Bab 1
Tercium aroma kayu manis dari keranjang berisi kue-kue yang Isvara bawa menuju mobil bak terbuka. "Hari ini kamu buat berapa banyak kue kayu manis?" tanyaku, "baunya sangat lezat," sambungku sambil menarik napas panjang untuk mencium aroma kayu manis yang sangat menggoda.
"Kurasa peminat kue kayu manis sedang meninggi, jadi kubuat banyak!" seru Isvara semangat, ia menunjuk sekitar lima keranjang lainnya yang belum terangkut. "Kamu bantu angkat dong!" Isvara mengerucutkan bibirnya dan menepuk pundakku. Aku tertawa kecil, lalu berlari kecil datang menyusulinya.
"Wah, bentuknya lucu sekali. Aku mau, ya!" Tanganku yang meraih salah satu bungkus berisikan kue berbentuk bintang segera ditepisnya. "Tidak boleh!" larangnya. Aku yang sedikit merasa sakit hanya bisa mengelus-elus punggung tanganku, memang wajar saja kalau ia melarangku, karena kemungkinan terbesarnya adalah bisa langsung habis kulahap seluruh bungkus kue dalam satu keranjang.
"Kuharap kita bisa menarik konsumen lebih banyak lagi," kataku yang kini sedang mendorong dua keranjang sekaligus dengan kereta dorong. Aku kesal jika mengingat orang tua yang melarang anaknya memakan kue karena di anggap mengandung bahan berbahaya, bahkan ada juga yang membuangnya ke tempat sampah.
"Sebetulnya, kalau tidak menarik kosumen ... tidak apa-apa juga, sih. Kita punya jumlah pelanggan yang cukup," Isvara mulai menghitung jumlah pelanggan yang rutin datang kemari. "Aku cuman mau berbagi saja," sambungnya.
"Tapi bukankah kalau begini terus, usaha toko kue kita bisa kekurangan peminat?" tanyaku, menaikkan salah satu alis. Jujur saja pribadi Isvara yang terkenal suka berbagi cukup merugikan untuk toko kue kami. Bukankah orang yang diberikan kue gratis tidak akan datang untuk membeli? Mereka hanya datang karena hal itu menguntungkan saja, ketika kami menawarkan kue agar dibeli mana ada yang peduli?
"Tidak apa-apa. Aku tahu ini terdengar membosankan, tapi kebaikan akan dibalas kebaikan, entah kapan tapi pasti akan terjadi." Isvara menjawab santai dan tersenyum bangga ketika ia sudah selesai mengangkat seluruh keranjangnya.
"Kalau sudah semua. Ayo naik, tadi sudah kupanaskan mobilnya," ajakku sambil memainkan kunci mobil di jari telunjukku. "Sombong, ya. Karena sudah punya surat izin," ledeknya, kami berdua lalu menaiki mobil dan bergegas menuju ke beberapa tempat strategis yang sudah kami rencanakan sebelumnya.
***
Di dalam mobil kulihat senyum merekah Isvara, usahanya kali ini sukses. Ada banyak anak-anak yang tertarik karena bentuk-bentuk lucu yang dibuat telaten oleh Isvara dan beberapa rekan kerja lainnya yang membuat anak-anak terlihat sangat menikmatinya.
Pencapaian ini termasuk dalam pencapaian terbesar, biasanya kami selalu pulang dengan keranjang yang masih terisi penuh. Namun, berbeda dengan kali ini, bungkus kue kami habis terbagikan, keranjang kami kosong melompong tanpa tersisa. Aku turut senang melihat kebaikannya yang akhirnya terbalaskan, seperti apa katanya tadi.
"Apa masih ada sisa?" Aku mengintip ke tempat dimana keranjang kue mulai diangkat ke bak mobil terbuka oleh Isvara. Tadinya, aku ingin membantu Isvara menaruh dan mengangkat keranjang tapi ia menolak, kurasa karena ia terlalu senang dan tidak mau merepotkan.
"Ada, kurasa cukup jika dibagikan ke Perumahan Kalimaya." Isvara tersenyum senang, ia berjalan masuk menuju mobil untuk duduk disebelahku.
"Mau kita bagikan kemana dulu?" Aku menyalakan dan mulai mengendarai mobil tua sambil berputar balik untuk keluar dari tempat kami tadi membagikan kue-kue gratis. "Kurasa hanya ada satu rumah yang belum pernah mengambil bungkus kue secara langsung. Dan, aku sangat penasaran apakah kali ini akan ada sesuatu yang berbeda juga." Isvara seperti memberi kode padaku dengan tatapan matanya.
"Rumah Nomor 14!" Seru kami tertawa lepas ketika menyadari jawaban kami yang sama persis. "Rumah itu ... Apa kamu pernah melihat seseorang yang mengambil bungkusannya?" Tanyaku, sedikit merasa ngeri mengingat banyak rumor buruk menyebar dari lingkungan sekitarnya, seperti penghuni rumah tidak pernah menyapa, mengobrol bahkan tersenyum. Walaupun begitu, aku dan Isvara selalu menaruh dua bungkus kue di depan pintu rumah itu.
"Pernah, seorang anak perempuan dengan rambut hitam panjang mengambilnya dari dalam rumah secara diam-diam." Isvara menjawab sambil mengingat-ingat, aku yang penakut langsung berpikiran kalau anak perempuan itu hantu. "Jangan takut begitu dong!" Tepukan Isvara di punggungku berhasil membuat halusinasiku mengenai hantu-hantu mulai buyar.
"Aku sedang menyetir jadi harus konsentrasi." gumamku, "Mungkin anak kecil itu sedang sakit gigi dan hanya takut ketahuan mamanya." sahut Isvara seperti menenangkanku.
"Wah, kalau begitu memang lebih baik kalau kita berikan saja padanya." balasku lantang, menutupi ketakutan yang ada. "Nah, bagus itu. Ayo kita sama-sama semangat!" Isvara mengepalkan tangannya dengan semangat, cukup membuat aku terhibur dan mulai tenang.
"Nanti, aku saja yang turun!" seruku membalas asal.
***
Aku menyesal telah mengatakan kalau aku saja yang turun untuk membagikan kue ke Rumah Nomor 14. Biasanya aku menaruh bungkus kue berdua dengan Isvara, tapi kini aku berada di luar mobil menuju ke rumah keramat bercat putih itu. Sendirian.
Dilihat dari luar rumah, taman kecilnya seperti tidak terawat, banyak bunga-bunga layu, rumput yang memanjang, bahkan tanaman liar dibiarkan begitu saja ... Seperti tidak terawat. Rumah itu terlihat tanpa penghuni. Sangat sunyi. Lampu-lampu juga tidak terlihat menyala.
Perlahan aku berjalan melewati pagar rumahnya. Walaupun aku tahu rumah ini seperti tanpa penghuni tapi aku tetap memberanikan diri untuk mengetuk pintu depan berwarna putih yang terlihat antik. Sudah tiga kali ketukan, tidak ada jawaban, suara langkah kaki atau apapun. Kuputuskan untuk menaruh dua bungkus kue di depan pintu itu.
Kuketuk sekali lagi untuk memastikan. Namun, kali ini ada jawaban! Pintu rumah itu terbuka, seorang anak kecil perempuan yang persis seperti di deskripsikan Isvara datang memelukku erat, meminta tolong dengan suara serak.
Aku yang keheranan berniat menanyakan maksud permintaannya, lalu aku terdiam saat menyadari kalau darah mengalir deras dari dalam rumah hingga keluar pintu. Warna merah pekat seketika menodai warna putih bersih dari pintu yang baru saja kuketuk. Kenapa jadi begini? Apa yang harus kulakukan?
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar