Case Closed! (Bab 3)
--Tak ada lagi yang kita takuti...--
Apa yang kamu rasakan ketika seseorang menegurmu, namun orang itu tak terlihat? Panik? Takut? Itu tidak berlaku bagiku. Aku hanya penasaran, siapa sosok ini?
Cklek!
Akhirnya... setelah teguran itu, aku hanya diam, tidak bergerak, menunggu semua orang pergi. Aku ingin bicara sendiri dengan sosok ini, tanpa ada yang mengetahuinya.
“Siapa kamu?” akhirnya, setelah berkali-kali berusaha membuka bibir, menggerakkan lidah, suaraku keluar.
“Bukan siapa-siapa. Hanya orang yang tak akan terlihat oleh siapapun,” suaranya menggema di telingaku, terdengar seperti suara seorang pria tua. “Kau bisa memanggilku Pak Tua.”
Aku masih belum mengerti. Tak akan terlihat? Apakah sosok ini adalah arwah? Atau jin?
“Aku menemuimu untuk memberi dua rahasia. Dan mungkin kamu tak akan memercayainya.”
Intonasinya berubah menjadi serius.
“Dunia ini tidak sesederhana, sebaik, dan seindah yang kamu pikirkan. Orang-orang baik, mungkin saja mereka sedang memakai topeng, menyembunyikan sifat aslinya. Tidak ada yang tahu. Ingat baik-baik, informasi yang kuberikan ini sangat penting untuk kehidupanmu. Setelah informasi ini kusampaikan, pastikan. Hanya tiga orang temanmu yang akan mengetahuinya, jangan sampai bocor ke orang lain.”
Aku mengangguk. Siap mendengarkan.
“Dahulu kala, pada zaman perang, setiap kelompok berusaha mempertahankan wilayahnya dari jajahan kelompok lain. Tidak sedikit pejuang yang berguguran. Warga kelompok yang tertangkap dijadikan budak, para lansia, wanita, dan anak-anak diangkat sebagai keluarga. Tidak banyak orang yang tahu terkait sejarah terbentuknya kota-kota besar di dunia. Dalam pelajaran sejarah kalian mungkin hanya ada para ilmuwan terdahulu, pemimpin dari abad-abad sebelumnya.
“Kota Teren dibentuk oleh para ilmuwan genius. Mereka mengembangkan teknologi, membuat senjata yang kuat untuk membasmi para penjajah. Setelah berabad-abad lamanya, seluruh perang selesai. Setiap negara mengumumkan kemerdekaannya. Kecuali Teren.... Teren tidak terletak di negara manapun. Para ilmuwan menutup mulut, tidak bergabung dengan persatuan antar-negara. Setelah 10 tahun hanya diam, Jepang akhirnya mengetahui keberadaan Teren. Perang meletus kembali, dan diakhiri dengan kekalahan Teren. Setelah melalui banyak pertimbangan, Teren akhirnya berdiri. 5 abad berlalu dengan damai. Teknologi berkembang semakin maju, terlebih lagi Teren. Para pemimpin memutuskan membuat sebuah program untuk mengatur segala akses teknologi di dunia. Program itu kemudian dipecah dan diletakkan di berbagai tempat, salah satunya di Teren. Program ini dijaga ketat dan diletakkan di Gedung Mainframe Teren. Tak banyak orang yang mengetahui isi dari gedung ini.
“Suatu saat nanti, kalian akan terlibat dengan mainframe tersebut. Oleh karena itu, persiapkan diri kalian dari sekarang.”
Aku mengangguk. “Lalu rahasia yang kedua?”
“Setelah kejadian tragis ini, lengan kananmu yang patah akan sulit digerakkan. Namun dalam kondisi tertentu, sebuah kekuatan besar akan mengendalikan seluruh tubuhmu. Kekuatan ini diwariskan turun temurun dari keluarga ibumu. Jadi, sebaiknya, tanyakan selebihnya pada ibumu.”
* * * * *
Setelah memori itu terputar, pandanganku kembali menjadi gelap gulita kembali. Namun perlahan kesadaranku pulih, dan aku bisa membuka mata.
“Ah, kamu sudah bangun, Fi,” May tampak tersenyum tipis. Dia sendirian, duduk di kursi samping ranjang tempat aku berbaring.
Aku berusaha duduk. Astaga, kejadian ini, entah sudah berapa kali aku mengalaminya.
“Di mana yang lainnya?”
“Sedang makan.” May menjawab singkat, kemudian mengambil segelas air minum dan menyodorkannya padaku.
“Kamu tidak makan?” aku menerima gelas itu dan meneguknya.
“Aku tidak lapar.”
Aku mengangguk. Aku melirik lengan kananku, lalu mengeluh pelan melihatnya dipasangi perban.
Pak Tua memang benar. Setelah aku diperbolehkan pulang dari rumah sakit tiga tahun yang lalu, aku menanyakan pada Mama, apakah yang dikatakan Pak Tua itu memang benar? Hari itu, akulah yang terkejut, karena ternyata semua yang dikatakan Pak Tua memang benar apa adanya. Sejarah Teren, kekuatan tersembunyi. Keluarga Mama adalah keluarga para ilmuwan dan pendiri Teren. Mereka memiliki keterampilan dan kekuatan misterius dari leluhur mereka dulu. Keluarga Mama—Keluarga Oliver—dulu berperan penting dalam perkembangan Teren. Namun suatu kejadian yang aku dan Mama tidak tahu membuat Keluarga Oliver terpecah.
“Jangan terlalu dipikirkan. Istirahatlah, kemudian kau bisa melepas beban ini. Yah, aku tidak tahu kapan itu terjadi, tapi aku yakin, suatu hari nanti, beban ini dapat dilepas.”
Aku menatap May bingung. Apa maksudnya?
Setelah mengobrol beberapa saat, kami menuju ruang rapat.
“Semuanya sudah berkumpul? Baiklah, kita mulai. Pertama, May dan Alan, ke mana saja kalian, heh?” Inspektur Thomas berseru.
“Maaf, Inspektur. Tadi kami masih piket, dan kelas lebih kotor dari biasanya. Jadi kami sedikit lebih lama,” May menjawab.
“Baiklah, tidak apa. Lalu, apakah kalian mendapatkan informasi terkait penembak itu?”
“Aku dan Fian tidak tahu apa-apa terkait penembak itu, Inspektur Belle. Namun sepertinya May dan Alan mengetahui sesuatu,” aku berkata pelan, khawatir menyinggung.
“Benarkah itu?”
“Kami mungkin tahu tentang penembak itu, tapi aku tidak mau mengatakan apapun tentang mereka.”
“HEI—“
“Tunggu, Thomas. Bagaimana denganmu, Alan?”
“Ng, itu rahasia keluarga Ruger, jadi, maafkan aku, Inspektur.”
Inspektur Belle mengembuskan nafas, kemudian menutup rapat. Nihil. May dan Alan tidak ingin membocorkan rahasia keluarga mereka. Eh? Mereka berasal dari keluarga yang sama?
* * * * *
Senin pagi. Lelah sekali, aku benar-benar panik hari Jum’at kemarin, karena gerakan senam yang kurang energik. Rekan lainnya juga begitu.
Matahari baru saja keluar dari persembunyiannya, namun lagi-lagi aku sudah harus berangkat ke sekolah—yah, Kak Rost bilang kami harus rapat lagi. Ugh, kali ini rapat tentang apa, sih? Aduh, jangan-jangan karena gerakan senam kemarin tidak bagus? Aduh, bagaimana ini.
Sampai di sekolah, Pak Satpam baru saja datang untuk menghidupkan scanner iris. Sepertinya aku terlalu pagi. Setelah mataku di-scan, aku bergegas masuk ke kelas. Aku melangkah menuju cermin di dekat pintu, kemudian mengusapnya perlahan.
“Pagi, Pak Tua,” aku mendesis pelas. Bayanganku perlahan berubah menjadi bayangan seorang kaket tua berpakaian putih.
“Ho, kau sudah datang pagi-pagi sekali, matahari baru saja keluar,” Pak Tua tersenyum.
Aku tersenyum padanya.
“Apakah ada yang hendak kau tanyakan?”
Aku mengangguk.”Apakah engkau tahu tentang sejarah keluarga Ruger?”
Pak Tua terdiam sejenak, memejamkan mata, seperti tengah mengingat-ngingat.
“Hm, aku tidak banyak tahu tentang keluarga itu, tapi aku pernah melihat sebuah kejadian kelam yang menimpa kediaman mereka di pinggiran kota Teren ketika sedang berkelana dalam wujud tak terlihat ini.” Pak Tua mengembuskan nafas. ”Sekitar 8 tahun yang lalu, tepat ketika perayaan tahun baru. Seluruh keluarga Ruger berkumpul, makan bersama. Mereka membawa makanan masing-masing dari rumah, kemudian dibagikan secara acak. Mereka makan, mengobrol dengan penuh sukacita. Beberapa anggota keluarga menampilkan pertunjukan keren. Mereka bernyanyi, menari, melakukan atraksi, hingga komedi. Namun, baru saja sekitar 30 menit perayaan itu berlangsung, semuanya menjadi kacau.”
Pak Tua berhenti sejenak. Aku menelan ludah.
“Seorang ibu berteriak, kemudian berlari menghampiri pemimpin keluarga. Ia bilang suaminya diserang oleh seseorang yang memegang senapan. Belum habis perkataan ibu itu, dia ditembak dari belakang. Seluruh anggota keluarga panik, berlarian. Para lelaki dewasa habis-habisan menghalau para penembak itu. Namun sialnya, para penembak terlanjur membakar habis seluruh wilayah. Anggota keluarga yang tersisa berlari menembus lautan api, berusaha kabur. Dan sekarang mereka hidup terpisah.”
“Itu artinya, May dan Alan juga ada dalam kejadian itu?”
“Aku tidak tahu, ada dua kemungkinan. Mungkin mereka melihat secara langsung semua yang terjadi, atau diceritakan oleh orangtuanya—yah, mungkin saat itu mereka masih sangat kecil.”
Aku menghela nafas. Belum sempat aku bertanya lagi pada Pak Tua, telingaku menangkap suara langkah kaki di ujung koridor.
“Baiklah, aku harus pergi. Jaga kesehatanmu dan selalu waspada. Mungkin ini adalah peringatan bagi kita.”
Bayangan Pak Tua berangsur hilang. Aku melangkah keluar kelas. Awan putih berarakan. Burung-burung berkicau. Sangat damai. Aku benar-benar tidak bisa memperkirakan apa yang sebenarnya terjadi.
“Pagi, Fidel.”
“Pagi.”
Aku menjawab sapaan itu tanpa menoleh. Sudah jelas itu adalah Fian. Aku memilih kembali melamun menatap gedung sekolah.
“Kamu datang pagi sekali.”
“Terserah mauku.”
“Oh ya, kemarin May mengatakan sesuatu ketika kamu masih pingsan.”
Aku menoleh. Sepertinya menarik.
“Sudahlah, nanti saja. Aku mau tidur.”
Aku mendengus kesal. Berkali-kali aku membujuknya, Fian justru memilih memejamkan mata dan menyembunyikan kepalanya di lengannya di atas meja.
* * * * *
Tepat ketika bel pertama berbunyi, rapat ditutup dengan tuntutan tugas-tugas untuk mempersiapkan hari ulang tahun sekolah—Kak Rost sempat menyinggung sebentar soal senam Jum’at, tapi kami tidak dimarahi. Aduh, padahal aku masih harus memikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada May dan Alan serta siapa penembak jitu itu
Hari ini semuanya terasa berat. Aku tidak berselera untuk makan. Pelajaran di kelas masih bisa kuterima, tapi tetap saja, pundakku seperti ditindihi batu besar.
Hari ini kami libur. Usai bel pulang sekolah datang, aku segera pulang ke rumah.
Di tengah jalan, tiba-tiba aku ingat, Mama titip dibelikan benang jahit lengkap dengan jarumnya. Aku bergegas berbelok di persimpangan, kemudian turun dari jalan khusus sepeda ke jalan tempat toko, restoran, dan sebagainya dibangun. Mataku menyapu pinggir jalan dengan teliti. Akhirnya, toko peralatan jahit yang cukup ramai terlihat. Setelah memarkirkan sepeda, aku berjalan cepat memasuki toko itu, memungut jarum jahit dan benang sesuai dengan warna yang Mama inginkan. Setelah memastikan semua pesanan sudah diambil, aku meraih dompet cokelatku di tas, kemudian beranjak menuju kasir.
“Totalnya tiga puluh ribu.”
Aku menyerahkan selembar uang lima puluh ribu. Penjaga kasir wanita itu menerimanya, kemudian menyerahkan selembar uang dua puluh ribu.
“Terimakasih sudah berbelanja di sini,” penjaga kasir itu tersenyum lebar sembari menyerahkan belanjaanku.
Aku kembali mengayuh sepeda perlahan, sesekali menyapa teman sekelas. Tiba-tiba, sejumlah anak kecil melaju dari belakangku. Mereka sepertinya sedang balapan. Aku hanya tersenyum melihat mereka, padahal baru kemarin penembak jitu menembaki para pelajar.
“Mau balapan seperti mereka juga?”
Aku tersentak. Tanpa kusadari, Fian sudah berada di sampingku. Kami bertatap-tatapan sejenak, kemudian aku membuyarkan pandangan.
“Eh, uh, tidak, kok!” aku mempercepat kayuhan.
“Aku memang hanya unggul di perhitungan, tapi dari perilakumu, jelas-jelas kamu berbohong.”
Glek! Aku menelan ludah, Fian sudah berada di sampingku lagi.
“Yaah, baiklah, yang terakhir sampai di persimpangan selanjutnya akan mentraktir nasi goreng di kantin besok,” tanpa ragu, Fian melaju kencang.
“HEI! Tungguuu!!” aku bergegas mengayuh sepeda sekuat tenaga. Enak saja! Akan kupastikan dia yang akan mentraktir nasi goreng!
Jalanan tidak terlalu ramai. Kami berdua dengan mudah meliuk-liuk di antara pelajar lain. Jarak kami tersisa 10 meter. Fian tampak melirik sebentar ke belakang, mengernyitkan alis, kemudian kembali menoleh ke depan.
Nampaknya aku tahu dia akan melakukan apa. Pasti Fian akan menghitung kecepatan minimal agar aku tidak disalip! Huuh, dia pikir aku tidak bisa menghitung beginian?
Aku menekan tombol kecil di pojok atas kacamataku. Diam-diam, aku memodifikasinya agar bisa melakukan sejumlah hal. Misal, melacak posisi seseorang melalui ponselnya, menampilkan peta kota ini, mengukur waktu, dan mengukur jarak, kecepatan, percepatan, dan volume sebuah benda, hingga menampilkan gelombang suatu bunyi, dan sebagainya. Tentu saja tidak pusing melihatnya karena aku mendesainnya agar bisa menjadi hologram yang bisa kuatur dengan tombol-tombol di gagang kacamataku. Yah, setidaknya aku bisa memahami hal-hal seperti ini karena mengikuti ekskul robotik di sekolah.
Baiklah, mari kita hitung! Sebelumnya, aku menghentikan waktu—yah, salah satu kekuatan keluarga Oliver adalah manipulasi waktu, dan inilah satu-satunya kekuatan yang bisa kukendalikan. Jarak kami sekitar 10 meter. Kecepatan rata-rata Fian adalah 10 m/s, sedangkan kecepatan rata-rataku adalah 12 m/s. Kita eksekusi!
Yaa, kira-kira begitulah.
Pats! Aku segera mengembalikan waktu. Kakiku segera mengayuh lebih cepat, dengan mengira-ngira kecepatan hingga 14 m/s. Dan sekitar 5 detik kemudian, aku berhasil menyalipnya! Horee!
“Woi, kamu curang!”
“Aku nggak curang kok!”
* * * * *
Alhamdulillahhh OSN-K dan OSN-P sudah dilewati! Tetep upload tiap weekend. Jangan lupa saran dan kritiknya, ya!
(Btw Fidel anaknya memang gitu, kadang mempersulit hidup. Gapapa, sekalian belajar :))
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Turut bersuka citaa! Bagus kok. Semangat!
makasihh
Bagus itu, tetap semangat ya!
makasihh