Kemot menggengam smartphone bututnya sambil melihat website sekolah barunya yang esok akan ia tinggali. Hatinya masih merasa sangat enggan menjejakkan kakinya disana. Namun bagaimana ia dapat menolak permohonan sang ayah dan ibu. Ibunya sangat ingin Kemot menjadi seorang yang mampu membela islam, dan bisa mempelajari akademik juga. alhasil, sang ibu memasukkannya kesekolah itu. Insantama nama sekolahnya.

Esok harinya, Kemot sampai di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Saat ia menginjakkan kakinya ke Bandara jantungnya berdegup dengan hebat, kakinya seakan berat untuk melanjutkan perjalanannya menuju kota Seribu Angkot itu. Namun ia bulatkan tekad untuk tetap menuntun ilmu ditempat yang sudah sang ibu pilihkan.

Hingga akhirnya Kemot sampai disekolah yang ibu pilihkan itu. Ia melihat bahwa sekolah itu memiliki banyak gedung yang masing-masing memiliki tiga lantai. setelah melihat sekolah itu Kemot semakin yakin bahwa sekolah yang ibu pilihkan memang sekolah terbaik.

Entah apa yang mengganggu pikirkan Kemot hingga ia terfikirkan kembali betapa buruknya jika ia tak bertemu sang ibu setiap hari. pasti sangat hambar bukan hari-harinya.

Bukan tentang buruknya sekolah yang ibu pilihkan, namun ia sangat takut jika ia tak bertemu sang ibu setiap hari. sebenarnya hanya satu halitu yang membuatnya resah.

Saat ia terbangundari tidur lelapnya, ia melihat gadis mungil yang sedang merapikan barang bawaannya.

"hai," sapa Kemot

"hai juga,namamu siapa?," jawab gadis itu

"Namaku Kemot, kalau kamu?"

"namaku Tiyah, salam kenal,"

Namanya Imtiyah, gadis kecil yang umurnya selisih dua bulan dari Kemot, Ia yang akan mengubah sebagian besar pandangan hidup Kemot. Kelak ia akan menjadi sahabat setianya hingga nanti mereka berpisah karena perjuangan.