Bab 1 - Gladiola
Bab 1
Gladiola
“Gladiola! Bangun! Jangan tidur terus, ini sudah pukul 7 pagi! Nanti kamu terlambat ke sekolah lho!” sahut Mrs. Sandra, mama Gladiola. “Kamu itu kenapa sih, selalu aja bangun terlambat? Padahal kan kamu tahu, kalau kamu itu harus berangkat ke sekolah,” tambahnya.
“Aduh, Ma. Ya kenapa mama gak bangunin aku daritadi? Udah ah, males ke sekolah. Lagian udah terlambat juga,” kata Gladiola yang baru saja bangun.
“Enggak! Kamu gak boleh males ke sekolah. Sudah cepat sana! Mandi lalu sarapan.”
“Huh. Males banget sih ke sekolah. Lagian aku ke sekolah dan tidak ke sekolah pun, aku selalu mendapat rangking 1 kok. Kan, nilai-nilaiku selalu bagus. Jadi, aku pasti akan tetap rangking 1,” Gladiola bergumam sebal sembari berjalan gontai ke kamar mandinya untuk bersiap-siap berangkat sekolah.
Mrs. Sandra yang melihat itu menggelengkan kepalanya, “Sudah cepetan. Mama tunggu dibawah ya.”
“Ya,” jawab Gladiola pendek.
Setelah selesai mandi dan berganti baju, Gladiola langsung segera turun ke bawah untuk sarapan. Setelah sampai di meja makan, Gladiola menatap kearah makanannya dengan malas dan memutarkan kedua bola matanya.
“Ma, kenapa sih, lauknya harus dengan sayuran? Kan mama bisa membeli daging. Males tau ma. Rasa sayuran itu tidak enak. Ah sudah ah, lebih baik tidak usah sarapan,” Gladiola mendorong piringnya dan langsung bangkit dari tempat duduknya.
“Terus, kamu mau langsung berangkat? Sarapan dulu dong, nanti sakit lho,” kata Mrs. Sandra. “Atau mau mama bawakan bekal sandwich tidak? Untuk mengganjal perut?”
“Tidak usah, ma. Udah ah aku berangkat dulu ya.”
“Jangan lupa, bilang sama pak sopir, jangan ngebut-ngebut nyetirnya.”
“Iya iya,” Gladiola menjawab dengan nada malas.
Setelah itu, Mrs. Sandra mengantar Gladiola sampai ke depan pintu pagar rumahnya.
“Hati-hati, dear,” sahut Mrs. Sandra sembari melambaikan tangan kearah Gladiola. Gladiola tidak membalas lambaian itu. Ia langsung menutup kaca mobilnya. Perlahan, mobil yang dinaiki Gladiola itu mulai berjalan meninggalkan rumahnya yang super mewah. Kehidupan mewah yang dirasakan oleh Gladiola itu disebabkan karena papa dan mamanya yang berpenghasilan besar. Ketika Gladiola menginginkan sesuatu, atau bahkan barang yang cukup mahal pun, ia tinggal memohon pada papa dan mamanya untuk membelikannya, dan barangnya akan segera didapatkan dengan mudah.
Setelah sampai di sekolah, Gladiola langsung keluar dari mobil dan langsung berjalan menuju kelasnya. Saat ia berjalan melewati koridor sekolah, ada anak memperhatikannya dengan tatapan sinis. Langkah Gladiola terhenti, ia menolehkan kepalanya pada anak yang tadi menatapnya sinis.
“Ngapain kalian ngeliatin aku dengan tatapan sinis begitu?” tanya Gladiola.
Anak tadi menjawab patah-patah,”Ee, ya eh,” seperti tidak tahu harus beralasan apa, anak itu menyikut lengan teman sebelahnya, meminta bantuan. Temannya diam saja.
“Apa sih a-e-a-e, yang jelas dikit ngomongnya,” kata Gladiola sambil menaikkan salah satu alisnya.
“Nggak kok, kak. Jangan ge-er gitu. Lagian, kita nggak ngeliatin kakak,” jawab anak tadi takut-takut.
“Oh ternyata adik kelas, gak sopan ya sama kakak kelasnya. Udah ngeliatinnya sinis, gak mau ngaku lagi,”
“Beneran, kak. Kakak jangan mentang-mentang kakak kelas jadinya sok gitu sama adik kelasnya. Kan aku udah bilang, kalau kakak itu kege-eran. Gak ada dari kita yang natap kakak sinis gitu. Ya kan, Azza?” tanya anak tadi ke teman di sebelahnya.
“Ya,” jawab anak yang bernama Azza.
“Ngaku gak? Kalau kalian itu ngeliatin aku sinis. Ngaku aja cepetan deh,” Gladiola mendesak anak tadi.
“Kenapa kakak maksa? Udah dibilangin jangan ge-er jadi orang. Mau aku laporin ke wali kelas kakak?”
Muka Gladiola memerah. Itu artinya dia malu plus ingin marah.
“Oh gitu ya. Cuman tinggal ngaku aja, gak perlu susah-susah malah jadi bawa-bawa guru. Kamu anak yang tukang ngadu domba ya dikelasnya?” sebenarnya Gladiola sudah tak tahan ingin meluapkan amarahnya. Karena ia memang mudah marah dikarenakan hal sepele. Contohnya ya seperti ini.
Kalau Gladiola sedang naik pitam biasanya ada teman dekatnya yang membantu Gladiola meredakan amarahnya. Teman dekatnya bernama, Arrina. Arrina dijadikan teman dekat oleh Gladiola karena alasannya Arrina sederajat dengannya. Sifat Arrina mirip seperti sifat Gladiola. Arrina dan Gladiola terkenal dengan sifatnya yang angkuh dan tidak mau bergaul dengan teman lainnya. sehingga salah satu teman sekelasnya menyebut mereka, “The Queen of Angkuh”.
“Oh ya sudah, akan kita adukan ke guru saja kalau begitu. Lagian kakak kelas yang satu ini gak jelas banget. Pagi-pagi sudah membuat mood ku turun. Ayo, Azza. Kita langsung laporkan saja ke guru,” anak tadi mengabaikan ucapan Gladiola dan langsung menarik tangan temannya, Azza untuk pergi meninggalkan Gladiola.
“Woi! Jangan kabur! Dih penakut! Tukang ngadu domba lagi! Bisanya lapor ke guru!” Gladiola berteriak kesal. Kebetulan sekali, saat Gladiola berteriak Arrina datang menghampirinya, “Heh, ngapain sih? Pagi-pagi udah teriak aja. Berisik.”
“Itu tuh. Ada adik kelas yang natap aku sinis. Terus aku samperin dan tanya, eh orangnya malah gak ngaku. Dia malah balik laporin ke guru. Gimana aku gak kesel,” Gladiola menceritakan hal tadi kepada Arrina.
“Yang mana sih orangnya? Kok aku gak liat,” kata Arrina.
“Kan orangnya udah pergi. Gimana sih.”
“Oh iya bener. Udah lah jangan ditanggepin orang yang kayak begitu. Biasa lah, mungkin dia iri. Kamu kan diantar ke sekolah menggunakan mobil. Kalau dia kan menggunakan alat transportasi umum. Mungkin dia iri karena hal itu,” Arrina membesarkan hati Gladiola.
“Heh,” Gladiola mengucapkan ‘heh’ dengan nada meremehkan.
“Masuk kelas hey cepetan. Ngapain coba yah kita diem aja disini. Ah ini gara-gara kamu nih, Glad,” kata Arrina. Mereka baru sadar, seharusnya mereka sudah berada di kelas, tetapi mereka masih saja berdiri di koridor sekolah.
“Ayo masuk kelas,” Arrina kembali mengajak Gladiola. Setelah itu, Gladiola dan Arrina memasuki kelas.
Pulang sekolah, Gladiola dan Arrina memutuskan untuk tidak langsung pulang kerumah terlebih dahulu. Mereka ingin pergi hangout ke tempat yang mereka sukai, apalagi kalau bukan mall.
“Arrina, temani aku ya,” Gladiola mengajak Arrina.
“Kemana?”
“Ke mall, hehe,” kata Gladiola sembari nyengir.
“Yang anter ke sana siapa?” tanya Arrina
“Pak Parman, sopirku. Nanti setelah dia menjemputku untuk pulang, aku akan bilang padanya bahwa kita tidak langsung pulang kerumah, kita akan pergi ke suatu tempat. Aku tak akan bilang bahwa aku akan pergi ke mall. Karena pasti Pak Parman memberitahu mama kalau kita akan pergi ke mall. Mama pun pasti tidak akan mengizinkanku,” Gladiola menjelaskan dengan panjang lebar.
“Iya iya, udah stop stop. Intinya nanti akan aku temani,” kata Arrina.
Setelah bel sekolah berbunyi, yang artinya bahwa anak-anak sudah boleh pulang, Gladiola dengan semangat menarik tangan Arrina agar ia segera bergegas siap-siap untuk pergi ke tempat tujuan mereka itu.
“Aduh, sakit tau. Narik tangannya pelan-pelan dong. Nanti kalau tanganku copot gimana?” kata Arrina tidak terima tangannya ditarik sekasar itu.
“Ih ya maaf dong. Kan aku tidak sengaja,” Gladiola meminta maaf kepada Arrina atas kelakuannya yang seperti anak kecil itu.
“Ya, ayo. Mana Pak Parman? Sudah datang menjemput belum?” tanya Arrina sembari menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri.
“Tunggu aja,” jawab Gladiola pendek.
Setelah beberapa saat mereka menunggu, terdengar bunyi klakson mobil yang disetiri oleh Pak Parman, sopir pribadi keluarga Gladiola. Gladiola dan Arrina segera bangkit dari tempat duduk dan langsung bergegas membuka pintu mobil dan menaikinya. Tetapi, saat mereka berdua hendak berdiri, ada seorang anak yang datang menghampiri mereka berdua dan tampaknya anak itu membawa sebuah kotak. Mungkin itu adik kelas Gladiola dan Arrina yang datang membawa kotak. Tetapi, adik kelas yang satu ini berbeda dengan yang tadi pagi Gladiola ajak ribut.
“Ini anak yang tadi pagi kan?” tanya Arrina pada Gladiola sambil berbisik.
“Bukan. Beda orang,” jawab Gladiola. “Ngapain kamu? Oh iya, kamu siapa?” tanya Gladiola pada adik kelas yang membawakan mereka sebuah kotak.
“Ada titipan, kak. Ini,” setelah berkata bergitu dan menyerahkan kotaknya, anak itu langsung meninggalkan mereka. Tetapi Gladiola menahannya.
“Hei. Apa ini? Dari siapa? Yang jelas dong,” teriak Gladiola kepada adak tadi, tetapi anak tadi sudah pergi.
“Hadiah kali. Mungkin dia itu temannya adik kelas yang tadi pagi. Siapa sih namanya? Oh iya Azza kan?” kata Arrina sembari ikut-ikutan melihat kotak tersebut. “Buka aja kenapa sih. Aku kan juga ingin tahu apa isinya.”
Gladiola membuka tutup kotak tersebut. Kotak itu ukurannya tidak terlalu besar. Isinya ringan. Saat Gladiola telah membuka tutup kotak tersebut, Gladiola berteriak, “AAA!”
“Kenapa? Ngapain sih? Apaan isinya?” Arrina segera menarik dan merebut kotak itu.
“AAA!” Arrina ikut berteriak tetapi langsung berhenti, “Eh, hei ini kan cuman kodok mainan.” Setelah itu Arrina tertawa terbahak-bahak. Setelah mengetahui kalau itu hanya kodok mainan, Gladiola langsung terdiam. Gladiola melihat ke sekelilingnya. Terlihat semua anak yang ada di sekitarnya tertawa mendengar teriakannya barusan. Untuk apa tetap berada disitu? Mereka berdua pun langsung berjalan cepat menuju mobil. Wajah mereka berdua memerah karena malu setelah berteriak di depan anak-anak.
“Tapi tadi kodok mainan itu loncat kepadaku. Masa mainan?” tanya Gladiola setelah sampai di mobil.
“Itu kan ada per nya,” jawab Arrina. Lalu kembali tertawa terbahak-bahak.
“Uh awas aja. Beneran akan kubalas. Bisa-bisanya anak itu menuruti kata temannya untuk memberikan kotak jelek itu padaku. Kalau saja anak tadi menyebutkan siapa yang menitipkan kotak itu, akan aku langsung balas kelakuannya dan akan ku permalukan seperti dia mempermalukanku.” Wajah Gladiola merah padam.
Sepanjang perjalanan, Gladiola terus-terusan mengumpat dan menyumpah-serapah. Sehingga mereka berdua lupa kalau tujuan awalnya adalah pergi ke mall. Tetapi, karena kejadian yang membuat mereka kesal, tidak jadi deh.
“Sudah sampai, non,” kata Pak Parman selepas sampai dirumah. Pak Parman sengaja tidak mengantarkan Arrina pulang ke rumahnya terlebih dahulu, agar bias menemani Gladiola yang mood nya benar-benar sedang turun. Sehingga amarahnya tidak terlalu meledak.
Gladiola langsung turun dari mobil dan pintu gerbang pun sudah otomatis dibukakan oleh penjaga rumah pribadinya. Ia segera pergi ke kamarnya dan meluapkan rasa marahnya. Sedangkan Arrina, diantar pulang oleh Pak Parman.
“Awas saja, akan kubalas,” kata Gladiola.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar