MUHAMMAD DIMAS

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

2. Jalan yang kupilih #Tanah harapan

2

Jalan yang kupilih

Tiga hari dirumah menikmati kesenangan pertama pulang dari pondok, kulihat semua keadaan kampung halaman yang masih menampakkan keindahan alamnya, hanya ada perbaikan jalan yang semula hanya bisa dilewati oleh satu kendaraan roda empat saja tapi kini diperlebar hingga cukup dilewati dua kendaraan beroda empat.

Semua kegiatan yang diajarkan di pondok, sebagian aku aplikasikan. Shalat dhuha, shalat tahajjud dan tak lupa menambah hapalan tahfidz. Semua tentang pondok mulai dari pembelajaran, pengajian dan kegiatan sehari-hari aku ceritakan kepada ummi sekalian memberikan buku catatan yang menjadi tolak ukur selama di pondok. Setelah semuanya aku ceritakan, giliran mengadukan keluhan dan alasan diriku yang menyebabkan tidak betah dan pindah.

“Semua pesantren tidak ada yang sempurna, bahkan pesantren terkenal sekalipun pasti memiliki kekurangan baik dari segi fasilitas kah, manajemen kah, ataupun program, pasti diantaranya ada salah satu. Atau mungkin semuanya tergantung dari mana orang lain menilainya, begitu juga menurut penilaianmu. Tapi menurut ummi memang hal wajar saja sebab kamu santri baru dan belum bisa beradaptasi, sabarlah tahan sampai kamu merasa benar-benar betah, itupun kalau kamu sanggup kalau pun tidak, ummi tidak memaksa kamu untuk tetap disana. Ummi hanya menyarankan agar kamu tetap mondok dimanapun tempatnya”. Ucapnya yang selalu mengetuk hatiku.

“Kalau ummi mengizinkan, aku yakin akan memilih apa kata hatiku untuk merantau ke tempat lain” balasku dengan percaya diri.

Sekilas aku langsung ingat ketika melihat keindahan langit, seonggok bulan purnama yang kalah dengan bintang-bintang berserakan, tapi akhirnya bulan yang bisa bertahan artinya dia menang. Mungkin kalau di filosofikan bulan sebagai diriku yang mempunyai keinginan mencari pesantren sendiri dan bintang-bintang sebagai ummi, bibi dan sofwa yang menganjurkan pesantren di sana. Tapi kini nafsuku mengatakan yang sebenarnya, kini bulatlah jalan yang kupilih, pindah.

Usailah waktu pulang, kini aku kembali ke pondok ditemani ayah dan kakak yang sama-sama telah menyetujui keputusan untuk mengangkatkan kaki dari pesantren Al Mujahidin ini. Kami temui pak kiyai menjelaskan semua yang dialami selama di pondok dan meminta nasihat untuk melanjutkan pindah ke pesantren lain. Biarlah ayah yang menjelaskan semuanya karena aku tahu ayah jago bicara karena dia seorang tokoh di masyarakat.

Aku hanya tertunduk malu ketika ayah menyampaikan keluhanku yang mungkin akan menyinggung para mudarris dan mudarrisah tentang segala kesibukan mereka yang aku adukan. Firasatku mengatakan mungkin aku dianggap santri yang paling berani menyampaikan keluhan langsung kepada pak kiyai, akankah pak kiyai marah?

Tapi firasatkku salah mengatakan, sebaliknya pak kiyai malah menerima keluhanku dan merupakan sebuah bahan introspeksi bagi para mudarris. “Kiyai tidak akan menyalahkan Fatir tapi kiyai ucapkan terima kasih atas usulannya. Dan kiyai tidak memaksa Fatir untuk tetap disini karena itu hak untuk menentukan masa depannya, tapi kiyai anjurkan untuk melanjutkan ke pondok pesantren lagi”.

“iya, sebagai ayah Fatir saya pun menghendaki demikian pak kiyai”.

Akhirnya penjelasan ayah mampu membuktikan semuanya. Kami pun meminta do’a dan restu dari pak kiyai semoga mendapatkan pesantren yang lebih baik.

Tak lupa aku berpamitan kepada semua teman-temanku yang tak menyangka akan kepergian ku yang baru menginjak dua bulan lebih. Sofwa yang tahu akan kepindahanku kaget dan menangis tak mau kutemui, karena mungkin dia tidak punya keluarga dekat di pondok.

Aku mangangkatkan kaki dari tempat ini merantau ke tempat lain yang menurutku layak, aku berjanji tidak akan mengecewakan ummi dan ayah yang telah menanggung biaya untuk sekolahku. Kutulis tanggal kejadian ini di buku catatanku.

“20 Agustus 2015, Jalan yang kupilih, merantau ke tanah yang lain, selamat tinggal pesantren lamaku....Al-Mujahidin....

Kami bertiga sudah mencari-cari ke berbagai tempat terhitung sekitar tiga pesantren dan belum juga mendapatkan yang sehati menurutku perbedaan dari yang sebelumnya tidak beda jauh mungkin hanya fasilitas saja yang beda, tentang sistem semuanya hampir sama. Memang susah sekali mencari yang berbeda dari segi sistem. Mungkin aku harus menunda beberapa hari untuk mencari-cari yang mungkin cocok dengan keinginanku.

Dengan hati yang berat aku memutuskan untuk menunda saja, Kulihat wajah ayah yang tertunduk kecewa karena ulahku yang neko-neko untuk urusan masa depan, dia tak banyak berkata-kata kepadaku hanya pertanyaan “cocok atau tidak”. Di sisi lain kakakku yang terlihat lelah karena tak henti-hentinya mengendara sampai tangannya terasa keram, dia yang selalu lebih hati-hati memilihkan pesantren untukku dan tidak ingin aku mengalami hal yang sama terulang, karena dia juga mantan anak pesantren di masanya.

Kalau ada sebuah pertanyaan kenapa tidak di pesantren bekas kakakku?. Mungkin aku bisa menjawab terlalu mainstream, karena diriku menyukai hal yang baru dan bergelut di dalamnya. Sebenarnya pesantren yang bekas kakakku itu pernah aku lihat dan menurutku itu bisa disebut pesantren salafiyyah[1] yang hanya mondok saja tak ada sekolah. Semua asramanya masih terbuat dari kayu dan kamar mandi yang terpisah lumayan jauh lah dari asrama. Lalu pesantren seperti apa yang aku cari, modern kah? Atau salafi kah?. Mungkin perlu waktu untuk memikirkannya.

Satu hari dirumah setelah lelah mencari-cari pesantren yang cocok, aku mulai bingung dengan keadaan ini. Tapi aku tidak boleh menyerah begitu saja, ada satu hal yang tersirat dihatiku yaitu mengadukan lewat sepertiga malam. Hatiku mulai tenang ketika problem, masalah yang kuhadapi tersalurkan lewat do’a dan kini aku mulai menemukan jalannya, aku ambil saja jalan tengah yaitu pesantren modern namun masih memiliki kegiatan salafiyyah.

Ibu Sofwa yang nampaknya belum tahu tentang kepindahanku, dia terheran-heran mengapa aku bisa ada dirumah.

“Fatiiir” teriaknya.

Aku melirik ke arahnya, ketika aku baru saja keluar lewat depan rumah. Aku pun menemuinya karena rumahku berhadapan dengan rumahnya.

“Sejak kapan kamu di rumah?”

“Dua hari yang lalu bi”

“Kenapa kamu pulang?, memangnya ada masalah?”

Aku mulai menarik nafas kemudian menjelaskan alasanku.

Setelah panjang lebar Ibu Sofwa mendengarkan penjelasan mengenai kepindahanku, dan kelihatannya dia mulai khawatir yang aku alami akan dialami juga oleh Sofwa. Lebih baik aku pulang saja daripada menambah kekhawatirannya dan kini matanya mulai berkaca-kaca.

“Assalamu’alaikum bi” salam penutupku.

“Wa’alaikum salam” jawabnya lirih.

Usailah waktuku istirahat menunggu kepastian, dan pagi ini aku akan merantau ke tempat jauh mencari pesantren yang aku impikan dan akan menjadi tempat bersejarah mewujudkan semua harapan-harapan.

Setelah perjalanan yang melelahkan ini, akhirnya aku menemukan pesantren yang menurutku cocok dan sehati ketika pertama kali aku lihat terpampang spanduk besar bertuliskan “PONDOK PESANTREN TORIQISSALAM. lebih berwarna, bersih, segar dan megah layaknya sebuah istana.

Seperti biasa aku ditemani ayah dan kakak yang selalu setia dan sedia mengantarku kemanapun tujuannya, kami masuk ke ruang pendaftaran.

Beberapa do’a yang kuhafal aku baca sebelum mulai mengerjakan soal. Aku mulai mengisi kertas soal yang berjumlah tiga lembar, aku kerahkan semua kemampuanku untuk menjawab soal ini dan bila perlu aku berulang kali membaca bismillah di setiap soal yang diisi, “semoga bisa lulus” ucapku dalam hati.

Tak beberapa lama sekitar 30 menit aku mengisi soal yang berjumlah tiga lembar itu, aku berdo’a dengan sekemampuanku dibantu ayah serta kakakku dan akhirnya aku menerima hasil jerih payahku. Terpampang nilai 85 dikiri sebelah atas soal, aku mengacungkan kertas kepada ayah dan kakak mereka senyum lebar bahagia. Lafadz hamdalah tak henti-hentinya aku ucapkan. Dan aku resmi jadi santri di pesantren ini. Terima kasih ya Allah.

[1] Yang berarti salaf atau terdahulu, semua kegiatannya mengacu kepada zaman sebelum modern diantara kesehariannya; masak, kerja bakti dan sorogan kitab

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post