Malaikat Tak Bersayap
Aku, seorang gadis SMP yang sangat bersyukur dengan kehidupanku. Aku memiliki ibu yang sangat baik sekali layaknya malaikat. Dia mencintaiku setulus hatinya sehingga aku bisa tumbuh sampai detik ini juga. Aku tumbuh dalam pelukan hangat ibuku. Ia terus bekerja membantu ayahku untuk memberikan nafkah kepadaku dan kakakku. Dialah wanita terbaik yang pernah aku temui seumur hidupku.
Aku tidak rela, jika ibuku dihina. Aku tidak rela, jika ibuku ditindas begitu saja. Ibuku telah mengandung dan melahirkanku yang hampir mempertaruhkan nyawanya. Ibuku melahirkanku secara normal, ia rela menahan sakitnya tulang belulang tubuhnya yang seperti hancur tertumbuk. Ibuku tak pernah melahirkan seorang buah hatinya secara sesar. Ia tak mau akan hal itu. Teringat dengan perjuangan ibuku saat melahirkan adik laki-lakiku. Aku masih kecil saat itu. Aku menunggu ibuku di kamar pasien. Ibuku terus berbaring di atas ranjang. Tetapi, ia terus berusaha membuatku tertawa. Sampailah pada waktu yang ia tunggu, adikku sudah bisa merasakan angin dunia. Hanya saja, napas adikku tak begitu lama. Ia dipulangkan dengan keadaan menghadap Allah Yang Maha Esa.
Aku melihat ibuku yang terus membanjiri pipinya dengan tetesan air matanya. Air mata itu terus menerus terjun. Aku sangat tidak tega melihat ibuku menangis. Ibuku, tipikal wanita sabar. Ia terus digosipi oleh beberapa temannya, tetapi ia terus sabar. Nenekku, beliau pernah berkata pada ibuku. "Janganlah engkau berbuat jahat kepada seseorang yang telah jahat padamu. Balaslah ia dengan kebaikanmu."
Dulu, aku mengira jika itu hanya ocehan yang tak penting. Saat aku tumbuh dewasa, aku mengetahui jika sikap seperti itu susah untuk dilakukan dan ditanamkan pada hati-hati manusia biasa. Aku seringkali membantah perkataan dan perintah-perintah ibuku. Aku marah. Ibuku membalasnya dengan bentakan yang tak terlalu tegas. Aku sempat terbawa emosi. Aku berpikir, jika ibuku tidak menyayangiku. Guruku sering berkata, "Jika ibumu marah padamu, itu pertanda ia menyayangimu. Ia tak mau kau salah jalan," aku mengerti sekarang.
Aku selalu berusaha agar tidak membuat ibuku marah, tetapi.. itu susah bagiku. Sengaja ataupun tidak, aku selalu membuatnya marah. Aku juga terlihat cuek jika ibuku dihujat. Tapi disisi lain, aku meminta pada Yang Maha Kuasa untuk memberikan pertolongan dan menjauhkannya dari marabahaya. Aku tidak seperti ibuku. Ibuku cerdas, sabar, dan disiplin. Sementara aku, kebalikannya. Aku tak bisa diatur dan malas belajar. Ibuku terus memerintahku untuk belajar.
"Belajarlah! Masa depanmu akan terjamin jika kau belajar. Tidak ada hasil tanpa perjuangan."
Aku sudah bosan dengan ucapan seperti itu. Aku sering melihat, beberapa orang yang tekun belajar tapi masa depannya terkadang suram. Jadi, aku tetap malas belajar. Tetapi, ada suatu kata-kata yang membuatku termotivasi.
"Jangan pernah lelah belajar, jika kau ingin menikmati indahnya kecerdasan. Jika kau malas-malasan, nikmatilah siksaan kebodohan."
Ibuku rela membelikanku buku-buku belajar yang aku inginkan. Untuk harga, ibuku tidak peduli akan hal itu. Tetapi, sepertinya itu sia-sia. Buku-buku itu hanya aku pajang di lemari. Seringkali ibuku membatasiku dalam bermain gadget. Tetapi, aku sudah tidak bisa jauh dari gadget. Sekarang zaman teknologi, tanpa barang itu aku sedikit kesusahan. Ibuku mengalah, ia tidak jadi membatasiku bermain gadget, tetapi ia menyuruhku tetap belajar. Ibuku tidak sia-sia membelikanku novel. Sekarang aku lebih pintar dalam bidang menulis. Sekarang, itu menjadi kegiatan yang paling aku favoritkan.
Pada bulan Desember beberapa tahun lalu, ibuku ditinggal oleh bidadari yang telah melahirkannya. Nenekku. Aku tak henti mengeluarkan air mataku. Ibuku terlihat teguh. Pastinya, ibuku takkan bisa menahan tangisannya juga. Ia terlihat tabah dihadapan ku. Ia pergi keluar dari kamar nenekku dan mencari bahu agar bisa menghangatkan hatinya. Ia ingin dipeluk. Aku sangat ingin memeluknya pada hari itu, tetapi aku melihatnya saja sudah tidak tega dan ikut melemah. Aku ingin memeluknya dari jarak jauh.
Ibu, berkatmu, anak yang telah kau lahirkan sepenuh perjuanganmu telah tumbuh menjadi gadis yang pintar. Berkatmu pula, saat ku jatuh, aku bisa bangkit kembali. Aku menyayangimu melebihi alam semesta ini. Aku tak ingin ditinggal oleh mu secepatnya. Aku ingin bersamamu hingga ajalku menjemputku. Aku belum bisa membahagiakanmu, ibu. I will not leave you alone. I love you, Mom.
“Teman-teman, aku tak tahu kau masih memiliki ibu atau tidak. Aku tidak sedang mengejekmu. Aku percaya, jika ibumu sudah tiada, dia akan terus berdoa dari langit sana. Bukan berarti jika ibumu masih hidup, ia tak menyayangimu. Bukan itu maksudku. Sayangi ibumu, selagi ia hidup atau sudah tidak berwujud. Jangan pernah mengeluh dengan perlakuan ibumu. Tanpanya, kau tak akan bisa hidup. Semangat yaa kalian!”
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar