Chapter : One "TWINS [?] : Telepati tak pernah mati"
Hampa,
Tanpa rasa
Tak bermakna
Terbuang begitu saja
Semakin tak nyata
Sampai jumpa dunia
SMA Satya Bhakti
Lorong kelas X IPS, 16.35 WIB
“Tap…tap…tap…tap,..brakk”
Pintu kelas X IPS 5 yang barusan dibuka lebar digebrak seorang siswi yang tadi berlari dilorong dan tiba dengan mimik wajah terburu-buru dan ekspresi lain yang tak mudah diartikan.
“Vika, jadi maksud lu kemarin beneran? Itu dipanggil Bu Neni tuh diruang guru, cepet!” Ucap gadis tadi dengan nafas terengah-engah.
Vika yang baru saja akan keluar dari ruangan itu reflek terkejut karena meski akan melangkah keluar, fokusnya masih pada kedua teman dihadapannya beserta topik obrolannya.
“Hah? Iyalah, beneran jadi. Yaudah kuy cabut. Duluan ya, La, Ken!” Gadis bernama Vika itu segera menarik lengan gadis yang tadi memanggilnya dan berlari menuju tangga meninggalkan lorong kelas X IPS beserta ruang-ruang kelasnya.
“Vik, jadi lu beneran bawa pindah itu temen-temen Rpw lu kemari? Gila lo bawa orang pindah bejamaah” Ucap gadis yang digandeng Vika seraya berjalan cepat menyusuri tangga menurun dari lantai 3 menuju lantai bawah menuju ruang guru.
“iya, Vira. Gapercaya amat jadi orang. Lagian itu mereka temen RL gue ya dari jaman gue masih jadi bucin pas SMP ampe gue jadi modelan sekarang. Enak aja ngatain ubab-ubab gue temen virtual” Omel Vika pada Vira sambil terus berjalan cepat menuju ruang guru.
“iye, elah iye” Pasrah Vira sambil tubuhnya tetap digandeng paksa oleh Vika hingga tiba di ruang guru.
-TwInS,-
Vika dan Vira sudah tiba diruang guru. Mereka berdua mencari-cari keberadaan Bu Neni, salah satu guru yang mempercayai mereka berdua, terutama Vika.
Beliau pernah bilang pada mereka berdua jika sifat mereka berdua sama-sama friendly dan open arms terlebih lagi karena mereka kembar jadi hampir dari seluruh sifat mereka sama, namun Bu Neni lebih memilih Vika karena selain Vika lebih tua Vika juga lebih friendly daripada Vira.
Jadi biasanya Vira hanya sebagai perantara antara Bu Neni dan Vika, jika Vika absen maupun ada kesibukan. Vira sendiri juga menjadi anak emas bagi guru lain.
“Iya, Bu. Nyari saya?” Tanya Vika setelah menghadap Bu Neni yang sedang fokus terhadap lembaran dihadapannya.
“Hari Senin nanti, kamu aja yang bantu murid-murid transfer yang dari luar kota itu. Itu, temen-temen kamu kan?” Tanya Bu Neni seraya membuka map baru dihadapannya yang ternyata adalah biodata para murid transfer.
“lah, kok Bu Neni tau?” Tanya Vika kebingungan karena Bu Neni mengetahui soal hubungannya dengan beberapa murid transfer itu.
“itu, Vira yang kasih tau ibu tadi seingat ibu” Jawab Bu Neni sambil mengendikkan dagu yang mengarah ke Vira dengan tatapan dan tangan yang tak buyar fokusnya pada lembaran-lembaran biodata yang berceceran di mejanya.
Vika menyenggol bahu kanan Vira dengan bahu kirinya sembari menaikkan alisnya tanda menanyakan kebenaran apakah benar Vira yang mengatakannya. Karena di malam sebelumnya Vika memang sempat bercerita pada Vira tentang teman-teman jauhnya yang akan pindah kemari.
“Bisa ya, Vik?” Tanya Bu Neni lagi setelah beberapa saat hanya diisi gesekan kertas dalam keheningan.
“Eh, iya Bu! Memang berapa orang sih, Bu?” Tanya Vika lagi.
“murid SMA Satya Bhakti yang kemarin di D.O 15 orang kan? Ini murid transfernya cuman 12 orang. Ini kamu lihat aja dulu biodatanya, ini baru separuh yang saya koreksi. Setidaknya coba lihat aja biodatanya, kali aja itu punya teman kamu” Ucap Bu Neni sembari menyerahkan beberapa map kertas berisi biodata beberapa murid transfer.
“Senin nanti saya dibantu sama Vira ya, Bu? Nanti separuh-separuh deh”
“iya boleh. Koreksi aja di kursi depan komputer itu, sekalian lihat inputan biodata itu di komputer. Toh, habis ini juga mau adzan Ashar terus pulang.”
“iya, Bu” Jawab mereka berdua serempak. Setelah duduk, Vika mulai membuka biodata sedangkan Vira mendelik menatap komputer mencari inputan biodata murid transfer semester ini.
“Lian Jun Jie, Abyan Aldiano Amsyar, Josafat Zero—. Bentar, inikan temen gue semua?!” Vika sedikit terkejut karena biodata pertama yang ia dapat adalah biodata temannya sendiri.
Ia membolak-balikkan biodatanya dan membuka map baru, ia menemukan satu nama murid yang ia tidak begitu kenal dan dua nama yang sepertinya benar-benar tak asing baginya. “Jessya Ivanka, Elfarenia Zevanya. Wait, Zeva?!”
-TwInS,-
SMA Satya Bhakti
Lantai Hall, ruang Guru. 16.42 WIB
“terima kasih ya Vik, Vir” Ucap Bu Neni setelah menutup pintu ruang guru.
“iya, Bu. Sama-sama. Hari Senin besok kan Bu?” Ucap Vika.
“iya, besokkan Sabtu, kalian urus aja besok pagi berkasnya. Nanti kita saling mengabari di WhatsApp. Bentar aja kok abis ngurus kalian bisa nikmatin holiday lagi” Ucap Bu Neni dengan senyum simpulnya sembari berjalan keluar area sekolah melalui ruang TU karena sudah petang. Menyebut fakta bahwa jika petang tiap-tiap gedung sekolah Satya Bhakti baik dari TK hingga SMA akan memiliki nuansa yang sunyi senyap dan horror.
“duluan ya Vik, Vir! Hati-hati dijalan” Ucap Bu Neni sebelum ia pergi menjauh dengan sepeda motornya.
“Vik, lu balik gih kerumah. Demen amat di base bareng anak-anak. Lu ga kangen bau rumah apa” Ucap Vira sendu kepada Vika.
“Entar aja dah. Masih gapengen ketemu Mama Papa gua. Lu tau sendiri kan” Ucap Vika tidak peduli dan terus fokus pada ponselnya untuk menghubungi Pak Mun, sopir pribadi keluarganya.
“ayolah, Vik. Sekali aja. Kalo lu nungguin siap, sampai kapan lu mau siap cuman buat ketemu Mama Papa?” Ucap Vira terus memaksa agar kembarannya mau pulang kerumah.
“iya-iya entar deh gampang. Biar tanek gue dekem di base. Entar malem kali gue kerumah, nginep deh sekalian janji” Jawab Vika panjang lebar. “udah tuh Pak Mun dah dateng, yok balik” Ucap Vika tanpa menatap Vira dan langsung masuk kedalam mobil.
Didalam mobil hanya ada keheningan melanda, terkadang hanya diisi suara ketikan maupun sound dari snap baik dari handphone Vika maupun Vira.
“Pak, nanti Vika seperti biasa ya. Berhenti di base” Ucap Vika setelah memasuki area perumahan. Memang rumah besar dan rumahnya tidak terpaut jarak yang begitu jauh, namun bagi Vira itu jauh karena Vira merasa hati Vika hanya dekat dengan hati Vira dan Mas Rafi namun tidak dengan hati keluarga yang lain.
“nggak sekalian kerumah aja, Mba? Bapak kemarin pulang loh” Tanya Pak Mun memastikan namun bermaksud membujuk Vika pula untuk pulang kerumah.
Sudah dihitung hampir 2 bulan Vika terus menerus tinggal di basecamp semenjak liburan kelulusannya hingga hari ini.
Ia tidak memilih liburan bersama keluarganya dengan alasan basic yaitu ‘sudah sering, liburan tahun lalu juga begitu’, sedangkan Papanya tidak ada di liburan semester ganjil ini karena pekerjaannya diluar kota.
Pak Mun sungguh sangat memahami keluarga ini hingga sifat tiap anggota keluarganya.
“nanti aja deh, Pak. Masih ada yang harus diurus di base” Ucap Vika sebelum pada akhirnya mobil itu telah sampai didepan gerbang rumah besar.
“makasih ya, pak” Ucap Vika singkat lalu turun dan menutup pintu mobilnya.
Pak Mun masih terdiam ditempat tidak menjalankan mobilnya namun tatapannya terus mengawasi Vika mulai dari ia membuka lalu menutup gerbang lalu berjalan melalui pekarangan base membuka pintu utama base yang tinggi dan megah lantas menutupnya kembali, tatapan sendu Pak Mun mengawasi hal kecil yang nampak sangat sepele itu namun begitu besar dihatinya.
“Mbak Vika udah gede aja ya. Mungkin abis ini pasti lebih mengharapkan kebebasan seperti Mas nya, Mas Rafi.” ucap Pak Mun lalu mulai menjalankan mobilnya lagi secara perlahan.
“Hm, iya pak. Tapi hati dia makin hari cuman kelihatan makin jauh aja sama hatinya Mama Papa. Vika tuh gitu, gamau percaya sama Mama Papa. Mama Papa juga gitu, sukanya nyepelein Vika. Bingung sendiri aku pak” Ucap Vira sendu dengan tatapan kosong lurus kedepan kearah jalan.
“mungkin Vika bakal begitu. Tapi saya berharap cukup Mas Rafi dan Mbak Vika aja yang terlalu bebas, nanti Mbak Vira gausah begitu. Kamu tau sendiri kan mbak Vika sama mas Rafi bagaimana dibelakang Bapak sama Ibu” Ucap Pak Mun lagi.
“Biar mereka berdua saja yang begitu, Mbak Vira sama dek Rejafa jangan” Lanjutnya.
“iya, Pak. maunya juga begitu” Jawab Vira sambil tersenyum kecut menyampaikan sebuah kesedihan dan kekecewaan.
-TwInS,-
VikaVira,s house
20.28 WIB
“Assalamu’alaikum”.
“Wa’alaikum salam”.
“ngapain kamu 2 bulan gak pulang kerumah?!”, “Kemana aja kamu 2 minggu gak pulang?!”
“masih perlu ditanya?”
“kamu gak berubah ya? Dari dulu tetep aja suka berontak dan gapernah filter omongannya. Gapernah mau dengerin orang tua”
“maaf ya, Pa. tapi Papa juga gak berubah. Tetep aja masih mikirin ego Papa sendiri, suka mengadili dan menghakimi orang. Gapernah peduli sama opini orang lain. Saya juga gasuka, Pa”
“denger ya, Papa masih ngomong baik-baik loh sama kamu”
“Seharusnya juga udah baik-baik kan kalo saya keluar dan gak ada dirumah ini? Lagian saya kesini cuman mau nurutin permintaan Vira buat pulang kerumah, bukan buat adu mulut dan dengerin papa menghakimi saya” ucap Vika datar lalu melangkah pergi setelah memastikan pintu rumah tertutup sempurna.
“VIKA!!” Sosok Ramadhani Wicaksono sudah mulai kesal menghadapi salah satu putrinya yang sama saja keras kepala sepertinya.
Hanya seorang Vika Sabrina An-Najwa Wicaksono yang mampu membantah seluruh ucapan kasar, menusuk dan menghakimi dari mulut seorang Ramadhani Wicaksono, Papanya sendiri.
Vika tidak peduli akan teriakan Papanya yang menggelegar dan mampu mengisi rumah besar yang hari-harinya sering diisi keheningan dan perdebatan.
Dengan sigap Vika berjalan cepat menuju tangga dan pergi kekamarnya yang berada dilantai dua sembari memasang AirPod di telinga kanannya dan melepas alat bantu dengar di telinga kirinya agar ia tidak bisa mendengar celoteh apapun dari mulut Papanya bak seorang hakim.
Cukup untuk menerima sebuah fakta, bahwa Vika adalah sosok teman tuli dimana telinga kirinya tidak berfungsi.
Sampai dikamar, ia membuka pintu kamarnya dengan kasar. Tak peduli siapapun yang akan peduli dengannya maupun yang merasa terganggu karenanya.
Untung saja malam itu Rejafa sudah terlelap, sehingga Rejafa tidak perlu tahu perdebatan segar yang baru saja terjadi di malam yang dingin ini.
Shinta Atmaja, yang mendengar perdebatan itu dari kamarnya hanya bisa menahan tangisnya yang semakin lama semakin deras. Tak tega mendengar suami dan putrinya beradu mulut dengan saling melempar ucapan penuh dengki dan benci.
Sedangkan Vira bahkan sudah tidak mampu dan tidak memiliki keberanian untuk mendengar perdebatan antara kembarannya dengan papanya. Apalagi hanya untuk melihat batang hidung Vika saja, Vira tak sanggup.
-TwInS,-
‘Kriett…’, “Vik..,”
Rafi mendatangi adiknya dikamarnya dan mencoba memanggil adiknya yang sedang terduduk bersedekap seraya menelungkupkan wajahnya diatas lipatan lengan dan tekukan lututnya sembari bersender ditepi ranjang bernuansa monokrom yang masih rapi, ranjang yang sudah lebih dari dua bulan tidak ditempati.
Ditemani sinar temaram dari lampu tidur yang menyala dan korden abu-abu yang berkibar karena semilir angin dari jendela yang terbuka, Vika terduduk dan terdiam layaknya patung diatas karpet beludru abu-abu, hening, tanpa suara.
Wajahnya yang menunduk dan ditelungkupkan membuat anak rambutnya yang tadinya tergerai rapi dengan helaian rambutnya, jadi menutupi bagian wajahnya.
Dilihatnya alat bantu dengar Vika oleh Rafi tergeletak tak jauh dari kakinya. Tergeraklah tangan Rafi untuk menyibakkan anak rambut yang menutupi wajahnya, menyelipkannya dibalik telinga dan memasangkan alat bantu dengarnya kembali di telinga kirinya serta melepas AirPod ditelinga kanannya.
“dek Vika, wes gausah mikir Papa. Aku eroh awakmu gak koyok sing Papa pikir”. Ucap Rafi sambil mengelus puncak kepala Vika. Selepas Rafi mengucap, pintu kamar Vika terbanting dengan nyaring karena semilir angin dari jendela kamar yang terbuka malam itu.
Pintu tertutup, Vika beranjak dari dekamannya dan langsung memeluk Rafi yang ada dihadapannya dengan airmatanya yang terus mengalir, tanpa suara.
“Gaopo dek, Mas ndek kene ojo nangis, aku gaseneng ndelok awakmu nangis”. Ucap Rafi sembari tersenyum simpul dan membalas pelukan Vika dengan hangat.
Vira menguping dari pintu penghubung antar kamar mereka berdua, ia hanya bisa ikut menangis mendengar ucapan Rafi dan merasakan betapa kalutnya hati Vika malam itu.
Kalutnya Vika ditemani dengan kalutnya Vira malam itu, Vira hanya bisa menangis dan bersandar lemah dibalik daun pintu sambil meratapi kepedihan hati Vika yang ikut ia rasakan. Seperti kata orang, sang kembar memang hanya memiliki satu jiwa yang dibagi dua raga.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar