Faza Muhammad Adila

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
3. Aku dan Kamu

3. Aku dan Kamu

Seminggu sudah si anak baru itu berada disekolah ini, seminggu sudah juga kami belajar seperti biasa sejak liburan panjang kemarin. Ihsan Ahmad Wibowo nama lengkapnya, dia sangatlah pandai bergaul dengan teman-teman barunya. Lama-kelamaan aku merasa nyaman berteman dengannya. ‘’Umm, hei, hei. Kau sedang apa Ediz?’’ suaranya memecahkan lamunanku. Tunggu dulu, apakah aku melamun tadi? Oh tidak, aku tidak menyadarinya. ‘’Eh, eng.... enggak kok. Aku lagi ga ngapa-ngapain.’’ Aku menjawab dengan sedikit terbata. ‘’Benarkah kawan? Aku lihat kau sepertinya cukup tertutup dibanding teman yang lainnya.’’ Dia nampaknya memperhatikanku selama seminggu ini. ‘’Bagaimana kau tahu? Apakah kau dapat membaca pikiranku?’’ aku dapat melihat senyum yang menyungging di bibirnya, lantas dia berkata, ‘’Hei kawan, ayolah bercerita kepadaku. Tenang saja, aku adalah orang yang dapat dipercaya.’’ Hatiku mendorongku untuk bercerita sesuatu kepadanya, entah kenapa aku melihat sebuah cahaya di matanya. Baiklah, aku akan mulai bercerita kepadanya.

‘’Ediz! Seharian ini kau sudah sepuluh kali melamun. Ada apa kawan? Ayolah, tampaknya kau tertutup sekali.’’ Suara bersahabatnya lagi-lagi memecahkan lamunanku, dia tampaknya menghitung sudah berapa kali aku melamun hari ini. ‘’Umm, apakah kau dapat dipercaya? Aku sedikit trauma jika menceritakan sesuatu kepada seseorang.’’ Aku bertanya kepadanya untuk memastikan jika dia dapat dipercaya, aku sudah lelah mengunci bibirku untuk tidak bercerita sesuatu kepada siapapun, baiklah, aku akan bercerita satu dua kata kepadanya. ‘’Baiklah kawan, kau dapat bercerita masalah kecil seperti apa makanan yang kau suka dan sebagainya kawan. Aku akan mendengarnya dengan baik.’’ Ihsan sepertinya pendengar yang baik, kalau begitu aku akan bercerita kepadanya. ‘’Ihsan, apakah seseorang harus menjaga rahasia seorang teman yang sudah dipercayakan kepadanya?’’ akhirnya aku bertanya tentang masalah yang aku simpan rapat-rapat selama ini. ‘’Iya, seseorang harus pandai menyimpan rahasia seorang teman, walaupun dalam keadaan terpaksa, kita tidak boleh menceritakannya.’’ Dia menjawab pertanyaanku dengan santai tapi serius.

Tak terasa, aku mulai bercerita banyak hal kepadanya, bertanya banyak hal kepadanya, dan Ihsan menjawab dengan bijak. Tiga puluh menit dia mendengarkan aku bercerita, dan tak pernah dia memotong ceritaku kecuali aku meminta saran dan bertanya kepadanya. ‘’Oke baiklah, sepertinya kau sudah mendengar semuanya dariku. Bagaimana jika kita ke kantin saja? Aku yang akan mentraktirmu kali ini.’’ Aku mengajaknya ke kantin karena perut kami berdua sudah berbunyi.

‘’Hei, Ihsan sepertinya kita sudah mulai merasa cocok satu sama lain.’’ Tak pernah aku berbicara seterbuka ini. ‘’Akhirnya kita bisa menjadi teman yang akrab. Saat pertama kali bertemu denganmu aku tak pernah tahu jika kita bisa seakrab ini diz.’’ Dia menimpali perkataanku sambil menyedot jus mangganya. ‘’Aku dan kamu bisa menjadi sahabat bukan.’’ Aku menepuk pundaknya. ‘’Wow, aku sangat senang jika kita bisa menjadi sahabat diz.’’ Ihsan tampaknya senang jika kami menjadi sahabat. Kring........ bunyi lonceng tanda istirahat berakhir memotong pembicaraan kami. ‘’Oh ya, besok aku akan mengundangmu untuk datang ke rumahku nanti. Apakah kau akan datang Ihsan?’’ Aku teringat sesuatu. ‘’Insya Allah aku akan datang Ediz. Terima kasih karena telah mengundangku.’’ Ihsan tersenyum lebar.

Aku tidak menyangka jika keesokan harinya Ihsan benar-benar datang ke rumahku. Dia benar-benar sahabat yang memegan janji. Saat dia memasuki halaman rumahku yang besar, tampak sekali jika dia ragu untuk masuk. Tetapi Pak Prapto satpam rumah kami menyambut Ihsan dengan hangat. Dia terkagum-kagum saat dengan rumah besarku. ‘’Hai Ediz! Oh ya, tadi ibuku menitipkan ini untukmu.’’ Ihsan memberikan sebuah bungkusan berisi kue basah. ‘’Aih Ihsan, repot sekali kau datang kerumahku. Terima kasih ya. Mari masuk dan minum teh dulu.’’ Aku menerima bungkusan itu dan menepuk pundaknya. ‘’Besar sekali rumah kau Ediz. Kukira kau adalah orang biasa. Ternyata perkiraanku salah. Wah, indah sekali arsitektur rumahmu.’’ Kekaguman Ihsan tak dapat lagi ditahannya. Tampaknya Ihsan suka memperhatikan arsitektur suatu bangunan. ‘’Papaku adalah seorang arsitek terkenal, jadi rumah ini pun adalah hasil rancangannya.’’ Aku menjelaskan asal-muasal arsitektur rumahku yang kata kebanyakan orang indah. Ihsan terlihat antusias sekali melihat arsitektur rumahku, lantas dia ingin dikenalkan dengan Papa, ‘’Umm, Ediz. Bolehkah aku berkenalan dengan papamu? Aku ingin sekali belajar tentang arsitektur suatu bangunan dengannya.’’ Ragu-ragu Ihsan bertanya kepadaku. ‘’Tentu saja boleh Ihsan. Tapi sayangnya Papa sedang bekerja di luar kota. Minggu depan dia baru pulang.’’ Terlihat raut kecewa di wajah Ihsan yang selalu tersenyum. ‘’Tidak apa Ediz, setidaknya aku akan berkenalan dengan Papamu.’’ Senyum pun mengembang lagi di wajah Ihsan.

Setelah minum teh, Mama menyuruhku untuk mengajak Ihsan bersenang-senang. Hal pertama yang akan aku lakukan dengannya adalah bermain play station milikku di kamar. Ihsan sedikit bingun melihat benda asing yang mungkin dia tak pernah melihatnya. Dengan sabar aku menjelaskan apa itu play station dan bagaimana cara bermainnya. Ihsan mengangguk paham, dia pun mencoba dan berhasil menguasai apa yang telah aku ajarkan. Kami akan bermain Grand Theft Auto, kami berdua berusaha menyelesaikan misi yang sangat-sangat sulit. ‘’Ayo Ediz, tinggal satu misi lagi. Kita akan selesai setelah misi ini.’’ Ihsan menyemangatiku saat dia melihat aku yang mulai bermain lambat. Setengah jam berlalu, kami berhasil menamatkan misi yang sulit ini. Hari ini adalah hari minggu yang paling luar biasa. ‘’Hei Ihsan. Aku dan kamu berhasil menyelesaikan misi sulit ini!’’ aku berseru terlonjak-lonjak. ‘’Iya Ediz. Aku juga senang.’’ Kami berdua pun berlonjak-lonjak gembira, sampai-sampai Mama heran dengan keributan di kamarku.

‘’Ediz, aku pulang dulu ya. Nanti kapan-kapan kita main lagi ya!’’ dia berpamitan kepadaku setelah pamit kepada Mama. ‘’Bukan kita Ihsan, tapi aku dan kamu. Kita berdua!’’ aku memeluk badan Ihsan yang sedikit lebih berisi dariku. Dia lagi-lagi dijemput menggunakan mobil pick up pengangkut sayur. Dan lagi-lagi aku didatangi berjuta pertanyaan tentang Ihsan. Ah, hari yang indah bersama sahabat, batinku.

Aku dan kamu adalah sahabat selamanya. Tak akan pernah ada yang bisa menghalangi persahabatan kita. Ihsan, dialah sahabat sejati yang hadir dalam hidupku disaat aku tak punya teman untuk dipercaya. Terima kasih Ihsan, kaulah sahabatku. Kini aku percaya kepadamu. Kau adalah sahabat, lebih dari sahabat manapun. Karena aku dan kamu adalah sahabat.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post