HAFIZH FADHLUN MUFID

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

BAB 1. KECELAKAAN DI SEKOLAH

“Langsung mandi ya Nak, pagi ini ibu ada perlu ke sekolah. Jadi uda sama Adik akan ibu antar dulu. Jangan lama-lama ya…” begitu pesan ibu ketika membangunkan kami untuk sahur pagi itu. Biasanya kami akan diantar ke sekolah agak siangan karena jadwal sekolah selama ramadhan agak longgar dibandingkan dengan hari biasa. Tapi karena ayah dan ibu ada keperluan lain, jadi kami diantar dulu ke sekolah.

Setelah semua keperluan sekolah selesai, kami berangkat. Ketika itu jam baru menunjukkan angka 06.30 wib. Pagi itu cerah sekali. Kami berangkat dengan hati yang bahagia. Karena ayah juga sedang ada keperluan keluar, jadi kami sekalian diantar oleh ayah. Kami diantar sampai gerbang sekolah dengan diiringi doa dari ayah dan ibu. Ibu berpesan supaya kami jangan banyak berlari dan menjaga puasa kami agar tidak batal.

Ketika sampai di sekolah, aku langsung meletakkan tas di dalam kelas. Aku menunggu beberapa teman untuk bermain.Setelah beberapa temanku datang, ada salah satu temanku mengajak bermain polisi dan perampok di dalam kelas. Kami bermain kejar-kejaran dan berlarian dengan bahagia.

Walaupun dalam keadaan berpuasa, kami tidak merasa lelah dan capek. Sampai mualim Re mengingatkan kami untuk hati-hati dan tidak terlalu lelah. Takutnya puasa kami bisa batal. Kata beliau. Tapi peringatan beliau tidak kami dengarkan secara serius. Kami tetap bermain dengan bahagia.

Ketika sedang bermain polisi dan perampok, kelompokku berperan sebagai perampok. Jadi kelompok perampok ini sedang dikejar oleh polisi yang sedang bertugas. Kelompok perampok kocar-kacir dikejar oleh polisi.

Aku yang waktu itu menjadi salah seorang perampoknya, berlari sekuat tenaga dan sekencang-kencangnya. Tanpa kusadari, kakiku tersangkut ke kaki meja paling depan. Aku terjatuh dengan posisi menyamping dan tangan kiriku tertindih oleh tubuhku.

Beberapa lama aku termenung dan merasakan ada yang janggal dalam tubuhku. Aku bangun perlahan-lahan dan mencoba memastikan semua baik-baik saja. Tetapi ternyata aku tidak baik-baik. Kurasakan tanganku sakit sekali dan aku menangis ketika itu. Lalu kulihat tanganku serasa tanpa tulang.

Melihat kondisiku yang pucat dan menangis, teman-teman langsung melaporkan kepada wali kelas. Walikelas dan Mualim Re segera datang dan membawaku ke kantor. Di kantor, tanganku dibidai dengan penggaris kayu dan diikat dengan kain panjang. Kemudian guru mendiskusikan masalah ini dan dengan gerak cepat sekolah mengantarkanku berurut ke Padang Karambia. Aku diantarkan oleh Mualim Re bersama Mualim Debi dengan mobil Ustad Taufik.

Ketika tanganku diurut, aku menjerit karena sakitnya. Aku dipegang oleh mualim dengan pandangan penuh kasihan. Bagaimana sakitnya berurut itu, tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Kalaulah bisa digambarkan, mungkin orang-orang tidak mau lagi beurut dan mencari alternative pengobatan yang lain.

Selesai diurut, bapak yang mengurut itu mengatakan kalau kunci-kunci di sikuku ada yang lepas. Tetapi sudah kembali ke posisi semula, kata beliau. Kami lega mendengar penuturan beliau dan memutuskan kembali ke sekolah. Sebelum kami pulang, beliau berpesan supaya kami kembali lagi pekan depan untuk memeriksa kondisi tanganku.

Sesampainya di sekolah, Mualim Re baru mengabari kedua orang tuaku. Sebelum mereka datang, Mualim Re berpesan agar aku tegar dan jangan nampakkan air mata di depan kedua orang tuaku. Aku berusaha untuk terlihat baik-baik saja supaya orang tuaku tidak terlalu cemas dengan keadaanku.

Orangtuaku datang 20 menit setelah itu. Melihat kondisiku yang sudah kusut ditambah dengan tangan yang sudah dibalut, membuat ibu kaget luar biasa dan kulihat sudah mau menangis. Tetapi ayah jauh lebih tegar. Ayah mendengarkan semua penjelasan dari Mualim dengan sabar. Kepala sekolah menyarankan agar aku dibawa ke rumah sakit untuk melakukan rontgen, supaya bisa dipastikan tanganku tidak patah dan semua sudah kembali seperti sedia kala.

Kami masuk ke mobil, di dalam mobil, ibu menangis. Aku tak sanggupmelihat air mata ibu. Kubiarkan ibu menangis dalam diam. Dalam hati terucap doa semoga aku, ibu, ayah dan semua keluarga bisa tabah dalam ujian ini. Dan aku bisa kembali mendapatkan kesembuhan seperti sedia kala.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post