Case Closed!(Bab 2)
--Dipayungi sinar mentari...--
“HEI! Kalian mengagetkan kami!” Fian terperanjat kaget.
Aku sempat melompat kecil, May dan Alan sudah berada di samping kami dengan kondisi yang…aneh?
“Apa yang terjadi pada kalian?” aku menatap lengan dan kaki mereka yang diperban, juga wajah yang ditempeli plester luka.
“Panjang ceritanya,” May menjawab singkat, tidak peduli dengan pertanyaanku. Lebih khawatir dengan kami yang tengah ditembaki para penembak jitu.
“Tidak sama sekali, itu hanya cerita pendek!” Alan menepis pelan bahu May. “Tadi kami pulang sekolah, hendak ke kantor polisi. Mendadak, para murid berteriak panik dan memutar jalan. Kami bergegas mencari tahu apa yang terjadi, kemudian melihat para kakak kelas terluka parah. Tidak hanya satu, lumayan banyak. Kami memeriksa seluruh atap gedung, melihat tiga penembak jitu itu. Lalu—”
“Berhenti. Itu kejadian yang cukup memilukan.”
Aku menatap Fidel. Wajahnya menampilkan ketakutan—walau bercampur ekspresi dingin. Semenyeramkan itu?
“Kami tertembak.”
Eh? Bagaimana bisa? Namun syukurlah, mereka baik-baik saja.
“Kami segera mencari tempat aman. Untunglah, ambulans dengan cepat datang. Kami juga sempat terjatuh dari sepeda tadi,” jelas Alan.
Baiklah, situasi menjadi rumit. Penembak jitu itu menjadikan kami santapannya. Dan dua ahli bela diri tengah terluka.
“Mengapa kalian ke sini?” tanya Fian. Wajahnya datar, bahkan tidak tampak mengkhawatirkan May dan Alan—sebenarnya, Fian dan Alan adalah sahabat sejak kecil.
“Kami mendapat pesan dari Inspektur Thomas. Ingat jam yang temanmu Albert berikan? Itu sangat membantu.”
Aku ingat. Beberapa hari yang lalu, Albert mengirimkan jam tangan ke kantor polisi, dengan kartu ucapan. Sepertinya itu hadiah selamat atas keberhasilan kami menyelesaikan sebuah kasus pembunuhan. Aku menyimpannya di rumah, berpikir bahwa itu jam biasa—lagipula aku sudah punya jam tangan.
“Apa yang jam itu bisa lakukan?” aku bertanya, penasaran.
“Dia bisa terhubung dengan ponsel maupun tablet yang kita miliki. Bila ada orang yang menelepon, otomatis panggilan tersebut muncul di jam juga.”
“Hanya itu?”
“Tidak, dia juga bisa menjadi radar, untuk melacak posisi jam lain yang serupa. Selain itu, juga bisa menjadi senter, bahkan alat hitung.”
“Ooh, begitu. Lalu, bagaimana kalian bisa ke sini?”
“Wah, empat mangsa sedang bercengkerama, ya?”
Oh tidak, salah satu dari tiga penembak jitu itu sudah berada di atas kami, berjongkok di pinggiran atap. Dia hanya sendiri, entah ke mana temannya yang lain. Wajahnya ditutupi kacamata hitam dan topi. Pakaiannya serba hitam, dengan senapan besar di punggungnya.
“M-May...” aku berkata lirih, menyenggol May. Jujur saja, aku sangat takut sekarang.
Yang disenggol justru menatap tajam orang itu. Seolah telah lama menaruh dendam.
“Wah, kau anak kecil yang itu, bukan? Aku senang kala itu, melihatmu berlari, berteriak, menangis ketakutan di tengah-tengah kekacauan.”
“Aku tidak akan melupakannya. Aku sudah lama menanti, kapan aku bisa bertemu denganmu lagi, teroris.”
“Berani-beraninya kau memanggilku teroris, nak. Aku hanya menuruti permintaan kakakmu yang payah itu.”
Astaga! May tiba-tiba meloncat, menyerang si penembak. Alan juga ikut, ekspresinya sedari tadi menampakkan wajah tidak suka, seolah satu pendapat dengan May. Aku dan Fian yang tidak ahli bela diri hanya menjauh dari arena perkelahian. Penembak itu bergerak gesit, namun May dan Alan tidak kalah gesitnya. Dengan tubuh yang terluka, gerakan mereka masih lincah, menghindar dan menyerang.
Penembak itu rupanya membawa senjata tajam, bentuknya seperti belati. Keringatku bercucuran, khawatir mereka akan terluka lagi.
“Halo, Nak.”
Kami berdua menoleh. Tubuhku seketika membeku. Dua orang penembak menodongkan pistol, moncongnya menyentuh dahi kami.
“Sebaiknya kalian menyerahkan diri, agar kami tidak terlacak lagi oleh para polisi menyebalkan itu.”
“Lalu, apa untungnya bagi kami?” aku berusaha tenang, walau jantungku berdetak kencang, nafasku tidak beraturan.
“Yah, sepertinya tidak ada. Menjadi budak kami, mungkin? Atau makanan kami? Wah, sudah lama kami tidak makan daging.”
Astaga, apakah mereka kanibal? Apa tujuan mereka menembaki para siswa? Siapa mereka sebenarnya? Mengapa May dan Alan tampak menaruh dendam pada orang-orang ini? Beribu pertanyaan memenuhi kepalaku. Aku tidak bisa menganalisis seluruh kejadian dengan baik. Lihat! Nyawaku dan Fian dalam bahaya, sekali mereka menarik pelatuk, tamatlah riwayat kami.
Untuk sementara waktu, kami hanya diam. Fian, dengan wajah polosnya itu, hanya menatap sinis dua orang di hadapan kami ini. Hah, jangan-jangan dia juga mengenal orang-orang ini.
BRUK!
“HEI, NAK!”
Aku tidak punya pilihan lain selain menendang mereka. Aku pemimpin Detektif Teren, aku harus melindungi teman-temanku. Sekali nyawa mereka melayang, maka sepenuhnya itu adalah salahku sebagai pelindung. Mereka teman-teman terbaikku, yang juga kuanggap sebagai saudara.
“MAY, ALAN! MUNDUR!”
“Tidak bisa! Teroris sialan ini makin menggila! Tolong kami!”
Aku menghela napas kasar. Mungkin aku akan mencoba melawan. Belakagan ini aku berlatih karate, mengikuti ekskulnya di sekolah.
Tiga lawan satu. Kami hanya untung jumlah, tidak dengan kekuatan. Ditambah, dua penembak tadi ikut membantu temannya. Tiga lawan tiga. Aku sudah jatuh berkali-kali, namun aku harus bangkit. Melindungi teman-temanku. Apa yang dilakukan Fian? Dia hanya diam, bersembunyi di balik pintu akses menuju atap ini. Menatap dingin. Anak itu mana bisa bela diri, memukul kuat saja tidak bisa.
Perban yang membalut luka May dan Alan terbuka, May sempat meringis, luka yang cukup besar.
Kami bertiga terduduk lemas, penembak itu mengarahkan pistolnya pada kami. Aku sudah memejamkan mata, menerima kenyataan, namun aku ingat sesuatu.
Tring! Srat!
“AGH! Apa itu tadi?!” salah satu penembak berteriak kesakitan, mencari tahu apa yang terjadi.
Kalian tahu, aku memang tidak bisa bela diri, namun kemampuan membidikku cukup hebat. Aku bisa memanah, melempar shuriken(senjata ninja yang berbentuk seperti bintang dan terbuat dari logam dengan ujung yang sangat tajam), hingga menembak.
Dan aku selalu menyimpan shuriken di kantong kecil yang kuikat dengan sebuah pita di pinggang.
Lihatlah, shuriken-ku mengenai pipi dan lengan seorang penembak jitu. Aku melempar lagi, kali ini shuriken yang berlumur racun—tidak mematikan, hanya membuat pingsan dan kubuat sendiri.
Usahaku tidak berjalan lancar, mereka penembak jitu. Shuriken-ku dapat dengan mudah ditembak, lantas hilang entah ke mana—padahal sudah susah payah aku membelinya.
Aku terus melempar shuriken, tetap dengan posisi terduduk. Kakiku lemas dan sakit, berkali-kali jatuh. Aku memang tidak cocok dengan bela diri, namun bagaimana lagi? Dua ahli bela diri sudah kehilangan stamina, sehabis ditembaki, kini tubuh mereka dipenuhi luka lebam. Fian, setahuku dia tidak bisa bela diri.
Ah, aku melupakan sesuatu.
* * * * *
“Astaga, apa yang terjadi?”
Samar-samar aku bisa mendengar keributan. Pandanganku gelap, apa yang terjadi? Aku benar-benar tidak ingat.
“Itu para penembak tadi! Apa yang terjadi pada mereka? Lihatlah, detektif kita sudah dipenuhi luka!”
“Urgh,” aku mengerang, memegangi kepala.
Sakit...
“AH! FIDEL! Kau baik-baik saja?”
Aku berusaha membuka mata, walau sedikit. Nampaknya ini sudah senja. Itu Inspektur Belle, wajahnya nampak pucat, khawatir dengan keadaan kami.
Hanya itu yang kuingat, sebelum pandanganku kembali gelap gulita.
* * * * *
Tiga tahun yang lalu.
Tiba-tiba kepalaku memutar memori ketika aku masih berusia 10 tahun, masih kelas 4 SD. Memori yang sudah lama aku lupakan. Memori yang menyeramkan, menyakitkan.
Saat itu aku sedang bersepeda, pulang sekolah dengan Elly. Kebetulan, rumahku dan Elly berdekatan.
Kami sedang tertawa riang, membahas berbagai hal. Mulai dari film kartun, permainan, komik, hingga tugas sekolah.
Aku juga berceloteh tentang ilmu forensik yang aku pelajari. Mama membelikan buku komik edukasi sains, dan aku sangat tertarik dengan edisi Sains Kriminal. Itulah awal mula aku menyukai ilmu forensik. Sementara aku dengan bangga menceritakan ilmu forensik, Elly hanya menatap heran, tidak mengerti apa yang kubicarakan.
Itu benar-benar masa yang indah, sebelum satu hal.
Ketika jalur sepeda bersebelahan tepat dengan jalur truk, tiba-tiba saja sebuah truk pengangkut batu bata berguling ke arah jalur sepeda. Aku dan Elly yang berada di pembatas jalan berteriak panik. Dengan cepat, aku mendorong kuat-kuat Elly dan sepedanya, hingga jauh dari truk. Dorongan itu sangat kuat, hingga Elly terpental sejauh 10 meter. Aku gadis yang sangat kuat waktu kecil dulu.
Setelah mendorong Elly, aku dengan segera mengayuh sepeda kuat-kuat, menjauh dari truk. Setidaknya, agar aku tidak tertimpa badan truk.
Batu-batu bata berjatuhan, bagai hujan. Jalur sepeda sedang sepi, aku dan Elly pulang terakhir. Aku kembali berteriak, panik. Satu detik kemudian, sebongkah batu bata menghantam kepalaku, membuatku terjatuh dari sepeda.
Aku menangis kesakitan, dengan luka di kepala, ditambah batu bata lain yang menghantam lengan dan kakiku. Pandanganku mendadak berkunang-kunang, kemudian gelap gulita. Dan aku tidak mengingat lagi apa yang terjadi setelah itu.
Ketika aku membuka mata, aku sudah di ruangan putih, di atas ranjang putih. Lengan, kaki, dan kepala yang diperban, peralatan medis di samping ranjang. Nampaknya aku di rumah sakit.
Aku melihat sekeliling ruangan. Mama dan Papa tertidur di sofa. Melirik jam dinding, menunjukkan pukul 12.00, tengah malam. Apa aku pingsan? Berapa hari? Atau mungkin koma?
Tiba-tiba, kepalaku berdenyut kencang, sakit sekali. Sontak, aku menangis kencang, membangunkan Mama dan Papa. Ekspresi mereka bercampur, setengah bahagia karena anaknya sadar, setengahnya lagi panik karena aku menangis kesakitan. Papa memanggil dokter dan perawat, sementara Mama memegang erat tanganku, menangis dan membacakan doa-doa.
Setelah satu menit menahan sakit, dokter dan perawat datang tergopoh-gopoh. Mereka memeriksaku, kemudian pandanganku gelap lagi.
* * * * *
“Keadaan Fidel sudah membaik, namun Ia masih harus rawat inap selama kira-kira satu bulan di sini.”
“Satu bulan? Yang benar saja, Dok. Bagaimana biayanya?”
“Tidak apa-apa. Ini adalah kecelakaan, rumah sakit bisa memberikan bantuan.”
Samar-samar, aku bisa mendengar percakapan antara Dokter dan Mama-Papa. Saat itu, jabatan Papa belum terlalu tinggi, gaji Papa hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolahku.
Aku berusaha membuka mata. Sayangnya, mataku lengket. Ayolah! Aku ingin bertanya, apa yang terjadi, namun mulutku juga tidak bisa digerakkan. Bibirku seperti menyatu, lidahku seolah membeku.
“Sebaiknya, jangan bergerak dulu, Nak."
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Lanjut....