah," bisikku memulai langkah.
Ketokan pintu menarik seorang penghuni rumah untuk keluar. Lelaki berbadan gemuk dengan wajah yang terlihat seperti anjing laut muncul di balik pintu. Aku tidak mengenalnya. "Permisi, saya mencari Bu Irma, apa beliu tinggal di sini?"
Apa yang salah dari penampilanku? Lelaki itu menelisikku dari atas sampai bawah. Tanpa menjawab dia meninggalkanku yang berdirii di ambang pintu. Aku mendengus kesal, ternyata bukan hanya wajahnya yang mirip anjing laut.
Tak lama, si anjing laut tadi keluar, diikuti wanita berbadan kecil bahkan hampir tidak kelihatan karena berjalan di belakang lelaki gemuk itu. Sekitar jarak satu meter wanita itu berhenti. Wajahnya jelas berubah, aku menangkap bahwa arti wajahnya menunjukan rasa tidak suka. Aku sangat tahu itu. "Untuk apa kau kemari?"
Aku terhenyak, tapi bukankah itu pertanyaan yang wajar jika bertemu orang yang kita benci? Tidak bisa dipungkiri bahwa ada setitik harapan untuk disambut dengan pelukan hangat dari seorang ibu setelah sekian lama tidak bersua. Sekarang aku tahu, bukan kembaliku yang dia inginkan. "Ibu..."
Sekeras mungkin aku memasang muka datar, menutupi rasa yang ingin kuperlihatkan pada ibu. "Bolehkah tamu ini masuk?"
"Hanya sebentar," jawabnya. Aku mengikuti langkah mereka yang membawaku ke kursi rotas yang berdecit saat diduduki.
"Lama tidak melihatmu, apa dia ayah tiriku?" Mataku masih menatap lelaki mirip anjing laut tadi, dia melengos pergi saat ada tamu di rumahnya.
"Diam, kau bukan anakku!" bentaknya
"Aku sudah punya banyak uang, apa ibu masih tidak mau mengakui bahwa aku anakmu?"
"Percuma, jika wajahmu itu masih membawa sial untuk hidupku."
Aku menggangguk dan tersenyum. "Apa semenjak aku pergi hidup ibu jadi bahagia? Ayolah bu, mataku masih bisa melihat tubuh kurusmu."
Wanita itu terdiam beberapa saat, matanya menatap tajam ke arahku. "Cepat katakan tujuanmu!"
"Baiklah, ibu pernah menyiruhku untuk membayar semua biaya melahirkan dan membesarkanku. Tapi saat itu aku hanya anak SMP yang putus sekolah, aku tidak mungkin memberika apa yang ibu inginkan. Ibu ingat?"
Aku mengeluarkan kartu seukuran setengah telapak tangan, tanpa dijelaskanpun ibu pasti tahu itu kartu apa. "Aku ingin membayarnya sekarang."
Tangan kurus ibu menjangkau kartu itu. "Sudah selesai kan? Keluarlah!"
"Belum, ada satu lagi." Aku bangkit dan berjalan kearahnya. Ibu tampak terkejut ketika tubuhku membungkuk dan mencium kakinya. Cukup lama, sampai ibu menarik kakinya dari genggamanku.
"Kau bisa pergi sekarang."
"Hmm, gunakan itu untukmu, aku tidak sudi uangku digunakan lelaki tadi. Kalau aku punya adik, tolong hidupi dia dengan baik. Aku janji, ini terakhir kalinya kita bertemu. Aku pamit, ibu."
Aku mengambil langkah menjauh dari ibu. Dengan cepat memasuki mobil dan menutup rapat kacanya. Sudah tidak bisa kubendung lagi, bulir bening itu kubiarkan jatuh mengaliri pipi. Mobil kembali membelah udara sejud desa. Kata selamat tinggal mungkin belum cukup untuk melepas semua ingatan tentang tempat ini. Tempat yang kunamai denga 'nebula' yang beraryi kabut. Semua pesona yang dilihat orang lain bagiku tampak seperti kabut, gelap. Tak ada kaindahan yang akan ku dapatkan di sini.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar