Faiza Karimatuz Zahida

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Dengki - Ben? (10)

Dengki - Ben? (10)

Nampaknya, sosok misterius itu tak melihat kehadiranku. Dia merasa tak ada siapa-siapa di dalam ruangan James selain dirinya. Derap kakiku sama sekali tidak terdengar olehnya.

“Hei! Sedang apa kau kesini!” Teriakku keras.

Sosok misterius itu melonjak kaget. Aku juga ikut kaget. Apa...! ternyata dia itu adalah Ben! Teman dekat almarhum James!

“Ben?” Ucapku ragu-ragu.

“Abdul? Sedang apa kau disini?”

“Seharusnya aku yang bertanya seperti itu kepadamu.”

“Eh...” Ben nyengir.

“Kau sedang apa disini?” Aku kembali bertanya.

“Seharusnya aku yang bertanya hal itu kepadamu.”

“Eh...” Kali ini aku yang nyengir.

“Sedang apa kau disini?” Ben kembali bertanya seperti sebelumnya.

“Seharusnya aku yang bertanya seperti itu kepadamu...”

“E...” Belum habis dia mengatakan ‘eh’ aku langsung menyela.

“Gimana kita mau tahu kenapa kita ada disini, kalau kita terus bicara mmbuulett... kaya gini?”

Terbukti kan kalau Ben itu kalau bicara sukanya mmbuulleet...

“Eh... oke, oke. Siapa yang bercerita duluan?” Lagi-lagi Ben bertanya.

“Kamu aja deh.”

“Em... oke. Ka...”

“Tunggu dulu.” Aku memotong perkataan Ben.

“Kenapa?”

“Pastikan kau tidak berbicara mbbuleet. Nanti aku malah gak tau kamu itu bicara apa.”

“Oh... oke. Jadi gini. Aku adalah teman dekat Ja...”

“Iya aku tahu itu.” Aku kembali memotong perkataannya.

Ben melotot kepadaku. Lalu dia kembali melanjutkan perkataannya.

“James sangat tidak suka kepada Erin. Terlebih lagi saat Erin menjadi bo...”

“Iya. Aku juga tahu itu. Cepat lanjutkan. Lama sekali kalau kamu berbicara.”

Ben kembali melotot tajam kepadaku.

“Dia kira, dialah yang akan menjadi bos. Sangking marahnya dia...”

“Kenapa? Oi! makin lama kau makin lambat saja kalau berbicara.”

“Kalau kau terus menyela kapan aku bisa meneruskannya dengan cepat?! Berhenti menyela Abdul!” Kali ini Ben benar-benar kesal dan marah denganku – eh... sebenarnya dia sudah kesal sedari tadi sih...

Aku nyengir mendengarnya.

“Sangking marahnya, dia sampai membunuh Erin dan bosmu.”

“Jadi James yang membunuh Erin dan bos kita!” Aku terperangah mendengarnya.

“I... iya... dia melemparkan batu yang besar dan tepat mengenai kepala Erin, sewaktu erin sedang presentasi kuliah S3 di hadapan para dosennya. Erin meninggal dengan sangat tragis. Darah segar bercucuran dari kepalanya. Kepalanya bocor serta terbelah menjadi dua. Sedangkan tulang kepalanya remuk.”

“Kedua matanya copot. Badannya basah oleh darah. Telinganya terlepas dari tempatnya. Dan... otaknya lumer kemana-mana.”

“Wuu... aku tidak bisa membayangkan itu seperti apa. Pastilah itu sangat menakutkan.” Batinku dalam hati.

“Para dosennya pingsan karena melihat kejadian yang menimpa Erin. Semuanya berteriak histeris. Tapi tak ada satu pun orang yang mendengarnya. Karena ruangan tempat Erin presentasi, diberi karpet penyerap suara.”

“Akhirnya, seorang satpam yang memiliki telinga yang tajam mendengar teriakan histeris para dosen. Lalu dia mendobrak pintu dan melihat kejadian yang tragis ini. Setelah melihat kejadian tragis itu satpam tersebut satpam itu berlari dan memberitahukannya kepada semua orang.”

“Satpam itu juga menelfon pihak rumah sakit. Sebelum orang-orang sempat datang. Pihak rumah sakit telah membawa Erin ke rumah sakit.”

“Untuk apa?” tanyaku lagi.

“Agar orang-orang tidak melihat kondisi Erin yang mengenaskan itu. Tetapi, beberapa orang sempat melihat jasad Erin yang mengenaskan. Mereka lalu pingsan. Bahkan beberapa orang ada yang frustasi melihat hal itu.”

Ben berhenti sejenak.

“Kenapa Erin diba...”

“Erin dibawa ke rumah sakit agar luka-lukanya dapat dijahit. Sehingga saat Erin dilihat oleh orang, mereka tidak histeris. Dan kau tidak tahu kalau wajah dan kepala Erin dijahit?”

Aku tak menjawab.

“Kau tahu?” Ben kembali bertanya.

“Iya. Aku tahu.” Jawabku pendek.

“Aku ingin menyampaikan sesuatu kepadamu. Tapi kamu jangan marah ya...”

“Hmm...” Fellingku mengatakan bahwa Ben akan menyampaikan sesuatu yang aneh dan pastinya tidak akan kusukai. Karena dia mengatakan ‘Jangan marah’. Entah apa yang akan dia katakan sehabis ini.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Lanjut kak

01 Aug
Balas

Shiapp kak. :D

01 Aug

Faiza, bukan menggenaskan tapi mengenaskan yaa :)

01 Aug
Balas

Oh, iya kak. Aku lupa. Makasih udah diingatkan :)

01 Aug

Ini kalimatnya kurang tepat: “Kalau kau terus menyela kapan aku bisa mnereuskannya dengan cepat?! Berhenti menyela Abdul!” harusnya, 'berhenti menyela, Abdul!' kalau seperti yang di atas tadi, berarti dia marah kepada orang yang menyela perkataan Abdul. Maksud kamu, abdul gk boleh menyela lagi, kan?

01 Aug
Balas



search

New Post