Ammarista Dzakiyya Ats-tsaniah

KONNICHIWA!! Watashi no namaeha Kiyya/Amma desu. Indoneshiajin desu. Hobiku membaca, menulis, dan menggambar. Aku paling suka membaca novel--khususnya kar...

Selengkapnya
Navigasi Web
Case Closed! (Bab 4)
ganti sampul gak sih?

Case Closed! (Bab 4)

--Kita bersama, seperti kawan...—

“Assalamu’alaikum, aku pulang.”

Aku memarkirkan sepeda di halaman rumah, kemudian melepas sepatu dan meletakkannya di rak sepatu. Sistem keamanan rumah men-scan mataku, kemudian aku membuka pintu rumah yang sudah tak terkunci.

“Dari mana? Ini sudah lebih 20 menit dari jam-jam normal kamu sampai rumah. Bukannya kamu cuti hari ini?”

Suara berat nan dingin terdengar tepat ketika kedua kakiku menapak lantai ruang tamu.

Itu... Papa.

Ia sedang berdiri di depan TV, menatapku dengan tajam sambil melipat lengan di dada.

“Tadi aku beli alat jahit, titipan Mama.”

“Terus? Pasti kamu mampir dulu ke tempat lain. Ke toko alat jahit itu nggak sampai membuatmu telat 20 menit.”

Glek. Ya, setelah balapan kecil-kecilan dengan Fian, aku memang diajak mampir dulu ke rumahnya yang memang dekat dengan rumahku. Aku diajak berbincang-bincang oleh bundanya. Tapi sekitar 10 menit kemudian, aku bergegas pulang. Aku tidak menyangka Papa pulang lebih awal. Biasanya Ia pulang tengah malam. Dan Papa sangat tidak suka jika aku dekat dengan seorang laki-laki, tidak peduli walau kami teman sesama detektif.

“Kalau ditanya itu jawab!”

Aku menghirup nafas berat.

“Iya, tadi Fidel diajak mampir ke rumah Fian, kebetulan kami ketemu di jalan. Fidel diajak bincang-bincang sebentar sama bundanya, setelah itu Fidel langsung pulang.”

“Papa sudah bilang. Kamu nggak boleh dekat sama lelaki! Apalagi sampai main ke rumahnya. Kamu anak—“

“Fidel berteman baik dengan Fian! Memangnya nggak boleh kalau berteman sama lelaki? Fidel juga merasa kesepian karena Fidel anak tunggal! Fidel tidak punya teman main, jadi wajar kan kalau Fidel mencari teman?”

Aku berusaha berkata tegas. Dan di ujung kalimat itu, aku berlari menaiki tangga menuju kamar. Aku melihat Mama berada di ujung tangga, menatap percakapan kami dengan sendu. Matanya nampak sembab.

Di kamarku, Mama bercerita apa yang terjadi.

Ternyata, sekitar pukul 1 siang, Papa datang dengan penuh amarah. Bawahannya melihat aku mengobrol dan bermain dengan Elly dan Fian. Papa ternyata selama ini menyuruh bawahannya untuk memata-matai pergaulanku. Papa memarahi Mama, karena Mama tidak menjagaku dari pergaulan dengan lawan jenis. Mama mengelak, karena jelas-jelas aku baik-baik saja dan tidak diperlakukan dengan buruk oleh siapapun itu. Papa justru semakin marah karena omongannya dibantah. Ia membentak Mama dengan keras, kemudian pergi meninggalkannya ke ruang tamu untuk beristirahat.

Aku tidak tahu apa istilah untuk sikap Papa terhadapku. Over-Protektif? Hahaha, sangat tidak cocok. Entahlah, semanjak aku memasuki usia remaja, Papa memperketat aturan bergaulku. Tidak boleh bergaul dengan laki-laki. Tentu saja aku tetap bersikeras bergaul dengan siapapun itu, tanpa menghiraukan lawan jenis atau tidak. Yang penting, aku tidak bergaul dengan anak-anak nakal.

* * * * *

Aku tidak bisa tidur. Mematikan semua lampu, memakai penutup mata, ataupun mendengarkan musik klasik, mataku tetap terbuka. Yah, daripada bosan, lebih baik aku membaca komik Detective Conan yang baru aku beli seminggu yang lalu.

Komik Detective Conan sudah menjadi buku bacaanku sejak kelas 2 SD. Aku mendapat banyak ilmu baru dari komik ini. Setiap sebuah kasus muncul dalam buku ini, aku segera berhenti membaca dan mencari tahu jawabannya terlebih dahulu. Barulah aku melanjutkan membaca.

* * * * *

Gelap sekali... Udara di sekitarku sangat tipis, rintik-rintik air menghujam tubuhku. Sepertinya hujan, tapi di mana aku?

Sepi. Aku menoleh kesana-kemari, tapi tidak ada satupun cahaya walau setitik. Sepertinya aku pernah merasakan sensasi yang seperti ini, tapi kapan dan di mana? Aku melangkahkan kaki, berusaha mencari tanda-tanda cahaya. Percikan air terdengar setiap aku melangkah. Aku meraba wajahku, memastikan tidak ada barang apapun yang menutupi mata. Sungguh, aku pernah merasakan yang seperti ini sebelumnya.

Teng.. tong.. tung.. ting...

Aku menoleh. Itu suara piano. Siapa yang bermain piano?

“Denting piano... Kala jemari menari. Nada merambat pelan... Di kesunyian malam saat datang rintik hujan, bersama sebuah bayang... Yang pernah terlupakan...”

Aku terkesiap. Itu lagu yang sangat aku sukai. Lagu jaman dulu yang berjudul Yang Terlupakan, yang dinyanyikan oleh Iwan Fals. Aku mengetahuinya dari almarhum kakekku ketika aku masih kelas 3 SD dulu.

Dan suaranya... Sepertinya aku pernah mendengarnya. Aduh, itu, itu.....

Aha! PAK TUA!

“Pak Tua? Apakah itu kamu?”

“Hati kecil berbisik, untuk kembali padanya. S’ribu kata menggoda... S’ribu sesal di depan mata. Seperti menjelma.. waktu aku tertawa.... Kala memberimu dosa...”

“Hei, Pak Tua?!” aku berlari kesana kemari, membuka mata selebar mungkin, mencari cahaya seredup mungkin.

“Ooh... maafkanlah...”

“FIAN?!”

Astaga, kenapa ada suara Fian juga?

“Pak Tua, Fian, di mana kalian? Gelap sekali... Kumohon, datanglah...” aku terduduk di tanah yang basah, lelah berlari kesana kemari.

“Mulai sekarang, kamu harus belajar kehilangan dengan arti yang lebih dalam, Fidel.”

Aku menoleh. Cahaya! Nampak ada Pak Tua, Elly, May, Fian, Alan, Mama, Papa, dan semua orang terdekatku, termasuk Pak Nicholas!

“Apa maksud kalian? Kehilangan dengan arti yang lebih dalam?”

“Sebelum mengetahui lebih lanjut apa yang kami maksud, sebaiknya segera bangun, Nak,” Pak Tua menatapku lembut.

“Tunggu!”

Pats!

“Eh?” aku terbangun.

Itu... mimpi yang pernah aku alami sebelumnya, tepatnya ketika aku masih kelas 1 SD, masih anak-anak.

* * * * *

Sehabis sarapan, aku ke kamar untuk memasukkan semua buku-buku tugas ke dalam tas, termasuk kotak bekal. Setelah itu, aku berpamitan pada Mama dan berangkat ke sekolah.

Baik, aku ceritakan saja.

Ketika aku masih kelas 1, aku bermimpi bermain di taman bersama orang-orang terdekatku, orang yang aku sayangi. Namun, tepat ketika hujan turun, mereka hilang menjadi abu yang tertiup angin, bersamaan dengan datangnya kegelapan yang sangat pekat. Aku ketakutan sekali ketika terbangun, dan hanya bisa meringkuk di kasur sampai Subuh tiba.

“Aduh!”

Sruk! “Woi! Kalau sepedaan jangan belok-belok dong!”

Aku menpuk-nepuk rok seragam yang kotor. Aduh, rantai sepedaku terlepas. Ya, aku tertabrak oleh pesepeda di belakang.

“Eh? Kamu Fidel ya? Eh, maksudku, Kak Fidel. Maaf!” aku mendongak. Seorang gadis kecil dengan rambut dikepang dua, tampak manis dengan bando yang dikenakannya.

“Hehe, iya! Kalau boleh tahu, namamu siapa ya?” aku menjabat tangannya.

“Namaku Aquila, kak. Maaf, tadi aku berteriak,” gadis bernama Aquila itu menerima jabatan tanganku.

“Eh, tidak apa-apa. Aku juga minta maaf karena sudah belok-belok tadi,” aku mengusap kepala, kemudian berjongkok untuk melihat kondisi rantai sepedaku. “Omong-omong, kamu bersekolah di mana? Kelas berapa?”

“Oh, aku satu sekolah dengan Kak May dan Kak Alan, dan sekarang aku kelas 4,” Aquila memperhatikan aku yang sedang mengutak-atik rantai sepeda. “Rantainya putus kah?”

“Tidak, hanya keluar dari jalurnya saja. Sebentar lagi selesai, dan, yak! Sudah!” aku menepuk-nepuk kedua tanganku, kemudian mengambil sapu tangan di tas.

“Wah, syukurlah. Sekali lagi maaf ya, kak!” Aquila membungkuk 45 derajat. “Omong-omong, boleh minta nomor handphone-nya nggak ya?”

“Boleh! Sebentar,” aku menyobek secarik kertas dari buku tulis, kemudian menulis nomor handphone­-ku menggunakan bolpoin.

“Terimakasih, kak!” Aquila tersenyum senang. Dia membungkuk 45 derajat, kemudian menaiki sepedanya dan pergi.

“Sama-sama!” aku melambaikan tangan, mengecek rantai sepeda, kemudian kembali mengayuh pedal.

Pagi ini banyak truk berlalu-lalang. Sepertinya Pak Nicholas sedang merencanakan pembangunan gedung. Sepertinya tadi malam aku membaca beritanya di tablet, kalau tidak salah akan dibangun planetarium besar. Aduh, aku ingin sekali masuk ke dalamnya kalau pembangunannya sudah selesai nanti.

Salah satu di antara truk-truk itu tampak goyang-goyang. Semakin lama, goyangannya semakin keras. Dan tak lama kemudian, truk itu ambruk ke jalur sepeda. Beruntung tidak ada anak yang melintas di samping truk itu. Beberapa anak di sekitar situ berteriak histeris.

Mirip apa? Mirip kejadian 3 tahun lalu.

Aku mengela nafas berat, kemudian menghentikan sepeda dan melapor ke guru melalui handphone bahwa aku telat masuk sekolah. Robot-robot datang mengamankan jalan, mendirikan truk yang ambruk, dan membersihkan material yang berserakan.

Di saat yang sama, ketika aku dan anak-anak lainnya diamankan oleh robot keamanan, waktu di sekitarku berhenti. Aku bisa merasakan angin dingin menerpa tubuhku. Ada apa ini? Aku tidak mengaktifkan kekuatanku. Lalu, apakah orang dan robot lain tahu bahwa waktu sedang berhenti? Aku khawatir hanya aku saja yang tahu bahwa waktu tengah berhenti. Jangan jangan, kekuatanku tidak dapat kukontrol?

“Kamu pikir, hanya kamu saja yang dapat menghentikan waktu?”

Aku menoleh. Eh? Aku bisa bergerak?

“Hmph, orang-orang Teren memang lemah. Mereka bahkan tidak menyadari kehadiran kami,” ucap seorang perempuan, usianya sepertinya sebaya denganku dan berambut panjang sebahu.

“Siapa kau?” ucapku tegas.

“Benar, kan? Mereka tidak tahu, apa yang terjadi di bagian kecil di kota ini.”

“Katakan, siapa kau?” aku berjalan mendekati perempuan itu. Mataku menatap tajam. Aku sudah menyiapkan shuriken untuk berjaga-jaga.

“Hmph, kamu tidak perlu tahu. Cari tahu saja sendiri,” perempuan itu menekan sebuah tombol kecil di gelangnya, kemudian dalam sekejap, dia sudah hilang dan waktu kembali berjalan.

“Hei! Kemari, ke tempat aman!” salah satu robot berseru.

“Eh? Ah! Maaf!” aku berlari kecil mengikuti robot tadi.

Aduh, tadi itu halusinasi atau bagaimana?

“Nak, berhati-hatilah mulai sekarang.”

“Astaga, Pak Tua!” aku meloncat kaget. Beruntung di sekitarku tidak ada orang. “Mengapa Pak Tua tidak berkelana melalui cermin seperti biasanya?”

“Kau tahu sendiri kan, di sini cermin yang kutahu hanya cermin kecil di tasmu. Dan aku terpaksa keluar dari cermin dengan wujud hanya suara.

“Baiklah, lalu, apa yang Pak Tua maksud dengan hati-hati?” aku berjalan menjauh dari kerumunan.

“Intinya hati-hati. Kamu juga harus bekerja lebih keras setelah ini. Kejadian waktu yang berhenti tadi adalah peringatan pertama.”

Suara Pak Tua menghilang. Aku terdiam. Peringatan? Apa maksudnya? Lagipula, kata-kata perempuan tadi juga sangat misterius. Aduuh, cukup masalah penembak jitu saja! Jangan ditambah masalah lain!

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keep fight, Fidel! Penulisnya juga!

10 Sep
Balas



search

New Post