Navigasi Web

Dunia Yang Suci

Hujan deras di hari Minggu pagi ini membuat orang-orang enggan keluar rumah. Begitu juga dengan Adiva, pedahal, dia dan teman-temannya berencana bermain bola di lapangan. Lapangan itu berada 20 meter dari depan rumahnya, tidak terlalu besar, dengan gawang bambu tanpa jaring. Tapi, pasti menyenangkan jika bermain bersama teman-teman.

“Yah, hujan. Bakal lama ini hujan, yasudah, apa boleh buat.” Keluh Adiva. Tapi, Adiva punya acara lain untuk mengisi hari liburnya itu, dia menyalakan keran air yang terletak di pinggir kolam rumahnya, lalu berwudhu.

Setelah selesai berwudhu, dia berjalan masuk ke kamarnya. Pintu kamar dikuncinya, dia memejamkan matanya. Dan, sebuah portal berbentuk oval dengan warna biru cerah muncul di hadapannya, tertulis alealam almuqadas di atas portal itu, Adiva berjalan masuk menuju portal itu lalu portal itu hilang bersama dengan Adiva.

Kicauan burung yang indah dengan matahari yang bersinar cerah menyambut Adiva, portal itu membawa Adiva ke dunia lain, dunia yang sangat beda dengan bumi, kota yang sangat berbeda dengan Jakarta.

“Assalamualaikum” Salam Adiva kepada temannya yang sudah menunggu di depan portal itu.

“Waalaikumsalam, Adiva.” Jawabnya. Teman Adiva ini namanya Yusuf, remaja berusia 15 tahun, seperti Adiva.

“Dunia ini, selalu membuatku kagum. Pedahal, sudah dari umur 10 tahun aku berkunjung kesini.” Adiva terpesona dengan keindahan alamnya, pohon menjulang tinggi, rumput yang subur, dan juga kota yang bersih nan indah.

“Kok kamu baru datang kesini lagi, Adiva? Sudah satu minggu ini kamu belum berkunjung.” Tanya Yusuf.

“Iya nih, Suf. Aku harus belajar untuk ulangan besok. Tapi, jenuh kalau belajar terus, jadi aku berkunjung kesini.” Tutur Adiva.

Mereka berdua berjalan menuju kota yang indah itu, setiap orang yang Adiva kunjungi di perjalanan selalu dengan senyum di wajahnya. Di dunia ini memang tidak ada teknologi, tapi, ada sihir. Kekuatan dari sihir itu berdasar kepada Al-Qur’an, yang memiliki kekuatan terbesar adalah orang yang hafal dan paham seluruh isi kitab suci Al-Qur’an.

“Diva! Yusuf!” Seseorang berteriak menyapa dari atas bangunan yang jaraknya tidak jauh dari mereka, bangunan kosong dan kecil.

Yusuf dan Diva berlari menghampiri orang tersebut, dia adalah Raka. Salah satu teman Diva dan Yusuf, Raka juga tinggal tidak jauh dari rumah Diva di bumi, bahkan satu sekolah.

“Aku kira, kamu bakalan maksain main bola dan hujan-hujanan, Raka.” Canda Diva.

“Jee, besok kan kita ulangan. Kalau sakit, aku gabisa masuk sekolah nanti.” Jawab Raka.

“Hari ini, bagaimana kalau kita terbang keliling kota, setelah itu kita makan di rumahku.” Usul Yusuf. Yusuf adalah manusia yang berasal dari dunia ini.

“Ayo deh.” Raka setuju.

“Yaudah ayo, jangan lama-lama ya, karena gak ada perbedaan waktu antara dunia ini dan dunia asal kami.” Diva juga setuju.

Mereka bertiga mengaktifkan sihirnya, tubuh menjadi ringan dan melayang, Yusuf dan Raka sudah sangat ahli dalam sihir itu.

“Ayo Diva, nanti ketinggalan loh.” Ucap yusuf.

“Okey ayo kita meluncur!” Diva menyusul kawan-kawannya itu.

Tidak ada sampah sama sekali di dunia ini, sampah langsung dimusnahkan menggunakan sihir. Hewan-hewan di dunia ini berbeda dengan hewan yang ada di bumi, kuda memiliki sayap disini, domba pun badannya sangat besar.

“Hey, Diva! Kau ingat kesan pertamaku saat pertama kali terbang?” Tanya Raka.

“Tentu saja aku ingat,” Jawabnya. “Wadoh, elit banget. Gitu kan?”

“Hahaha, ngakak abis.” Mereka tertawa. Dua jam lamanya mereka terbang, tentu saja hal itu membuat mereka lelah, juga lapar.

“Sudah, yu? Kita ke rumahku, makan.” Ajak Yusuf.

“Yasudah, ayo kita makan. Sudah lapar juga ini perut.” Sahut Raka.

Diva hanya mengangguk. Mereka bertiga langsung terbang menuju rumah Yusuf, baru saja sampai di depan pintu, aroma makanan yang sangat lezat sudah tercium.

“Kari! Ini kari!” Diva sekarang yang paling semangat untuk makan, bagaimana tidak, makanan favoritnya akan dihidangkan.

“Sabar dulu, Assalamualaikum, Ibu.” Yusuf membuka pintu.

“Waalaikumsalam, ayo sini anak-anak. Ibu udah masak nih.” Jawab Ibu Yusuf.

Mereka bertiga masuk. Ibu Yusuf sudah menganggap Diva dan Raka seperti anaknya sendiri, karena mereka sudah sangat dekat saat usia Diva dan Raka masih 10 tahun.

Mereka makan dengan lahap, sebelum kenyang mereka sudah berhenti.

“Aku pulang duluan ya, Diva, Yusuf, Ibu Yusuf,” Raka pamit pulang. “Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.” Jawab yang lain dengan kompak.

“Sebentar lagi deh, baru aku akan pulang.” Gumam Diva.

Kini hanya tinggal Diva dan Yusuf. Mereka bersantai di balkon rumah. Langit sudah berwarna jingga, menandakan sore hari. Diva harus segera pulang.

“Aku pulang ya, Yusuf. Assalamualaikum.” Diva pamit.

Diva terbang menuju tempat awal dia datang, memejamkan matanya. Portal itu terbuka, dia kembali ke rumahnya.

Portal itu membawa Diva kembali ke kamarnya, dia keluar dari rumahnya, hujan sudah reda dan hari sudah sore.

“Aduh, besok ulangan akhir semester ya. . .” Diva bergumam. Dia kembali ke rumahnya.

Hari pertama ulangan. Diva sudah siap, dia berangkat ke sekolah dengan sepedanya. Ulangan jam pertama lancer-lancar saja, dia tidak mengalami kesulitan, menjadi orang pertama yang membalik kertas ulangannya, tanda bahwa dia selesai mengerjakannya.

“Diva, sudah?” Tanya guru pengawas.

“Sudah selesai, Pak.” Jawabnya. Dia melirik ke arah Raka, tampak tenang, tapi, tidak kunjung selesai juga. Apa dia kesulitan dengan soal mudah ini? Batin Diva.

Begitu juga jam kedua di hari pertama ulangan. Diva selesai pertama, Raka selalu terakhir.

Di hari kedua, jam pelajaran pertama adalah mata pelajaran matematika. Soalnya rumit-rumit, membuat Diva pusing. Banyak temannya yang ragu dalam mengerjakan soal, tapi, karena Diva sangat percaya akan kemampuannya, tanpa ragu dia bisa mengisi soal-soal matematika yang rumit itu.

Raka selesai terakhir lagi. Jam selanjutnya, juga keesokan harinya selalu seperti itu sampai hari terakhir ulangan. Ulangan berakhir di hari Jumat, dan rapot dibagikan pada hari senin.

Sabtu pagi yang cerah, Diva, Raka, dan teman-teman sekolahnya akan bermain bola. Mereka sudah bersiap di tepi lapangan, dibagi menjadi dua tim, Diva dan Raka ada di tim yang sama. Mereka bermain tanpa terikat aturan waktu permainan bola pada umumnya, mereka berhenti ketika lelah.

Minggu ini, lagi-lagi hujan turun deras. Seperti biasa, Diva akan berkunjung ke alealam almuqadas. Dunia yang suci, dimana portal akan dibuka ketika jiwa dan raga dalam keadaan yang suci.

Kali ini hanya ada Diva dan Yusuf, entah kemana perginya Raka itu.

“Si Raka itu, lagi menangis karena tau nilainya akan kecil, kah? Wajar saja, dia selalu selesai terakhir sih. Itu sudah membuktikan dia kesulitan.” Gumam Diva. Dia sepertinya sangat yakin akan apa yang dia ucapkan.

Dug. . . dug. . .

Jantung Diva berdetak sangat kencang, sampai terdengar olehnya. Pandangan Diva sedikit kabur. Awalnya itu semua Diva tahan, tapi, timbul hal lainnya, kini mual dia rasakan.

“Yusuf. Sepertinya, aku sakit. Aku mau pulang aja ya.” Kata Diva yang lalu berjalan masuk ke portal, jalannya sempoyongan.

Kok, Yusuf tidak menjawab ya? melirik juga tidak. Batinnya. Memang, setelah mual yang dialami Diva, wajah Yusuf seperti kebingungan, seolah bertanya, kenapa aku disini?

Dia langsung merebahkan tubuhnya di Kasur, “Sepertinya kemarin aku terlalu berlebihan saat bermain bola.” Ucapnya di dalam kamar, tidak lama, Diva sudah tertidur pulas saja.

“Ibu, jangan lupa datang ke sekolah ya, hari ini.” Diva mengingatkan kembali ibunya.

“Iya, ibu ingat. Kamu mau berangkat sekolah? Memangnya sudah sembuh?” Ibu Diva tampak khawatir akan kondisi anaknya.

“Pagi tadi, Diva udah ngerasa sehat lagi kok bu.” Jawab Diva.

Di hari pembagian rapot ini, SMP Utami, sekolah Diva, membebaskan siswa dan siswinya dari kegiatan belajar. Sebetulnya tidak diwajibkan untuk datang, tapi, hari yang seperti ini yang diinginkan banyak siswa dan siswi, tetap datang ke sekolah, bertemu teman, dan bermain.

Tidak lama setelah diva berangkat sekolah, ibunya menyusul, ibunya datang tepat waktu saat pembagian rapot. Beruntung karena mendapatkan absen pertama, tidak lama, rapotnya sudah dalam genggaman ibunya.

“Peringkat berapa bu?” Tanya Diva kepada ibu yang baru saja keluar dari kelasnya.

“Kamu. . . dapat peringkat delapaaan. Selamat ya, Adiva. Anak ibu hebat.” Jawab ibu.

“Hoo, i-iya.”

Kali ini Diva sangat penasaran dengan peringkat kawannya itu, dia rela menunggu sampai wali Raka-kakaknya-keluar dari kelas. Ibu Diva sudah kembali ke rumah, karena jika menunggu sampai selesai, itu akan memakan waktu dua jam lamanya.

Akhirnya, kakak Raka keluar dari ruang kelas, kakanya menghampiri Raka yang tengah duduk di bangku putih yang terletak di sebelah pintu kelas. Tidak terdengar apa yang mereka bicarakan, setelah selesai, Diva langsung menghampiri kawannya itu.

“Peringkat berapa niich.” Diva ikut duduk di bangku itu, lalu merangkul Raka.

“Em, ke. . . tiga.” Jawabnya dengan senyum tipis terukir di wajahnya.

Diva terdiam sesaat, melepas rangkulannya dan berdiri. “Apaan senyumnya itu? seperti mengejek.” Gumamnya, kini wajahnya tampak masam. “Yasudah, udah beres kan ya? aku mau pulang ya.” Diva bergegas pulang.

Raka kebingungan, kenapa kawannya hari ini?

“Ah, kesal!” Teriak Diva di jalanan yang sepi, kali ini dia berlari menuju rumah, sesampainya di rumah, dia mengambil wudhu. “Lebih baik aku bermain di dunia sana.”

“Kok? Kenapa gak, bisa ya? mungkin wudhunya.” Diva mengulangi wudhunya.

Masih tidak bisa, dia ulangi lagi dan mencoba lagi, tapi, gagal.

Tiba-tiba, terbuka portal serupa, tapi, bukan milik Diva, melainkan Raka. Raka muncul di kamarnya.

“Wudhumu tidak salah.” Kata Raka.

“Kenapa kamu disini? Keluar, bisa?” Tanya Diva, nadanya sedikit tinggi.

“Yusuf lupa sama kamu, loh.” Nada bicara Raka tetap rendah.

Diva sangat terkejut. “Tolong, buka portalmu.” Pinta Diva.

Raka membukakan portal miliknya, Diva mencoba masuk. Tapi, dia masuk ke ruangan yang hampa, kosong isinya. Dia berlari kesana kemari mencari petunjuk, tidak dia temukan.

“Hatimu! Diva!” Teriak Raka dari luar portal.

Dia mengerti maksud Raka, sangat mengerti. Air yang hangat keluar dari kedua matanya, tanpa suara. Mengingat kembali aturan yang ada untuk masuk ke dunia yang suci, bahwa jiwa dan raga harus dalam keadaan yang suci, Diva kali ini dipenuhi rasa iri, iri akan keberhasilan kawannya, Raka.

Teringat kembali hal tercela yang dia lakukan sebelumnya, merendahkan Raka. Menganggap dirinya maha tahu. Dan tidak bersyukur akan apa dia dapat, iri kepada kawannya itu, dan, itu semua memberhentikan kemajuan Diva. Daripada bersyukur dan terus berusaha, Diva malah iri, dan mungkin saja berniat menjatuhkan temannya itu.

“Jangan ikuti kata setan! Ikuti kata hatimu!” Teriak Raka. “Sungguh, setan sangat hebat menjatuhkan seseorang, dan juga menghancurkan duniamu!”

“Kenapa? Kenapa kamu ini, baik sekali?” Teriak Diva, kini portal dan ruang hampa menjauh.

“Kita teman!” Jawab Raka, kini dia panik karena portalnya akan menjauh dan menutup. “Kembali, Diva! Lari dan melompatlah kesini!”

Diva tidak menjawab, dia duduk di tengah ruangan hampa itu, menangis, dan tersenyum kepada Raka, Raka mencoba masuk untuk menarik kembali Diva, tapi, dirinya malah dibawa ke dunia yang suci, ruangan hampa itu tidak bisa dicapai Raka.

Raka terbang ke langit, sangat tinggi, sampai dia tidak mampu untuk lebih tinggi, berteriak dan menangis.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post