Mamah Malang, Dompetnya Hilang
Hari yang cukup melelahkan bagi saya akhirnya berlalu, berganti dengan malam dingin yang terhiasi hujan. Saya menyesal karena sudah menyalakan pendingin ruangan cepat-cepat, sekarang tubuh saya kedinginan. Tadinya saya mau langsung istirahat, rebahan sekaligus tidur diselimuti selimut tebal yang hangat, tetapi pintu kamar saya tiba-tiba dibuka dengan keras.
BRAK
Jantung saya seperti ditabok. Saya kira ada penggerebekan atau hal-hal semacamnya, ternyata di depan pintu hanya tertampil sosok Mamah yang sedang panik tak karuan. Sepertinya Mamah membawa kabar buruk. Saya bertanya bingung, "Kenapa, Mah?"
"WIRA, DOMPET EMAS MAMAH HILANG, NAK, HILANG!" Mamah menekankan kata 'hilang', sampai disebut dua kali. Beliau menghampiri saya dan menggoncang-goncangkan bahu saya. Terdengar nada sedih dan panik di ucapan Mamah.
"Kok bisa, Mah?" Saya jadi ikut panik.
"Nah itu, Mamah nggak tahu. Terakhir Mamah taruh di meja depan tangga, tapi tadi nggak ada." Mamah menarik pinggir bibirnya ke bawah. Menatap saya dengan mata berkaca-kaca.
"Loh, kenapa Mamah taruh di sana? Kan itu dompet penting mah, masa' di taro di tempat terbuka kayak gitu?."
"Ih, tadi kan Mamah lagi liat-liat gelang Mamah, trus si Ilyas dateng tuh, kan kamu ada kerja kelompok. Jadi Mamah asal taro dan cepet-cepet buka pin-" Mamah yang sedari tadi mondar-mandir layaknya orang kebingungan, terhenti. Seperti menemukan sebuah ide cemerlang atas kasusnya, beliau berteriak kecil, "Diambil Ilyas apa ya, nak?"
"Dih Mah, jangan asal tuduh gitu." Saya tidak setuju dengan ucapan mamah, enak saja asal menuduh teman sebangku saya yang baik itu. Dia teman yang mengajak saya berteman pertama kali, dan saya langsung berteman baik dengan dia.
"Ya terus siapa lagi dong selain Ilyas? Atau jangan-jangan kamu? Ngaku!" Mamah mulai panik tak terkendali, sampai menuduh anaknya sendiri.
"Istighfar Mah, istighfar. Aku tau Mamah panik tapi nggak gini juga dong. Kalo minta uang terus langsung dikasih, ngapain aku nyolong dompet Mamah? Coba Mamah tenang dulu-"
"Ah, kamu mah tenang-tenang!" ucapan saya dipotong Mamah. "Mana bisa Mamah tenang kalau kayak gini, Wira? Isi dompet itu hasil jerih payah Mamah sama Papah dari dulu, dikumpul dari nol sampai sebanyak sekarang. Dan sekarang lagi hilang, Wira!" Mamah menaikkan nada bicaranya dua oktaf, membentak saya. "Udahlah, Mamah mau ke rumah Tante Wilona aja, sama kamu mah cuma disuruh tenang doang.
Mamah langsung keluar dari kamar saya, membanting pintu dengan keras. Saya terdiam, kesal karena dituduh seenaknya mencuri. Tak lama, saya Keluar kamar, mencari keberadaan Mamah saya, ingin menenangkan beliau sekali lagi. Tapi sayangnya, Mamah sudah pergi dengan mobil putihnya ke rumah Tante Wilona. Tak apa, setidaknya dengan mobil, Mamah tidak basah-basah kehujanan di perjalanan.
Saya tidak lagi berniat menenangkan Mamah, niat saya sekarang adalah mencari dompet Mamah. Menuruni satu-satu anak tangga. Mata saya fokus kepada meja kayu panjang di bawah tangga. Diatasnya terdapat vas bunga vintage kesukaan Mamah. Saya berjongkok, melihat kolong meja dengan teliti. Nihil, tidak ada tanda-tanda keberadaan sebuah dompet. Saya melihat dari segala arah kolong meja tersebut, tetap nihil. Saya menarik meja yang lumayan berat tersebut. Sesuatu jatuh dari sisi meja yang berhimpitan dengan dinding ke dinding.
"Oh, ketemu! Dompet Mamah!" Saya bergumam semangat. Mengangkat tinggi-tinggi dompet tipis itu, mungkin ukuran dompet ini sekitar kertas A5. Melihat isinya, benar saja! Berbagai macam emas batangan, gelang-gelang serta perhiasan lainnya langsung terlihat. Inilah dompet yang jika kehilangan, anak pemiliknya pun dituduh.
Ternyata dompet ini terselip di antara dinding dan tepi meja. Memang mejanya tidak terlalu mepet ke dinding, kaki meja ini memiliki lika-liku pahatan yang membuat muka meja tidak dapat menempel ke dinding. Memang sulit ditemukan. Mamah pasti sangat panik sampai mencarinya kurang teliti.
Saya langsung mengambil ponsel saya, menelepon Mamah. Bukannya diangkat, dering ponsel Mamah malah terdengar dari kamar utama, kamar Mamah. Ternyata Mamah tidak membawa ponselnya. Saya mencoba membuka ponsel Mamah, ingin menghubungi Tante wilona karena di ponsel saya tidak terdapat nomornya. Tapi sayangnya ponsel Mamah terkunci dengan sandi angka. Saya tidak tahu sandinya, sudah di coba-coba pun tetap salah.
Mau tak mau saya menyusul Mamah, saya merasa Tante Wilona tidak perlu direpotkan dengan urusan dompet Mamah yang ternyata terselip, apalagi malam-malam begini. Saya mengeluarkan sepeda dari tempat parkirnya, mengunci rumah dan menjalankan sepeda ke rumah Tante Wilona. Tak lupa saya memakai jas hujan karena saat ini masih gerimis.
Rumah Tante Wilona tidak terlalu jauh, mungkin hanya sekitar 3 KM dari rumah. Dengan semangat saya mengayuh goesan sepeda, sekalian olahraga malam. Saya membawa dompet Mamah di tas yang saya letakkan di keranjang sepeda. Takut Mamah tidak percaya akan perkataan saya tanpa bukti. Saya merasa aman-aman saja membawanya, siapa pula yang ingin merampok pengguna sepeda ontel?
Saya sampai di depan rumah Tante Wilona. Di teras, saya melihat Yuri, anak perempuan Tante Wilona sedang mengobrol video via online dengan teman-temannya.
"Iya ges, si Wira malah ngebela Ilyas dong." Hal pertama yang saya dengar adalah asas-usus yang sepertinya berkaitan dengan dompet Mamah.
"Wah, kayaknya mereka kerjasama, ga sih?" Suara keras dari ponsel Yuri terdengar. Yuri menyetel mode speaker.
"Eh, atau nggak Ilyas ngancem Wira gitu-gitu weh!" Suara lain menyahuti. Suara ini berbeda dari yang tadi. Ternyata ini panggilan grup.
"Oh.. iya bisa juga! Ilyas punya rahasia Wira kali!"
"Tapi mereka emang ngapain ya, tega banget Wira ampe nyolong dompet emaknya?"
"Gatau, pengen nyogok orang kali."
"Jangan-jangan mereka pernah perkosa atau bunuh or-"
"CUKUP CUKUP!"
Saya tidak tahan lagi, mereka sudah sangat keterlaluan. Saya mengambil paksa ponsel Yuri. Yuri ini sepupu sekaligus teman sekelas saya, yang sudah pasti sekelas dengan Ilyas juga. Tega-teganya kami dijadikan bahan omongan jahat oleh mereka. Terlebih lagi tanpa bukti yang benar.
Bayangkan kalau berita ini menyebar, 'Wira-Ilyas membunuh seseorang setelah memperkosanya, dan mencuri serta menjual perhiasan-perhiasan Mamah mereka untuk menyogok saksi agar tutup mulut.' Bisa tambah parah dari mulut ke mulut, Sangat tidak lucu.
"Lah? Wira! Apa-apaan sih? Kembaliin HP gue!" Yuri berusaha menggapai ponsel yang saya angkat tinggi-tinggi, Yuri kesusahan menggapainya.
"Sst, Tenang-tenang! Dengerin penjelasan gue dulu, okey?" Yuri tampak mengalah. Sambungan telepon masih terhubung, terdapat 4 nama di sana, termasuk Yuri.
"Dompet Mamah gue ga ilang! Keselip di pinggiran meja, Mamah gue panik banget ampe ga nemu tuh dompet." Saya mulai menjelaskan dengan tenang dan meyakinkan. "Sekarang dompetnya ada nih di tas gue," saya menunjuk arah punggung saya yang terdapat tas ransel. Supaya lebih meyakinkan, saya mengarahkan kamera ke arah sana. Membiarkan teman-teman Yuri melihat ransel saya. Mereka hanya terdiam.
"Nah, Kalian! Besok di sekolah jangan nyebar rumor aneh-aneh deh ya! Kasian Ilyas kalo dijauhin gara-gara masalah sepele kayak beginian doang." Saya menatap teman-teman Yuri dengan tatapan tajam, tegas tak mau diganggu gugat.
"I-Iya." Mereka menjawab takut-takut. Bagus, memang harus seperti itu.
"Nih!" Saya menyerahkan ponsel Yuri, "lu juga jangan macem-macem, Yur! Nyebar hoax seenaknya! Lain kali mikir dulu sebelum ngomong!" Saya mengancamnya.
"Iya, elah! Cerewet amat." Yuri menjawab dengan muka tidak ikhlas. Rasanya pengen saya tendang mukanya.
Tapi tak apa, untung saya berhasil menghentikan Yuri dan kawan-kawannya menyebar rumor tidak benar tentang Ilyas dan saya. Sekarang saya hanya perlu menemui Mamah dan memberi dompetnya. Menghentikan drama ini dan pulang dengan tenang.
"Mah! Dompetnya ketemu, nih!"
Mamah yang sedang menangis-nangis di pelukan Tante Wilona tiba-tiba mengangkat kepalanya. Menatap saya penuh harapan. Saya mengeluarkan dompet Mamah dari ransel saya.
Mamah buru-buru meraih dompet itu, setelah melihat isinya, beliau berlari ke arah saya dan memeluk saya erat, mengusap-usap kepala saya sampai rambut saya yang sedikit basah karena terkena gerimis, berantakan. Saya yang mendapat perlakuan seperti itu hanya cengengesan senang di pelukan Mamah.
"Ketemu dimana, nak?" Mamah memberhentikan aksi mengacak-acak rambut saya. Mendorong badan saya agar bisa berhadap-hadapan dengan jarak saat berbincang.
"Keselip, Mah! Keselip di pinggiran meja sama dinding." Saya menjelaskan singkat.
"Oalah, iya! Mamah nggak ngecek bagian sana, nggak kepikiran." Mamah memukul kepalanya pelan. "Makasih ya nak!" Mamah memeluk saya lagi.
"Ya Allah, ikutan panik aku loh, Mbak!" Tante Wilona berjalan mendekati saya dan Mamah. "Syukur Alhamdulillah deh ya, udah ketemu." Kami mengangguk setuju.
Saya bernafas lega. Berhasil menghentikan masalah sepele yang hampir menjadi sangat besar ini. Mamah dan saya pamit pulang. Hanya tersisa bengkak di mata Mamah karena menangis tadi, sisanya wajah senang karena tidak jadi kehilangan barang kesayangannya. Mamah pulang dengan mobilnya, sementara saya harus kedinginan pulang dengan sepeda lagi. Besoknya saya terkena flu.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Wah.... ini beneran atau gak?
Engga ka, fiksi
Bagus banget-!!
Ehehe makasih kaa