1. Awal yang Baik
Udara dingin mulai merasuki tulang. Membuat siapa pun pasti menggigil. Burung-burung bekicau dengan indahnya. Ayam jantan berkokok dengan kerasnya. Malam sudah berganti pagi. Hiruk pikuk kehidupan kota ini baru saja dimulai. Hari kemarin telah berlalu, berganti dengan hari yang baru.
***
Namaku Ediz, umurku 12 tahun. Aku sama dengan anak kebanyakan lainnya. Hari ini adalah hari pertamaku sejak liburan semester yang panjang. Aku sudah rapih dengan baju putih dan dasi merah di dada. Tak lupa, aku menambah penampilakanku dengan memakai smartwatch keluaran terbaru brand ternama. ‘’Ediz sayang, ayo sarapan dulu. Nanti terlambat loh!’’ Mama berseru memanggilku dari lantai bawah. Aku segera menuruni anak tangga pualam yang mewah.
‘’Ayo, segera diselesaikan sarapannya. Hari ini hari pertama sekolah loh, jangan sampai terlambat.’’ Begitulah Mama, dia selalu ingin anaknya disiplin waktu dan lainnya. Mama juga adalah orang yang sangat perfeksionis, selalu ingin membenarkan hal-hal yang salah di matanya. ‘’iya Mama, 10 kali sudah Mama mengatakan hal yang sama. Ediz pasti ingat kok.’’ Aku nyengir karena sudah 10 kali Mama mengatakannya di pagi ini, dan 10 kali juga aku menjawabnya. ‘’Mama hanya tidak ingin kamu terlambat nak.’’ Mama berkata sambil membawa piring kotor.
‘’Ma, Ediz berangkat dulu ya! Assalamualaikum!’’ aku berseru dari dalam mobil pribadi papa. ‘’Waalaikuussalam, oh ya, jangan lupa bekal dari Mama dimakan ya sayang.’’ Mama mengulurkan tangannya kepadaku. ‘’baiklah Ma, Ediz pasti memakannya.’’ Sepuluh menit kemudian, mobil pribadi Papa sempurna melaju diatas jalan besar menuju sekolah besarku yang terletak di tengah kota. Untung saja aku dan Papa berangkat lebih awal, jalanan Kota besar ini tidak terlalu macet.
Setelah pamit dengan Papa, aku segera memasuki gedung besar sekolahku. Saat memasuki kelas, hanya ada aku dan 4 teman lainnya. ‘’Selamat pagi Ediz! Bagaimana liburanmu?.’’ Tiba-tiba saja, seorang anak perempuan berseru menyapaku dari belakang. ‘’eh, Kayla. Baik kok. Bagaimana kabarmu?.’’ Aku menjawabnya dengan senyum tipis. ‘’Oh ya, btw, kamu pernah berjanji akan menceritakan suatu rahasia kepadaku. Rahasia apa itu Ediz? Ayolah, ceritakan kepadaku.’’ Kayla tiba-tiba mengungkit kembali janjiku kepadanya semester lalu. ‘’Eh, eh, ce.... ce.... cerita ap... apa ya?.’’ Aku pura-pura lupa. ‘’Hei, aku hafal mati tabiatmu. Kamu itu tidak pernah pandai berpura-pura kan? Ayolah ceritakan saja kepadaku. Apa masalahnya bukan?’’ Kayla masih saja memaksaku untuk menceritakan suatu rahasia kepadanya.
Akhirnya, bunyi lonceng masuk memutuskan pembicaraan kami. Aku bersyukur dalam hati karena aku tidak harus repot-repot menceritakan sesuatu kepada Kayla. Pasti kalian bertanya-tanya bukan kenapa aku tidak menceritakannya? Itu semua berawal ketika aku menceritakan suatu rahasia terbesarku kepada Mike, lalu dia menceritakan rahasia itu kepada yang lain, padahal dia sudah berjanji untuk tidak menceritakannya kepada siapapun. Sejak saat itu, aku kehilangan kepercayaan kepada teman-temanku sendiri. Dan aku juga tidak pernah berbicara kepada siapapun. Hilang sudah kepercayaanku terhadap temanku. Aku selalu berusaha untuk menemukan teman sejati yang dapat aku percaya. Dan siapa sangka, jika aku berhasil menemukannya.
Sekarang adalah waktu untuk pulang sekolah. Mobil pribadi papa sudah menjemputku. ‘’Hei Ediz! Bagaimana sekolahmu hari ini?’’ Papa tampak semangat untuk meluncurkan beberapa pertanyaannya kepadaku. ‘’Hmm, seperti biasa kok pa, memangnya kenapa?’’ aku tampak malas untuk menanggapi pertanyaan Papa. ‘’Oi, enam tahun kau bersekolah disini, dan enam tahun pula kau selalu bilang biasa. Ada apa nak?’’ Pertanyaan Papa membuatku makin malas. ‘’Entahlah pa, aku merasa biasa saja hari ini.’’ Sepuluh menit kemudian Papa tak bertanya lagi, Papa sedang fokus mengemudi.
‘’Assalamualaikum ma! Ediz pulang!’’ aku berseru sambil melepas ikatan tali sepatuku. ‘’Waalaikumussalam, eh anak Mama yang paling ganteng udah pulang. Ayo nak masuk dan makan siang dulu.’’ Tangan Mama membelai kepalaku dengan lembut. Bau harum masakan yang dimasak Mama begitu nikmat. Perutku sudah berisik sejak tadi. Kakiku semangat menuruni anak tangga pualam menuju ruang makan. Tampaknya Mama sedang memasak sup ayam kesukaanku. ‘’Ayo Ediz, segera ambil piringmu dan makan. Kau pasti sangat lapar kan? Sebelum makan jangan lupa berdoa ya nak.’’ Mama tak pernah lelah mengingatkanku seperti itu.
Lauk yang ada di piringku sudah habis tak bersisa. ‘’Oh ya nak, tampaknya kau akhir-akhir ini menjadi pendiam saat di sekolah. Ada apa sebenarnya?’’ Papa mengawali pembicaraan sehabis makan siang. ‘’Umm, tidak ada apa-apa pa. Apakah Papa selalu memperhatikan Ediz saat di sekolah?’’ aku bertanya balik kepada Papa. ‘’Ya, Papa meminta tolong kepada wali kelasmu untuk memperhatikanmu. Dan wali kelasmu hanya berkata bahwa kau menjadi pendiam akhir-akhir ini.’’ Penjelasan Papa membuatku terbelalak. Aku kaget jika Papa sebegitu perhatiannya kepadaku. ‘’Entahlah pa, Ediz kehilangan kepercayaan kepada teman-teman. Ediz naik ke kamar dulu ya pa.’’ Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke kamar.
Sebenarnya Ediz ingin jujur pa. Tapi lidah Ediz tiba-tiba menjadi kelu dan kaku untuk menceritakan yang sebenarnya kepada Papa. Ediz hanya bisa berharap pa.
***
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar