BAB I : ONE - SIDED LOVE
Irene Madeleine, orang-orang biasa memanggilnya Princess Irene. Kecantikannya dikenal seluruh negeri. Surainya hitam bergelombang. Bibir merahnya begitu kontras dengan kulit putih pucat seputih salju di kota Svalbard. Sebagai bangsawan, Princess Irene mendapatkan pendidikan yang lebih dari cukup sejak kecil. Ia gemar membaca buku-buku sejarah di perpustakaan kerajaan. Tak jarang laki-laki dari kerajaan lain datang hanya untuk melihat sosok Princess Irene yang mendekati sempurna.
Jangan mengharapkan sapaan hangat dari Princess Irene, sifatnya mengalahkan suhu di Mongolia! Jangankan sapaan hangat, ibunya sendiri—Queen Victoria, bahkan hampir tak pernah melihat senyumnya. Meskipun memiliki sifat yang dingin, Princess Irene merupakan seorang putri yang dermawan. Setiap minggu ia akan memerintahkan para pengawal kerajaan untuk membagikan pangan kepada para warga.
Rasanya kehidupan Princess Irene begitu sempurna. Jangan salah, sebagai anak semata wayang dari pasangan King Alard dan Queen Victoria, Princess Irene mengemban beban yang berat.
Pemimpin kerajaan terbesar abad ini, Kerajaan Avelaine.
Begitu sekiranya kemungkinan yang ia tanamkan sejak kecil. Ibunya tidak bisa memiliki anak setelah melahirkannya. Sebagai satu-satunya keturunan King Alard, tentu saja ia akan menjadi penerus ayahnya.
Sejak kecil, Princess Irene berusaha menjadi pribadi yang tangguh. Selain mengikuti kelas pendidikan akademik, ia juga belajar cara menggunakan pedang, memanah, dan berkuda. Princess Irene mempersiapkan dirinya sebagai seorang pemimpin.
Namun ternyata dugaannya salah besar. Di usianya yang menginjak 9 tahun, King Alard menjodohkannya dengan seorang anak laki-laki berusia 11 tahun dari Kerajaan Xavier, kerajaan terbesar kedua setelah Kerajaan Avelaine.
Kerajaan Avelaine dan Kerajaan Xavier memiliki relasi yang baik. Keduanya saling membantu demi kemakmuran warganya. Rumput mereka begitu hijau, hasil panen yang melimpah, juga tambang emas besar membuat kedua kerajaan itu memiliki kekayaan luar biasa.
Kabar perjodohan Princess Irene dengan putra mahkota Kerajaan Xavier—Prince Andrian, menyebar dengan cepat. Hal tersebut menjadi topik hangat para petinggi kerajaan lain. Mereka menerka-nerka, apa yang akan terjadi ketika kedua kerajaan terbesar abad ini bersatu. Belum lagi Princess Irene dan Prince Andrian yang memiliki wajah bak dewa-dewi Yunani. Keturunan mereka pasti akan memiliki pesona luar biasa.
Namun, perjodohan ini tidak disetujui dengan sepenuh hati oleh sang putri. Princess Irene tak memiliki perasaan apapun terhadap Prince Andrian. Ia hanya menganggap laki-laki itu sebatas teman.
Tapi apa boleh buat, Princess Irene tidak memiliki alasan apapun untuk menolaknya. Berbeda dengan Prince Andrian yang sudah jatuh hati dengan Princess Irene sejak kali pertama bertemu.
Pertemuan mereka sudah sangat lama. Jauh sebelum keduanya dijodohkan. Pada saat itu, Kerajaan Xavier sedang merayakan kesuksesan kebun apelnya. Para petani bersorak karena panen mereka berkali-kali lipat dari biasanya.
Princess Irene yang baru berusia 4 tahun terlihat menggemaskan dengan gaun merah muda pilihan sang ibu. Rambutnya dikepang satu. Jepit rambut berbentuk bunga aster putih menghiasi kepangan yang disampirkan di bahu. Princess Irene dan orangtuanya menunggangi kereta kuda mewah menuju Kerajaan Xavier.
Pesta tampak sederhana. Rakyat kecil ikut diundang walaupun area mereka berbeda dengan para bangsawan. Halaman luar istana diperuntukkan bagi para rakyat kecil. Ada banyak hidangan yang diletakkan beraturan di atas meja panjang yang tertutup taplak meja bermotif kotak-kotak berwarna oranye-putih. Beberapa kursi tetap disediakan walau sang raja tahu rakyatnya tak begitu senang berpesta dengan kursi. Puluhan kain berwarna coklat muda ditumpuk di depan pintu gerbang. Para warga akan mengambilnya lalu menggunakannya sebagai alas untuk mereka duduk.
Sedangkan area untuk para bangsawan berada di halaman belakang istana, jauh dari keramaian rakyat biasa. Halaman belakang istana Kerajaan Xavier begitu luas. Terdapat beragam bunga dan pepohonan yang dibentuk sedemikian rupa. Air mancur besar menjadi poin utama halaman ini. Meja bundar disebar di sekitar air mancur, dikelilingi kursi-kursi berbantal. Interior didominasi warna putih.
Kedatangan anggota Kerajaan Avelaine disambut hangat anggota kerajaan lainnya, termasuk sang tuan rumah.
King Everett bersama istrinya—Queen Anne, berjalan ke arah gerbang belakang yang terbuka lebar disusul ketiga anaknya: Princess Alice, Princess Emma, dan si bungsu—Prince Andrian. Senyum terpatri di wajah mereka. Kecuali Princess Irene dan Prince Andrian. Keduanya sama-sama tak berekspresi dengan makna berbeda. Princess Irene yang memang pendiam dan Prince Andrian yang terkesima dengan kecantikan Princess Irene.
King Everett dan Queen Anne mempersilakan tamu spesialnya itu untuk duduk dan menikmati hidangan dari chef terbaik kerajaan. Mereka duduk di satu meja.
Di tengah perbincangan kedua orangtuanya, Prince Andrian mencuri pandang ke arah Princess Irene yang sedang menikmati kue red velvet. Wajah dinginnya tertutupi cheese cream dari kue yang sedang ia makan membuat Prince Andrian tertawa gemas. Atensi Prince Andrian tak lepas dari paras cantik Princess Irene sampai kepulangan anggota keluarga Kerajaan Avelaine. Ini kali pertamanya merasakan gugup dengan jantung yang berdetak cepat saat bertemu seseorang. Prince Andrian ingin sekali menyapa Princess Irene, namun entah mengapa lidahnya terasa kelu.
✨✨✨
Keesokan paginya, Prince Andrian pergi menemui Princess Irene atas izin sang ibu. Ia berniat untuk meminta maaf atas sikapnya yang bahkan tidak memperkenalkan dirinya sendiri di pesta kemarin.
Tidak benar-benar meminta maaf tentu saja. Prince Andrian hanya berdalih agar dapat mengunjungi pujaan hatinya.
Sejak pagi, Prince Andrian hanya sibuk bergaya di depan cermin. Beberapa pelayan membantunya merapikan rambut berwarna coklat gelapnya. Ia ingin tampak luar biasa di depan Princess Irene.
Setelah siap dengan kemeja putih yang ditumpuk rompi hangat berwarna hijau, Prince Andrian menaiki kereta kudanya bersama beberapa pengawal yang menjaganya dari luar.
Ibunya—Queen Anne, tak bisa mendampinginya karena harus menghadiri jamuan minum teh para wanita bangsawan di Kerajaan Xavier. Acara tak begitu penting yang tak bisa dilewatkan begitu saja. Melewatkan acara tersebut walau hanya sekali saja sama dengan menawarkan diri untuk menjadi topik perbincangan. Rumor-rumor palsu akan langsung bertebaran.
"Kita sudah sampai, Prince."
Prince Andrian turun dari kereta kudanya dengan hati-hati. Tingginya yang tak seberapa menyulitkannya untuk menuruni kereta kuda yang cukup tinggi.
Kedatangan Prince Andrian cukup mengejutkan karena ia datang tanpa ada pemberitahuan. Queen Victoria sangat senang sampai-sampai ia berlarian dengan ballgown dan sepatu tinggi yang tengah dipakainya ke arah gerbang utama untuk menyambut Prince Andrian.
Menurut Queen Victoria, Prince Andrian merupakan anak yang menggemaskan. Pipinya bulat dengan rona kemerahan, alisnya tegas, dan mata bulatnya yang mampu menghipnotis orang-orang di sekitarnya.
Sesampainya di gerbang utama, Queen Victoria langsung meraih kedua pipi tembam Prince Andrian lalu menciumnya gemas. Ia mengajak Prince Andrian untuk duduk di ruang tamu istana Kerajaan Avelaine.
"Jadi.. ada keperluan apa sampai datang jauh-jauh kesini?" tanya Queen Victoria sambil mengusap lembut kepala Prince Andrian.
"Ada hal yang ingin aku katakan kepada Princess Irene," jawabnya.
Jawaban tegas dari Prince Andrian membuat Queen Victoria semakin gemas. Ia menganggukkan kepala lalu menawarkan beragam cookies untuk menemani Prince Andrian menunggu dirinya memanggil Princess Irene.
Tak lama, Queen Victoria datang dengan Princess Irene yang berada di gendongannya. Princess Irene mengenakan dress berwarna putih. Rambut yang agak berantakan dan wajah sembabnya menandakan Princess Irene baru saja bangun tidur.
Melihat jejak-jejak air mata masih terlihat di kedua pipinya, juga hidungnya yang memerah membuat Prince Andrian menyimpulkan bahwa Princess Irene tak suka tidurnya diusik. Prince Andrian tidak mempermasalahkan penampilan putri kecil di depannya, Princess Irene selalu tampak cantik di mata Prince Andrian.
Dengan kondisi yang masih sesegukan, Princess Irene berjalan pelan ke arah kursi di sebelah kiri Prince Andrian setelah turun dari gendongan ibunya. Queen Victoria meninggalkan mereka berdua di ruangan.
Setelah berusaha sekuat tenaga, Princess Irene akhirnya berhasil duduk di kursi. Ia hanya diam dengan mata yang tertuju ke arah cookies di meja. Prince Andrian gemas melihatnya. Ia memutuskan untuk turun dari kursinya lalu mengambil salah satu cookies. Pilihannya jatuh ke arah cookies red velvet. Sepertinya Princess Irene menyukai rasa red velvet, tebaknya. Prince Andrian memberikan sebuah cookies red velvet dengan tangan kecilnya yang diterima Princess Irene.
"Terima kasih," Putri kecil itu langsung melahapnya.
Tak lama setelah Princess Irene berterima kasih, Prince Andrian membuka suaranya.
"Aku mau minta maaf," ucap Prince Andrian sambil memainkan jari tangannya.
Princess Irene mengerutkan alisnya keheranan. Ia tak merasa Prince Andrian memiliki kesalahan apapun kepadanya. Mereka saja baru bertemu kemarin.
"Maaf kemarin aku gak ngomong apa-apa," Prince Andrian menolehkan kepalanya ke arah Princess Irene yang berada tepat di sebelah kirinya, "Bukannya sombong, aku cuma.. malu.." lanjutnya.
Princess Irene hanya diam, menyimak kata-kata yang dilontarkan Prince Andrian tanpa berhenti mengunyah cookies di genggamannya. Menurut Princess Irene, tak ada salahnya seseorang jarang berbicara. Mereka pasti memiliki alasan tersendiri. Apalagi Princess Irene juga termasuk anak yang irit berbicara.
"Soalnya kemarin kamu.. ngg.." Prince Andrian menggaruk lehernya gugup, "C-cantik," ucapnya terbata-bata.
Telinga Prince Andrian merah padam, jantungnya kembali berdegup kencang. Ia gugup setengah mati, namun di lain sisi ia senang bisa berbincang dengan Princess Irene walau sang putri hanya mendengarkan tanpa berniat menjawab.
Queen Victoria yang menyaksikan aksi keduanya dari balik pilar besar di sudut ruangan hanya dapat tersenyum geli. Tingkah kedua sejoli ini begitu menggemaskan, pikirnya.
"Kamu gak makan cookiesnya?" tanya Princess Irene dengan alis terangkat yang langsung dibalas dengan anggukan penuh semangat.
Prince Andrian kembali turun dari kursinya lalu memakan cookies cokelat dengan hati berseri. Senyum manisnya terbit sambil terus menatap Princess Irene. Pertemanan mereka mulai terjalin.
Hari-hari berikutnya, Prince Andrian terus mengunjungi Kerajaan Avelaine. Banyak hal yang mereka lakukan bersama seperti melihat kuda-kuda kerajaan, menonton parade akhir tahun, bermain kembang api, dan membuat kue.
Tetapi waktu mereka lebih sering dihabiskan dengan Prince Andrian yang menonton Princess Irene. Tidak penting, tapi begitulah kenyataannya. Prince Andrian banyak menghabiskan waktunya hanya dengan memperhatikan Princess Irene beraktivitas. Tak jarang ia diabaikan dan tak dianggap seperti angin lalu.
Biasanya Prince Andrian duduk di kursi lalu melihat kesibukan Princess Irene. Sang putri yang berjalan kesana-kemari merapikan buku, memainkan piano, mengelilingi halaman, menyisir rambut panjangnya di depan cermin besar, dan banyak aktivitas lainnya.
Tak ada kata bosan apalagi kata tidak suka dalam kamus Prince Andrian jika itu menyangkut Princess Irene. Semua hal mengenai Princess Irene itu menyenangkan baginya. Ia menyukai Princess Irene tanpa kata tapi. Sifat dinginnya memiliki pesona tersendiri yang bahkan sampai saat ini masih tidak dimengerti oleh ibu dari Princess Irene sendiri—Queen Victoria.
Queen Victoria tak bodoh untuk menyadari timbulnya rasa suka Prince Andrian kepada putrinya sejak awal. Padahal Queen Victoria sempat khawatir akan sifat dingin putrinya yang mungkin akan membuatnya tak memiliki pasangan hidup. Namun, melihat ketulusan Prince Andrian yang mencintai putrinya dengan sepenuh hati membuat Queen Victoria tenang. Anak semata wayangnya pasti akan bahagia mendapatkan lelaki sebaik Prince Andrian.
✨✨✨
Tahun demi tahun berlalu, Princess Irene dan Prince Andrian tumbuh sebagai wanita dan pria dewasa. Mereka berperan besar dalam dunia politik. Jadwal mereka pun semakin padat. Hal itu bukan masalah besar, kesibukan tak menghalangi keduanya untuk tetap saling bertemu.
Di usia yang kini menginjak 27 tahun, Prince Andrian masih menyimpan hatinya hanya untuk Princess Irene. Perjodohan yang dilaksanakan saat usianya 11 tahun membuatnya semakin yakin bahwa Princess Irene memang ditakdirkan untuknya. Ia terus menjaga hatinya dan tak sedikit pun melirik wanita lain selain Princess Irene.
Well, Princess Irene sudah terlalu sempurna. Tak ada alasan untuknya mencari wanita lain. Princess Irene merupakan wanita pertama dan terakhir untuknya, satu-satunya wanita yang mampu mengambil hatinya, satu-satunya wanita yang akan ia jaga hingga di penghujung usia.
"Aku pergi dulu, Princess Irene sudah menunggu," ucap Prince Andrian sebelum berlalu meninggalkan sang kakak—Princess Alice.
Prince Andrian dan Princess Alice baru saja menyelesaikan rapat kecil untuk membahas pembangunan parit. Kakak-beradik itu langsung berpisah karena kesibukan masing-masing.
Princess Alice harus pergi ke pusat kota untuk melihat gaun pesanannya, sedangkan Prince Andrian harus segera menghampiri Princess Irene untuk menemaninya mengawasi pembangunan patung kuda di taman kota.
Sejujurnya Princess Irene tidak keberatan untuk pergi sendiri. Lagipula pekerjaannya kali ini tidak berat. Tetapi Prince Andrian terus meminta ikut. Ia bahkan bertingkat sok imut. Jengah melihat tingkah laku sang pangeran, Princess Irene akhirnya mengiyakan permintaan Prince Andrian.
"Tunggu!"
Mendengar seruan yang tak asing, Princess Irene menoleh ke sumber suara. Tidak jauh dari posisinya kini, Princess Irene dapat melihat Prince Andrian tengah berlari kecil menghampirinya.
Prince Andrian langsung membuka pintu kereta kuda, ia mendudukkan tubuhnya tepat di sebelah kiri sang putri.
Dengan napas terengah-engah, Prince Andrian mengeluarkan suaranya, "Nunggu lama ya? Maaf, tadi ada beberapa masalah kecil," jelasnya yang dibalas anggukan kecil pertanda Princess Irene tidak mempermasalahkan hal tersebut.
Princess Irene menumpuk kedua tangannya ke atas kaki yang bersilang dengan elegan. Walau ia sama sekali tak tertarik dengan topik pembahasan, Princess Irene tetap mendengarkan keluhan Prince Andrian.
Kereta kuda berjalan melewati area lapang yang mulai terselimuti salju, meninggalkan jejak-jejak sepatu kuda. Angin dingin berhembus, menusuk permukaan kulit telapak tangan yang tak tertutupi apapun.
Sepertinya salju pertama turun sore ini. Untungnya Princess Irene mengenakan gaun berbahan wol yang dapat menghangatkan tubuhnya. Ia sudah menduga bahwa salju pertama akan turun hari ini.
Dengan gerakan pelan nan anggun, Princess Irene mengenakan selendang berbulu dombanya. Warna putih dari selendang tampak cantik dipadukan dengan gaun wol berwarna abu-abu. Princess Irene mengeratkan selendang bulu yang menutupi bagian atas gaunnya.
Di sebelah kirinya lagi-lagi terdapat Prince Andrian yang duduk memperhatikan gerak-gerik sang putri. Bahkan gerakan Princess Irene yang sedang mengenakan selendang terlihat begitu cantik, pikirnya.
Perjalanan agak terhambat karena badai salju yang datang tiba-tiba. Mereka memutuskan untuk kembali ke istana Kerajaan Avelaine. Terlalu berbahaya untuk berpergian di tengah cuaca ekstrem seperti ini. Mereka tidak ingin menanggung resiko apapun.
Prince Andrian menatap wanita di sebelahnya dengan pandangan khawatir. Sedari tadi Princess Irene terus mengeratkan selendang bulunya, memeluk dirinya sendiri.
Tanpa memedulikan kondisi tubuhnya yang hanya mengenakan kemeja hitam polos, Prince Andrian mengambil kedua tangan Princess Irene yang terasa dingin ketika menyentuh kulitnya. Kedua tangan besar milik Prince Andrian memandu Princess Irene untuk menggosok tangannya. Sesekali Prince Andrian meniup tangan sang putri yang berada dalam genggamannya.
Princess Irene menatap Prince Andrian yang sibuk menghangatkan suhu tubuhnya. Netra temannya itu hanya tertuju pada tangan mereka.
Princess Irene menarik tangannya dari genggaman Prince Andrian saat menyadari temannya itu tak mengenakan baju hangat yang biasa digunakan para pangeran. Sepertinya Prince Andrian tak menyangka salju akan turun hari ini. Dengan sigap, Princess Irene melepaskan selendang bulunya lalu menyampirkannya di bahu Prince Andrian.
“Gak, aku gak apa-apa. Kamu yang seharusnya pakai ini,” tolak Prince Andrian sembari mengembalikan selendang bulu ke sang pemilik.
Princess Irene menyampirkan kembali selendang bulunya di bahu Prince Andrian, “Gaunku berbahan wol, hangat. Kamu pun tahu baju wanita itu berlapis-lapis dan panjang. Kamu yang seharusnya memakai selendang ini.”
Awalnya Prince Andrian hendak menolak, namun tatapan tajam dari Princess Irene membuatnya menurut. Hatinya berbunga-bunga. Princess Irene baru saja menunjukkan afeksinya! Princess Irene mengkhawatirkannya!
“Apakah Jason baik-baik saja? Di luar pasti sangat dingin, kita harus segera memanggil seseorang untuk memeriksa keadaan para kuda saat tiba di istana!” ujar Princess Irene.
Seketika, senyuman Prince Andrian luntur. Princess Irene ternyata tak hanya mengkhawatirkannya. Ia juga mengkhawatirkan Jason si penunggang kuda. Alhasil, Prince Andrian hanya mampu membalas ucapan Princess Irene dengan senyuman kecut. Sepertinya usahanya masih kurang.
✨✨✨
Sesuai ucapannya ketika di perjalanan tadi, Princess Irene segera memanggil ahli kesehatan kerajaan untuk memeriksa keadaan Jason dan kuda-kuda kerajaan. Princess Irene juga sempat menawarkan Prince Andrian untuk melakukan pemeriksaan namun temannya itu menolak dengan alasan ia baik-baik saja.
Sekarang mereka berdua duduk di kursi empuk di depan perapian. Melakukan perjalanan di tengah cuaca dingin membuat mereka agak pusing. Pelayan baru saja membawakan cokelat panas yang langsung diterima oleh keduanya.
Mereka menggenggam mug keramik itu dengan kedua tangan. Dua selimut besar membungkus masing-masing dari mereka. Queen Victoria menatap keduanya cemas, apalagi mereka berdua menolak untuk diperiksa.
Prince Andrian menyeruput minumannya, “Bagaimana penampilan sepupu jauhmu itu?”
Princess Irene menoleh, “Maksudmu Grace?” tanyanya yang diangguki Prince Andrian.
“Bagus. Dia memang terlahir dengan aura bintang.”
Kemarin Princess Irene pergi ke sebuah pertunjukan besar yang jaraknya cukup jauh dari Kerajaan Avelaine demi melihat sepupunya—Grace. Sejak kecil Grace memang senang bernyanyi. Ia mulai menekuni dunia tarik suara ketika ibunya menyadari bakat menyanyi di dalam diri putrinya.
Obrolan mereka membuka memori Prince Andrian, “Grace dulu benar-benar menguji kesabaran.”
“Karena kamu cengeng. Grace senang menjahili anak-anak cengeng,” celetuk Princess Irene.
Prince Andrian melayangkan tatapan tidak setuju, “Grace yang nakal. Anak lain jika dijahili juga pasti akan menangis,” belanya.
“Aku tidak,” balas Princess Irene.
“Ya, kamu tidak menangis tapi menahan tangis.”
Jawaban Prince Andrian membuat Princess Irene bungkam. Selain menyanyi, Grace kecil juga memiliki hobi menjahili anak lain. Tak terkecuali kakak sepupunya—Princess Irene, dan teman laki-lakinya—Prince Andrian.
Ada saja tingkah yang dilakukan Grace setiap berkunjung ke kediaman kakak sepupunya. Ia pernah meletakkan belalang daun di bahu Prince Andrian. Setelah itu sang pangeran menangis histeris dengan badan yang gemetar ketakutan.
Malamnya, Prince Andrian terserang demam. Princess Irene menasehati adiknya itu agar tidak menjahili orang lain lagi walaupun sang adik tak mendengarkannya.
Grace juga pernah menyangkutkan Aurora—kucing kesayangan Princess Irene—ke atas pohon. Entah bagaimana anak kecil itu dapat menyangkutkan seekor kucing ke atas pohon. Tetapi yang pasti, sang pelaku hanya tertawa menyaksikan orang-orang di sekitarnya tanpa perasaan bersalah.
Melihat kucingnya yang tampak ketakutan membuat Princess Irene ingin menangis. Apalagi ketika kucingnya mengeong meminta pertolongan. Princess Irene menggigit bibir bawahnya agar isakannya tidak terdengar. Kucing manisnya yang malang.
Tak lama, salah satu pengawal kerajaan mengambil tindakan. Ia meletakkan pedang panjangnya di atas rumput lalu memanjat pohon tempat Aurora tersangkut. Grace yang jahil justru semakin terpingkal sambil bertepuk tangan.
Princess Irene ingin sekali memarahi Grace. Namun ibunya pernah berkata bahwa ia harus lebih sabar saat menghadapi anak kecil karena mereka belum mengerti banyak hal.
Aurora berhasil diselamatkan. Princess Irene memberikan beberapa tangkai bunga edelweiss yang ia petik di sekitar halaman kepada pengawal tadi. Sang pengawal menerimanya dengan senang hati. Princess Irene begitu manis, pikirnya.
Ibunda Grace mengucapkan permintaan maaf kepada anak Princess Irene dan Prince Andrian mewakili putrinya. Bisa-bisanya Grace membuat masalah dengan calon ratu dan raja kedua kerajaan terbesar abad ini, geramnya.
“Anak nakal itu sekarang menjadi seorang bintang besar,” celetuk Princess Irene.
Prince Andrian mengangguk setuju, “Bintang besar yang dikagumi banyak orang,” tambahnya.
✨✨✨
“Aku pergi ke tempat Dennise untuk membahas proyek baru ayah. Mungkin lusa baru pulang. Jangan kangen ya,” ujar Prince Andrian diselipi candaan kecil.
“Ya,” balas Princess Irene singkat.
Sore ini Prince Andrian dan ayahnya akan melakukan perjalanan ke Timur. Prince Andrian menyempatkan diri ke Kerajaan Avelaine. Setelah berpamitan, Prince Andrian berlalu dengan kereta kudanya.
Princess Irene kembali masuk ke dalam istana. Ia berjalan dengan anggun di lorong penuh lukisan raja-raja terdahulu yang menghubungkan bagian depan istana dan aula di bagian tengah istana. Gaun berbahan sifon panjang dengan motif floral berwarna coklat mudanya menyapu karpet merah di sepanjang koridor.
Sampai di aula, Princess Irene menaiki tangga di sisi kiri. Di aula, terdapat dua tangga melengkung yang saling berhubungan. Aula sering digunakan sebagai tempat berpesta, maka tak heran jika terdapat beberapa lampu kristal besar yang menggantung di langit-langit aula. Beberapa guci klasik setinggi pinggang terpajang di beberapa tempat. Tirai merah maroon terbuka, menampakkan jendela besar di baliknya. Jendela-jendela yang terpasang berjejer mengisi tembok aula membuat istana yang tembok dan interiornya didominasi warna merah maroon, emas, dan putih tampak lebih terang.
Princess Irene menarik kedua gagang pintu lalu memasuki kamarnya. Ia berjalan ke arah balkon. Pintu balkon yang terbuka lebar membuat angin dari luar menerbangkan kertas-kertas di atas meja berserakan di lantai.
Gerakan Princess Irene yang hendak menutup pintu balkon terhenti ketika melihat warna-warni langit sore. Nabastala didominasi warna merah muda dengan semburat warna ungu. Sarayu di sore hari menghembus pelan helai demi helai surai hitam Princess Irene. Ketenangan di penghujung hari membuat Princess Irene menutup kedua matanya, menikmati suasana sore ini.
Beberapa detik berlalu, Princess Irene membuka matanya perlahan. Dari atas sini ia dapat melihat kegiatan di sayap kanan istana. Bibi Margaret tengah berjalan pelan di tebalnya salju sambil membawa sebuah keranjang berisi roti. Langkahnya yang rimpuh membuat Princess Irene khawatir.
Princess Irene hampir saja berlari ke lantai bawah untuk menghampiri Bibi Margaret sampai kedatangan Stephen—koki kerajaan—yang mengambil alih keranjang dari tangan Bibi Margaret lalu membantu wanita tua itu untuk masuk ke dalam istana.
Bibi Margaret merupakan seseorang yang berjasa bagi Princess Irene. Sebagai raja dan ratu, orangtua Princess Irene memiliki kesibukan yang padat. Di saat-saat itulah ia dijaga oleh Bibi Margaret. Bibi Margaret merawat dan menyayanginya selayaknya anak sendiri.
Princess Irene kecil pernah menangis keras karena tidurnya diusik Bibi Margaret yang mengelus pelan pipi bulatnya. Kala itu Princess Irene yang tengah tidur siang memiliki jadwal sekolah musik. Bibi Margaret mencoba untuk membangunkannya dengan lembut. Ia mengelus pipi Princess Irene.
Tak lama, Princess Irene akhirnya terbangun. Menyadari tidurnya yang terusik, Princess Irene menangis kecil. Isakannya perlahan berubah menjadi tangisan kencang.
Bibi Margaret menepuk punggungnya, membiarkan Princess Irene menangis sambil memberikan pengertian kepada sang putri bahwa ia memiliki jadwal sekolah musik.
Setelah puas menangis, Princess Irene merajuk dengan mengatakan ia tidak mau mengikuti sekolah musik. Namun dengan sabar Bibi Margaret membujuknya dan menjanjikannya kue red velvet ketika ia pulang nanti.
Ah, kenangan yang berharga.
Membahas Bibi Margaret membuat Princess Irene mengingat ayahnya yang akan pergi berperang dua hari lagi. Kerajaan rivalnya itu tak pernah berhenti berulah. Ia khawatir ayahnya akan terluka.
Dahulu, saat dirinya masih kanak-kanak, ia tak begitu paham apa yang dilakukan ayahnya setiap pergi berperang. Ayahnya akan berpamitan, lalu pulang setelah beberapa hari dengan keadaan terluka. Entah luka kecil maupun luka besar.
Ayahnya bilang, ia sedang melawan penjahat. Princess Irene sempat tak setuju karena menurutnya kekerasan tak menyelesaikan masalah. Kekerasan hanya merugikan kedua belah pihak. Ia tak ingin melihat ayahnya terluka lebih parah.
Untung menenangkan sang putri, King Alard selalu memberikan tiara emas ringan untuk putrinya setiap ia pergi berperang. Ada yang dikelilingi batu permata biru, berlian merah muda, mutiara, dan lainnya. Tiara-tiara itu tertata rapi di dalam lemari kaca.
Princess Irene meletakkan lemari kaca tadi di dalam walk-in-closet di kamarnya, tepat di sebelah lemari pakaian. Hal itu dilakukan untuk mencegah pencurian barang berharganya. Hanya orang-orang tertentu yang dapat memasuki kamar sang putri.
Astaga, Princess Irene baru ingat! Tadi pagi saat ia memilih gaun setelah selesai mandi, letak tiara-tiaranya tampak janggal!
Princess Irene menutup pintu balkon lalu pergi keluar kamar. Ia tengah mencari keberadaan Viona dan Jesslyn—dayang-dayang pribadinya yang baru saja bekerja beberapa minggu yang lalu.
Princess Irene menuruni tangga, berjalan agak cepat. Ia mengabaikan sapaan para pelayan dan penjaga istana yang berpapasan dengannya.
“Dimana Viona dan Jesslyn?” tanyanya tanpa membalas sapaan Esmeralda—wanita paruh baya yang menjabat sebagai kepala pelayan Kerajaan Avelaine.
Esmeralda sempat mengingat-ingat sebentar lalu menjawab dengan kepala tertunduk, “Sepertinya mereka sedang berada di gudang belakang, Princess.”
Princess Irene langsung melangkahkan kakinya ke gudang belakang. Esmeralda yang melihat raut kesal Princess Irene ikut berjalan menyusul sang putri di belakang. Langkah Princess Irene yang besar dan cepat membuat Esmeralda tertinggal jauh.
✨✨✨
“Ya, dia bahkan mengenakan gaun sutra mahal! Padahal ia hanya bersantai setiap hari dan mengunjungi tempat-tempat di luar sana dengan kereta kuda mewahnya itu.”
“Senangnya jadi putri.. Hidup bergelimang harta dan mendapatkan lelaki setampan Prince Andrian!”
“Yah, setidaknya kita dapat memiliki tiara-tiara cantik ini. Irene si pemalas itu seharusnya lengser saja. Aku siap menggantikannya!”
“Tapi.. bagaimana jika ia tahu kita mengambil tiaranya?”
“Tak apa, Jess. Tiara di dalam lemari besarnya itu berjumlah puluhan. Lagipula tiara yang kita ambil ini merupakan tiara yang paling atau bahkan tidak pernah ia gunakan.”
“Benar juga.”
“Sudahlah, jangan pikirkan hal yang tidak-tidak. Sekarang Irene sedang bersantai di calon kamar kita, ia tidak akan bisa menemukan keberadaan kita di istana sebesar ini.”
Tanpa mereka ketahui, Princess Irene sedari tadi berdiri di depan gudang bersama dengan Esmeralda di belakangnya. Mereka menguping pembicaraan kedua dayang tersebut.
Princess Irene terdiam dengan raut wajah menyeramkan. Tangannya mengepal di samping tubuhnya. Ia marah besar. Esmeralda menatap takut sang putri. Bahkan dari belakang, aura kemarahan Princess Irene terasa begitu jelas.
Padahal jika mereka memang menginginkan tiara miliknya lalu memintanya dengan sopan, Princess Irene akan memberikannya dengan senang hati.
Kedua dayang itu memutar-mutar tiara Princess Irene dengan jari mereka. Tiara tersebut dipakainya lalu berlagak seperti seorang putri sambil menatap diri mereka di depan cermin usang.
“Ya, tanpa keju. Jangan lupa bawakan teh chamomile hangat,” ucap Viona menirukan gaya Princess Irene.
Viona dan Jesslyn tertawa terbahak-bahak. Tak mau kalah dari temannya, Jesslyn pun ikut berakting, “Berhenti menggosip hal yang tidak benar, kalian menjijikkan!”
Mendengar tawa keduanya semakin membuat Princess Irene geram. Ia sudah memiliki firasat buruk mengenai kedua dayang barunya. Mereka sering berbisik-bisik setiap Princess Irene memerintahkan sesuatu.
Awalnya Princess Irene berusaha memaklumi mereka. Usia keduanya yang baru menginjak 20 tahun membuat Princess Irene memaafkan tingkah mereka.
Mereka juga pernah tertangkap basah menyentuh salah satu gaun mahal Princess Irene. Padahal Princess Irene memerintahkan mereka untuk mengambil barang lain. Keduanya beralasan mereka belum begitu hafal letak barang-barang Princess Irene.
Kejanggalan demi kejanggalan yang terus terjadi membuat Princess Irene menaruh curiga. Dan hari ini, tingkah mereka yang sebenarnya disaksikan langsung oleh Princess Irene.
"Lihatlah permata cantik ini! Harganya pasti melebihi gajiku hingga masa pensiun nanti," ucap Jesslyn yang sedang memegang salah satu tiara.
Esmeralda melirik ke depan saat mendengar decihan Princess Irene.
"Pensiun apanya?" ejek Princess Irene dalam hati.
Di dalam diamnya, Princess Irene tengah memikirkan tindakan apa yang akan dilakukannya nanti. Sebagai seseorang yang berpendidikan, Princess Irene akan memikirkan sesuatu sebelum melakukannya. Begitu pula dengan ucapan yang keluar dari mulutnya.
“Dilihat-lihat.. wajahku tidak buruk untuk menjadi putri. Iya kan, Jess?”
Jesslyn melihat Viona dari cermin. Mereka berdua sedang berdiri bersebelahan di depan cermin usang. Temannya itu sedang menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga sambil tersenyum kecil.
“Ya, kita berdua pantas menjadi putri,” bohongnya.
Dalam hati, Jesslyn mengolok Viona, “Wajah sepertimu memang pantas mengenakan baju pelayan! Yang pantas menggantikan posisi Irene hanyalah aku, Princess Jesslyn.”
Di luar gudang, Princess Irene masih tak beranjak. Ia diam mendengarkan bualan dayang-dayangnya. Tak lama, Princess Irene memerintahkan Esmeralda untuk memanggil pelayan sekaligus dayang pribadinya yang lain. Dengan sigap, Esmeralda pergi untuk memenuhi perintah Princess Irene.
Baru beberapa langkah, genggaman Princess Irene pada lengannya membuat Esmeralda membalikkan tubuhnya yang gemetar, “Ada apa, Princess?”
“Datang tanpa membuat suara sedikitpun, mengerti?”
Esmeralda mengangguk patuh. Princess Irene yang sedang diselimuti amarah tampak berkali-kali lipat lebih menakutkan daripada hari biasanya.
Ia melangkah ke arah bangunan yang cukup besar di luar istana. Setelah mengetuk beberapa kali, pintu akhirnya terbuka lalu menampakkan meja makan besar yang dipenuhi wanita berkemeja putih dengan apron coklat yang masih melekat di pinggang.
Sore hari menjelang malam merupakan waktu pertukaran para pekerja kerajaan. Ada beberapa bangunan besar di luar istana. Salah satunya bangunan yang tengah dikunjungi Esmeralda, bangunan tempat para pelayan wanita tinggal. Sepulangnya dari sini, Esmeralda harus pergi ke bangunan di sebelahnya. Bangunan untuk para pelayan pria.
“Princess Irene memerintahkanku untuk memanggil para pelayan dan dayang-dayang pribadinya ke gudang belakang,” jelas Esmeralda dengan nafas memburu lalu menatap beberapa wanita di sisi kanannya, “Kalian panggilkan yang lainnya. Tidak peduli mereka sedang dalam jam kerja maupun jam istirahat, segera pergi ke gudang belakang! Jangan menimbulkan suara apapun, mengerti?!”
Sekumpulan wanita itu mengangguk patuh. Mereka berdiri dari duduknya, bergegas menjalankan perintah Esmeralda.
Memasuki bangunan para pelayan pria, Esmeralda memberikan perintah yang sama.
Tak sampai 10 menit, para pelayan termasuk Esmeralda sudah berkumpul di depan gudang belakang. Princess Irene tak membuka suara, namun tatapannya menyiratkan kemarahan besar. Tak ada yang berani membuat suara sedikitpun.
“Berisik, kau mengganggu pekerjaanku!”
“Maaf Princess, saya tidak bermaksud-“
“Keluar atau ku penggal kepalamu!”
Jesslyn dan Viona larut dalam imajinasi mereka. Kali ini mereka memperagakan tingkah laku Princess Irene yang dilebih-lebihkan. Princess Irene bahkan tidak pernah mengancam mereka keluar dari pekerjaannya, apalagi mengancam kekerasan seperti itu?
Para pelayan di luar gudang membulatkan matanya terkejut. Bahkan di tengah kesunyian pun mereka tak berani bertindak sejauh itu. Lagipula Princess Irene yang mereka kenal selama ini bukan seorang wanita angkuh seperti rumor yang bertebaran di luar sana.
“Jangan sentuh gaun mahalku, sialan!” akting Jesslyn.
“Cepat, ambilkan selendang buluku!” tambah Viona.
Mereka berdua cekikikan di dalam sana. Membayangkan diri mereka mengenakan gaun mewah, tiara yang bersinar, dan perhiasaan mahal, memiliki kepuasan sendiri bagi mereka.
Tepat saat Viona berlagak memberikan perintah untuk mengambil selendang bulu, Princess Irene masuk ke dalam gudang dengan kepala tertunduk. Ia berdiri di depan kedua dayangnya.
“Baik, Princess. Apa ada lagi yang dibutuhkan?” ucapnya.
Ketegangan membuat para pelayan bungkam. Viona dan Jesslyn terkejut setengah mati. Tangan dan kaki mereka bergetar ketakutan. Mereka bahkan tak sanggup melepas tiara yang masih bertengger di kepala mereka.
Princess Irene mengangkat kepalanya. Berdiri tegap dengan tatapan tajam yang menusuk kedua insan di depannya. Langit sudah sepenuhnya gelap di luar, hawa dingin masuk melalui jendela-jendela di gudang.
“Lancang,” ucap Princess Irene dengan suara rendah.
“Lancang!” ulangnya dengan bentakan.
Viona dan Jesslyn semakin ketakutan mendengar suara Princess Irene yang menggelegar. Ini pertama kalinya sang putri mengeluarkan suara sekencang itu. Amarah Princess Irene tak main-main. Ia membenci orang-orang yang berkhianat di belakangnya.
Kelakuan Viona dan Jesslyn tak termaafkan. Mereka akan mendapatkan hukuman besar, Esmeralda dapat menjamin hal tersebut.
Dengan amarah menggebu, Princess Irene mengambil tiara-tiaranya di atas meja. Ia juga tak lupa menarik dua tiara miliknya yang masih bertengger di kepala Viona dan Jesslyn dengan kasar.
Kedua dayang itu meringis ketika rambut mereka yang tersangkut pada tiara Princess Irene akhirnya tercabut bersamaan dengan tarikan sang putri. Princess Irene tak pernah sekasar ini sebelumnya.
“Harus berapa kali kuperintahkan agar kalian tidak menyentuh barangku sembarangan hah?”
Tak ada sautan apapun dari Viona maupun Jesslyn. Mereka hanya mampu menunduk dalam.
“HARUS BERAPA KALI HAH?!” bentaknya.
“Bahkan kalian sekarang berani mencuri enam tiaraku, membicarakanku di belakang, mengejekku, merendahkanku, dan memanggil namaku begitu saja tanpa gelar apapun,” papar Princess Irene penuh amarah.
“Bahkan Prince Andrian—seorang putra mahkota Kerajaan Xavier—tak berani memanggilku Irene.”
Princess Irene berjalan pelan mendekati Viona dan Jesslyn yang terus berjalan mundur. Keduanya kini menangis ketakutan.
“Pemalas.. Bersantai setiap hari.. KALIAN BUTA?! TUMPUKAN DOKUMEN DI MEJA BELAJARKU ITU APA HAH?!” bentak Princess Irene.
Nafas Princess Irene menggebu, “Cih, masih bisa menangis kalian? Kemana sikap berani kalian tadi?”
Punggung Viona dan Jesslyn sudah menyentuh tembok. Tak ada jalan lagi bagi keduanya untuk menghindari amarah Princess Irene.
PLAK! PLAK!
Princess Irene menampar kedua pipi dayangnya dengan keras, “DASAR TIDAK TAHU DIRI! LANCANG KALIAN BERDUA!”
Sang putri membalikkan badan ke arah pintu gudang yang terbuka lebar. Di depan pintu, para pelayan menatap takut Princess Irene.
“Lihat! Ini yang akan terjadi jika kalian berani bermain-main denganku, mengerti?!” ucap Princess Irene sambil menunjuk Viona dan Jesslyn yang berada di belakangnya.
Para pelayan mengangguk cepat.
“Kalian, sampah Kerajaan Avelaine, mulai detik ini bukan lagi dayangku. Tunggu hukuman kalian,” jelas Princess Irene sebelum kembali naik ke kamarnya.
Lutut Viona dan Jesslyn melemas. Mereka berdua terduduk di lantai gudang yang berdebu, menangisi nasib mereka. Penyesalan selalu datang di akhir. Padahal menjadi dayang keluarga kerajaan merupakan pekerjaan besar. Para calon dayang akan menjalani seleksi ketat.
Esmeralda berjalan masuk ke gudang menghampiri Viona dan Jesslyn. Ia menampar keduanya. Netranya melayangkan tatapan kecewa. Viona dan Jesslyn sudah bertindak terlalu jauh. Mereka melewati batas dan patas dihukum. Esmeralda tak akan memberikan bantuan keringanan hukuman apapun.
✨✨✨
Princess Irene terisak di tengah kesunyian malam. Ia memerintahkan pengawal dan pelayannya untuk tidak mendekati kamarnya dulu malam ini. Princess Irene tak ingin tangisannya terdengar siapapun. Ia ingin menjadi sosok yang dihormati, sosok yang selalu terlihat kuat dan penuh wibawa.
Namun nyatanya ia tetap seorang wanita yang rapuh. Ia terjaga setiap malam untuk mengerjakan dokumen-dokumen kerajaan, melakukan perjalanan melelahkan yang terkadang memiliki resiko besar, dan menghadiri acara-acara resmi yang membuang waktunya. Dan ternyata orang-orang masih menganggapnya pemalas?
Princess Irene membanting barang-barang di mejanya. Membiarkannya berserakan di lantai. Pekerjaannya selama ini tak berarti apa-apa. Ia hanya ingin dihargai.
Dadanya sesak. Princess Irene menjambak rambutnya frustasi. Menjadi anggota keluarga kerajaan tak seindah yang ada di bayangan orang-orang pada umumnya. Princess Irene memiliki tekanannya sendiri.
Princess Irene menangis sepanjang malam. Meluapkan emosi yang ditutupinya selama ini.
Kabar kemarahan Princess Irene sampai ke telinga King Alard dan Queen Victoria. Orangtua Princess Irene itu ikut tersulut emosi. Viona dan Jesslyn dimasukkan ke dalam penjara bawah tanah untuk sementara sampai Princess Irene menentukan keputusannya.
Berita besar ini menyebar dengan cepat. Prince Andrian langsung melakukan perjalanan kembali ke Kerajaan Avelaine. Ia mengkhawatirkan kondisi Princess Irene.
✨✨✨
Kicauan burung yang bertengger di balkon kamar Princess Irene membangunkan sang putri dalam tidurnya yang lelap. Matanya mengerjap pelan sebelum terbuka sempurna.
Princess Irene merenggangkan tubuhnya setelah mendapati posisinya yang terduduk di atas lantai di tepi ranjang. Sepertinya ia tertidur karena lelah menangis.
Princess Irene mengusap wajahnya kasar, membasuhnya dengan air. Ia dapat melihat wajah sembabnya di depan cermin kamar mandi.
Kepalanya berdenyut, hidungnya pun terasa mampet. Princess Irene menegak airnya sambil melihat pemandangan di luar melalui jendela besar. Perasaannya kini lebih baik walaupun sakit hatinya masih belum terobati.
Princess Irene menoleh saat mendengar ketukan dari luar pintu kamarnya.
“Ini aku.”
Suara Prince Andrian terdengar lirih, sepertinya ia begitu merindukan sang putri. Princess Irene agak terkejut karena setahunya Prince Andrian sedang dalam perjalanan bisnis. Ia meletakkan mugnya ke atas meja.
“Masuk,” balas Princess Irene mempersilakan Prince Andrian memasuki kamarnya.
Tatapan Prince Andrian tertuju ke arah wajah sembab Princess Irene. Setelah itu atensinya beralih menyapu kamar Princess Irene.
Benda-benda berserakan, beberapa pecah karena terbuat dari kaca. Kertas-kertas memenuhi lantai dan ranjang queen size milik Princess Irene yang dilengkapi kelambu berwarna putih.
Princess Irene dengan rambut berantakannya membuat Prince Andrian sadar, sang putri baru saja terbangun. Biasanya Princess Irene selalu mengganti bajunya sebelum tidur. Namun pagi ini ia masih mengenakan gaun kemarin.
Prince Andrian berdiri di depan Princess Irene, mengusap kepalanya sebentar lalu mendekap tubuhnya erat. Prince Andrian menepuk punggung sang putri, berusaha memberikan kenyamanan. Princess Irene tak menolak, di saat-saat seperti ini dekapan hangat sangat dibutuhkannya.
Selang beberapa menit akhirnya Prince Andrian melepas pelukannya.
“Kamu gak apa-apa?” tanyanya khawatir.
“Sekarang lebih baik, terima kasih,” jawab Princess Irene dengan suara serak.
Prince Andrian membuang napasnya, “Jangan terlalu dipikirkan,” ucapnya yang diangguki Princess Irene, “Aku usahakan,” lirihnya.
Prince Andrian membawa Princess Irene ke sebuah toko kue terbaik di Kerajaan Avelaine. Ia sudah menyewa toko tersebut untuk satu hari penuh. Mereka berangkat dengan kereta kuda milik Kerajaan Xavier.
Princess Irene tidak mengganti gaunnya, ia hanya mengenakan topi bulu besar yang berwarna coklat muda yang senada dengan warna gaunnya untuk menutupi rambut dan wajah sembabnya.
Sesampainya di sana, mereka duduk di dekat jendela luar. Para pekerja toko satu persatu keluar dari dapur dengan membawa piring-piring berisi kue red velvet dalam berbagai jenis. Raut wajah mereka menegang setelah mendengar berita dari dalam istana.
Di saat orang lain merasa terintimidasi dengan wajah dingin Princess Irene, Prince Andrian justru merasa gemas. Putri cantik yang terkenal dingin di seluruh negeri kini tengah menatap kue kesukaannya dengan mata berbinar.
Setelah semua kue pesanan Prince Andrian tiba, Princess Irene menatap pria di depannya tanpa membuka suara. Prince Andrian terkekeh, menyadari wanitanya sedang meminta izin kepadanya.
“Iya, boleh.”
Mendengar ucapan Prince Andrian, Princess Irene langsung mengambil cupcake lalu melahapnya. Prince Andrian dapat melihat raut gembira di balik wajah dingin Princess Irene. Ia senang wanitanya dapat melupakan masalahnya.
Menit demi menit berlalu, Princess Irene masih sibuk melahap kue-kue di depannya. Ia tampak tak memedulikan sekitar.
“Pelan-pelan makannya..” tegur Prince Andrian sambil memberikan gelas berisi air putih ketika Princess Irene terbatuk karena terlalu bersemangat.
“Thanks.”
Prince Andrian tersenyum manis. Ia tak tertarik sedikitpun dengan kue-kue di depannya, wanitanya jauh lebih menarik. Prince Andrian menyisir rambut coklat gelapnya ke belakang lalu kembali menumpukan dagunya dengan tangan kanan.
Princess Irene bahkan tampak lebih cantik dari pemandangan aurora saat melakukan perjalanan ke utara. Prince Andrian mengusap whipped cream yang menempel di sudut bibir Princess Irene dengan ibu jarinya.
“Gimana? Enak?” tanya Prince Andrian lembut.
“Hm!” Princess Irene mengangguk antusias dengan mulut yang penuh dengan kue red velvet.
Lagi-lagi tingkah Princess Irene membuat Prince Andrian menyunggingkan senyumnya. Ia menatap Princess Irene penuh arti.
✨✨✨
Destinasi mereka selanjutnya yaitu Danau Forelsket. Danau yang letaknya di Semenanjung Skandinavia ini memiliki kisah sendiri.
Raja Avelaine terdahulu—King Etienne, terkenal dengan keramahannya. Suatu hari, King Etienne yang kala itu masih berstatus pangeran sedang berjalan santai mengitari sebuah desa kecil. Ia ingin melihat kegiatan warganya.
Hingga langkah kakinya sampai di sebuah padang rumput yang amat luas. Rumputnya begitu hijau dengan bunga-bunga liar setinggi betis begitu memanjakan matanya. Prince Etienne bermain dengan beberapa domba yang ada di sana.
Salah satu domba membawanya kepada sang pengembala—Caroline—yang tengah memainkan gitarnya sembari bersenandung di bawah pohon ceri. Sejak saat itu, Prince Etienne sering pergi ke desa untuk mengunjungi Caroline.
Beberapa tahun mengenal Caroline, Prince Etienne memberanikan diri untuk membawa Caroline bertemu orangtuanya. Hubungan mereka hampir kandas karena orangtua Prince Etienne yang menentang keras rakyat biasa untuk menjadi menantunya.
Namun, setelah segala usaha dilakukan, akhirnya orangtua Prince Etienne luluh dan menerima Caroline sebagai bagian dari keluarga kerajaan. Mereka diizinkan untuk menikah.
Kebahagiaan yang meluap membuat Prince Etienne ingin memberikan suatu hal yang spesial untuk Caroline.
Prince Etienne teringat sebuah danau cantik yang ditemuinya ketika berjalan kaki mengitari desa. Ia memerintahkan para pengrajin kayu untuk membuat sebuah perahu sederhana yang berkesan. Para pengrajin kayu mengangguk patuh.
Setelah beberapa hari, perahu pesanan Prince Etienne pun jadi. Bentuknya begitu sederhana dilengkapi sebuah dayung panjang.
Satu hal yang membuat perahu tersebut berkesan terletak pada detail ukiran pada seluruh sisi perahu. Ukiran nama Prince Etienne dan Caroline dapat terlihat di bagian depan perahu. Sisanya berisi ukiran bunga mawar yang melambangkan kasih sayang dan cinta.
Perahu itu digunakan untuk membawa Prince Etienne dan Caroline menyusuri danau cantik yang ditemui Prince Etienne. Melihat kondisi danau yang terus sepi membuat Prince Etienne berspekulasi bahwa danau ini belum diketahui banyak orang. Caroline yang merupakan warga desa bahkan tak mengetahui apapun mengenai danau tersebut.
Prince Etienne akhirnya memikirkan nama yang cocok untuk danau tersebut. Ia berpikir agak lama karena danau itu sangat berkesan baginya.
Prince Etienne yang kala itu tengah dimabuk asmara akhirnya menamai danau tersebut dengan kata 'Forelsket' yang berarti perasaan yang tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata ketika kita sedang jatuh cinta.
Caroline tersenyum mendengarnya. Kekasihnya ini merupakan seorang laki-laki yang romantis.
Asal-usul Danau Forelsket yang begitu romantis membuat Prince Andrian ingin membawa Princess Irene menaiki perahu bersamanya.
“T-tunggu!” pekik Princess Irene yang tampak agak ketakutan saat hendak menaiki perahu kayu.
Princess Irene memegang lengan Prince Andrian erat. Setelah berhasil duduk di atas perahu, Princess Irene baru mulai menikmati suasana danau yang tentram.
Danau Forelsket yang dikelilingi pepohonan rindang membuat suara yang terdengar tak jauh dari suara gesekan ranting yang bergoyang, kicauan burung, ataupun percikan air yang timbul akibat gugurnya daun yang jatuh ke danau.
Princess Irene merasa jauh lebih tenang. Ikan-ikan koi menemani dayungan demi dayungan Prince Andrian. Jujur, Prince Andrian agak kesulitan saat mendayung. Namun ia berusaha menutupi raut wajah kesulitannya dengan senyuman. Prince Andrian akan melakukan apapun untuk wanitanya.
“Prince Andrian-,” panggil Princess Irene pelan, “-terima kasih,” lanjutnya dengan tulus.
Prince Andrian menjawabnya dengan senyuman yang seolah mengatakan, “Apapun untukmu.”
Mereka berdua menghabisi waktu bersama di danau. Menikmati pemandangan dari atas perahu.
✨✨✨
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar