Suatu Hari Nanti (1)
Aku terhenti tepat di depan pintu rumahku saat mendengar sesuatu dari dalam rumah dibanting begitu keras menimbulkan bunyi yang amat berisik.
Aku masih memantung di tempat memegang ganggang pintu dengan begitu erat saat tak sengaja mendengar makian dari dalam, dadaku bergemuruh hebat, sambil menyeka air mataku kasar aku melihat sekeliling halaman rumahku yang tak sedikit tetangga kami yang dengan terang-terangan mencibirku.
Aku menghembuskan nafas kasar, rasa lelah sepulang sekolah ditambah dengan kondisi rumah yang tak memungkinkan untuk disinggahi membuatku memijit keningku pusing.
"Itu kenapa lagi nak?" Aku menggeleng cepat saat bu wati tetangga kami berdiri di teras rumahnya bertanya perihal masalah keluarga kami yang sebenarnya hal yang tabu bagiku.
Aku tersenyum tipis sambil mencoba menghibur diri sendir. Bila harus jujur, ini memalukan ketika setiap hari orang-orang akan bertanya padaku tentang kedua orang tuaku yang tidak pernah akur itu. Namun, bagaiman lagi? aku tak bisa berkomentar apapun.
Aku mengumpulkan seluruh keberanianku untuk masuk ke dalam rumah untukmemastikan apa yang sebenarnya terjadi di dalam rumah dan........
Tangis pilu yang begitu menyanyat hati itulah yang pertama menyambutku, aku terpaku saat melihat ibuku terduduk di lantai dengan pipi sebelah yang memerah dan rambut yang tak karuan lagi membuat jantungku seperti ingin lepas dari tempatnya.
Aku berjalan kearah ibu tergesa-gesa mencoba menahan tangis yang suatu waktu akan pecah saat itu juga dan dengan sigap aku memeluk tubuhnya yang kurus dan rapuh itu menjadikan diriku benteng terkuat yang pernah ada di sisinya. Nafasku memburu saat ibu membalas pelukanku dengan sangat erat seolah dia benar-benar membutuhkanku saat ini juga dan itu membuat hatiku kembali sakit.
Dengan lembut aku mengelus punggung rapuhnya sembari mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Ya.....aku berharap seperti itu.
Ingatanku pun kembali pada kejadian 2 bulan lalu saat ibu dengan nekad menenguk racun yang entah dari mana ia dapat, untung saja aku langsung merebutnya dari tangan ibu yang hampir separuh ia minum. Alhasil ia harus dirawat beberapa minggu di rumah sakit.
Aku sangat terpukul pada saat itu, begitu menderitakah ibu? Sampai ia ingin mengakhiri hidupnya? Padahal aku masih ingin memiliki keluarga yang utuh meski tidak pernah bisa menjadi keluarga bahagia.
Aku merasakan seragamku basah karna air mata ibu yang begitu deras membuatku mati-matian menahan tangis. Aku berdoa dalam hati dengan sungguh-sungguh, berdoa agar ayah dan ibu tidak lagi bertengkar seperti ini lagi meski aku sadar betul waktu itu akan menjadi penantian yang sangat lama.
Aku tetap berusaha tegar dan sesekali menghapus air mataku yang tiba-tiba mengalir. Lirihan dan rintihan dari ibu aku dengar dengan jelas memaksaku untuk menangis hebat namun aku tak melakukan hal bodoh itu karna aku tidak mau membuat ibu semakin sedih karna melihatku putus asah.
Kemudian aku kembali memantung saat melihat ayah dengan wajah penuh amarah menatap kilat ke arah kami. Ayahku sudah seperempat abad hidup di dunia ini. Namun aku rasa sifatnya masih sangat kekanak-kanakkan karna jika dia memang dewasa ia tidak akan memukuli ibu seperti anak kecil yang tidak diberikan uang oleh orang tuanya.
Aku menunduk tak mampu menatap wajah ayah, terlihat tidak ada rasa bersalah di bola mata itu yang membuatku meringis kesakitan.
Kenapa ada orang seperti itu di dunia ini?
Kenapa ayahku tidak seperti seorang ayah yang sering ku baca di buku-buku cerita favoritku?
Dan ayahku berlalu meninggalkan kami berdua yang masih terduduk di lantai dengan posisi saling berpelukan dan ibu masih saja terus menangis.
BRAK
Itu suara pintu yang dengan sengaja dibanting dengan sangat keras oleh ayah yang mau tak mau membuat aku dan ibu sempat kaget mendengarnya.
Aku menatap seluruh penjuru rumah yang jauh dari kata rapi, pecahan-pecahan beling berserakan dimana-mana, meja yang posisi sudah terbalik dan kursi-kursi yang kelihatannya sudah patah kini tergeletak di bawah lantai.
Aku kembali menghembuskan nafas kasar dan dengan memaksa untuk menarik ujung bibirku membentuk senyuman tipis dan sangat tipis.
"suatu hari nanti aku akan melihat ayah dan ibu bercengkrama di ruang tamu dengan aku yang berada tengah-tengah tak bisa menghentikan tawa yang begitu bergema di ruangan ini".
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar