Ervaliza

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Pohon Apel Kayangan
Sumber: Line Play/Forgotten Paradise

Pohon Apel Kayangan

Pohon-pohon apel kayangan.

Aku tak peduli seberapa banyak aku menderita. Terpuruk dalam pertemuan ibu, melepaskan diri dari statusku yang hina, punun dari rasa takut yang mencekam kompilasi aku melepaskan dari sosialitas para peri lainnya.

Aku peri yang memiliki derajat rendah, peri yang tak memiliki sayap. Berbeda dengan 3 golongan tertinggi lainnya. Hanya aku seorang, terpilih Tuhan yang tergaris hidup untuk menetap sebagai golongan cela.

Selama aku terkurung dalam dekapan kebencian pemerintahan kerajaan, aku menunggu ibu. Surat dari ibu. Ibu yang berjanji akan melepaskanku, pun berjanji akan mengeluarkanku dari hutan pohon-pohon apel khayangan. Makanya, aku bertahan demi menunggu menunggu ibu.

Namun, aku malah tertipu.

Untuk apa aku bertahan?

***

Buat apa para peri dibeda-bedakan? Bukankah kelak kaum peri akan berada di surga yang sama?

Tak terbayangkan, peri hina sepertiku dijatuhi hukuman sejak lahir akibat tak memiliki sayap. Sempoyongan aku mencari alasan khusus di balik hukuman tersebut, hasilnya ada satu alasan. Aku lahir tanpa dihimpun kasih sayang ayah.

Dalam surat ibu, ayah meninggal 1 bulan sebelum kelahiranku. Dalam peraturan kerajaan peri, seorang bayi peri mesti lahir dengan ayah kandungnya yang masih hidup. Jika tidak, sang bayi akan dijatuhi hukuman.

Untuk generasi sekarang, aku adalah tahanan satu-satunya.

Bertahun-tahun aku terkurung di dalam sangkar. Sangkar yang terasingkan dari wilayah kerajaan. Pernyataan yang tepat bukan sangkar yang terasingkan, tapi aku. Penghuni sangkar sebagai tahanan.

Kerajaan peri memecah status warga peri menjadi 4. Golongan pertama, peri bersayap emas yang merupakan keturunan bangsawan. Golongan kedua, peri bersayap pelangi yang aslinya penduduk kerajaan. Golongan ketiga, peri bersayap putih yang kedudukannya sama dengan peri bersayap pelangi. Dan golongan terakhir, peri tak bersayap. Golongan langka yang dianggap membawa bala dan malu kerajaan peri.

Nyatanya, aku sekali pun tak pernah berbuat kesalahan. Hanya takdir Tuhan yang melahirkanku dengan fisik ini. Takdir itu pun aku tak menginginkannya. Jika bergeming saja termasuk kesalahan, maka aku lebih baik mati sebagai peri hina yang menginginkan keadilan.

Namun, aku tak dapat melakukannya.

Selama aku terkurung dalam dekapan kebencian pemerintahan kerajaan peri, aku menunggu ibu. Tiap hari aku menunggu kehadiran surat dari ibu. Ibu berjanji akan membebaskanku. Makanya, aku bertahan demi menunggu kedatangan ibu.

Menjelang senja, aku pijak waktu itu untuk melakukan ritual yang kulakukan setiap minggu. Duduk di pembaringan dalam sangkar, mendekap bantal, merebahkan tubuh sejenak, kemudian bangun lagi, lalu merebah lagi. Hal itu terus kuulang-ulang tanpa penat. Karena ritual itu telah menjadi rutinitas untuk menghilangkan penat.

Karena hari ini adalah jadwal kedatangan surat dari ibu!

Surat ibu diantar-titipkan oleh putri kerajaan peri, Marsha. Meskipun begitu, Marsha tetap menjaga jarak agar ia tak ketahuan berhubungan dekat denganku. Termasuk menjaga kesucian pakaiannya agar tak terjamah oleh lumpur dan debu.

Memang, wilayah sangkarku bermukim di hutan. Hutan yang biasanya dijadikan makam para peri bangsawan. Konon, jasad peri bangsawan yang dimakamkan akan bereinkarnasi menjadi pohon apel kayangan. Pohon apel kayangan tersebut pun diyakini dapat meng-hindarkan kerajaan dari bala. Maka dari itu, aku yang dianggap membawa bencana ini diasingkan di hutan pohon apel kayangan. Selain itu, 83% dataran hutan adalah sungai cangkat yang dihidupi banyak ikan lamprey.

“Carol, aku punya kabar baik!” Marsha menerkam sangkar dengan riang tanpa tahu sebabnya hingga sangkar bergetar seperti gempa bumi.

“Apa surat ibuku datang?” tanyaku mengalihkan.

“Bukan! Bukan itu yang kumaksud!” Marsha protes.

“Lalu?”

“Ayahku mengizinkan!”

“Mengizinkan apa?”

“Ayahku memberi izin padamu untuk tinggal di istana!”

“Apa?”

Marsha tak mungkin mendendangkan karangan indah untuk menghiburku selain bertema-kan ibuku. Tak lebih dari sekadar tahu, Marsha harusnya sudah tahu. Aku menunggu surat ibu. Aku bertahan menunggu demi ibu.

“Lalu, surat dari ibu mana?” tanyaku tanpa menggubris berita baik dari Marsha.

“Carol, kau tidak suka?” Marsha balik bertanya.

Seharusnya Marsha tak perlu meributkan hal yang tak perlu kurangkum. Statusku di depan muka bangsawannya hanyalah peri penuh cela. Tak aneh jika aku menolak sebagai demonstran yang menginginkan perlakuan adil diikuti ulu hatiku yang terus meneriaki “protes”. Alasan pasti yang mengekang kuat tekadku untuk menolak adalah: aku akan menjadi bahan malu dan malapetaka kerajaan sebagai pelayan.

“Hei, Carol. Jangan bersikap acuh tak acuh begitu. Kau tahu, ‘kan? Jika kita tinggal di istana, kita bisa bermain bersama. Aku janji akan menolongmu,” tutur Marsha, tak ada pantangnya untuk menyerah.

Kepelikan yang tak berkesudahan kerap kali merongrong apabila berkompromi dengan anggota pemerintahan kerajaan. Ini pun diharuskan untuk melayani keinginan mereka. Kecuali untuk Marsha, yang sangat mengenalku. Dia sudah mengetahui lingkup dalam pribadiku. Untuk apa lagi ia memaksa?

Atau mungkin, Marsha sangat memerlukanku hingga dia memohon izin kepada sang raja peri? Apa perlunya?

“Maaf, Tuan Putri Marsha. Aku hanya menginginkan surat dari ibu, bukan hal yang lain,” sahutku berusaha menyudahi kecamuk celoteh Marsha yang bertubi-tubi.

“Tidak! Carol jangan memproduksi banyak alasan untuk menolak. Aku sahabatmu!”

Sahabat?

Suasana hutan mencekam. Cipratan air sungai akibat tabrakan antara air dengan ekor ikan lamprey menubruk seramnya hutan yang menimbulkan bulu kuduk Marsha merinding hebat.

“Tuan Putri takut?” tanyaku memastikan.

“Ti... tidak!” sahut Marsha tegas. Terselip secuil ketakutan di tatapannya.

“Hutan ini berbahaya. Sebaiknya Tuan Putri Marsha kembali ke kerajaan.”

“Tidak! Sebelum aku meyakinkanmu, aku tak akan pulang!”

Jadi benar. Berkompromi dengan putri kerajaan memang melelahkan.

“Tuan Putri Marsha, pergilah dari hutan ini. Hutan ini adalah makam para bangsawan. Banyak keganjalan terjadi di sini. Apalagi ikan-ikan lamprey seringkali menghorokan wilayah hutan.” Aku berusaha menakutinya supaya ketakutanya membulat bengkak.

Menjelang tenggelamnya surya, Marsha terdiam. Kantung matanya tersisip kadar air mata yang bening. Ketika ikan lamprey menyibak serpihan air sungai yang mengalir pelan, Marsha merinding seraya menggenggam sangkar erat.

“Aku mau pulang. tapi, aku takut pulang sendiri...,” tutur Marsha sayu.

Aku mendelik tolol saat Marsha menimang-timang rasa resahnya. Bingung. Putri raja sepertinya tentu tak mungkin dibiarkan dalam keadaan bahaya. Terutama hutan pohon apel kayangan ini merangkum banyak sekali mitos yang beredar tanpa hak izin dari sang pencipta mitos. Namun, aku tak harus dikategorikan bersalah! Karena aku sudah memperingati Marsha berulang-ulang untuk menjauh.

Tergulung dalam paksaan yang genit, aku pun terpaksa menolong. Dengan menuruti keinginannya.

“Baiklah, Tuan Putri Marsha. Aku bersedia tinggal di istana.”

Jejak-jejak ketahananku perlahan memudar dari dalam sangkar. Sembari menggenggam rapat surat dari ibu, aku bertekad akan bertahan lebih lama lagi di istana.

Menunggu ibu menjemputku dengan penuh kehormatan.

***

Carol Edward

Peri mungilku....

Tak lama lagi ibu akan menjemputmu. Kamu masih bertahan, ‘kan, di tahanan? Kamu mau dijemput dengan metode apa? Kereta labu, kupu-kupu bersayap indah, atau lainnya?

Bulan sabit akan menghadirkan senyuman manis yang kelak akan menjadi keberuntung-anmu. Ibu berjanji, di saat itu pula...

Putriku, Carol, akan mendendangkan tawa dan gabah kegembiraan di saat ibu akan memelukmu.

“Ibu, masih menganggapku peri mungil?”

Aku tergelak. Sepanjang hidup kutemukan humor fanatik asli buatan tangan ibu. Sekali, dua kali, tiga kali, berulang-ulang surat dari ibu kulisankan dalam hati seraya memenuhi mulutku dengan cerocos tak jelas dalam batiniah.

Menghadapi tengah malam yang meraup-raup kebisingan, Marsha menyembunyikanku di kebun bunga istana. Tak hanya itu saja, aku beserta Marsha tidur di dalamnya.

“Tidur di rumput ternyata sangat menyenangkan,” bisik Marsha menyelundupi suaranya ke dalam telingaku.

“Tuan Putri Marsha, ini sudah malam! Anda tidur saja di istana,” bentakku menyiratkan sedikit kekesalanku terhadap Marsha yang keras kepala.

“Tidak mau! Aku ini sahabatmu. Jadi, penderitaanmu harus kualami juga.”

Aku melihat tatapannya yang tidak pasti. Marsha menafsirkanku sebagai sahabatnya. Aku lupa, Marsha dikenal sebagai putri tanpa pandang derajat warga. Meski aku diasingkan, telingaku masih tetap mulus menyerap berita-berita dari kerajaan. Aku bukan tipe peri cinta rumor yang rela berputar-putar di dalam sangkar tahanan hanya demi menangkap rumor yang terbang simpang siur tak kenal arah. Karena aku mendengar banyak rumor dari Marsha sendiri.

“Oh iya, Carol. Aku bingung. Kenapa kau bisa bertahan disiksa ayahku?” Marsha bertanya saking tak mengenal suasana yang telah larut dalam ketenangan.

Aku ragu, tatapan Marsha masih sangat meragukan untuk dipercaya. Lamat-lamat aku mencoba memahami sekaligus mengenali kata “sahabat” yang barusan diucapkannya. Dalam sudut pandangku yang berkoordinatkan di balik masa lalu sebagai tahanan, sahabat yang sangat setia menemaniku hanya pohon-pohon apel reinkarnasi jasad peri bangsawan, ikan-ikan lamprey, dan hororisme hutan.

Kenapa aku disiksa? Bukan, aku bertahan. Bertahan untuk menunggu bulan sabit yang akan memancarkan sinarnya untuk melukiskan senyum. Senyum yang kelak akan abadi. Aku bersama ibu.

Ah, terlalu banyak basa-basi!

Aku tidak tersiksa. Aku hanya menunggu ibu datang menjemputku.

Ah, terlalu klise!

“Apa Carol ingin bertemu ibu?” Spontan Marsha bertanya dengan ketepatan hampir men-jangkau masa depan.

“Tuan Putri Marsha tahu?!” Spontan aku kembali bertanya.

Marsha membelalak kaget. Kepalanya dialihkan menghadap arah lain untuk menolak tatapanku. “Maaf, aku hanya menebak saja.”

“Benar, Putri. Aku ingin bertemu ibu. Ibu menyuruhku untuk bertahan dari siksaan raja sampai ibu akan kembali menjemputku,” ucapku jujur. Kali ini, aku akan rakitkan ucapan Marsha sebagai “sahabat yang utuh”. Meski Compang-camping sekalipun, Marsha tak lebih mengenalku sebagai tahanan kerajaan.

Layaknya mendongeng cerita bohong, Marsha menatapku nanar tanpa berkata sepatah kata pun. Seperti sedang menyimpan sesuatu. Mungkin kebohongan?

Layaknya mendongeng cerita bohong?

***

“Makanan apa, ini?! Rasanya seperti ikan lamprey gosong saus madu manis!”

Panekuk madu yang susah payah aku kerjakan dengan peluh-peluh perjuangan terhempas jatuh tertarik daya gravitasi bumi. Raja Arthur, pemimpin kerajaan peri era sekarang, membuang sembarangan sesaji yang kubuat sebagai tukang masak pemula kerajaan. Aku kehausan dibuat beliau. Haus akan percaya diri untuk membela diri sendiri.

“Maaf, Carol. Ayahku memang tak suka makanan manis,” sela Marsha menitiskan setetes aura keberanian untuk menyumplai rasa percaya diriku.

“Sudahlah, aku dianggap hina di sini,” sahutku rendah.

Raut wajahku tertekan. Aku terhenyak. Sepasang sayap emas yang serupa dengan bentuk sayap kupu-kupu terbingkai rapi di sebuah dinding istana. Sayap emas awet yang tidak bisa dikatakan enteng untuk dijadikan sumber pajangan istana.

“Kata ayah, itu sayap milik peri bangsawan yang langka.” Marsha menjelaskan tanpa banyak basa-basi.

Sayap emas berbentuk sayap kupu-kupu. Serat-serat sayapnya terpancar sukma yang hidup. Bentuk sayap yang tak ada bekas robekan, seakan melambangkan nuansa kelopak-kelopak kehidupan yang mekar. Apa mungkin, jasad sang pemilik sayap itu masih berada di dunia ini dalam keadaan bernyawa?

“Hei, Carol. Di singgasana terjadi keributan!”

Dari rahim singgasana, sandiwara-sandiwara yang terbit di siang bolong mengejutkan seluruh getar darahku ketika nama ibu dilibatkan dalam sandiwara itu. Sandiwara yang bermain bersama mayat peri dalam sebuah peti.

Apa itu jasad ibu?!

“Akhirnya, mantan bangsawan hadir di sini sebagai pelayan hina kerajaan.” Raja Arthur bertutur sopan dengan lantunan sindirannya yang semakin menyemarakkan sandiwara.

“Mantan bangsawan? Apa maksud Yang Mulia?” tanyaku tertahan, bersiap untuk me-lakukan penusukan sel kekecewaan jika memang apa yang dikatakan Raja Arthur sesuai dengan dugaan-dugaan pahit yang kucicipi perlahan dengan penuh raut kegetiran.

Apa aku mantan bangsawan?

“Ya, kau mantan bangsawan! Aku memenjarakan Permaisuri Carolina Edward, ibumu, di penjara bawah tanah dan merebut kekuasaan kerajaan ini. Sekaligus memisahkanmu dengan permaisuri!”

Busana situasi getir menghujaniku dengan serpihan-serpihan kenyataan yang tak ingin kudengar. Penungguanku terhadap janji ibu sia-sia. Terlahap habis oleh hakikat takdir yang berlaku.

“Selain itu, kau lihat sayap emas berbentuk sayap kupu-kupu yang terbingkai rapi di dinding istana? Ya, itu sayapmu. Aku sengaja mengamputasinya hanya demi mengharumkan namaku sebagai pewangi kerajaan peri. Selain itu pun, surat-surat yang tersampaikan atas nama ibumu itu adalah buatanku sendiri. Kukira, kau pantas bahagia meski palsu sekalipun.”

Deg!

Bahagia yang palsu?

Aku termakan janji manis yang artifisial. Untuk apa aku bertahan selama ini? Untuk ibu, atau kebodohanku?

Atau, mungkin saja untuk keasaman statusku sebagai golongan rendah yang dipermainkan? Layaknya mendongeng cerita bohong!

“Aku kecewa menilik berpilin-pilin benang untuk merajut persahatanku dengan Marsha. Aku dibohongi, ditipu dengan rajaman yang keras,” tuturku tersedu-sedu.

Layaknya mendongeng cerita bohong.

***

Hai, ibu. Aku anakmu, Carol Edward. Mantan bangsawan yang terlalu bodoh hingga ditipu oleh kerajaan.

Ibu tahu? Aku kembali menetap di sangkar tahanan. Menemani ibu di makam memang sangat menyenangkan, karena aku bisa menikmati manisnya buah apel dari pohon apel kenang reinkarnasi ibu.

Aku tak perlu bantuan ibu lagi untuk mengeluarkanku dari hutan ini. Aku terlalu bahagia bermukim di sini.

Aku kembali. Sebagai peri golongan rendah yang diasingkan di hutan pohon apel kayangan. Aku bertahan, untuk menemani ibu bersemayam sebagai pohon apel kayangan .

Sebuah ssalamu'alaikum.

Semoga teman2 suka, ya, cerpennya. Cerpen ini pernah memenangkan peringkat 4 acara cerpen dari penerbit bintang pelangi dan sudah dibukukan sejak lama ...

Cerpen ini saya buat waktu di masa pikiran saya yg isinya fantasi yang kekanakan, kesukaan terhadap ikan lamprey, sama hobi main game 😂.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post