1. Pertentangan batin #Tanah harapan
1
Pertentangan batin
Fatir al fatih, adalah nama yang disematkan oleh orangtua untuk dirinya. Sebuah nama yang berarti pencipta dan Al fatih dari kata fataha yang artinya membuka. Harapan orang tuanya semoga menjadi seorang yang dibukakan pintu ilmu dan kebaikan serta dapat menciptakan diri menjadi orang yang sukses baik dunia maupun akhirat dan terkhusus bermanfaat bagi orang lain.
Fatir yang mempunyai postur tubuh tidak terlalu tinggi namun perawakannya tegap sempurna, rambutnya lurus dan panjang yang dilipatkan ke belakang, wajahnya tak pernah menampakan kesedihan tapi hanya keceriaan lah yang selalu ia tunjukan. Wataknya yang pantang menyerah, suka menolong dan penasaran dengan hal yang baru dia temukan. Selalu akrab dengan siapa saja yang membuat semua orang nyaman akan kehadirannya.
Tempat tinggal Fatir terletak di sebuah kampung bernama Jatinagari yang mempunyai kekayaan alam yang indah rupawan. Pesisir pantai yang luas membentang, pasirnya yang kuning cerah terang, airnya yang jernih tembus pandang hingga nampak sampai ke dasaran yang penuh dengan batu karang, dihiasi tumbuh-tumbuhan laut berwarna-warni yang nyaman di pandang, hingga ikan pun tampak berlalu-lalang mondar-mandir dengan riang.
Sejauh mata memandang, terumbuk karang besar ditengah lautan tampak berwarna hijau karena dipenuhi pepohonan, bergerak-gerak mengikuti alunan angin yang tenang. Beberapa nelayan pun nampak terbawa arus ke tengah lautan.
Kebun-kebun subur dipenuhi berbagai varian tumbuhan hingga menghasilkan buah-buahan dan sayur-sayuran dengan berbagai rasa yang dirasakan, sungai yang jernih mengalir bisa dimanfaatkan para pekebun untuk menyiram tumbuh-tumbuhan, itulah usaha yang telah mereka lakukan sampai hari panen tiba.
Lapangan peternakan yang luas ditumbuhi rerumputan hijau dan segar hingga tak ada sapi, kambing dan domba yang kurus karena kelaparan. Ditambah lagi para peternak yang setiap hari mengurus hewan ternaknya dengan sepenuh hati.
Jadi nampak lengkaplah di kampung itu, ada para nelayan, pekebun dan peternak yang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
Selesai sudah Fatir menempuh pendidikan pertamanya. Sekarang dia akan merantau ke tanah yang belum dia pijak sebelumnya dan akan membuatnya terkagum-kagum dengan dunia baru yang dapat memberikan secercah harapan bagi dirinya.
Aku telah memikirkannya matang-matang dan yakin akan akan belajar lebih sungguh-sungguh. Hatiku begitu geram ingin segera menuju tempat sesak dengan orang-orang yang akan sama-sama berjuang menentukan nasibnya sebagai mujahid pencari ilmu.
Hari esok adalah hari testing seluruh peserta yang pasti menurutku datang dari berbagai pelosok. Begitu juga aku dan Putri sofwa keponakanku yang sudah selesai mengisi formulir yang telah dibagikan dua hari menjelang hari kedatangan testing. Kami akan tinggal di pondok entah berapa tahun tapi yang jelas sampai ilmu kami cukup. Berarti kalau seandainya diterima disana aku resmi mendapatkan tittle “SANTRI” yang terkenal dengan kehidupannya serba mandiri.
Sofwa terus memberikan informasi seputar sekolah, dia memberikan selembar brosur kepadaku. “Silahkan kamu perhatikan brosurnya, tapi kita sambil ngobrol-ngobrol didepan rumahku” ajaknya sambil menarik tanganku.
Setelah ngobrol ngalor-ngidul ditemani dengan secangkir jus alpukat, aku baca dengan seksama membolak-balikan brosur itu dan terhenti ketika melihat program yang tertera disana.
Program Harian:
· Menghafal dua mufradat B. Arab dan B. Inggris
· Membuat cerita dalam B. Arab dan B. Inggris
· Sholat dhuha bersama
· Setoran hafalan Tahfidz Al- Qur’an
· Kaligrafi
Program Mingguan:
· Muhadoroh
· Praktek percakapan B. Arab dan B. Inggris
· Pencak silat
· Turnamen catur
Program Bulanan:
· Muhadoroh akbar
· Milad pesantren
Setelah aku perhatikan, ternyata kalau melihat kemampuan hanya sedikit yang aku minati. Merinding rasanya ketika tertera Percakapan B. Arab dan B. Inggris. Sejenak aku berfikir, itupun kalau aku diterima. “Ya kalau tidak diterima pun paling tidak aku pernah meninggalkan kertas soal plus jawabannya disana” suara hatiku berucap. Aku tertawa sendiri dan tak sadar sofwa dan ibunya yang merupakan bibiku, sudah dari tadi memperhatikanku yang cengengesan sendiri. Aku tertegun malu melihat mereka dengan tingkahku yang aneh tadi.
Bibiku terus memperjelas isi brosur itu seakan ia sudah faham betul apa saja yang akan aku lakukan. Sampai aku pun mengangguk-ngangguk faham isi brosur itu. “kamu akan mondok disana, bibi yakin kamu akan betah. Pokoknya kamu cocok mondok disana dengan anak bibi si Sofwa”. Ucapnya, seperti kami akan lulus testing saja.
“terima kasih bi”. Balasku dengan wajah senyuman.
Aku pamit meninggalkan mereka. Di perjalanan pulang ke rumah seketika di fikiranku terngiang “bagaimana ketika aku sudah mondok disana?”. Hatiku berpaling “Aku belum tentu yakin tentang pesantren itu, karena atas ajakan bibi, Sofwa dan perintah ummiku yang harus mondok. Tapi nafsuku ingin mencari pesantren lain. Apakah sebaiknya aku ikuti saja ajakan itu?, atau mengikuti nafsuku?. Entahlah.
Mentari telah menyingsingkan sinarnya, sepi kemudian gelap. Tapi sinarnya berganti menjadi bulat sempurna memantulkan cahayanya menerangi alam semesta, bulan purnama. Bintang pun memancarkan sinarnya sendiri tak mau kalah dengan bulan purnama yang hanya sebatang kara, maka dia mengajak pasukannya ikut menerangi alam ini, dan tampaklah bintang-bintang yang berserakan mengalahkan sebatang bulan purnama.
Aku yang sudah melaksanakan shalat maghrib segera mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa esok hari menjelang kedatangan, tampaklah satu koper besar yang siap dibawa. Semuanya telah siap, aku beranjak naik ke lantai dua rumah dan menggelar kasur di depan teras meratapi dan mentafakuri langit yang sungguh sangat terang nan indah. Entah apa maksud benda-benda langit itu, satu bulan purnama dikelilingi bintang-bintang yang berserakan.
Aku membayang-bayangkan hari kedatangan besok, aku testing, lulus dan sah diterima menjadi santri di pesantren itu. Hingga kantuk pun mengalahkan ku dan akhirnya tidur pulas.
Alunan adzan subuh yang merdu segera membangunkan dari alam bawah sadarku. Aku segera bergegas mengambil air wudhu dan pergi menuju mesjid. Aku lirikan mataku ke langit masih nampak bulan purnama sebatang kara, dan kemanakah bintang-bintang yang berserakan tadi malam?. Apakah bintang-bintang mengundurkan untuk mengeluarkan sinarnya?, tapi mengapa satu bulan purnama itu masih setia menerangi alam ini?.
Sambil berjalan aku terus memikirkan hal tersebut, apa maksud dari semua itu buatku?, hingga tak sadar aku telah di depan mesjid yang telah ramai dengan orang-orang yang akan melaksanakan shalat berjama’ah subuh.
Usailah shalat bejama’ah, aku bergegas mempersiapkan diri untuk keberangkatan pagi ini dibantu ummi merapihkan semua barang-barang yang sudah dipersiapkan sejak malam. Semuanya beres, aku akan diantar oleh ayah dan kakak menggunakan sepeda motor, berbeda dengan Sofwa yang akan menggunakan mobilnya ditemani oleh keluarga besarnya.
Aku berpamitan kepada ummi, lalu aku peluk kuat-kuat serasa kami tidak bisa saling sapa lagi seperti hari-hari biasa. “Nak, jadilah anak yang sholeh, selalu ta’at kepada guru-gurumu disana, perhatikan baik-baik setiap ilmu yang disampaikan dan belajarlah dengan sungguh-sungguh supaya kamu dapat meraih harapan dan cita-citamu”. Ucapnya dengan suara lirih diikuti isak tangis.
“Baik ummi, aku akan buktikan” balasku ikut terharu atas nasihatnya.
Tak lupa aku berpamitan kepada ustadz-ustadz dan guru-guru disekolah yang telah sabar mendidikku hingga dapat melanjutkan pendidikan selanjutnya.
Berat sekali meninggalkan orang yang berjasa telah dalam hidup dan juga tanah kelahiran. Tapi bagaimana lagi ini adalah jihadku menimba ilmu di tanah orang lain demi menentukan nasib di masa depan.
Aku melambai-lambaikan tangan kepada ummi dan aku teriakan salam terakhir kepada beliau. Dari kejauhan tampaklah ummi berdiri melambaikan tangan yang semakin mengecil hingga hilang dari pandangan.
Dua jam perjalanan, sampailah di tempat tujuan. Nampak tulisan spanduk besar bertuliskan Pondok Pesantren Al Mujahidin. Telah banyak orang-orang yang akan mengikuti testing, aku, Sofwa serta keluarga masuk menyusuri gang menuju tempat pendaftaran ulang yang dijaga oleh dua orang santri putra berpeci hitam mengenakan jas biru plat hitam.
Aku segera minta izin pamit melihat-lihat lingkungan dan fasilitas di seluruh komplek pesantren ditemani oleh satu orang santri yang merupakan rois[1] asrama.
Sebenarnya fasilitas yang aku lihat tidak seperti yang aku bayangkan, hanya sebuah lapang serba guna, asrama putra-putri dan lima kelas. Semuanya tidak ada bangunan berlantaikan dua, tiga apalagi empat. Hanya bangunan yang di dak saja yang mungkin akan disambung dengan lantai berikutnya.
Komplek pesantren yang dikelilingi rumah-rumah warga disekitarnya terlihat sumpek dan tidak kondusif, karena banyak orang berlalu lalang keluar masuk komplek pesantren dan wajar saja karena itu jalan umum yang memisahkan antara asrama putra dan lapangan, walaupun jalan itu cukup untuk dua pengendara sepeda motor.
“ Sebenarnya aku sedikit kecewa” tiba-tiba hatiku berbisik.
Setelah 10 menit melihat keadaan pondok pesantren, akhirnya testing pun dimulai dan semua peserta dipersilahkan masuk ke ruangan yang telah ditentukan.
Satu jam berlalu, bel telah dibunyikan tanda berakhirnya testing tinggal menunggu pengumuman kelulusan. 20 menit menunggu, akhirnya pengumuman kelulusan dipaparkan melalui kertas selembar yang ditempel di papan pengumuman.
“ Haaah, 56 peserta yang ikut testing, aku kira akan lebih dari 100 orang” hatiku menggerutu.
Aku dan Sofwa mencari-cari nama kami, dan itu dia “ Fatir Al Fatih” di urutan ke-7 dan “ Sofwa Putri” di urutan ke-9. Dari 56 peserta yang lulus hanya 35 orang, tapi syukurlah aku bisa lulus. Tinggalah aku masuk ke asrama untuk berkemas-kemas merapihkan pakain di lemari.
Selesai sudah semuanya, giliran aku untuk hidup mandiri tanpa orang tua menemani, hanya mudarris-mudaris[2] pondok yang aku anggap sebagai orangtua sementara. Ayah dan kakakku beserta Sofwa akan meninggalkan kami, kami pun bersalaman dengan mereka, Sofwa yang dari tadi terus menangis tak henti-hentinya sampai terdengar bunyi tersendat-sendat, akhirnya ucapan salam menutup perpisahan ini, mereka pergi meninggalkan pesantren.
Berjalan sudah segala kegiatan dan program yang sudah tertara sesuai jadwalnya. Subuh, pagi, sore, sampai malam semua pengajian dan pelajaran aku jalani dengan serius. Setiap pagi kami diberikan dua mufradat B. Arab beserta B. Inggrisnya yang harus kami hafalkan di waktu itu juga. Setelah hafal kami pun para santri harus mempraktikannya dalam keseharian disertai muhaddasah[3] yang merupakan bahasa wajib. Bagi saiap saja yang melanggarnya akan dikenai hukuman berupa sanksi fisik dan membuat cerita dalam B. Arab atau B. Inggris.
Beberapa hafalan aku sukai, pernah suatu hari ketika awal pengajian Hadis, kami sekelas ditantang siapa yang paling cepat menyetorkan hafalannya mendapat hadiah. Aku pun langsung ke depan membacakan hafalan hadisnya, karena sebelum pengajian aku selalu menghafalkannya terlebih dahulu.
Yang lebih aku senangi ketika setoran tahfidz al qur’an, ayat demi ayat aku hafalkan ketika orang lain menikmati istirahat malamnya, mencari tempat yang nyaman, sasaran nya adalah tempat jemuran di atas asrama putra. Aku selonjorkan kaki ke bawah dan nampak jauh di hadapan mesjid agung yang terang dipenuhi cahaya lampu. Alasanku supaya lebih rileks dan fokus menambah hafalan dengan harapan semoga menjadi hafidz qur’an.
Seiring bertambahnya waktu, tak terasa dua bulan sudah menjadi santri di ponpes Al Mujahidin ini yang artinya saya sudah bisa mengukur sampai mana tingkat kemampuanku. “Pidato hampir lancar tinggal memperkaya materi, kaligrafi lumayanlah sudah tahu dasar menulisnya, tilawah al qur’an sedikit-sedikit bisa kalau bareng orang lain, catur yang penting tahu strategi, tahfidz al qur’an alhamdulillah satu juz, muhaddasah B. Arab dan conversation B. Inggris sedikit-sedikit masih dalam proses dan pelajaran sekolah tiap malam di murajaah[4]”. Aku tulis semua itu dalam buku catatan.
Tapi ada satu hal yang baru sadar dan menurutku sedikit ganjal. Yaitu masalah muhaddasah B Arab dan B. Inggris yang merupakan bahasa wajib. Kesannya seperti berpura-pura atau bisa saya katakan berbohong, karena ketika dihadapan pengurus mereka berusaha memakai B.Arab-Inggris walaupun terpaksa atau lebih memilih diam saja. Tapi ketika dibelakang pengurus mereka berpaling memakai B. Indonesia saja ataupun bahasa yang lain tanpa mereka pedulikan itu melanggar aturan meskipun ada hukuman dari bidang keamanan, dan hal itu membuat para pengurus sibuk mencari kesalahan bagi siapa yang melanggarnya. Jujur saja saya katakan hukuman memang ditegakan tapi tetap tidak membuat efek jera dan tidak ada perubahan pula, karena mungkin terpaksa berbeda halnya dengan yang ikhlas dan niatnya ingin bisa.
Makin hari kegiatan makin tidak tidak berjalan dengan efektif. Karena para mudarris dan mudarrisnya sibuk dengan kepentingan pribadinya ada yang sedang mengurus bayinya yang baru lahir, sibuk mengerjakan tugas kuliahnya, mengurus sidang perceraian dan ada pula yang cuti ke luar negeri. Itulah yng membuat semangat belajarku kendor dan enggan mengerjakan tugas. Hatiku tertegun merasa tidak betah lagi, ingin pulang menjumpai tanah halaman, tapi bagaimana caranya menyampaikan alasan agar tidak membuat tersinggung?. Tapi dengan modal usaha nekat dan rasa percaya diri aku ucapkan bismillahirrahmaanirrahim memberanikan diri izin kepada rois asrama.
Aku temui rois di kamar yang terpisah dengan para santri, setelah kami bercakap-cakap ngalor-ngidul, hingga sampai pada intinya aku ungkapakan keinginanku untuk pulang dalam beberapa hari saja, dan Alhamdulillah aku diizinkan pulang tanpa harus menyampaikan alasan yang akan menyinggung, karena mungkin melihat keseharianku yang jarang melanggar peraturan dan belum sekalipun izin.
[1] kepala pengurus di asrama, yang mengatur keseharian santri
[2] para pengajar di pengajian
[3] percakapan dalam B. Arab
[4] Mengulang-ngulang bacaan yang telah di hafal
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar