BAB 6, Tania Sabrina
BAB 6, TANIA SABRINA
“Sab.. bosan nih” kata Tania dari ranjang bagian bawah kasur tingkat, kamar mereka. Sabrina yang sedang membaca buku, melongok ke bawah.
“terus mau ngapain? Belajar gitu?” kata Sabrina tertawa kecil. Tania mendengus sebal. Belajar? Sembilan dari sepuluh anak itu kurang menyukai belajar.
“keluar yuk. Nyari makanan” kata Tania lagi. Sabrina meletakkan bukunya, loncat dari ranjang, lalu menyambar jaketnya.
“jadi gak nih?” tanya Sabrina. Tania nyengir, turun dari ranjang. Mereka singgah di kafe kecil, namun berkelas. Sekolah masih besok. Dan rumah orang tua Tania jauh dari tempat ini. Sabrina memutuskan SMP di sini karena pendidikannya yang bagus, orang tuanya tidak ikut. Sedangkan Tania.. Kalian pasti tidak perlu bertanya.
“mau pesan apa?” tanya salah satu waiter kafe itu dalam bahasa Melayu.
“yang satu ini tidak usah. Dompetnya kering” jawab Tania seraya melirik kearah Sabrina. Yang menjadi bahan gurau-an melotot. Menyebutkan pesananya. Begitu juga dengan Tania.
“besok belajar apa ya kira-kira?” tanya Sabrina sambil menyeruput milkshakenya. Tania mengangkat bahu menyeringai. “eh di asrama kalau gak salah ada siswi namanya Clarissa. Orang kaya, cantik sih. Tapi sombongnya naudzubillah” kata Sabrina. Tania mengangkat kepalanya.
“And then? Nge-ghibah melulu nih kerjaannya” kata Tania mencibirkan bibir. Sabrina mendengus pelan.
“nanti kamu rencana mau kuliah dimana?” tanya Tania.
“masih SMP udah ngomongin kuliah aja” kata Sabrina sambil mengunyah kue tart lemonnya. Tania melirik sebal.
“serius ih.. nanya nih” kata Tania ketus. Sabrina nyengir lebar.
“Prancis kayaknya seru deh. Kamu mau ngambil beasiswa atau bayar sendiri?” tanya Sabrina lagi.
“beasiswa aja kali ya?” tanya Tania lagi. Sabrina mendengus sebal.
“malah nanya balik, dah.” Tania nyengir, menggaruk kepala yang tidak gatal.
Pukul setengah enam sore, Tania dan Sabrina kembali ke asrama. Menghabiskan waktu dengan kegilaan mereka berdua. Saling bercanda, saling piting-memiting, saling timpuk-timpukan. Atau apalah.
“bangunn” kata Tania menimpuk kepala Sabrina dengan bantal. Sudah pukul setengah delapan malam. Ruang makan untuk dinner dibuka. Sabrina yang masih mendengkur, terbangun dari mimpinya.
“ih apaan sih? Lagi enak enak nih” kata Sabrina melanjutkan tidurnya. Tania semakin jengkel.
“ih ayoo.. emangnya kamu gak laper, apa?” tanya Tania menggoyang-goyangkan tubuh Sabrina. “ih susah banget dah banguninnya. Ini orang atau batu sih? Gak gerak” kata Tania mendengus sebal.
“ih aku gak laper tahuuu” kata Sabrina sebal. Tania menghembuskan nafas pelan.
“yaudah deh.. kalau kamu gak mau ke ruang makan, aku juga enggak” kata Tania naik ke ranjang Sabrina yang ada diatas. Ranjangnya ditempati oleh Sabrina, saat ini. Sabrina terbangun.
“kenapa? Emangnya kamu gak laper?” tanya Sabrina. Tania melongok dari atas.
“kan tadi aku udah bilang.. kalau kamu mau di kamar aja, aku juga” Tania melanjutkan membaca buku. Sabrina menarik lengan Tania sehingga membuat sahabatnya hampir terjatuh.
“kenapa sih?” tanya Tania sebal. Sabrina memakaikan jaket kepada Tania. Sedangkan Sabrina, memakai jaketnya.
“kamu harus makan. Jangan sampai kamu tidak makan hanya karena aku tidak ikut ke ruang makan” Sabrina menarik tangan Tania menuju ruang makan yang ada di lantai dua. Sedangkan Tania, yang lengannya ditarik oleh Sabrina, tersenyum mendengar kata kata yang keluar dari mulut sahabatnya.
Puncak persahabatan sejati, adalah ketika dia bilang “kalau kamu tidak ikut, aku juga tidak.” Itu yang diketahui oleh Tania.
Keesokan harinya, tepatnya hari pertama sekolah di Singapura. Sekolah disini lebih ketat. Tidak boleh terlambat. Pukul 08.00 teng, harus sudah ada di kelas. Tidak boleh terlambat. Kalau terlambat, akan dihukum dua puluh kali lari mengelilingi lapangan. Sebenarnya sih, terdengar tidak terlalu banyak. Tapi lapangan di sekolah ini besar sekali. Hampir sebesar lapangan stadion bola. Namun setidaknya sedikit lebih kecil.
Pukul 07.00 ruang makan telah dibuka. Tania dan Sabrina sudah rapih memakai seragam berupa blezzer dan rok se-bawah dengkul berwarna biru. Guru di sekolah ini kalau dengar dengar dari kakak kelas, banyak yang galak.
“kamu harus siapin baju olahraga. Semalam kakak asrama membagikan jadwal pelajaran kelas kita.” Kata Sabrina seraya menyisir rambutnya. Tania mengangguk, memasukkan baju olahraga kedalam tas. Lalu mereka berdua pergi ke ruang makan.
“Murid-murid. Perkenalkan, nama saye cikgu Farah. Panggil je miss Farah. Kata wali kelas baru Tania dan Sabrina. Tubuhnya tinggi dan gemuk. Wajahnya cantik dan tegas. Miss Farah melipat tangannya di belakang. Berjalan bolak balik memperhatikan murid-muridnya dengan tatapan tajam. Tepatnya 40 murid di kelas itu.
“ape ni?!” kata miss Farah kepada Sabrina dan Tania. Mereka berdua berdiri dari kursinya, menelan ludah. Tepat 38 siswa lain menatap kearah Tania dan Sabrina. “have you read the rules book?” miss Farah melotot tajam. Tania dan Sabrina mematung, tak menjawab. Berdiri tegak. “Rambut panjang tidak boleh diurai!” kata miss Farah lagi. Tania dan Sabrina melirik satu sama lain. Tiba-tiba miss Farah tersenyum lebar. Seluruh siswa di kelas itu menatap miss Farah bingung. “kali ini saya maafkan. Tapi jangan korang buat lagi!” kata miss Farah meninggalkan meja Sabrina dan Tania. Mereka berdua menghela nafas lega. Kembali duduk di kursinya.
Pukul 11.00, waktu pelajaran olahraga dimulai. Tania dan Sabrina mengganti pakaiannya di ruang ganti. Pelajaran olahraga dimulai. Pelatih olahraga Tania dan Sabrina lumayan galak. Namanya Mr. Jhonny. Pelajaran akan berlangsung sampai pukul 12 siang. Tepatnya sampai waktu istirahat kedua.
Seluruh siswa VII D sedang pemanasan berlari keliling lapangan 3 putar. Maksudnya 3 putar mengelilingi lapangan yang sangat besar. Namun, penyakit Sabrina kambuh. Yaitu asma. Dari kecil Sabrina memiliki penyakit ini. Sayangnya Sabrina yang sudah terjatuh di lapangan tidak membawa Inhealler nya.
“Sabrina?! Sabrina kau tidak apa-apa kan?” tanya Tania cemas. Sabrina tak menjawab. Sesak membuat nafasnya tak karuan. Mr. Jhonny membawa Sabrina ke UKS, ditemani Tania.
“badanmu panas” kata Tania sambil memegang kening Sabrina, yang sedang memakai selang oksigen. Sabrina menggeleng pelan. Yang menandakan dia berusaha untuk terlihat baik baik saja.. Tania menggeleng keras. “kau tidak baik baik saja!” kata Tania tegas. “intinya kau harus makan. Ayo, makan ya?” tanya Tania. Sabrina menggeleng keras. Tania mencoba tegas.
“aku tidak lapar” kata Sabrina ketus. “ayolah.. ini hanya sesak nafas biasa. Aku juga sering mengalaminya” kata Sabrina lagi. Tania melotot. Tetap menegaskan Sabrina untuk makan. Sabrina yang sudah menyerah terpaksa makan. Maksudnya disuapi oleh Tania.
Sabrina diperbolehkan suster untuk kembali ke kamarnya. Namun besok, Sabrina tidak boleh sekolah, harus banyak-banyak istirahat. Tania merawat Sabrina, tidak peduli sampai larut malam. Tania langsung tertidur di meja setelah mengerjakan tugas dari miss Farah. Terkadang dia bangun saat asma Sabrina kambuh. Membantu seperti mengambilkan inhealler, mengambilkan air minum, dan lain-lain. Tania terlalu mementingkan Sabrina, hingga ia lupa dengan dirinya sendiri.
Tania menguap. Mengambilkan semangkuk sup hangat untuk Sabrina. Mengucek matanya yang masih sedikit tertutup.
“Kau makan dulu. Aku hanya mau mandi kalau kau makan!” kata Tania. Namun Sabrina tetap melanjutkan membaca buku yang ada di tangannya. “ih kamu itu harus makan! Nanti kalau makin parah gimana?” tanya Tania ketus
“idih.. Galak banget sih. Sejak kapan kamu jadi mamaku?” tanya Sabrina melirik Tania sambil mengerenyitkan jidat.
“biarin lah aku galak. Kan itu buat kebaikan kamu sendiri” kata Tania mencibirkan bibir.
“tuh kan mirip banget sama mama” kata Sabrina nyengir lebar. Tania melirik Sabrina sebal.
Meskipun begitu, mereka hanya marah satu sama lain hanya beberapa detik. Karena kalau tidak salah, menurut psikologi, kita tidak akan mudah marah dalam waktu yang lama kepada orang yang kita sayangi.
Pukul tujuh pagi, Tania pergi ke ruang makan untuk sarapan. Namun tidak bersama Sabrina.
“wajahmu pucat” kata Sabrina cemas. Tania menoleh, lalu menggeleng pelan.
“aku tidak apa-apa. Aku berangkat ya.. bye” kata Tania. Sabrina menatap Tania cemas.
Kau tidak baik baik saja, Tania. Mulutmu bicara seperti itu, namun wajahmu tidak. Gumam Sabrina.
Tania belum mengetahui kenapa tiba tiba dia terlihat pucat. Namun Tania tidak memedulikannya, menganggap hal itu sepele. Tania tidak nafsu makan. Hanya separuh yang berhasil masuk ke perutnya. Dia merasa sedikit pusing. Tapi Tania tidak mau melewatkan sekolah, lagipula hanya pusing biasa, mungkin hanya kelelahan. Aku tidak mau Sabrina khawatir. Gumam Tania.
“Tania, anda boleh buat masalah di papan hitam ini?” Tania yang matanya sedikit tertutup terbangun. Berdiri dari kursinya, lalu mengerjakan soal yang telah disediakan miss Farah. Baru setengah menjawab soal matematika itu, pandangan Tania gelap seketika. Pusing seketika. Lantas Tania pingsan di depan 38 anak di kelas itu. Miss Farah kaget, membopong Tania menuju UKS.
“dimana aku?” Tania tersadar. Samar samar terlihat Sabrina yang menatapnya dengan tatapan harap-harap cemas.
“kenapa kau tidak memberitahuku kalau kau itu sakit?!” tanya Sabrina sedikit tegas. Tania terdiam.
“sudah kubilang aku tidak apa-apa” kata Tania pelan. Sabrina terlihat lebih kesal. “aku tidak apa-apa, Sabrina. Sungguh, ini hanya pusing biasa” kata Tania lagi.
“mulutmu bicara seperti itu tapi wajahmu tidak!” kata Sabrina tegas. Tania terdiam. “maafkan aku” Sabrina menunduk. Nafasnya masih sedikit sesak. Tania menatap Sabrina bingung.
“ka..karena aku, kau jadi begini. A..aku menyusahkanmu ya?” kata Sabrina lagi. Tania tersenyum, perlahan memegang tangan Sabrina.
“kita sahabat. Menolong, itu adalah tugas kita satu sama lain” kata Tania. Sabrina mengangkat kepalanya. Membalas senyuman Tania. Miss Farah yang mengintip dari pintu ruangan UKS tersenyum.
Memiliki sejuta teman, bukanlah hal yang hebat. Namun memiliki satu teman, yang selalu ada disisimu, menghadapi sejuta orang, itu baru hebat. (Tere Liye).
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar