Kisah Ara
Ara berumur 12 tahun. Seorang gadis remaja kelas 7 SMP (seharusnya). Rambutnya berwarna hitam berkilau, panjang sepunggung. Ara memakai kacamata, dengan mata berwarna kuning keemasan yang indah. Ia menghabiskan hidupnya di rumah, karena kondisinya yang tidak memungkinkan. Tubuhnya tak mengizinkannya untuk terkena sinar matahari. Jika terkena sinar matahari, sel tubuhnya akan rusak dan tidak dapat dipulihkan. Hingga saat ini, tidak ada obat untuk menangani penyakit yang diidapnya sedari kecil itu.
Sejak kecil, ia belajar di rumah alias homeschooling. Kedua orangtuanya sibuk bekerja di perusahaan sebagai direktur dan wakil direktur, Ara di rumah hanya bersama pembantunya, menyebabkan ia sering bosan dan menghabiskan waktu dengan membaca koleksi bukunya di rumah.
“Hmph! Ayah sama Bunda pasti pulang larut malam lagi! Aku kan bosan… Hhh, andai aku bisa keluar, bermain selayaknya anak-anak seumuranku…” keluhnya sembari sedikit mengintip anak-anak seumurannya di luar melalui jendela di kamarnya. Ia harus berhati-hati, jangan sampai kulitnya terkena sinar matahari.
Sebenarnya, Ara bisa saja keluar rumah, tetapi Ia harus mengenakan pakaian tebal, yang sekiranya bisa menutup akses sinar matahari menuju permukaan kulitnya.
Dengan kesendirian dan rasa bosannya itu, membuat Ara menjadi anak yang pendiam, dingin, serta menghabiskan waktu dengan belajar, belajar, dan belajar. Kalau ada yang nonton Boboiboy, si Ara ini mirip-mirip lah sifatnya sama Boboiboy Solar. Apalagi mata dan kacamatanya menambah kemiripan antara keduanya. Bedanya, Boboiboy Solar mengendalikan cahaya, kalau Ara… tahu lah, ya.
Karena belajar menjadi aktivitas hariannya, kemampuan berpikir dan logikanya bertambah. Gurunya selama homeschooling--Bu Via--bangga, Ara mengalami kenaikan dalam belajar.
“Ara… Kamu sudah jago nih, terutama di mata pelajaran IPS, Matematika, dan IPA. Coba kamu ikut beberapa lomba ini, Bu Via mau coba lihat kamu paling menonjol di bidang apa,” ucap Bu Via sembari menunjukkan poster lomba yang dibawanya. Ada IPS, Matematika, dan IPA, tetapi pelaksanaannya berbeda hari dan dilaksanakan secara online.
“Emmmm, boleh… Aku mau coba!” Ara nampak bersemangat.
“Baguslah, kalau begitu. Nah, pembelajaran hari ini selesai, Bu Via pamit pulang dulu ya, semangat belajarnya!” Bu Via mengepalkan tangannya kemudian melambaikan tangan, sementara Ara berada di ruang tamu, dan Bu Via sudah beranjak ke luar rumah.
“Hmm, mending sekarang aku belajar saja…”
v
“Hari ini yang IPS, semoga lancar,” kata Ara. Ia membuka web CBT yang digunakan untuk lombanya.
“Hmm, lumayan, nih, gampang-gampang susah…”
Besoknya…
“Hari ini Matematika, ya…”
“Waduh! Susah-susah gampang kalau ini!”
Besoknya, lagi…
“Sekarang IPA!” Ara tampak lebih bersemangat.
“Nah, ini baru gampang, wih! Biologinya gampang banget…”
v
“Bagaimana, Ara? Sudah keluar hasil lombanya?” tanya Bu Via saat jadwal belajar Ara.
“Belum, Bu, harusnya sih, sekarang, tapi panitianya belum ngasih informasi apa-apa,” Ara merengut.
“Sabar saja…”
“Nah, ini!”
“Gimana?”
“IPS nya dapat medali perak, peringkat 7, Matematikanya dapat medali perunggu, peringkat 20, IPA nya dapat medali emas, peringkat 1!!” Ara bersorak riang.
“Wah, selamat! Berarti, gimana kalau kamu tekuni IPA saja? Fokus di satu bidang,” tawar Bu Via.
“Tapi, gunanya IPA apa?” Ara bertanya.
“Macam-macam, kamu bisa jadi dokter, peneliti,” jawab Bu Via.
Mendengar kata ‘peneliti’, mata Ara berbinar-binar. Cita-citanya sedari dulu ialah menjadi peneliti.
“Aku mau! Aku bersedia untuk fokus di IPA saja!”
“Baguslah, sekarang, kamu istirahat saja dulu, besok kita mulai penekunannya. Bu Via pamit dulu ya.”
Ara mengangguk. Hatinya berbunga-bunga. Sudah lama Ia ingin menjadi peneliti, sejak Ia divonis mengidap Xeroderma Pigmentosum pada umur 6 tahun. Ya, itulah nama penyakit yang diidap Ara. Semakin hancur hatinya ketika mengetahui bahwa penyakit itu belum ada obatnya sampai sekarang. Selama 1 tahun sejak Ara tahu penyakit yang diidapnya, Ia hanya mengurung diri di kamar, menangis, berteriak, segalanya. Ya, Ia stress. Dengan umur yang masih muda.
Ayahnya mendatangkan seorang psikiater untuk memberikan konseling pada Ara. Setelah satu tahun penuh, tepatnya ketika Ia berumur 8 tahun, Ara mendapat pencerahan. Ia mulai mengerti, Ia tidak boleh menyerah. Dari situ, Ara bercita-cita menjadi peneliti, meneliti penyakit yang diidapnya, mencari obatnya.
Dan kini, kesempatan itu datang! Ara merasa sebuah sinar—bukan matahari!—menyinarinya, memberi kesempatan.
v
Ara. Ara yang berbeda.
Ara menjalani pengembangan IPA dengan baik. Tidak ada kendala. Ia dibelikan buku-buku IPA oleh orangtuanya.
Ara juga berpartisipasi dalam beberapa perlombaan, mulai dari tingkat kabupaten hingga nasional.
Ya. Ara yang berbeda.
Menjadi lebih dingin, lebih diam, hanya tenggelam dalam buku-buku, kali ini Ia benar-benar mirip sekali dengan Boboiboy Solar.
Berhari-hari Ara lalui. Orangtuanya semakin sibuk berinvestasi, perusahaan yang mereka bangun sejak Ara berumur 4 tahun itu semakin sukses.
Terkadang, Ara mengintip lewat tirai jendela yang tertutup, berhati-hati, memerhatikan anak-anak seusianya bermain dan belajar bersama di gazebo depan rumah besarnya itu. Ara bersembunyi, satu, agar tidak terkena sinar matahari, dua, agar tidak ketahuan anak-anak tersebut. Ia tidak ingin seorang pun mengasihaninya. Ara ingin hidup mandiri, tidak merepotkan orang lain. Ia akan berusaha menanggung semua bebannya sendiri.
“Ayah dan Bunda pulang!” suara ‘itu’.
Suara yang dinanti.
Ara terdiam sebentar (istilah kerennya mungkin ngelag).
“Araa!” Bunda memeluknya.
Di situ Ara sadar.
Itu adalah Ayah dan Bundanya.
“Eeh?! Ayah, Bunda? Pulang?” Ara bertanya terbata-bata.
“Hehe, iya, sementara, perusahaan akan libur selama satu bulan. Refreshing,” Ayah menjelaskan. Ketiganya duduk di sofa ruang tengah, di depan sebuah TV besar. Pembantu mereka, Mak Sari, membawakan tiga cangkir teh hangat.
“Oohh, baguslah kalau begitu,” Ara tersenyum tipis. Ia jarang tersenyum sejak memulai pengembangan dalam IPA itu.
“Ara tidak senang Ayah Bunda pulang?” Bunda bertanya, heran. Ara hanya tersenyum tipis, tipis sekali.
“Eh? Oh! E, enggak, Ara senangg bangett!!” kali ini, Ara berusaha keras tersenyum lebar.
“Kalau begitu, Ayah Bunda istirahat dulu, ya,” kedua orangtuanya pergi ke kamar mereka.
“Kenapa di saat seperti ini, aku tidak bisa tersenyum dengan baik? Aku hampir membuat Bunda salah paham,” batin Ara.
“Aku ingin dibuatkan laboratorium,” batin Ara, lagi.
Entah, secara tiba-tiba, kata itu terucap dalam hatinya. Ia kagum pada Ilmu Pengetahuan Alam. Dan Ia, ingin, ingin sekali menyembuhkan penyakit yang dideritanya itu. Ia ingin menjadi peneliti.
“Aku akan bilang ke Ayah besok, mungkin sekarang Ayah masih sangat kelelahan,” Ara kembali membatin. Sekarang Ia jarang berbicara, hanya menjawab ‘iya’ dengan anggukan dan ‘tidak’ dengan gelengan.
v
Pagi yang cerah—walau Ara tidak dapat merasakan kesegarannya--menyambut hari Sabtu. Bunda sedang memasak dibantu Mak Sari, sedangkan Ayah menonton siaran berita terbaru hari ini di ruang tengah.
Ara gugup. Jarang baginya untuk berkomunikasi dengan orangtua. Menelepon saja sangat jarang, hanya satu-dua kali.
“Ayah…” Ara mencoba.
“Iya?” Ayah tersenyum manis, menatap anak tunggalnya itu. “Sini, duduk di sebelah Ayah!”
Ara mengangguk. Kemudian, Ayah merangkulnya dan mendekatkan posisi Ara ke dirinya.
“Ara mau minta sesuatu…”
“Apapun itu, pasti akan Ayah berikan untuk anak Ayah yang manis ini,” Ayah tersenyum lagi.
Pipi Ara memerah sejenak.
“Ara… Ingin dibuatkan laboratorium…” Ara akhirnya mengatakannya setelah beberapa pertimbangan tadi malam di kamarnya.
“Hmm… Laboratorium, ya. Ayah sudah dengar dari Bu Via, kamu berbakat di bidang IPA. Ayah akan mengusahakannya. Kebetulan, ada 1 petak tanah di belakang rumah.”
“Benarkah?! Makasih, ayah!” Ara bersorak Bahagia.
v
Seminggu kemudian, Ayah benar-benar mengabulkan permintaan Ara. Beberapa tukang datang, memulai membentuk fondasi. Rencananya, ukuran laboratoium nantinya adalah 5x4 meter. Luas sekali.
Bunda membelikan Ara seluruh perabotan dan peralatan laboratorium, lengkap. Kini, Ara mulai bersemangat.
3 minggu lamanya Ara menunggu dengan antusias. Banyak kendala yang terjadi. Seperti contohnya hujan deras yang akhir-akhir ini datang.
“Gimana, Pak, laboratoriumnya?” Ayah bertanya pada sang tukang.
“Alhamdulillah, sudah hampir selesai ini. Kurang lebih 3 hari,, perabotan bisa dimasukkan.
“Sip!”
Mari kita beralih ke aktivitas Ara…
Ara sedang menonton film Boboiboy Movie 2 di laptop sembari berbaring di ranjangnya.
“Pasti akan seru kalau aku bisa mengendalikan cahaya seperti Solar…” Ara bergumam.
Di tengah-tengah aktivitas menontonnya, entah kenapa Ia memikirkan sesuatu yang hebat. Ia menyadari sesuatu.
Ara membuka Instagramnya di handphone, memotret laptopnya yang sedang memutar film, lalu memberi caption.
‘Hari libur nih. Nonton dulu ga sii😁😁Oh, ya, aku tiba-tiba punya teori nih! Tentang Boboiboy. Tiba-tiba, aku kepikiran kalau Boboiboy itu punya kepribadian ganda… 😲🤯Kok bisa?! Kan, Boboiboy punya 7 elemental, yang kalau diperhatikan punya sifat yang berbeda-beda. Ada yang dingin, agresif, pemarah, nakal, periang, tenang, macem-macem. Pertama-tama, kita flashback ke Boboiboy Season 2. Boboiboy pindah ke Pulau Rintis, bilangnya orangtuanya duta. Padahal dalam salah satu video dari Monsta, kita dapat melihat kalau Ayah Boboiboy, Amato mendapat pesan dari Maskmana, seorang agen TAPOPS. Kemungkinan, Ayahnya memalsukan pekerjaannya? Kalau ibunya, kan, nggak pernah ditampilin, tuh. Lanjut! Boboiboy tinggal di Pulau Rintis bertahun-tahun, dari dulu kelas 5 SD dan sekarang sudah remaja (antara SMP atau SMA). Berarti, dia udah lama nggak ketemu orangtuanya dan kita nggak pernah diperlihatkan Boboiboy kayak nelpon orangtuanya atau ngechat. Berarti otomatis kan dia kangen berat sama orangtuanya. Orangtuaku pada kemana, sih?! Anggepnya gitu aja. Jadinya, (langsung ke inti!) dia buat beberapa kepribadian yang dimasukkan dalam tubuh elementalnya. Yang dingin dan agresif kayak Halilintar, Ice sama Solar membuktikan kalau di aitu punya sisi yang, eh, gimana, ya, kayak orang stress gitu, kan biasanya pendiam. Kalau yang periang plus nakal kayak Taufan, Blaze, sama Duri itu Bahagia karena punya teman-teman yang baik terus kalau anak nakal kan biasanya kayak nyari perhatian orangtuanya, gitu. Nah, tinggal satu elemental nih, yup! Gempa. Dia ini sifatnya tenang dan senang melindungi. Dia ini perwujudan dari ketabahan dalam menghadapi segala masalah dan cobaan. Kayaknya segitu, sih. Kalau ada yang salah, maaf!!🙏
Ia lalu meng-uploadnya di akun Instagram miliknya.
v
3 hari kemudian, laboratorium sudah siap. Tinggal memasukkan perabotan dan peralatan lainnya, dan… taraaa!
“Terimakasih, Ayah!” Ara tersenyum senang.
“Sama-sama…”
Ara memulai kegiatannya di lab. Ia mencoba beberapa eksperimen sederhana yang dipelajarinya, seperti telur melayang, lampu buah, rangkaian llistrik sederhana, dan sebagainya.
Setelah 1 bulan beristirahat, orangtua Ara harus Kembali beraktivitas di perusahaan.
Ara memulai eksperimen yang lebih rumit setelah memahami peralatan laboratorium yang ada. Ia membedah ikan yang dibelikan Mak Sari, lalu melihat-lihat selnya dibawah pengamatan mikroskop. Itu menakjubkan. Ara memotret dan menggambar sel yang Ia lihat.
“Wah, jadi begini, ya, struktur sel dalam tubuh ikan,” Ara terpukau.
Dua bulan. Ara diajari guru yang lebih profesional sekarang. Dengan cepat, Ara dapat memahami ilmu kimia dan biologi. Setelah beberapa lama, akhirnya kesempatan ‘itu’ datang. Mempelajari ilmu genetika.
Ya, Xeroderma Pigmentosum adalah sebuah penyakit genetika langka. Sampai sekarang, para dokter dan peneliti masih belum bisa mengatasi penyakit itu. Dan Ara, Ia bertekad akan menyembuhkan penyakit yang diidapnya. Ia ingin melihat dunia luar dengan bebas, tidak perlu memakai pakaian tebal anti sinar matahari yang menyesakkan itu.
“Kalau aku gagal, aku harus pakai pakaian itu! Membayangkannya saja sudah mengerikan☹..”
Setiap hari, sepanjang malam, Ara menghabiskan waktu di laboratorium. Pembantunya harus mengingatkan untuk makan, minum vitamin, mandi, tidur, dan sebagainya. Ara menuruti seluruh perintah pembantunya itu, meski langsung kembali ke laboratorium setelah menyelesaikannya. Ia memperdalam ilmu genetika, ilmu yang dapat mengatasi penyakitnya itu.
Suatu malam, ketika Ara mulai kelelahan dan kembali ke kamarnya, ia sudah bersiap untuk tidur. Alangkah terkejutnya, tiba-tiba muncul cahaya di pojok kamarnya. Mengira itu adalah hantu, Ara bersembunyi di balik selimut, menggigil ketakutan. Tiba-tiba, muncul suara.
“Ara, bukalah selimutmu, aku bukanlah seorang hantu, percayalah padaku,” suara itu sangat lembut dan indah, Ara membuka selimutnya.
Dilihatnya sesosok peri dewasa yang sangat cantik, rambutnya panjang, sayap dan gaunnya berwarna biru, mengenakan mahkota bunga serta sepatu biru. Ara termangu di tempat tidurnya, peri itu mendekat.
“Si, siapa kau?” Ara masih bingung, bertanya terbata-bata.
“Aku adalah Peri Villia, dari dunia peri yang akan membimbingmu,” Peri Villia menjawab sambil mengelus rambut panjang indah Ara.
“Membimbingku?”
“Ya, membimbingmu… Tahukah kamu, penyakitmu ini, tidak akan bisa disembuhkan. Kamu mungkin sudah mencoba ratusan kali, tapi mustahil bagi penyakitmu ini disembuhkan. Sampai saat ini, hanya ada obat untuk mencegah komplikasi, tidak ada obat penyembuh.”
Ara termangu, tidak percaya.
“Lalu, lalu, aku tidak akan pernah merasakan dunia luar, bermain, berlari-larian, mencari teman, apa yang dapat aku lakukan jika hanya di rumah terus?!” Ara mulai emosi. Ia tidak terima, Peri Villia mengatakan penyakitnya tidak bisa disembuhkan.
“Hush, tenanglah. Tuhan pasti punya keputusan terbaik untukmu. Sekarang, maukah kau ikut denganku ke dunia peri?” Peri Villia bertanya.
“Untuk apa?”
“Agar kau bisa merasakan dunia luar, karena di dunia peri, mataharinya adalah bola kristal raksasa yang bersinar di siang hari, pada malamnya digantikan oleh taburan kristal kecil berwarna-warni. Kau bisa bebas disana,” Peri Villia tersenyum.
“Tapi, bagaimana dengan kehidupanku disini?”
“Tenang saja, karena, satu hari di dunia peri sama dengan 1 jam di bumi. Kau bisa tinggal 2 hari di dunia peri.”
“Hmm, baiklah, aku mau!” Ara bersemangat. Ia senang, bisa merasakah dunia luar, walau dengan pengertian dan pemandangan yang berbeda.
“Baguslah, ayo, ikut aku,” Peri Villia membuat portal menggunakan tangannya, tapi sebelum masuk, ia mengganti kostum Ara. Ara kini memakai dress putih, sepatu kaca berwarna merah, sayap putih, dan mahkota bunga yang sama dengan Peri Villia. Ia menjadi secantik Peri Villia sekarang.
Setelah masuk ke dalam portal, walau agak pusing, Ara langsung terbinar-binar melihat dunia peri itu. Mirip dengan dunia yang ia lihat dari jendela dan layar-layar TV selama ini, hanya dengan beberapa hal yang berbeda. Bangunan megah pencakar langit ada disini, hanya tidak ada mobil, motor, dan sepeda. Seluruh peri terbang dengan sayap mereka. Di jalanan juga banyak jamur raksasa dan bebungaan yang indah. Lebah dan kupu-kupu beterbangan dimana-mana. Memang berbeda dengan perkotaan di bumi, tapi Ara puas dengan sekali melihatnya. Udaranya segar, membuat Ara merasa sangat nyaman disitu.
Ara mendapat teman yang menyenangkan. Kini, Ia dapat merasakan indahnya bersosialisasi. Bermain di luar, berlarian, sangat seru.
Hingga tibalah batas waktu yang telah ditentukan oleh Peri Villia.
“Yah, aku harus kembali,” Ara tertunduk sedih ketika Peri Villia mulai membukakan portal untuknya.
“Yang pasti, kamu sudah puas, kan?” Peri Villia tersenyum.
“Ya! Aku puas! Terimakasih, Peri Villia. Aku tidak akan melupakanmu!”
“Sayang sekali, setelah kamu melewati portal ini, kamu hanya akan mengingat sebuah mimpi di mana kamu tidak mengidap penyakit apapun. Ingatan tentang diriku, dunia peri, dan peri-peri di sini akan terhapus untuk menjaga keutuhan dunia peri,” Peri Villia menatap Ara lekat-lekat.
“Ta, tapi!”
“Tidak apa, aku akan terus mengingatmu, Ara.”
Ara mengangguk. Ia tersenyum dan melambaikan tangannya pada Peri Villia sebelum memasuki portal.
v
“Huwaah! Jam berapa ini? Eh, sudah pagi rupanya!” Ara melihat jam beker di samping tempat tidurnya.
“Aku mimpi indah tadi malam…”
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar