Pion
“Kakek!”
Hanya berteriak yang bisa aku lakukan. Saat itu kakek mencoba menghadang seorang copet, alhasil, kakek di tusuk oleh copet itu. Tapi, usahanya tidak sia-sia, copet itu tertangkap, kakek dengan cepat dibawa ke rumah sakit.
Menyesal, karena remaja 17 tahun sepertiku ini tidak bisa berbuat apa-apa. Sebelum copet itu berhadapan dengan kakek, aku sudah berpapasan dengan copet itu, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Aku menyingkir dari jalan, dimana copet itu berlari, berlari ke arah rumah kakek. Kebetulan kakek masih berdiri di depan pagar rumahnya. Mengantarkan kepulanganku.
“Mama? Dimana?” Aku langsung menghubungi mamaku. Harus diberitahu, bahwa sekarang kakek sedang di rumah sakit.
“Di rumah tante Lala, Yo. Ada apa? Ko suaramu panik gini?” Jawabnya.
“Kakek, ditusuk. Sekarang di rumah sakit sebelah perumahan kakek.” Dengan pelan aku beritahu, tidak tahu harus memberitahu mama dengan nada bicara seperti apa.
Tut. . .
Tanpa merespon, telpon mama matikan.
Sangat menyedihkan, remaja 17 tahun, sepertiku takut kepada seorang copet yang badannya saja sedikit lebih kecil dariku. Batinku. Duduk termenung sambil menunggu kabar selanjutnya, hanya itu yang aku lakukan.
“Kakekmu itu, kuat.”
suara mama yang tanpa kusadari sudah berdiri di sampingku sambil menatap IGD, dimana kakek berada.
“Gimana ceritanya kakek bisa ketusuk?” Tanya mama.
“Cop-copet.” Jawabku terbata-bata.
Mama diam, pandangannya tidak teralihkan dari IGD. Ayahnya dalam kondisi antara hidup dan mati, tidak mungkin mama tidak cemas, mama hanya menyembunyikannya. Gumamku.
“Pasti selamat. Kamu harus yakin.” Ucapnya dengan suara lemas.
“Ayah kapan pulang?” Tanyaku. Belum mama menjawab pertanyaan itu, aku lontarkan keluh. “Ayah itu, bertugas melindungi Negara. Tapi tidak bisa melindungi keluarga-“
“Gio!” Belum selesai, mama memotong perkataanku dengan membentak. “Kejadian ini, tidak diinginkan siapapun, tidak di rencanakan. Ini kehendak Tuhan. Ayah gak salah.”
Ya, aku tau hal itu. “Maaf ma, coba aja Gio saat itu-“
“Kamu hanya akan bernasib sama, Gio. Kamu juga, tidak perlu menyalahkan dirimu sendiri.” Mama memotong ucapanku lagi.
Walaupun belum selesai aku berbicara, mama sudah tau maksud ucapanku. Memang betul kata mama, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya anak SMA tahun ketiga yang juga seorang kutu buku. Meskipun tubuhku terbilang cukup besar, tapi aku tidak bisa bela diri, berkelahi saja tidak pernah, karena aku selalu menjaga keamanan diriku sendiri sejak TK, tidak ingin buat masalah dan tidak ingin terlibat masalah, begitulah aku.
“Ayah pulang hari Minggu, 3 hari lagi.” Mama menjawab pertanyaanku yang sebelumnya.
Dokter keluar dari ruang IGD, sekarang sedang berbicara dengan mama. Mama memberitahuku bahwa kakek selamat, dan akan segera di pindahkan ke ruang rawat inap.
“Gio, kamu pulang dulu, ya? Semuanya biar mama yang urus, kamu besok harus sekolah.” Pinta mama.
“Iya,ma.” Aku juga sudah lelah, secara batin maupun fisik. Jika hanya disesali, tidak akan berguna. Lantas, aku harus apa?
Sesampainya di rumah, aku merebahkan tubuhku. Isi kepalaku kali ini bukan penyesalan, tapi, apa yang harus aku lakukan agar ini tidak terulang kembali dan menyesal lagi?
Tanpa sadar aku tertidur. Dengan seragam sekolah hari kemarin, jam sudah menunjukan pukul 5 pagi, aku harus bersiap untuk berangkat ke sekolah. Saat sudah waktunya aku berangkat menuju sekolah.
“Mama, Gio berangkat sekolah.”
“Tunggu, Gio. Pulang sekolah nanti, tolong kamu pergi ke rumah kakek, ambil pakaian dan keperluan kakek lainnya,” Pinta mama, tangannya memberikan selembar kertas yang mungkin daftar keperluan kakek. “Oh ya, satu lagi. Catur. Pesan kakek bawain catur, lupa mama tulis di kertas itu.”
“Iya, siap.”
Catur? Kakek mau main dengan siapa di rumah sakit? Gumamku sambil berjalan menuju pangkalan ojeg. Mungkin nanti sedikit sulit karena aku belum di fasilitasi motor atau mobil.
“Catur sudah, baju-baju sudah, dan yang lainnya. . . sudah.” Gumamku sambil mengecek kembali keperluan kakek. Tidak lama aku langsung berangkat menuju rumah sakit.
“Kakek, bagaimana keadaan kakek?” Aku duduk di sebelahnya.
“syukur saja, kakek masih bisa lihat cucu kakek.” Jawabnya.
“Maaf ya kek, karena aku takut jadi-“
“Tidak perlu minta maaf, lagipula ini sudah terjadi. Gio, bawa catur, kan? Ayo main sama kakek.” Kakek mengajak aku bermain catur.
“Oh, iya kek.” Papan catur aku keluarkan bersama bidak-bidaknya.
Bermain catur ini adalah hobi ayah, juga kakek. Aku juga cukup suka sih, bermain catur.
“Skakmat!” Kakek dengan semangat menggerakan bidaknya.
Setelah 15 menit bermain aku kalah.
“Aduh, kalah. Gio lengah sama pion itu, sampai akhirnya dapet promosi dan juga buat Gio kalah,pedahal Gio kira akan menang.”
“Selalu melangkah maju, walaupun hanya satu langkah. Tidak bisa mundur, dan jika sampai ujung, pion pada kekuatan aslinya. Begitulah pion.” Pesan kakek.
Aku tidak tahu harus jawab apa, aku hanya diam.
“Kakek ingin, Gio juga seperti pion.” Katanya, tatapannya tertuju kepadaku, mata kakek menunjukan keseriusan akan ucapannya itu.
“Kenapa pion? engga yang lain? Kuda? Benteng? Ratu?” Tanyaku.
“Lihatlah perjuangannya, setiap langkahnya, pion harus terus maju agar bisa menjadi lebih hebat. Harus terus berjuang dan melangkah maju!!” Jawaban yang diberikan kakek dengan penuh semangat. “Uhuk-uhuk. . .”
“Aduh, kakek. Terlalu semangat nih, pedahal lukanya belum sembuh. Hati-hati dong kek.” Aku berikan segelas air putih untuk kakek.
Adzan maghrib berkumandang, mengingatkanku hari sudah semakin gelap.
“Kakek. Gio mau pulang setelah Maghrib ya. Besok, Gio kesini lagi setelah sekolah.” Aku pamit.
“Iya, Gio. Hati-hati di jalan ya.”
Aku berjalan keluar, di lorong rumah sakit mataku tertuju pada langit sore yang indah, karena keindahannya itu, aku tidak memerhatikan langkah kakiku.
Dug! Aku menabrak seseorang yang sedang berjalan, seorang polisi. Mama berdiri di belakangnya.
“Aduh, maaf Pakpol, saya ga merhatiin jalan.”
“Eh, Gio. Kalo jalan jangan bengong atuh.” Ucap mama.
“Iya, gapapa. Hati-hati kalo lagi jalan ya,” jawab Pak polisi. “Anaknya Bu?”
“Iya. Maaf ya Pak,” Jawab mama. Lalu mama menarik tanganku sambil menyerahkan kunci rumah kepadaku. “Ini kunci rumah, mama masak, ada di meja. Mama mau ke kakek dulu ya.”
“Iya ma.” Aku ambil kuncinya, lalu kembali berjalan lagi. Aku kurang tau mau apa polisi itu, mungkin saja minta keterangan dari kakek.
Setelah lanjut berjalan, ucapan kakek tentang pion itu aku jadi terfikirkan kembali tentang cita-citaku yang dari sejak SMP tidak aku perjuangkan. Seolah-olah ada hanya untuk menjawab pertanyaan orang-orang jika ditanya tentang cita-cita.
“Gioo, ayah pulang nih!” Teriak mama di minggu pagi.
“Iyaaa ma.” Aku berjalan menghampiri mama, ayah masih sibuk memarkirkan mobilnya.
“Ayah pulang. . .” Suara ayah, tampak kelelahan.
Kami mengobrol hanya sebentar, karena ayah ingin istirahat. Melihat ayah yang tampak gagah dengan seragamnya, semakin mengingatkanku akan cita-cita. Cita-cita aku sedari SMP adalah menjadi polisi, terdengar keren bukan?
Sudah aku fikirkan lagi, tekadku sudah bulat. Aku akan memperjuangkan cita-citaku, melangkah sedikit demi sedikit seperti pion.
“Ayah. Gio mau jadi polisi!” ucapku kepada ayah yang baru saja merebahkan badannya di sofa.
“Serius, kan?” Tanya ayah.
“Sangat!” Jawabku dengan spontan dan sangat yakin.
Ayah langsung berdiri, bersemangat sekali tampaknya. “Kamu gamau jadi lemah kan? Gamau melihat musibah yang menimpa kakek terjadi lagi kepada orang lain?”
“Ya!” Jujur saja, kejadian itu membuatku sedikit trauma dengan pisau.
“Belajar dan berlatih! Mulai dari sekarang.” Ayah menepuk bahuku, tersenyum.
Tubuhku terbilang cukup besar, tapi, tidaklah kuat. Mungkin melatih fisik adalah langkah pertama yang bagus.
Aku dibantu ayah saat berlatih. Akan sulit dan memuakan kalau latihan ini paksaan dari luar, tapi, kalau kita yang menginginkannya-bukan orang lain-terasa menyenangkan.
2 hari kemudian, hari Selasa, kakek pulang. Aku dan ayah menjemput kakek ke rumah sakit.
“Gio, ayo main catur.” Ajak kakek. Pedahal, baru saja kami sampai di rumah kakek.
“Sekarang?” Tanyaku.
“Iya dong, sekarang.” Jawab kakek.
“Aduh, kakek ini, tidak bisa ya lepas dari catur,” Canda ayah. “Yasudah, Gio main aja, barangnya ayah bisa rapihkan sendiri.”
Aku melangkahkan pionku. Perlu langkah lainnya agar bisa sampai di ujung, dan itu tidak mudah. Rintangan ada di setiap langkahnya, tidak boleh gegabah agar tidak masuk jebakan kuda, kuda kakek bersembunyi di belakang pionnya, tapi, karena pola gerakannya yang cukup menyebalkan bagiku, bisa saja pionku di makan saat langkah selanjutnya oleh kuda kakek.
“Skakmat! Aku menang!” Kali ini aku yang menang. Kemenangan yang kedua dari dua belas pertandingan.
“Hebat kamu. . .” Puji kakek. “Gio juga, seperti itu ya, melangkah maju, tapi hati-hati.”
Aku baru mengambil langkah pertama, selanjutnya tidak akan mudah dan penuh rintangan.
Pasti mendapatkan dan meraih apa yang aku inginkan. Batinku. Kalimat itu juga akan jadi mottoku, mulai hari ini.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar