Ammarista Dzakiyya Ats-tsaniah

KONNICHIWA!! Watashi wa Kiyya/Amma desu. Hobiku membaca, menulis, dan menggambar. Aku paling suka membaca novel--khususnya karya Tere Liye--dan komik Dete...

Selengkapnya
Navigasi Web
Case Closed! (Bab 6)

Case Closed! (Bab 6)

--Di bawah langit yang sama, kita...—

Lemon?

“Tolong carikan korek api. Aku sepertinya tahu rahasia buku ini,” aku menatap lilin di atas meja.

“Ini, tadi aku menemukannya di meja samping tempat tidur,” Alan menyodorkan korek api kayu.

“Terimakasih,” aku menerima korek itu.

Dengan hati-hati, aku menyalakan lilin. Setelah api lilin menyala, aku meraih salah satu dari tiga buku tadi. Aku membuka halaman pertamanya, lalu mendekatkannya ke api.

“Hei! Kertasnya bisa terbakar, lho!” Alan hendak mencegah.

“Biarkan. Lihatlah apa yang terjadi,” Albert mencegah.

Sesuai dugaanku! Kakak May menyalin buku yang dipinjamnya dan ditulis di buku ini menggunakan cairan lemon. Menakjubkan, bisa menyalin tiga buku sekaligus dengan cara sesulit ini.

“Aku baru sadar, buku ini tiga kali lipat lebih tebal dari yang biasa kakakku baca,” celetuk May tiba-tiba.

“Kakakmu menyalin buku yang biasa dia baca menggunakan air lemon. Lemon diperas, kemudian cotton bud dicelupkan dalam air lemon. Tuliskan apa yang ingin ditulis, dan ketika air lemonnya sudah kering, tulisannya akan menghilang dan baru muncul jika didekatkan dengan api. Karena ukuran cotton bud lebih besar dari pulpen atau pensil, tulisannya jadi besar-besar. Karena itulah, buku ini tiga kali lebih tebal,” jelasku panjang lebar.

Albert, Fian, dan Alan mengangguk-angguk. Semuanya sudah paham sekarang.

“Kalau memunculkan tulisan-tulisan itu sekarang, akan memakan waktu lama dan tulisannya akan hilang lagi. Jadi bagaimana kalau tiga buku ini kubawa dulu? Nanti aku scan setiap halamannya,” usulku.

“Boleh, itu cara yang lebih baik. Lagipula, kita tidak bisa berlama-lama di sini. Ayah Alan bahkan mungkin sudah tertidur lelap di mobil,” Albert menyeringai.

Kami semua mengangguk. Aku membawa tiga tebal itu keluar dari rumah kayu.

Sampai di mobil, Ayah Alan tertidur pulas, hingga mengorok dan terdengar dari luar mobil. Susah sekali membangunkannya. Alan terpaksa mengeluarkan ‘jurus’ yang diajarkan oleh ibunya, yang tak lain ialah, menggelitik perut buncit ayahnya hingga tak kuat menahan geli dan terbangun. Kami pun diantarkan ke rumah masing-masing.

* * * * *

Setelah melalui perjalanan panjang, akhirnya aku sampai di rumah tepat sebelum matahari terbenam. Mama memberitahuku kalau Papa akan menginap di kantor malam ini. Aku bersyukur karena Papa tidak mengetahui kalau aku pulang sangat telat.

Aku naik ke kamar, melepas jilbab, dan segera membersihkan diri. Beberapa menit kemudian, aku sudah merasa lebih segar dan melakukan aktivitas seperti biasanya. Ibadah, belajar, mengerjakan tugas OSIS yang sangat merepotkan, dan sebagainya. Setelah semua tugasku selesai—kecuali rancangan acara ulang tahun sekolah yang belum sepenuhnya fiks—aku berbaring di tempat tidur dan menyalakan tablet. Jariku menggulir layar satu persatu, lalu menekan aplikasi Project Sekai: Colorful Stage!. Entah kalian tahu game ini atau tidak, tapi aku sangat menggemari game ini. Yah, aku jarang memainkannya akhir-akhir ini karena sibuk, jadi aku berniat memainkan beberapa lagu untuk hiburan.

* * * * *

Setelah hampir setengah jam aku bermain, aku baru teringat satu tugas penting:

Memunculkan tulisan-tulisan di buku Kakak May.

Astaga! Bagaimana aku bisa lupa akan hal penting itu? Aku segera mengambil tiga buku tebal dari tas dan duduk di kursi belajar. 5 detik kemudian, aku hanya bengong.

“Eh, kan aku harus ambil korek sama lilin, kocak!”

Bisa-bisanya. Entah karena apa, pikiranku jadi kosong begini. Apa aku sudah mengantuk, ya? Tidak, ini masih jam 8 malam. Biasanya aku baru tidur pukul 9.

Aku keluar kamar dan melangkahkan kaki menuju dapur. Mama seharusnya menyimpan korek dan lilin di lemari dapur. Walau Teren kota maju, tetap saja ada pemadaman listrik. Biasanya karena ada masalah di kabel optik di bawah tanah, dan listrik baru bisa menyala setelah seharian diperbaiki. Saat perbaikan itu, sekolah diliburkan dan malamnya kami tetap bergantung pada lilin—atau lebih canggih lagi, lampu emergency. Tapi Mama selalu lupa membeli lampu emergency, pikirannya selalu ke cara kuno, lilin.

Dan akhirnya, setelah membongkar barang-barang di lemari dapur, aku menemukan sebuah lilin panjang dan korek api. Lalu, aku mengambil sebuah piring kecil di rak piring dan membawa semua perintilan itu ke kamar. Piring kecil ini nantinya akan kugunakan sebagai tempat lilin berdiri. Sedikit tips dari Mama.

Setelah mendapatkan alat yang dibutuhkan, aku segera kembali ke kamar dan duduk.

Tadi aku mau ngapain, ya?

Hah?

Ngapain, sih?

“Astaghfirullahal’adzim, kan mau munculin tulisan di buku kakaknya May! Apa, sih?!”

Dari tadi aku kenapa, ya?

Yah, singkatnya, setelah mencaci diri ini yang mendadak jadi pelupa, aku segera menggunting halaman-halaman buku satu persatu. Lalu menyalakan lilin, dan mulai memunculkan semua tulisannya. Aku tidak sempat membaca apa isi dari buku itu, langsung ku-scan dengan tablet.

Setelah satu jam, aku baru selesai satu setengah buku. Sekarang sudah pukul 9.

“Lanjut besok saja, deh. File buku pertama digabungkan dulu, terus tidur.”

Akhir pekan yang melelahkan.

* * * * *

Besoknya, aku bangun terlalu awal. Masih jam setengah 3 pagi. Aku memutuskan mandi dulu, ibadah malam, dan membaca beberapa buku pelajaran sekolah. Dan akhirnya, karena aku membaca sambil rebahan, aku malah tertidur sampai adzan Subuh berkumandang.

Setelah sholat, aku menyiapkan kebutuhan sekolah.

“Bosan.”

Satu kata yang keluar dari mulutku setelah semua pekerjaan selesai. Ini masih terlalu awal untuk berangkat sekolah. Sarapannya saja belum siap, bagaimana mau berangkat?

Dan pada akhirnya, aku menyalakan tablet, dan bermain Project Sekai, lagi. Yah, bukan masalah sih. Tidak setiap hari aku memainkan game rhythm ini. Lagipula, mumpung sedang ada event menarik, sekalian saja aku urus akun yang nyaris terbengkalai itu.

“Fideel, ayo sarapan!”

Setengah jam kemudian, sarapan akhirnya siap. Entah apa yang Mama masak hingga lama sekali.

“Woah...!” aku berseru melihat hidangan di atas meja.

Katsu ayam, waffle cokelat, dan susu vanila hangat. Semuanya adalah menu favoritku.

“Fufu. Ayo, jangan bengong, nanti makanannya dingin,” Mama tersenyum sambil menduduki kursi di dekatnya.

Aku duduk di kursi tepat di depan Mama, lalu mulai menyantap sarapan ter-lezat ini.

“Mmm~” mulutku mulai mengunyak daging yang sangat lembut dan gurih. Kemampuan memasak Mama memang tak tertandingi!

“Enak?”

Aku mengangguk cepat. Dengan cepat, aku mengunyah katsu dengan sangat lahap. Lalu menghabiskan waffle, dan terakhir, meminum susu vanila. Setelahnya, aku mencuci semua alat makan yang kugunakan, lalu mengambil tas di kamar, dan berpamitan.

“Aku berangkat dulu, Mama. Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalam, hati-hati!”

Aku mengangguk, dan mengayuh sepeda.

Ini masih jam 6 pagi. Jalanan sangat sepi. Aku bisa bebas mengayuh sepedaku secepat yang aku mau.

“Loh, gadis itu... rasanya aku pernah melihatnya...” aku menyipitkan mata, melihat gadis yang bersepeda agak jauh di depanku. “Ah! Aquila!”

Aku mempercepat kayuhan sepeda, hingga aku berada di samping Aquila.

“Yo, Aquila!”

“Eh, Kak Fidel?!” dia nampak terkejut melihatku tiba-tiba berada di sampingnya.

Ekspresi Aquila yang terkejut sangatlah imut, rasanya aku ingin mencubit pipinya yang agak tembam.

“Hehe~”

Setelahnya, kami mengobrolkan banyak hal. Planetarium yang sedang dibangun, cuaca akhir-akhir ini, dan sebagainya. Dan di persimpangan jalur, Aquila pamit dan berbelok ke jalur yang menuju ke sekolahnya. Aku tersenyum dan melambai padanya.

Omong-omong, kenapa tiba-tiba Mama menyiapkan sarapan dengan menu favoritku, ya? Biasanya kami hanya sarapan dengan telur, sosis, dan makanan simpel lainnya. Tumben sekali menyiapkan makanan yang lumayan berat.

Secara tiba-tiba, area sekitarku menjadi redup. Seperti ada kain hitam tipis yang menutupi matahari. Kendaraan yang ada di jalur lain juga berhenti. Jangan-jangan, waktunya berhenti lagi? Tapi, kenapa aku masih bisa mengayuh sepeda?

“Sekarang, ingin sok berbuat baik? Peduli dengan pinggiran yang justru sudah hancur lebur? Kamu bahkan masih tidak menatap pinggiran lainnya. Detektif gadungan.”

Suara itu lagi.

“Aku juga punya tugasku sendiri sebagai detektif di kota ini. Masih ada satu kasus besar yang belum tuntas. Bagaimana bisa aku meninggalkan satu tugas yang belum tuntas dan beralih ke hal lain? Pak Lionel pasti akan menegurku habis-habisan, juga para inspektur. Siapapun kau, jelas-jelas sudah meremehkan peranku sebagai detektif Teren.”

“Baiklah kalau itu jawabanmu. Tapi, apabila kau tidak segera peduli dengan keadaan pinggiran Teren yang lainnya, bersiaplah.”

“Hah? Bersiap? Maksudmu?”

Sedetik kemudian, waktu sudah kembali berjalan. Aku menoleh ke belakang, murid-murid mulai ramai berangkat ke sekolah. Aku mempercepat kayuhanku, berusaha sampai ke sekolah secepat mungkin. Aku harus pergi ke cermin dan menceritakan ini pada Pak Tua secepatnya.

To be continued......

Moshi-moshii~! Apa kabar? Akhirnya saya bisa melanjutkan cerbung yang nyaris terbengkalai ini. Gomen, author akhir-akhir ini sibuk.. Btw, selamat Hari Raya Idul Fitri bagi yang merayakan, mohon maaf lahir dan batin! Author merasa punya banyak salah karena sudah lama tidak update...🙏 Dan, yap, seperti biasa, jangan segan-segan kalau ada saran atau kritik!

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Yuhuu.... Semangat terus, yaa.... Aku setia menanti, hehe

12 Apr
Balas

makasih kaak, kunanti juga cerbungnyaa

12 Apr



search

New Post