Cancer
Sudah seminggu sejak Celia pulang ke rumah. Ia tidak lagi mencium aroma obat dan tidur di ruangan putih nan sunyi. “Celia, sarapanmu sudah siap!” Panggil ibu dari lantai bawah. “Ya, aku datang bu!” Celia segera menuruni tangga untuk menyantap sarapannya. “Selamat pagi ayah, ibu.” Sapa Celia dengan ceria. “Selamat pagi, Celia.”
“Ayah, ibu. Hari ini kondisi tubuhku sangat prima. Aku boleh kan keluar sebentar untuk jalan-jalan?” Sudah lama sejak ia di rumah sakit, ia pasti rindu dengan suasana di luar. “Tapi Celia…” Ibu masih khawatir dengan keadaan Celia. Namun, ayah segera mencegah perkataan ibu. “Baiklah, tapi jangan pulang terlalu malam ya?” Ucap ayahnya. Celia tersenyum puas, ia segera berpamitan kepada orangtuanya. “Hari ini aku ingin mengunjungi sekolah. Aku pergi dulu ya.” Ia melambaikan tangannya ke orangtuanya. “Ayah, memangnya tidak apa-apa membiarkan Celia keluar rumah?” Ucap ibu dengan khawatir. “Biarlah, bu. Hanya ini yang bisa kita lakukan sebagai orangtuanya.” Ayah merangkul ibu dengan erat, ibu mulai mengucurkan air matanya. “Seandainya saja diagnosa itu salah.” Air mata ibu semakin mengalir deras. “Ya, seandainya.”
*Kilas balik*
“Dari hasil rontgen otak ini, putri anda memiliki penyakit yang jarang ditemui. Putri anda mengalami Medulloblastoma, itu kanker otak yang cukup langka. Belum ada pengobatannya.” Ucap dokter itu sambil memberikan secarik kertas berisikan hasi rontgen otak Celia. “Apa anda yakin diagnosanya tidak salah?!” Ayah mencoba meyakinkan dokter tersebut. “Sayangnya, semua data ini benar. Saya disini sebagai dokter wajib putri anda. Saya ingin memberitahukan bahwa putri anda tidak memiliki banyak waktu.” Lanjut dokter. “Berapa lama waktu putri saya?” Ayah dan ibu sangat takut kehilangan putri satu-satunya yang mereka cintai. “Satu bulan.” Ibu dan ayah kaget dan lemas tak berdaya. Mereka tidak sanggup kehilangan putri mereka.
*Kilas balik selesai*
Celia sampai di sekolah nya. Ia berjalan-jalan di sekitar sekolah dan melihat papan pengumuman. Tampaknya sekolah sedang diliburkan. Celia berjalan menuju kelasnya, ia mengambil sebatang kapur dan mulai menulis di papan tulis. Hai teman-teman! Celia ada disiniJ. Ia melanjutkan berjalan-jalan di sekeliling sekolah. Setelah puas berkeliling di sekolah, ia melanjutkan perjalanannya ke taman kota. Karena di taman kota banyak kenangan yang terjadi disana. “Wah, tempat bermain ini. Aku masih ingat betul sering bermain disini waktu kecil. Kotak pasir dan papan luncuran, rasanya jadi ingin kembali ke masa lalu.” Celia lanjut berkeliling sambil bernostalgia. “Tuhan, mengapa saya tidak diberi kesempatan untuk hidup lebih lama? Seandainya saya hidup lebih lama di dunia ini bersama ayah, ibu, dan teman teman.” Ucapnya dalam hati. Matanya berkaca kaca, air matanya mulai mengalir. “Ah, sudahlah Celia. Jangan cengeng.” Pikirnya, sambil mengusap air matanya dengan lengan bajunya.
***
Hari ini ulang tahun Celia yang ke-18. Ulang tahunnya dirayakan dengan meriah di rumahnya, karena ini kemungkinan adalah ulang tahun terakhirnya. “Selamat ulang tahun, Celia!” Ucapan selamat dari orang-orang yang ada di dalam ruangan tersebut. Mereka bernyanyi bersama, dan makan kue bersama. Mereka semua bersenang-senang. “Nah, Celia. Sekarang apa permohonanmu pada umur 18 ini?” Tanya salah satu teman Celia. Semua orang pun menunggu jawaban dari Celia dengan penasaran. “Ehm, aku ingin ayah dan ibu sehat selalu.” Ibu dan ayahnya tersenyum. “Terus, aku juga ingin punya adik!” Ujar Celia dengan penuh kegembiraan. Semua orang tertawa, ibu dan ayah hanya tersipu malu. Namun, ditengah kebahagiaan ini, masalah mulai terjadi. Celia pingsan tak sadarkan diri waktu sedang bercengkrama dengan teman-temannya. Ibu dan ayahnya segera berlari ke arah Celia dengan penuh khawatir. “Ambulans! Telpon ambulans!” Ibu secepatnya mengambil telepon untuk menelepon ambulans. Celia segera dilarikan ke rumah sakit dengan ambulans, Ibu dan ayahnya penuh dengan rasa panik. “Celia, ibu mohon Celia bertahan ya? Celia anak kuat. Celia anak ayah dan ibu.” Ibu tidak bisa berbuat apa-apa, ia hanya bisa menyemangati putri semata wayangnya dengan kata-kata walau ia tau putrinya tidak bisa mendengarnya. Ibu sempat mengalami serangan panik, ayah berusaha untuk menenangkan ibu.
30 menit berlalu, Celia masih dalam kondisi kritis. Ibu terus menerus menangis dan lemas tak berdaya. Ia sungguh tak sanggup melihat putri satu-satunya yang ia cintai terbaring lemas di atas ranjang rumah sakit. Tiba-tiba dokter keluar dari ruangan, ayah segera menanyakan kondisi Celia. “Ada apa dokter? Apa Celia berhasil selamat?” Dokter menghela nafas berat. “Sayang sekali, kami sudah berusaha sebisa mungkin menyelamatkan ananda Celia. Kami turut berduka cita.” Air mata mengalir deras dari mata kedua orang tua Celia. Ibu mengalami syok dan sempat pingsan. Mereka tidak bisa melakukan apa-apa lagi, kini putri mereka yang mereka sayangi sudah tidak ada lagi di dunia ini. Meninggalkan mereka berdua untuk selama-lamanya.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar