Naghita Puteri Fashihah

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
-4.Perguruan Silat Harimau Putih-

-4.Perguruan Silat Harimau Putih-

4. Perguruan Silat Harimau Putih

Assalamualaikum,permisi…”

Paman Ali memutar kenop pintu ruang BK setelah disahut oleh ibu Kepala Sekolah. Ia duduk di sofa sebelah Ajeng duduk.

“Terimakasih atas waktunya Pak. Ajeng , kamu silahkan menunggu diluar dulu nak.” Tutur ibu Lina. Ajeng segera pergi dari ruang jahannam itu dan segera menunggu di luar.

“Iya bu, tidak apa – apa. Jadi , apa yang sudah diperbuat Ajeng sampai saya dipanggil kesini bu?”

“Oh, itu pak. Sepertinya perceraian orang tua Ajeng masih berdampak hingga saat ini. Ditambah latar belakang perceraian itu sangat sulit diterima seorang Ajeng yang masih kecil saat itu. Dan saya rasa saat ini Ajeng kembali dikuasai oleh amarah – amarah nya pak. Dan itu semua Ajeng lampiaskan kepada teman – temannya yang tidak bersalah.” Jelas Ibu Lina panjang lebar.

“Saya pikir juga begitu buk. Karena setelah kejadian itu saya tidak pernah lagi mendengar kabar dari Reno, yang mungkin membuat Ajeng benar – benar merasa dikhianati Ayahnya sendiri.”

“Betul pak, Ajeng seharusnya dibawa ke psikolog saat itu. Namun semuanya sudah terlambat pak, Ajeng sudah dikuasai amarah dan ia tidak bisa lagi mengontrol diri.”

“Atas dasar apa Ibu mengatakan ini sudah terlambat? Saya sendiri masih bisa mengubah Ajeng sekarang.”

“Yaa, itu sih tergantung tekad Bapak. Pihak sekolah memberi Ajeng waktu dua minggu untuk merenungi kesalahannya, setidaknya Ajeng bisa memperbaiki dirinya.”

“Baik buk, saya bakan buktikan kalau Ajeng pasti bisa menangkal kata – kata ibuk. Terimakasih , saya pamit.” Ali keluar dari ruang BK itu, dan langsung membawa Ajeng pulang kerumahnya karena telah di skors selama dua minggu.

Ajeng dan Ali berjalan menuju mobil. Terlihat jelas wajah Ajeng melihatkan ekspresi yang masam dan bungkam saja daritadi. Ia merasa bersalah terhadap pamannya , karena sudah repot ke sekolah untuk menguus Ajeng.

“Ajeng langsung kerumah Paman aja ya, kita ambil barang – barang Ajeng dulu dirumah.” Ucap Ali.

Ajeng hanya membalas dengan anggukan tanpa bersuara sedikitpun. Bahkan ia berjalan dengan wajah tak berekspresi saking frustasinya.

“Jadi gimana kabar Papa-mu Jeng?”

“Oh, si brengsek itu. Paman gak tau ya?”

“Enggak. Bibi Anna juga gak tau apa – apa, emangnya kenapa?”

“Papa meninggal. Terus di surat wasiat-nya tertulis kalau semua harta kekayaan dan kekuasaan Papa di serahkan total ke Yura sama anaknya.” Ajeng menendang kerikil kecil di jalan dengan kesal karena mengigat hal itu.

“Innalillahi. Kamu serius Jeng? Gak mungkin kan, Paman gak percaya ini.”

“Yaa, begitulah adanya.” Ajeng menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan berat.

“Yaudah kita langsung pulang aja yu.”

Paman Ali adalah saudara kandung Mama Ajeng yang bekerja sebagai pedagang sekaligus Guru Silat Minangkabau. Meski tidak merekrut banyak anggota, Organisasi Silat Paman Ali adalah yang paling banyak menabung prestasi.

Ajeng duduk di ruang tamu dan melihat – lihat ke sekitarnya. Dinding rumah Paman Ali hanya dipenuhi dengan sertifikat – sertifikat dan foto-foto silat. Pandangan Ajeng tertarik pada sebuah piala emas besar yang terletak di sebuah kotak kaca bening.

“Paman, itu piala emas nya piala Paman ya?” Tanya Ajeng mendekati kaca bening tersebut.

“Oh, itu. Iya Jeng. Paman kan ngajar silat, jadi kadang – kadang juga sering dapat penghargaan.” Jawab Ali sambil merapikan peralatan silatnya.

“Sandra juga ikutan ya ?”

“Sandra ikut silat sejak kelas 5 SD. Tapi dia berhenti , dan baru masuk lagi sejak seminggu lalu. Soalnya dia sibuk bantuin orang tua nya jualan.”

“Ooh gitu..”

“Nih. Buat kamu.” Ali menyodorkan pakaian silat beserta perangkatnya untuk Ajeng.

“Hah?! Buat aku? Ah nggak ah Paman. Ajeng nggak mau ikut silaat!” bentah Ajeng malas.

“Ajeng,dengerin Paman. Kamu harus ikut silat! Kamu pasti bisa berubah dalam 2 minggu kedepan. Kita harus buktikan ke sekolah mu , kalau Ajeng bisa berubah!”

“Astagaaa Pamaan. Tapi kenapa harus silaat?! Ajeng gak mungkin bisa berubah dengan silat ini?!!” Ajeng memasang muka masam dengan sedikit rasa takutnya.

“Calm down Ajeng, Nothing Is Impossible! Kamu pasti bisa. Ingat , pamanmu seorang guru silat!”

“Huuuftt. Yaudah deh , Ajeng nurut aja sama Paman.” Ajeng menarik nafas berat dan memasang senyum palsunya.

Sementara itu, Bibi Anna mendatangi mereka bedua dan membawakan roti susu. Ali menyuruh Ajeng untuk menukar bajunya sekarang. Karena mereka akan memulai latihan silat.

Setelah masuk ke kamarnya untuk mengganti baju, Ajeng memikirkan sesuatu dengan keras. Ia berpikir bahwa mungkin dengan ikut silat ini akan mengubah prilakunya. Mungkin ia akan menjadi orang yang lebih baik dan bisa dibanggakan. Mungkin ia bisa mengembalikan Ajeng yang dulu yang sempat hilang. Ia membulatkan tekad nya untuk mengikuti silat ini.

Ali dan Ajeng berjalan menggunakan baju silat menuju ke halaman belakang yang lumayan luas. Ali memakai sabuk kuning pendekar , sedangkan Ajeng memakai sabuk putih untuk pesilat dasar/pemula. Yang membuat khas nya yaitu, Kain Udeng Segitiga dengan motif batik Minang yang diikat diatas kepala mereka.Baju yang serba hitam ditambah jilbab hitam Ajeng memanglah ciri khas silat disana.

Ajeng dan Ali berbaris berhadapan di tengah lapangan dengan wajah serius dan posisi siap. Sebelum memulai latihan, mereka membaca Al – fatihah terlebih dahulu agar dilindungi dan dijauhkan dari niat jahat. Kemudian Ali mengajarkan Ajeng sikap salam dalam Pencak Silat dengan menunduk dan menyalami kedua tangan di depan dada.

“Ingat Ajeng! dalam silat ini kita memegang teguh ilmu padi! Anak-anak yang telah berlatih pencak silat itu ibarat ilmu padi, di mana semakin tinggi ilmunya maka semakin tunduk terhadap peraturan. Dan juga , jika kamu sudah benar – benar menguasai pencak silat, jangan pernah angkuh! “ jelas Ali dengan tegas.

“Siap!” jawab Ajeng tegas.

“Dan juga ingat pepatah Minang yang harus kamu pegang erat. Musuah pantang dicari, basuo pantang diilakan. Artinya adalah dalam kehidupan ini kita tidak boleh mencari musuh walaupun kita hebat. Namun lain halnya bila merasa terusik, harga diri tetaplah harus dibela dan dipertahanan mati-matian.” Tambah Paman Ali memberikan penjelasan sebuah pepatah Minang penting yang harus diterapkan dalam kehidupan.

Ajeng berlatih dengan sangat keras, sehingga ia dengan cepat menguasao jurus – jurus yang baru diajarkan Ali. Hari Rabu sore, adalah waktu dimana semua murid Ali berkumpul untuk silat. Ajeng sangat senang dapat melihat sahabatnya disana , begitu juga dengan Sandra. Ia benar – benar terkejut melihat kehadiran Ajeng disana. Sandra juga berharap , Ajeng bisa berubah.

Setelah diperkenalkan sebagai murid baru oleh Ali, semua orang menerima Ajeng dengan sangat senang. Terkecuali dengan Tania. Ia tidak begitu senang menerima kehadiran Ajeng. Baginya, Ajeng tidak pantas masuk silat karena ia hanya dibantu oleh Pamannya. Padahal tidak begitu adanya, Ajeng lama – kelamaan juga bertekad dan tertarik dengan kegiatan silat itu.

Tania adalah seorang anak kaya raya yang tidak terlalu manja. Sama hal nya seperti Ajeng, namun Tania memiliki sifat yang tidak baik. Seperti selalu iri melihat kebahagiaan orang lain, dan tidak senang jika orang lain bahagia. Meski kaya raya , Tania benar – benar jarang memiliki Quality Time bersama orang tuanya yang sangat sibuk. Itulah sebab mengapa ia memiliki sifat yang kurang baik.

Ajeng merasakan suasana baru setelah bergabung dengan teman – teman pesilatnya. Ia mendapatkan pergaulan baru yang dipenuhi suka duka serta tawa dan sedih. Ia mendapatkan pelajaran – pelajaran kehidupan baru yang belum ia ketahui sebelumnya. Sandra dan Bastian. Itulah sahabat Ajeng semenjak ia masuk silat. Bastian adalah seorang lelaki baik yang tinggal di sebuah rumah kecil di tengah sawah. Meski begitu, Ajeng dan Sandra tidak pernah sekalipun memandang kekurangan Bastian. Bahkan dalam bergaul, mereka seolah melupakan perbedaan yang ada. Jika merasa kurang baik atau jika Ajeng teringat masa lalunya, ia akan pergi ke rumah Bastian dan menikmati pemandangan sawah yang asri. Meski sederhana , hal itu bisa membuat Mood Ajeng kembali membaik.

Tiga tahun telah Ajeng jalani sebagai seorang gadis pesilat dan sebagai anak dari seorang Single Mom. Ia juga telah naik pangkat demi pangkat dalam silatnya. Saat ini Ajeng sudah memakai Sabuk Biru. Meski terbilang cepat, namun begitulah adanya. Ajeng sangat gigih berlatih silat bahkan jika libur ia hanya menghabiskan waktunya untuk silat.

Hari ini semua murid Silat Harimau dikumpulakan untuk sebuah pengumuman penting. Latihan hari ini sengaja dimulai lebih cepat karena Ali akan melakukan seleksi pada murid – murid nya sesuai tingkat untuk diutus ke tanding silat Kecamatan.

“Assalamualaikum murid – murid. Hari ini sengaja Guru memulai latihan lebih cepat, karena kita akan mengadakan seleksi untuk tanding silat tingkat kecamatan. Dan ingat! Saingan terberat kita adalah silat Harimau Hitam yang tahun kemarin nyaris merebut kejuaraan. Mereka berlatih sangat keras untuk memenangkan lomba ini.” Tutur Ali di depan semua murid.

“Siap guru!”

Ali menyeleksi mereka semua dengan semaksimal mungkin dan sebaik mungkin. Semua jurus dan gerakan dasar sudah dicobakan oleh Ali dan diperagakan oleh semua muridnya. Hingga seleksi final pun diberlakukan.

Setelah melaksanakan shalat maghrib, mereka berkumpul lagi di lapangan untuk mendengarkan hasil seleksi.

“Mari kita berikan apresiasi untuk kerja keras kita hari ini! Meski kalian tidak terpilih,jangan berkecil hati. Karena, kalian masih bisa berlatih lebih giat lagi dan masih ada cabang lomba lainnya.”

“Baiklah, Guru umumkan saja sekarang. Untuk tingkat Kader muda akan diikuti oleh Bastian dan Arif. Sedangkan untuk tingkat Kader Dasar akan diikuti oleh Ajeng dan Sandra.”

Semua orang memberikan tepuk tangan untuk keempat teman – temannya yang diberi tanggung jawab itu. Terkecuali Tania yang sangat tidak senang dengan kehadiran Ajeng diantara keempat utusan tersebut.

Dua minggu sebelum perlombaan, Ajeng dan ketiga temannya berlatih sangat keras. Namun, Ajeng juga tetap pergi ke rumah Ali walaupun bukan waktunya berlatih. Ajeng benar – benar bertekad untuk memenangkan perlombaan ini.

Siang ini diluar jam latihan, Ajeng menemui Ali untuk berlatih sebuah jurus yang selama ini tidak diberitahukan padanya. Ia sangat ingin tahu kenapa Ali masih tidak memperbolehkan Ajeng untuk menguasainya.

“Paman! Kenapa Ajeng gak boleh belajar ilmu Pulo Kali?!” Tanya Ajeng yang sudah muak karena selalu dibohongi.

“Ajeng, aka nada waktunya kamu belajar ilmu itu.” Jawab Ali tanpa melirik Ajeng.

“Astagaa. Paman selalu menjawab itu! Akan ada waktunya! Tapi kapan?! Aku udah sabar nunggunya Paman. Kenapa Paman selalu menghindarinya?!”

“Baiklah, Paman tidak akan menyembunyikannya lagi. Alasan kenapa kamu selalu paman bohongi adalah. Karena ilmu ini adalah ilmu yang berpengaruh sangat besar terhadap lawan. Tidak sembarang orang boleh menguasainya, hanya orang tertentu yang bisa belajar ilmu itu.”

“Siapa Paman?! Aku pasti bisa!” tukas Ajeng yang sudah tidak sabaran.

“Yang bisa menguasai Palu Kulo adalah mereka yang bisa menahan emosi dan bisa mengontrol diri. Mereka yang tidak dikuasai amarah dan tidak menyalahgunakan ilmu ini hanya karena emosi dan kepuasan semata. Itulah orang yang tepat. Paman masih ragu untuk mengajarimu, karena Ajeng dikuasai amarah yang membara.”

Ajeng langsung terdiam mendengar ucapan Ali. Ia tidak tahu apakah emosinya sudah hilang atau dirinya masih dikuasai oleh emosi.

“Tapi, Paman piker sudah saatnya Ajeng diajarkan ilmu ini. Apakah kamu siap?”

“Si, Siap!” jawab Ajeng tegas yang awalnya ragu – ragu.

Dewi malam menampakan dirinya dengan begitu indah dan mengagumkan. Malam yang gelap gulita itu seketika menjadi terang dengan bantuan bulan dan beberapa lilin yang mengitari. Ali mulai mengajarkan Ajeng gerakan – gerakan Ilmu Pulo Kali ini.

“Ais,” sebuah kode dari Ali yang menandakan penukaran gerakan.

Ajeng membuat posisi yang pas dengan kekuatan yang dialirkan dari kuda – kudanya.

“Rendahkan!” Ali menendang kecil kaki Ajeng sehingga membentuk kuda – kuda kuat yang lebih rendah.

“Ingat, apapun yang terjadi jangan biarkan matamu mengarah kemana – mana! Selalu menghadap kedepan, liatlah musuhmu! Perhatikan gerak – geriknya! Jangan biarkan pikiranmu melalaikan dirimu!”

Walaupun belum sangat ahli, Ajeng sudah sangat memahami gerakan – gerakan ilmu Palu kulo ini. Ia melakukan gerakannya dengan sangat bagus setelah dilatih oleh Ali.

~0~

Hari perlombaan pun tiba. Ajeng masih mencari bus untuk menuju ke lokasi perlombaan karena Ally harus pergi untuk mengurus tokonya. Namun , ia masih belum menemukan bus yang berhenti. Tiba – tiba ia mendapat sebuah panggilan telepon dari Bastian.

“Ajeng, kamu dimana? Setengah jam lagi perlombaannya dimulai!” ucap Bastian panik.

“Iya Bas. Ajeng lagi jalan kesana, soalnya gak ada bus satupun. 15 menit lagi sampai kok.” Ajeng mematikan teleponnya dan melanjutkan berlari.

Ajeng tiba di sebuah jalan yang agak sepi agar dapat memotong jalan raya yang panjang. Ketika ia hendak menyebrang, Ajeng melihat ke kanan dan ke kiri memastikan tidak ada kendaraan yang lewat. Ketika jalannya sudah aman, Ajeng sgera menyebrang dengan berlari. Tiba – tiba,

“BRAKK!!”

Sebuah mobil hitam menabrak Ajeng hingga terpelanting ke pinggir jalan. Kepala Ajeng terbentur ke aspal dan menyebabkan dahinya mengalirkan darah yang lumayan banyak.

“Target berhasil disingkirkan, Nona.” Ucap penabrak itu di teleponnya.

“Bagus, nanti uangnya kamu jemput dirumah saya.” Jawab gadis itu ditelepon, yang tidak lain adalah Tania.

Tania tidak tinggal diam ketika Ajeng dipilih untuk ikut lomba. Ia benar – benar membalasnya dengan perbuatan yang sangat kejam dan sadis. Tania membayar seorang anak buahnya untuk menabrak Ajeng hingga ia tidak bisa mengikuti lomba tersebut.

Ajeng tergeletak di jalan tanpa ada seorang pun yang membantu, karena jalanan yang sangat sepi. Darah masih mengalir di dahinya dan mengenai aspal. Teleponnya bordering tanpa henti. Sedangkan pendengaran Ajeng masih samar – samar. Namun ia tetap berusaha bangkit dari aspal.

Dengan rasa sakit yang tidak begitu berpengaruh padanya , Ajeng bangkit perlahan dan lupa mengambil ponselnya. Ia melanjutkan berjalan menuju lokasi lomba. Selama perjalanan, sakitnya sudah terasa membaik karena fisik Ajeng yang kuat.

Sementara itu ,

“Peserta selanjutnya , Ajeng Selenna Indira dari perguruan Harimau putih melawan Vannesa Abimanyu dari perguruan Harimau hitam.” Ucap pembawa acara silat.

“Astaga , guru. Ajeng masih belum datang. Aku khawatir kalau terjadi apa – apa sama Ajeng.” ucap Sandra cemas.

“Udah di telfon, Bastian?” Tanya Ali.

“Udah Guru, tapi masih gak dijawab sama Ajeng. Teleponnya masuk , tapi gak diangkat.” Jawab Bastian khawatir.

“Sekali lagi kami panggil Ajeng Selenna Indira dari Perguruan Harimau putih. Jika masih tidak ada, kami akan mendiskualifikasi!” pembawa acara mengulang panggilan Ajeng.

Ali beserta ketiga muridnya, masih khawatir dan bertanya – tanya bagimana Ajeng sekarang. Mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi pada Ajeng.

“Baiklah, dengan berat hati kami akan Mendis-“

“Tunggu!!” ucap Ajeng berdiri di pintu masuk dengan darah di dahinya.

“Hah?! Ajeng?!” Sandra benar – benar terkejut melihat keadaan Ajeng namun ditahan oleh Ali.

“Tenanglah, dia adalah orang yang kuat. Dia pastia bisa.” Bastian dan Sandra hanya bisa diam mendengar perkataan Ali.

“Baiklah Ajeng, apakah kamu sanggup melakukan pertansingan ini dengan darah di dahi?” Tanya pembawa acara.

“Bisa! Aku baik – baik saja!” Ajeng memasuki area Gelanggang , si hijau saksi pertandingan silat.

“Baiklah. Mulai!”

Setelah melakukan gerakan salam, mereka mulai bertanding. Ketika ada peluang, Ajeng langsung mendaratkan tendangan dengan ujung kaki yang mengenai leher musuh. Ketika musuhnya tidak fokus, Ajeng memberikan serangan siku belakang dan memberikan serangan dorong. Sehingga Vannesa musuhnya terdorong dan sedikit terjatuh namun ia berhasil menahannya dan berdiri lagi.

Sekarang mereka saling berhadapan dan bersiap – siap memberikan serangan selanjutnya atau menangkis serangan. Ketika Ajeng hendak menyerang, tiba – tiba telinganya berdenyut keras yang membuat pandangan Ajeng tidak fokus. Disaat yang bersamaan, Vannesa langsung menyerang Ajeng dengan melakukan jurus Kuntao. Ajeng yang sedang tidak fokus pun langsung terhantam dan terjatuh ke lantai.

Sandra, Bastian , Ali dan Arif sangat terkejut dan cemas melihat Ajeng.

“AJENG!!” teriak Sandra.

Tiit..tiit…tiiit.”

Ajeng tidak mendengar apapun dengan jelas selain suara denyutan ditelinganya. Ia merasakan kesakitan di perut dan di dada serta lehernya. Semua orang memberikan tepuk tangan kepada Vannesa.

“Ajeeng!! Ajeeeng!!” suara Sandra terdengar samar di telinga Ajeng.

Pikirannya benar benar bercampur saat ini.

“HAHAHAHAHA!” Ajeng mendengar suara tertawaan dari Yura dan anaknya.

“BRAAK!! TRINGG!” suara tabrakan dan pecahan piring menggangu pendengaran Ajeng.

Semua suara itu melayang – layang di telinganya.

“Ajeng, kamu pasti bisa! Kamu adalah gadis yang kuat!!” sekarang ia mendengar suara Ally di telinganya.

Ajeng berusaha berdiri, namun ia tidak bisa. Tiba – tiba sebuah peristiwa terbayang dipikirannya. Kejadian dimana Reno menampar Ally, kejadian dimana Yura dan anaknya mendapat harta warisan Reno. Amarah kembali hadir, sehingga Ajeng dengan membaranya bangkit lagi.

“HEI!” teriak Ajeng kepada musuhnya.

Ketika Vannesa menghadap ke arahnya, Ajeng langsung menyerang dengan jurus Palu Kulo yang sudah ia pelajari sebelumnya. Walaupun jurus mematikan, namun Ajeng belum terlalu ahli dengan dampak jurus itu. Ia hanya memberikan cedera kepada musuhnya.

“BRAKK!”

Vannesa langsung terhampas ke lantai hijau. Ia mengalami cedera berat di kakinya sehingga sangat sulit baginya untuk berdiri lagi. Wasit segera memasuki lapangan dan mengamankan Vannesa.

“Pemenangnya, Ajeng dari perguruan Harimau Putih!!!” tukas sang wasit dengan semangat.

Semua orang yang menonton langsung memberikan tepuk tangan yang meriah kepada Ajeng. Ia langsung menoleh ke Paman Ali yang sudah tersenyum kearahnya. Meski berdarah – darah, Ajeng merasa sangat bangga dengan dirinya. Setelah berapa lama, baru kali ini Ajeng merasa ia telah kembali menjdai Ajeng yang dulu meskipun dengan cara yang berbeda.

Sandra langsung memeluk Ajeng dengan bangga.

“Kamu tadi kenapa kok bisa berdarah, Ajeng?” Tanya Bastian.

“Tadi pas aku nyebrang, ada mobil yang nabrak. Laju mobilnya kencang banget, tapi untung aku udah dipinngir jadi nggak parah.” Jawab Ajeng sambil mengelap dahinya dengan tissue.

Dengan kemenangan pun, mereka kembali ke rumah Ali. Disana sudah ada Irwan, teman Ali yang menunggu mereka.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post