Cahaya di Balik Kesepian
Angelina duduk di sudut taman sekolah, memandangi sekelompok anak yang tertawa riang di bawah pohon. Ia menggenggam buku tulisnya erat-erat, berharap suara mereka mengalihkan kekosongan di hatinya. Tapi seperti biasa, tawa itu hanya membuatnya merasa semakin terasing.
Angelina, anak perempuan berusia 15 tahun, dikenal sebagai anak yang pendiam di kelas. Bukan karena ia tidak pandai bicara, tapi karena ia tak tahu bagaimana caranya menjalin keakraban. Di rumah, tak ada yang mengajarinya. Ibunya sibuk bekerja sepanjang hari, sementara ayahnya lebih memilih duduk diam di depan televisi atau bermain ponsel tanpa pernah melirik ke arahnya.
Hidup Angelina seperti rutinitas yang berulang. Pagi hari ia bangun, menyiapkan sarapan sendiri, lalu pergi ke sekolah. Pulang sekolah, ia masuk kamar, mengerjakan PR, dan menghabiskan waktu sendirian hingga larut malam. Sesekali, ia mencoba berbicara kepada ibunya saat pulang kerja. Tapi ibunya selalu menjawab dengan nada lelah, “Angelina, Mama capek. Bisa kita bicarakan nanti saja?”
Tentu saja, “nanti” itu tak pernah tiba.
Suatu sore, Angelina pulang dari sekolah lebih awal. Di tangannya ada sebuah piala kecil bertuliskan Juara 1 Lomba olimpiade matematika. Ia berjalan dengan langkah ringan, membayangkan raut bangga di wajah orang tuanya. Namun saat ia tiba di rumah, yang menyambutnya hanyalah suara televisi dan ayahnya yang tidak bergerak dari sofa.
“Ayah, lihat ini! Aku menang lomba olimpiade matematika.”, ujarnya penuh semangat, menyodorkan piala itu.
Ayahnya hanya melirik sekilas, lalu berkata singkat, “Bagus. Letakkan saja di meja sana.”
Hati Angelina mencelos. Ia berdiri di sana beberapa saat, menunggu sesuatu pujian, pelukan.
Namun, saat Angelina hendak meletakkan piala itu di meja, ia melihat sebuah amplop putih bertuliskan namanya di atas meja. Amplop itu terlihat asing. Dengan ragu, ia mengambilnya dan membukanya. Isinya adalah sebuah surat dengan tulisan tangan yang rapi.
“Angelina, kami tahu kamu merasa sendirian. Kami sering gagal menunjukkan betapa kami peduli. Tetapi, kami selalu bangga padamu. Maaf jika kami jarang mengatakannya. Malam ini, kami ingin membuatnya berbeda. Pergilah ke ruang makan setelah membaca ini.”
Angelina membaca surat itu berulang kali, tidak percaya. Dengan hati berdebar, ia berjalan menuju ruang makan. Ketika ia membuka pintu, ia terpaku. Di sana, ada ibunya yang masih mengenakan seragam kerja, ayahnya yang biasanya tidak peduli, dan sebuah kue kecil dengan lilin menyala. Di atas meja juga ada tulisan sederhana: “Selamat untuk juara 1 kami!.”
“Surprise, Nak!” kata ibunya dengan senyum lelah tapi tulus. Ayahnya mengangguk sambil berkata, “Kami tahu ini tidak cukup, tapi kami bangga padamu.”
Air mata mengalir di pipi Angelina. Untuk pertama kalinya, ia merasa dilihat, didengar, dan dicintai. Mungkin mereka tidak sempurna, tetapi di saat itu, Angelina tahu bahwa keluarganya sedang mencoba. Dan itu lebih dari cukup.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar