Muhammad Ridwan Slamat

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Seperti Rembulan Kala Itu

Seperti Rembulan Kala Itu

Muhammad Ridwan Slamat

SMA Al Muslim Tambun – XI IPA 3

-

Pagi itu mentari bersinar tak terlalu terang. Angin berhembus lumayan kencang. Dahan-dahan berlambaian dari pohon yang rindang. Menandakan cuaca tak ‘kan tenang.

Aku duduk di pojok kelas ditemani oleh sebuah novel karya Rick Riordan yang sedang kubaca dan riuhnya suasana kelas. Hari ini kami akan kedatangan seorang guru baru yang nantinya akan menjadi wali kelas kami. Sayangnya aku tak begitu peduli dengan siapa kelas ini ‘kan dibina nanti.

Dari balik jendela kulihat seorang wanita berjalan dengan anggunnya menyusuri koridor yang melingkar ini. Ia mengenakan blouse putih dengan rambut hitam legam yang terurai sebahu. Semua anak kelasku terpaku menatapnya seperti melihat bidadari yang terjebak di dalam neraka, terheran-heran, mengapa ia berada di sana.

Aku kembali bergelut dengan novel yang sedang kubaca. Kuakui, dia memang cantik, anggun dan berkharsima. Sayangnya sekolah ini sudah memiliki beberapa yang sepertinya. Jadi aku rasa, yang modelannya seperti itu, hanya mampu menjadi pujaan tambahan, tanpa memasuki ruang perasaan.

Suasana kelasku semakin ricuh tatkala wanita itu masuk dan berdiri di depan kelasku.

“Selamat pagi anak-anak.” Sapa wanita itu.

“Pagi bu.” Jawab teman-temanku.

Sapaan itu dominan dijawab oleh teman laki-lakiku yang terpesona dengan kecantikannya. Dapat kulihat beberapa perempuan di kelas ini tampak tak senang dengan keberadaannya.

Ya, di kelas ini ada beberapa siswa yang terjalin cinta lokasi dan mengikat hubungan mereka dalam jalinan asmara yang disebut pacaran. Cinta fana yang mengikat dua insan dalam satu perasaan.

Aku masih tak menghiraukan wanita berblouse putih itu. Aku lebih senang membaca novel dan menikmati hariku dibanding mendengar seseorang berbicara panjang lebar mengenai kehidupannya.

“Halo. Perkenalkan, nama saya...”

“Halo bu.” Potong Budi, salah satu teman kelasku

Satu kelas hening. Semua mata tertuju pada Budi, heran mengapa bisa ia sebodoh ini.

“Oy Budi. Budibudidamdam.” Sahut ketua kelasku.

“Itu dubi bodoh. Dubidubidamdam.” Jawab Budi tak terima.

“Apalah itu. Bisa tidak kau diamkan dulu mulutmu yang bau itu. Belum selesai ngomong ibu itu tadi. Jangan asal kau potong.” Omel ketua kelasku.

“Eh iya. Maaf bu.”

Aku hanya geleng-geleng melihat kelakuan temanku itu dari balik novel yang kubaca. Beberapa temanku ada yang tertawa cekikikan. Wanita itu sempat termenung kebingungan. Pandangannya seolah mengatakan ‘Apakah aku akan menghabiskan sisa hidupku bersama anak-anak aneh ini?’.

“Iya. Tidak apa-apa. Saya ulangi ya.” Akhirnya wanita itu bersuara lagi. “Perkenalkan, nama saya Artemis. Kalian bisa memanggil saya Armis. Saya guru baru yang akan menjadi wali kelas baru kalian. Mohon kerja samanya ya.” Ucapnya sembari tersenyum.

Tanganku yang sedari tadi memegang novel bergetar. Sebuah nama yang familiar di telingaku. Mungkin ini hanya sekedar hal biasa bagi orang lain. Tapi, bagiku ini merupakan suatu hal yang sangat spesial dan langka.

“Sebelum absen satu persatu dan masuk ke materi matematika hari ini, ada yang tahu arti dari nama saya tidak?” Tanya Bu Armis.

Satu kelas hening. Tidak ada seorang pun yang menjawab pertanyaan Bu Armis. Aku berusaha mengingat. Nama yang ada hubungannya dengan Artemis. Samar-samar kudengar perbincangan anak perempuan di sebelahku.

“Hey, coba kau cari di google, apa arti artemis. Barangkali kita bisa dapat jam kosong.” Bisik salah satu anak perempuan.

“Gila kau. Aku nggak mau. Bagaimana kalau ketahuan?” Timpal anak perempuan yang satunya.

Satu kelas ‘terlihat’ mencoba berpikir, apa arti di balik nama Artemis itu. Ada yang melamun tanda ia berpikir. Ada yang menggaruk-garuk rambutnya. Kuharap ia tidak kutuan. Ada yang menjadi wartawan tiba-tiba, menanyai teman kanan kiri depan belakangnya. Dari sekian cara berpikir teman-temanku, Budi lah yang paling aneh. Ia mengeluarkan secarik kertas dan pensil. Seingatku Bu Armis menanyakan arti dari namanya, bukan cos 15 – sin 15. Aku rasa saat lahir, kepala Budi terbentur dinding Rahim sangat keras, hingga otaknya mengalami gagal fungsi.

“Tidak ada yang tahu ya. Memang sih, nama saya tidak pasaran di telinga orang-orang. Jadi Artemis itu artinya.....”

“Perburuan.” Potongku.

Sekarang aku yang menjadi pusat perhatian kelas. Satu kelas terpaku menatapku. Sial, aku benci ketika semua mata tertuju padaku.

“Maaf?” Sahut Bu Armis kebingungan.

“Dewi Perburuan. Artemis adalah nama Dewi Perburuan.” Jawabku dengan kikuk.

“Menarik. Boleh ceritakan tentang Artemis yang kau tahu?” Pinta Bu Armis.

“Gimana kalo saya aja bu?” Budi tiba-tiba berdiri dari kursinya.

“Sayangnya, saya meminta dia Budi. Bukan kamu.”

“Wah. Ibu tau nama saya?” Tanya budi dengan mata yang berbinar-binar.

“Temanmu tadikan sudah menyebutkan namamu. Tolong jangan kegeeran ya.” Bu Armis menjawab dengan senyuman.

Satu kelas tertawa melihat tingkah Budi yang tidak ada habisnya. Muka Budi memerah malu. Ia pun duduk kembali di kursinya.

“Silahkan...”

“Arga bu.” Jawabku.

“Silahkan Arga. Ceritakan tentang Artemis yang kau tahu.”

“Artemis seorang Dewi Perburuan, adalah salah satu dari mitos dewa-dewi Olympus utama. Saudari dari Apollo. Itu saja yang saya tau bu.” Jawabku singkat

“Tepat. Dari mana kamu tau semua itu?” Tanya Bu Armis penasaran.

“Novel ini.” Jawabku sambil menunjukkan novel Percy Jakson and The Olympians, novel yang sedang kubaca.

“Bagus. Memang, terkadang kalian hanya perlu membaca untuk tahu segalanya. Saya ada, guru-guru kalian ada, sebagai jembatan dalam pemberian ilmu.” Ucap Bu Armis.

Satu kelas menatap Bu Armis kagum.

“Beneran bidadari ini mah euy.” Bisik anak di depanku.

“Tapi ya. Setahu saya, membawa novel, masuk ke pasal ringan terkait membawa barang-barang di luar kegiatan sekolah.” Ucap Bu Armis sambil melirik ke arahku.

Sorot matanya berubah seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya. Dari yang hangat dan menenangkan, menjadi serius dan berwibawa. Aduh, sial. Kenapa tadi aku jawab? Keringat bercucuran di sekujur tubuhku. Aku tak siap untuk dihukum. Terlebih lagi jika novel ini disita. Ini kan novel ibuku. Mati deh aku.

“Santai Arga, santai. Saya hanya bercanda.” Ucap Bu Armis sambil tertawa cekikikan. “Oh ya. Karena Arga sudah menjawab dengan benar ya, arti dari nama saya. Hari ini kita jam kosong.” Lanjut Bu Armis.

“Yeay.” Teriak satu kelas riuh.

“Hidup Arga.” Teriak Budi.

Teriakan Budi disambut dengan tepukan tangan yang meriah seperti aku baru saja memenangi sebuah olimpiade. Aneh, aku biasanya tidak suka menjadi pusat perhatian. Tapi, kali ini aku menikmatinya. Wajahku memerah malu. Aku pun duduk kembali.

“Bu, saya mau nanya” Budi memecah riuhnya tepuk tangan.

“Iya? Silahkan” Jawab Bu Armis

“Ibu, Dewi sungguhan kah?” Tanya Budi.

“Sayangnya, saya sudah nikah Bud”

“Yah.” Jawab Budi kecewa.

Satu kelas tertawa mendengar jawaban Bu Armis. Budi terlihat muram dan lesu, kuharap mentalnya masih terjaga dan baik-baik saja.

Kelas pun berlanjut dengan pengabsenan teman-temanku.

“Baik. Saya rasa sebentar lagi waktu saya akan habis dan kalian boleh rapih-rapih dan pulang. Terima kasih untuk hari ini, sampai jumpa.” Ucap Bu Armis di menit-menit terakhir jam pelajaran.

Ia pun keluar dari kelasku disusul dengan bunyi bel, tanda jam pelajaran dan aktivitas di sekolah telah usai. Teman-temanku berbondong-bondong menyerbu pintu kelas yang lebarnya tidak sampai dua meter itu. Aku memilih untuk menetap sambil menunggu pintu itu sepi dari makhluk-makhluk agresif itu.

Diperjalanan pulang, terlintas di benakku mengenai Bu Armis, wali kelas baruku tadi. Aku melihat perbedaan dari dirinya. Sesuatu yang tak dimiliki oleh guru lain di sekolah itu. Sesuatu yang membuatnya spesial dan pantas untuk dihargai dan dikenang. Kuputuskan. Dia akan menjadi guru favoritku. Bu Artemis akan menjadi guru favoritku.

Hari t’lah berganti. Mentari muncul kembali. Burung-burung berkicau menyambut datangnya pagi. Aku tiba di sekolah lumayan lebih awal. Aku malas bila harus terjebak di tengah padatnya kendaraan ibu kota. Aku memakir motorku. Aku berjalan menyusuri lorong kelas sembari memikirkan, kelak aku akan bagaimana.

“Selamat pagi” Ucap seseorang sembari menghentakan kakinya ke tanah.

Aku terperanjat. Lamunanku hilang ke atas awan. Aku berbalik dan mencari sumber suara itu. Barangkali kepalanya bisa kujitak dua tiga kali.

“Hahahaha.”

Yang kudapati hanyalah Bu Armis yang tertawa melihatku kaget. Sepertinya guru ini memang suka menjahili muridnya.

“Maaf ya. Saya kira kamu nggak bakal sekaget itu.” Ungkapnya dengan nafas yang tak beraturan.

“Hehehe. Nggak apa-apa bu.” Jawabku.

“Pagi sekali kamu datang?” Tanya Bu Armis mencoba mengalihkan apa yang baru saja terjadi.

“Ibu sendiri juga pagi sekali datangnya.”

“Saya piket hari ini.”

“Oh. Puji Tuhan, setiap harinya saya masih Arga yang sama.” Jawabku

“Bukan begitu. Kelas 10 C sepertinya diisi oleh anak-anak yang aneh ya.”

“Ya begitu lah bu.”

Bu Armis meletakkan goody bagnya di tanah. Ia mengibas-ngibaskan telapak tanganya, tanda ia keletihan. Ia mengelap dahinya. Entah mataku yang rabun senja atau bukan, tapi aku tak melihat setetes pun peluh di dahinya.

“Ibu ngode biar saya bawain?” Tanyaku kebingungan.

“Oh, kamu mau? Silahkan ambil. Saya tunggu di ruangan saya ya.” Jawabnya sambil berjalan meninggalkanku.

“Ya Tuhan. Untung guru. Kalau bukan....”

“Satu menit Arga. Satu menit nggak sampai di ruangan saya, nilaimu melayang 5.”

Belum sempat aku mengeluh, Bu Artemis yang lebih mirip Medusa ini sudah mengancamku. Aku pun bergegas mengambil bawaannya. Sial. Apa yang dia bawa? Rasanya seperti mengangkat 5 novel Harry Potter menjadi satu. Kuharap dia tidak berniat mengebom sekolah ini. Ayahku sudah membayar uang sekolah hingga aku lulus nanti. Walaupun aku senang bisa libur.

Aku tiba di ruangan Bu Armis dengan nafas tersengkal-sengkal.

“Permisi.” Ucapku dengan nafas yang tidak beraturan.

“Ya. Silahkan taruh di situ.” Kata Bu Armis sembari menunjuk pojok ruangan. “Terima kasih ya, ga.” Lanjutnya

“Sama-sama bu. Saya pamit ya bu, mau ke kelas.” Izinku.

“Silahkan.”

Aku membalik badanku dan ingin meraih gagang pintu.

“Arga, sebentar.”

Belum sempat kubuka pintu, Bu Armis sudah memanggil kembali.

“Kalau kamu mau tanya-tanya atau cerita, pintu saya selalu terbuka.” Sambung Bu Armis.

“Ini semacam informasi yang harus saya sampaikan ke teman-teman saya atau bagaimana bu?” Tanyaku dengan kondisi otak yang sedang not responding ini.

“Tidak, hanya kamu.” Katanya sambil tersenyum.

Aku pun tersadar maksud dari Bu Armis. Kubalas senyumannya.

“Terima kasih bu.”

Aku berlari menuju kelas. Wajahku memerah malu dibuatnya.

“Yay.” Teriakku memenuhi sekolah yang masih sunyi itu.

Hari-hari berikutnya aku selalu menyempatkan diri untuk mampir ke ruang Bu Armis untuk sekedar bertanya-tanya bagaimana harinya. Ia pasti selalu menjawab, ‘Ya begini saja Arga. Tidak ada yang spesial atau sesuatu yang berbeda.’ Kadang aku bercerita tentang masalah yang bergelud di dalam benakku.

Kadang juga aku bertanya terkait materi yang tak kumengerti. Ia selalu menyambutku dengan hangat. Aku pun merasa nyaman ketika bercerita ke Bu Armis. Ia seperti ibu tiriku di sekolah. Orang yang dapat membuatku tertawa dan bahagia

Hari berganti hari, bulan kian berlalu, tahun pun t’lah beralih. Sudah 3 tahun Bu Armis mengajar di sekolah ini, tanpa sedikitpun sikapnya berubah. Tapi, hari itu.

Pagi itu, aku sedang bertengkar hebat dengan kedua orang tuaku. Aku tak sengaja memecahkan vas yang ada di ruang tamu.

“Kamu ngapain sih? Jadi orang nggak bisa diem banget” Bentak ayahku.

“Maaf yah. Aku nggak sengaja. Aku buru-buru, soalnya ini udah mau telat ujian.” Jelasku.

“Kamu punya mata kan? Pake dong matanya.” Sahut ibuku.

“Maaf bu. Kan aku nggak sengaja.”

“Nggak berguna banget sih kamu jadi anak. Barang dijaga-jagain biar nggak rusak, malah dirusak ama anak sendiri.” Balas ayahku.dengan membentak.

Aku heran. Ada apa dengan mereka. Ini hanya vas biasa yang bisa dicari dengan mudahnya di pasar.

“Oh ya. Bagaimana kalau kalian makan saja semua medali dan sertifikat olimpiadeku. Silahkan. Aku tak punya banyak waktu untuk meladeni vas murahan ini.” Jawabku dengan nada yang lebih tinggi.

Aku pergi menuju garasi. Kutancap gas motorku, pergi menuju sekolah. Di perjalanan, semua emosi memuncak di kepalaku.

Kuparkir motorku. Satu-satunya tempat yang ingin kutuju bukan lah ruang ujian, Ruang Bu Armis. Ruang di mana emosiku bisa meluap terbang ke awan.

“Bu.” Kataku ketika memasuki Ruang Bu Armis. “Saya mau cerita bu.” Lanjutku sambil duduk di sofa ruangannya.

Bu Armis yang sedari tadi membelakangiku, kini berbalik menghadapku. Tatapan matanya rapuh tak seperti dulu, kuat dan berwibawa. Aku tak menghiraukannya. Barangkali ia hanya perlu obat dari unit kesehatan. Berbeda denganku, yang terluka secara mental.

“Ibu tau nggak bu? Tadi orang tua saya aneh bu. Masa saya dibilang anak nggak berguna cuma gara-gara...”

“Arga.” Panggil Bu Armis.

Aku terdiam tidak melanjutkan kata-kataku. Mataku terpaku ke arahnya. Menunggu kalimat apa yang akan dikeluarkannya.

"Tidak semua masalah, harus selalu kamu laporkan pada ibu. Kamu harus bisa menyelesaikan masalahmu sendiri. Karena pengalaman adalah guru terbaik. Ibu punya hidup ibu sendiri. Dan kamu pun begitu.” Lanjutnya dengan nafasnya yang tersengkal-sengkal.

Aku tidak mengharapkan jawaban itu dari mulutnya.

“Ok. Ok bu. Selama ini yang saya lihat, yang saya dengar hanya seorang Artemis yang berlagak baik. Berpura-pura menjadi ibu kedua, padahal muak dengan segala cerita saya. Ok. Terima kasih bu.” Balasku dengan rasa tidak percaya.

Aku keluar dari ruangannya. Kubanting pintu sekeras yang kubisa. Aku pergi menuju parkiran, mengambil motorku. Aku pergi menuju bukit yang tak jauh dari kotaku berada. Kuteriakkan segala caci-maki dalam relung jiwa. Berharap mereka mendapat balasan yang setara.

Sayangnya, yang kudapat hanya lah derai air mata yang tak terkira. Aku duduk menangis. Orang-orang hanya berani melihatku dari kejauhan. Tidak ingin menggangguku yang sedang terluka.

Hari sudah berganti malam, kuurungkan niatku untuk pulang. Aku mampir ke taman kota. Di sana ada jembatan di atas sungai yang mengalir. Kusandarkan tubuhku. Menatap anak-anak yang bersuka cita, sementara aku diselimuti lara.

“Hey.” Sapa seorang perempuan.

Aku kenal suara itu. Suara Bu Artemis. Suaranya yang jauh lebih halus dibandingkan dengan tadi pagi. Aku tak menghiraukannya.

“Aku tahu kau pasti di sini. Ini tempat yang waktu itu kau ceritakan. Tempat di mana memori indahmu berada. Tempat menghanyutkan segala kesedihan yang tertanam dalam relung jiwa.” Lanjutnya.

Aku masih menganggapnya tidak ada.

“Begini, semua yang kau katakan tadi pagi itu tidak benar. Ibu selalu mendengarkan saat kau bercerita. Saat kau tertawa bahagia. Saat kau berlinang air mata. Terkadang, kita harus bertahan, walau hidup kian memburuk, keadaan kita terpuruk. Pasti, kita akan menemukan akhir yang bahagia dari sana.”

Tanpa sadar, mataku kembali berlinang air mata.

“Oh ya. Arga. Apa kau tahu? Artemis tidak selalu tentang Dewi Perburuan loh. Ia juga salah satu Dewi Bulan. Kau lihat?” Katanya sambil menunjuk langit-langit penuh bintang.

Mataku melihat ke arah ia menunjuk.

“Ia sedang bernaung di atas sana. Dewi Bulan. Pendar bulan bak lentera malam, memberi kita kekuatan, agar tenang dan nyaman. Menjadi pendampingnya tidak lah susah. Cukup menjadi bintang. Bintang yang menerangi dirimu sendiri, dan membantu orang yang kau cintai.” Ucapnya “Sampai jumpa Arga. Memorimu ‘kan selalu kujaga. Tetaplah hidup walau kau dihina. Dan tumbuhlah menjadi bijaksana”

Bu Artemis berjalan ke arah padatnya orang lalu-lalang.

“Tunggu” Teriakku.

Ketikaku menoleh, ia sudah hilang dibalik kerumunan orang. Belum sempat aku meminta maaf. Ia sudah pergi menghilang. Sekilas, kulihat sebuah bintang seperti mengedip padaku dari luasnya langit malam.

Kringg....

Suara ponselku menghamburkan fokusku. Kulihat siapa yang menelepon. Ayah? Mungkin ia sudah mengkhawatirkanku. Aku pun mengangkatnya dengan segera.

“Halo”

“Malam dik.” Jawab seseorang.

Itu bukan lah suara ayahku. Suara samar dibalik ponsel ayahku. Aku tahu persis seperti apa suara ayahku.

“Maaf pak, ini ponsel ayah saya. Ayah saya mana ya?” Tanyaku.

“Adik, maaf. Kedua orang tua adik, kecelakaan dan tak dapat kami selamatkan. Adik tolong ke Rumah Sakit Brawijaya sekarang ya.”

Deg...

Hatiku hancur berkeping-keping. Aku terduduk di tengah ramainya orang-orang. Kehilangan. Kehilangan yang kurasakan. Lagi-lagi, belum sempat aku meminta maaf pada mereka. Mereka pergi meninggalkanku begitu saja.

“Begitu ceritanya anak-anak. Kenapa bapak mau jadi guru. Segala pergelutan batin yang bapak rasakan.” Jelasku ke anak-anak kelas 9 B.

“Pak. Setelah orang tua Pak Arga nggak ada, bapak gimana hidupnya?” Tanya seorang muridku.

“Seperti kata Bu Artemis, hidup harus berjalan, walau keadaan tak meyakinkan.” Jawabku.

“Terus pak, nasib Bu Artemis gimana?”

“Entah, bapak juga tidak tahu. Tapi bapak berharap yang terbaik untuknya.” Harapku. “Ok anak-anak. Jangan lupa untuk menulis di buku absen dan tanda tangan. Sekretaris, tolong sebutkan tanggal berapa hari ini” Pintaku.

“4 Juli 2021 pak.” Jawab seorang anak perempuan.

Aku kaget mendengar tanggal itu.

“Maaf, tanggal berapa tadi?” Tanyaku untuk memastikan ulang.

“4 Juli 2021 pak. Hari senin.” Jawab ulang anak itu.

“Sudah 10 tahun ya pasca hari itu.” Gumamku.

“Kenapa pak?” Tanya sekretaris itu.

“Oh, tidak. Bapak mau mencatat tanggal bapak mengajar” Jawabku bohong. “Ok. Silahkan meninggalkan kelas.”

“Terima kasih pak.” Ucap anak-anak itu.

“Semoga saja mereka tidak mengalami kejadian seperti rembulan waktu itu.” Ucapku

-

Nama saya Muhammad Ridwan Slamat, biasa dipanggil Ridwan. Saya lahir di Jakarta, 11 Desember 2004. Saya bersekolah di SMA Al Muslim Tambun dan sekarang saya duduk di kelas 2 SMA. Saya memiliki hobi yang beragam dan berubah tergantung mood seperti bermain game, membaca buku, menonton film. Saya mengikuti ekskul band yang dimana padahal saya tidak bisa bermain alat musik di dalamnya. Alhamdulillah saya punya teman yang mau mengajarkan saya. Saya terbuka untuk kritik dan saran. Silakan berkomentar pada website ini, atau dapat menghubungi @m_ridwan_s untuk via kanal instagram dan [email protected] untuk via email. Terima kasih sudah berkunjung dan membaca :0

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Wah kerenn sekalk kak.

02 Jan
Balas

iya makasih

02 Jan

Wow kakak hebat. Udah masuk penulis populer paling banyak! 70k lebih! Amazing^^

03 Jan
Balas

bisa ya kak 40k views dalam sehari, kasih tau caranya dong kak

02 Jan
Balas

lebih_-

02 Jan

Jadi penasaran ya kak gimana caranya bisa sebanyak itu. Satu hari loh ini. Bener-bener keren. Hehehehee

02 Jan

Ngecheat dia gan

02 Jan

Jadi pertama, kalian harus berteman dengan orang2 yang ga punya kerjaan dan hobinya bikin temennya panik. Abis itu, kalo bisa temennya nanti ga usah ditemenin, dimusuhin aja. sekian

02 Jan

Jadi pertama, kalian harus berteman dengan orang2 yang ga punya kerjaan dan hobinya bikin temennya panik. Abis itu, kalo bisa temennya nanti ga usah ditemenin, dimusuhin aja. sekian

02 Jan

sudah kuduga, soalnya dulu jg ada yg ngecheat juga disini '^

03 Jan

wah, bagus banget loh kak! Serius! Kayak tulisan penulis popouler! Ah-iya, Artemis itu mirip buku & film Artemis Fowl ya?

23 Dec
Balas

wah, makasih ya. Aku pernah tuh denger film artemis fowl, tapi kalo bukunya sih belum. Hehehe. Tulisan kamu juga keren2 kok. Semangat buat kita.

23 Dec

Buset deh 11k views brow

27 Dec
Balas

iya nich ngab

28 Dec

Ceritanya menarik banget, saya sampai baca 70 ribu kali loh kak! kakak kayanya berbakat jadi penulis novel deh.

02 Jan
Balas

Alhamdulillah ya fren. Tapi kayaknya umur kamu ga bakalan panjang deh. Saya udah otw nih bawa c4

02 Jan

Alhamdulillah ya fren. Tapi kayaknya umur kamu ga bakalan panjang deh. Saya udah otw nih bawa c4

02 Jan

baguss ceritanyaaa

13 Jan
Balas



search

New Post