Ervika Najwa A.

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Chapter : Four

Chapter : Four "TWINS [?] : Telepati tak pernah mati"

Memori itu dikenang lagi

Luka lamanya ikut kembali

Persada Hospital

19.17 WIB

Sosok gadis berlari di koridor rumah sakit demi mengetahui kondisi jiwanya yang tak bukan tak lain, adalah Vika. Tanpa diberitahupun Vira akan tau dimana Vika berada, kemampuan spesial sang kembar.

“Sus, Vika dimana?” Tanya Vira pada asisten dokter Sam dengan nafas tersengal karena berlari.

“Ya ampun sayang, tenang. Vika baru dipindah keruang rawat, sini” Ucap perawat itu.

Kamar nomor 101, disinilah belahan jiwanya dirawat. Ia benar-benar merasakan kehadiran sisinya yang lain disini.

Dokter Sam keluar dari kamar Vika, baik Vira, Clarissa, Juneo maupun Rey langsung memberikan atensi untuk mengetahui kondisi Vika.

Dokter Sam yang sadar akan respon mereka berempat hanya diam saja dan langsung menghampiri Vira yang ada tepat didepan pintu.

“Perhatikan lagi Vika, ia butuh istirahat. Jangan biarkan dia masuk sekolah besok, saya menahannya disini semalam untuk pemulihan” Ucap dokter Sam sambil menepuk bahu kanan Vira lantas pergi diiringi asistennya.

Vira langsung melangkah masuk kedalam ruangan Vika yang hanya menampakkan Vika terbaring lemah tak sadarkan diri diatas ranjang dan pasien monitor yang berbunyi.

Vira berjalan lunglai dan duduk perlahan pada kursi disamping ranjang Vika lantas menyentuh tangan kiri Vika yang tertancap infus dipunggung tangannya.

“lo kenapa lagi sih” Gumam Vira kesal karena lagi-lagi Vika jatuh tanpa sepengetahuan Vira, ini untuk yang kesekian kalinya.

Digenggamnya erat tangan Vika. Vira tak sanggup lagi, setetes air jatuh dari netra kirinya, dan didetik itu juga tangan Vika yang digenggam Vira bergerak.

Sungguh Vika merasa menjadi pengecut karena telah membuat Vira menangis sedemikian rupa meski hanya satu tetes air mata.

Dan soal Rey, kini dejavu nya terjawab. Ia memahami maksud hatinya sore itu, ia tau siapa Rey dalam hidupnya.

Tangan kanan Vika yang bebas terangkat dan menghapus jejak air mata Vira di pipi kirinya, “gue gasuka liat lo nangis, pengecut banget gue udah bikin lo nangis” Ucap Vika sambil menunjukkan senyumnya.

“APA-APAAN LO UDAH TAU KEK BEGINI MASIH AJA CARI PEMBELAAN DIRI, GAUSAH JADI YANG PALING DISALAHKAN! GUE YANG SALAH DISINI”

Ucap Vira, nada bicaranya naik, dan tangisnya pecah. Ia sudah terlanjur kesal pada kembarannya karena belahan jiwanya ini selalu mengalah.

“siapa bilang aku cari pembelaan dan merasa paling disalahin hm? Kan emang gitu”

“ya tapi –“ Ucapan Vira terpotong.

“shutt, udah gapapa, kamu cuci muka dulu. Aku mau minta waktu berdua sama Rey”

Vira menoleh kebelakang dan mengangguk pelan menandakan ia sudah mengerti maksud Vika.

“Gausah aneh-aneh, gua pergi bentar habis itu balik” Peringat Vira lantas ia Clarissa dan Juneo keluar kamar.

-TwInS,-

Kini tinggal Vika yang menatap lurus kosong kedepan dan Rey yang masih menatap Vika intens. Hening. Hanya itu yang terjadi diantara mereka berdua.

“Kak Rey . .” ucap Vika membuka suara memecah keheningan.

“iya, dek?” jawab Rey membuyarkan tatapannya.

“Kak Rey, udah tau siapa Vika ya?” Tanya Vika tanpa membuyarkan pandangan kosongnya yang menatap lurus kedepan.

“Awal aku nyentuh tanganmu, aku ngerasa aneh dek. Aku dejavu sama sentuhanmu. Dan aku sadar setelah kamu megang lenganku pas kamu hampir ambruk” ucapan Rey terhenti.

“aku juga baru sadar kak, semenjak kakak menyebut nama, hati udah bilang kalo aku dejavu. Ternyata emang bener” ucap Vika yang terus menatap bidang kosonng yang dihadapannya.

“Vik . .”

“Iya kak. Aku ngerti. Aku udah sadar akan sepenuhnya kak”

“Vika . .” Rey memanggil kembali namanya dengan nada yang tak mampu diartikan.

“iya kak ?” Tanya Vika sambil menoleh kekiri dimana ada Rey tepat disampingnya.

Tak perlu ditanya lagi, hati Vika kacau balau. Memorinya kembali memutar kenangan lama. Di pelupuk matanya telah menggenang air mata. Vika yakin, ia hanya ingin mengulang kembali masa itu.

“Vika, aku rindu. Maaf” Ucap Rey tanpa berkata lagi setelah itu. Kata maaf yang diakhiri dengan tangan kanannya yang reflek menyentuh puncak kepala Vika.

Rey merasakan sesuatu tengah melingkar di pinggangnya. Sudah dipastikan bahwa Vika lah pelaku yang memeluknya.

Benteng pertahanan Vika runtuh. Tangisnya tak mampu lagi dibendung.

Vika menangis dipelukan Rey tanpa suara. Hukum alam sudah mulai menjalankan tugasnya, sudah dikata bahwa Vika hanya ingin mengulang kembali masa itu. Ia rindu, sangat rindu.

“Kakak kira aku gak rindu ? Sampai sekarang lukanya terasa perih kak kalau diingat, sakit” Ucap Vika terisak dipelukan Rey.

“Maaf dek. Maaf, maafin aku dek maaf. Maaf aku seba**ngan itu, maaf dek maaf” Hanya kata maaf dari mulut Rey yang sudah kelu, tak sanggup untuk berkata lagi.

“Gaperlu minta maaf kak. Vika udah maafin. Semua udah berlalu. Vika cuman rindu sama kenangan yang dulu”

“maaf ”

Kalimat itulah yang terakhir keluar dari mulut seorang Marcheol Rey. Vika hilang sadar kembali dipelukan Rey, Vika lelah hati, pikiran, fisik dan psikis. Ia sedang mencoba memaafkan dunia atas segalanya dengan ikhlas.

Sebuah fakta tak diduga, Vika dan Rey adalah sepasang kekasih 2 tahun yang lalu dan memori itu hilang terhempas pergi bersama luka dan realita kehidupan.

Luka lama yang sempat tertutup itu kini terbuka kembali.

-TwInS,-

Persada Hospital

Kamar 101, 09.05 WIB

Pintu kamar 101 terbuka perlahan hingga tertutup kembali tanpa menimbulkan bising berlebih.

Menampakkan sosok lelaki tinggi yang membawa buket bunga lavender, lily putih, dan mawar putih satu ditangan kirinya dan kopi kotak ditangan kanannya yang tengah ia minum.

Ia mendekat pada sosok yang terlelap tenang diatas ranjang. Tanpa perintah ia meraih tangannya yang tak merespon meski ia sentuh dan mencium punggung tangannya.

Mungkin ini akan jadi kegiatan favoritnya ketika sosok yang lama tak ia jumpai ini harus menetap dirumah sakit.

Bukannya berharap bahwa sosok ini harus terus menerus sakit, namun ia sendiri bertekad untuk menjaganya semampunya demi menebus kesalahan yang pernah ia perbuat sehingga menoreh luka yang dalam pada wanita yang ia sayangi ini.

Marcheol Rey, meletakkan buket itu di bedside cabinet dan lanjut menyedot kopi yang sedari tadi telah ia minum.

Tak ada salahnya kan ia memberikan rangkaian bunga ini untuk Vika? Sosok yang sudah terlanjur membuatnya merasa bersalah yang teramat sangat.

Ketiganya adalah bunga favorit Vika, dengan alasan betapa cantiknya arti bunga ini.

Rey sendiri tidak begitu memahami maksud gadis ini, namun ia paham Vika begitu menyukai arti dari setiap bunga yang bahkan tidak semua orang bisa memahaminya.

Entah mengapa Rey masih bisa mengingat penjelasan Vika tentang The Language of Flowers yang bahkan sudah berlalu 2 tahun lamanya. Vika suka membuat topik yang berhubungan dengan bunga, lantas ia akan mengartikan bunga itu untuk kehidupan.

Vika akan bersikeras mencari arti bahasa dari setiap bunga yang belum masuk dalam daftar bahasa bunganya dan bahkan rela tidak tidur demi mendapatkan jawabannya.

Rey duduk dikursi yang ada disamping ranjang, lantas mengambil buku novel yang berada diatas cabinet disamping buket bunga yang barusan ia letakkan.

“Endorphin”

Begitulah judul buku itu ditulis dengan huruf Hangeul dan latin dibawahnya. Rey sedikit bisa membaca huruf Korea itu, itupun karena Vika. Ternyata berdampak besar sekali Vika bagi Rey.

Dilihatnya ada kertas yang lumayan tebal membatasi diantara lembaran buku. Rey membuka pembatas kertas itu.

Dilihatnya polaroid Vika dan Vira yang hanya menampilkan separuh wajah mereka masing-masing dalam satu frame. Mereka selalu melengkapi meski hanya dalam foto.

Rey terkikik kecil melihatnya, lantas mengembalikan polaroid itu kembali ketempat semula, dan mulai membaca dari halaman pertama.

Dengan membaca buku ia berharap Vika segera membuka matanya daripada ia harus merundungkan diri yang hanya membuat waktu menunggunya semakin lama.

Nampaknya Rey mulai tertarik dengan cerita yang dibawakan buku berjudul Endorphin itu.Terkadang ia ikut menceritakan pada Vika mengenai beberapa cuplikan kejadian yang menurutnya menarik di buku itu.

Rey menutup bukunya setelah ia mencatat halaman yang terakhir kali ia baca. Rey pun masih ingat bahwa Vika maupun Vira tidak suka dan bahkan benci jika lembaran bukunya dilipat bahkan sesentipun.

Rey mulai mendapati lelahnya, ia menopang dagunya diatas telapak tangan kiri yang disangga lengan diatas kasur.

Sedangkan tangan kanannnya menggenggam tangan kanan Vika dihadapannya sambil mengelusnya lembut menggunakan ibu jarinya.

“Dek, kapan bangunnya. Saya gabisa nunggu lebih lama lagi” Gumam Rey lirih, lantas memejamkan mata sejenak untuk menghilangkan rasa kantuknya sedikit.

Tangan kanan Rey berasa digenggam kembali. Ia membuka matanya untuk memastikan apa yang terjadi. Benar saja bahwa jemari lentik Vika sedang berusaha menggerakkan diri.

“Vik?” panggil Rey

“eungh . .” erang Vika ketika ia berusaha membuka matanya dan mencoba menghindari sinar matahari yang menerpa melalui jendela kamarnya,

Rey yang menyadarinya langsung menghalangi arah datangnya cahaya matahari dengan tangan kirinya dan tangan kanan yang masih ada digenggaman Vika.

“aku panggil suster ya” ucap Rey yang akan segera beranjak dari duduknya untuk menekan tombol bantuan yang ada diatas ranjang Vika.

Namun Vika menahan Rey dengan memperkuat genggamannya ditangan kanannya meski masih lemah untuk menggenggam erat

“Gausah kak, gini aja dulu” ucap Vika lirih sembari memejamkan matanya kembali tanpa melepas tautan tangannya dengan Rey. Senyum kecilnya tak luput dari wajah dan pandangan Rey.

Rey hanya tersenyum kecil melihat gadis dihadapannya saat ini. Rey kembali duduk disamping ranjang dan menatap lamat-lamat gadis dihadapannya yang tengah menutup matanya.

Rey memandanginya dengan tatapan haru sambil mengotak-atik memorinya. Hingga sampailah kenangan yang terhenti pada ingatan 2 tahun yang lalu.

Tepatnya ingatan bersama sosok dihadapannya yang dulu menjadi gadisnya. Tapi itu dulu, entah kini ia bingung apakah bisa menyebut sosok dihadapannya ini gadisnya lagi ataupun tidak.

Ingatan itu terus terputar didalam otak Rey mulai pertemuan mereka hingga akhirnya Rey memutuskan untuk pergi tanpa memberikan alasan atau bahkan kabar yang jelas pada kekasihnya waktu itu.

Jika mengingatnya Rey sudah geram dan benar-benar ingin merutuki kebodohannya tempo hari itu.

Ia sudah ingin mengumpat jika ia lupa bahwa masih ada tangan lemah yang terus menggenggamnya sedari tadi.

Indra penciuman Vika mencium aroma yang tak asing didekatnya. Saat ia telaah, pandang netranya jatuh pada buket bunga di bedside cabinet sebelah kanannya.

“Ternyata kakak masih inget ya, udah dua tahun padahal” ucap Vika sembari tersenyum tipis lantas mengambil buket bunga itu dari atas kabinet.

“kenangan bisa berlalu dek, tapi naas ingatannya enggak”

“kenapa kakak peduli sih ke Vika. Bukannya udah berlalu ya kak”

“Kakak mau tanggung jawab atas perbuatan kakak dul –“

“kalo cuman atas dasar tanggung jawab dan rasa kasihan lebih baik kakak gaperlu kembali” Suaranya tenang dan teduh namun menyiratkan luka didalamnya.

“ini bukan sekedar perihal rasa kasihan dek”

“terus apalagi yang kamu mau dari aku kak”

“dampakmu bagi aku terlalu besar dek! Aku juga terluka dan cuman kamu obatnya”

Rey ikut terbawa emosi, langsung terkesiap atas ucapannya yang terlalu kasar. Ia kembali bungkam dan merasa bersalah.

Air mata Vika lolos berjatuhan, ia terisak tanpa suara.

Dipandanginya buket yang ia pegang. Bunga – bunga yang ia lihat sedikit mendorong semangatnya kembali untuk tetap tersenyum.

Rey mendekap Vika tanpa perintah, dan Vika didekap tanpa penolakan.

“kamu kenapa begini lagi sih dek” gumam Rey namun masih terdengar oleh Vika.

“karena ‘mereka’ bilang aku tidak diharapkan, maka berlaluku adalah yang terbaik agar beban mereka berkurang”

“dek, jangan bilang begitu. Seandainya pun beban ‘Mereka’ berkurang, apa kamu pikir gak ada orang lain yang bebannya bertambah –“

“tapi aku sayang sama ‘mereka’ kak”

“gak begini caranya dek, cukup.”

Rey kembali berhasil membuka sampul palsu itu. Kelemahannya terbongkar, dia yang sebenarnya diketahui oleh orang lain. Yang tertutup sempurna telah terlalu kelam.

-TwInS,-

Vira tengah sibuk berkutat dengan soal matematika didepannya, dan menekan dadanya yang tiba-tiba terasa sesak tanpa alasan.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post